Disclaimer: Hidekazu Himaruya

Warning: Para bangkotan bertebaran, harap maklum. Porsi chibi-chibi tidak terlalu banyak di chapter ini, and get ready for angst (mmm...ya, kalo enggak kerasa angst-nya anggep aja saya lagi ngelawak) *kabur*


Hetalia Axis Power Fanfiction

~Cute Little Brother & Sister~

Chapter VII


Netherlands mengetuk-ngetukan jarinya ke meja, tangan yang lainnya ia gunakan untuk menopang dagunya. Selama beberapa menit ruang kerja itu berubah hening, sebelum suara ketukan pelan terdengar di pintu. Sekretarisnya membuka pintu ruang kerja itu perlahan setelah dipersilahkan masuk oleh Netherlands.

"Maaf pak, klien bapak minta jawaban segera."

Dahi Netherlands makin mengerut mendengar hal itu. Belum sempat ia memikirkan cara yang pas agar bisa menolak pertemuan besok, sang klien telah kembali meneleponnya. Dengan enggan ia menerima telepon itu.

"Ya pak, maaf, kesalahan memang dari pihak kami." Ia diam sejenak.

"Baik pak, kami mengerti, tapi—" Dahi Netherlands tampak mengernyit mendengar omelan dari pihak klien.

'Dia bisa bedain toa sama telepon enggak, sih?' omelnya dalam hati.

"Iya pak, tap—" ia mendesah cepat, 'Nah, kan, dipotong lagi….'

Akhirnya pria besar itu menyerah dan membiarkan kliennya berbicara sesuka hati sampai puas menghina dirinya dan perusahaan roti kebanggaannya. Ia belum bisa membayangkan bagaimana harus bertemu muka dengan klien besok. Masalahnya bukan takut menghadapi omelan bertubi-tubi seperti yang dilayangkannya lewat telepon tadi, Netherlands mungkin saja tidak tahan untuk menyumpal mulut si klien dengan scone yang ia dapat pada ulang tahunnya berbulan-bulan yang lalu. Untung saja ia masih menyimpan hadiah dari England di lemari besi. Ternyata barang itu bisa berguna di saat-saat seperti ini untuk dijadikan senjata saat terdesak. Ia harus berterimakasih pada England nanti.

.:Cute Lil Bro & Sis:.

"Pokoknya aku mau ganti rugi!"

"Tapi, barang yang sudah dibeli bukan lagi tanggung jawab kami. Kami tidak menyediakan garansi." China dengan susah payah berusaha menjelaskan ketentuan tokonya pada pelanggan yang tiba-tiba datang dan langsung komplain. Padahal ia sudah siap-siap berangkat untuk menjemput semua adik angkatnya hari ini, tiba-tiba saja seorang pelanggan menghancurkan semua rencananya. Dari raut wajah si pelanggan, entah bagaimana China tahu ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Tapi dirinya tidak punya pilihan lain.

"Tetap saja! Barang murahan macam apa yang baru dipakai sehari langsung rusak?"

"Keluhan seperti ini baru kami terima hanya dari anda, berarti kesalahan bukan pada barang kami. Mungkin dari cara pemakaian anda. Apa manualnya sudah dibaca?" Sekali lagi ia berusaha menjelaskan sekaligus menenangkan amarah si pelanggan.

"Kau mau bilang kalau aku yang teledor!?"

Sudah bertahun-tahun China menjalankan usaha keluarga turun temurun ini, sehingga ia tahu benar jenis-jenis pelanggan. Mulai yang terima apa adanya, sampai pelanggan yang dalam otaknya hanya berisi pokoknya-harus-dapet-ganti-rugi-karna-barangnya-rusak, seperti yang dihadapinya sekarang. Ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa hanya pelanggan inilah yang mengajukan komplain sehari setelah barang elektronik yang dijualnya dikirim ke rumah. Biasanya tiga hari.

Menangani pelanggan seperti ini memang butuh kesabaran dan waktu yang cukup lama, sehingga ia menyerahkan pekerjaannya sementara pada para bawahannya.

.:Cute Lil Bro & Sis:.

'BRAK!' 'BOING' "Aduuuh…."

England yang merasa familiar dengan suara itu segera menoleh ke arah pintu disamping fakta bahwa siapapun itu, adalah orang yang tidak sopan karena berani masuk ke kantornya tanpa mengetuk pintu.

"Maaf mengganggu tiba-tiba, tapi anda harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan wanita ini."

Gangguan di pagi hari. Kemarin baru saja ia merancang ulang pertemuan dengan beberapa klien karena kesalahan kecil pada laporan yang dibuat oleh anak buahnya. Sekarang apa? Dua orang pria yang mendobrak pintu dengan mendorong tubuh seorang wanita? Sungguh tidak tahu etika. Awas saja alau sampai masalah hari ini membuatnya lagi-lagi batal menjemput kedua adiknya yang manis.

England bangkit dari kursinya dan segera menghampiri dua orang berbadan tegap dan wanita yang ia kenali sebagai Ukraine. "Aku tidak tahu apa yang ia lakukan pada anda berdua, tapi perlakuan kalian pada seorang wanita sama sekali bukan sikap seorang gentleman," ucapnya tenang seraya membantu Ukraine berdiri karena sempat didorong dengan kasar oleh salah satu dari pria tak dikenal itu.

"Wanita ini mencuri uang dan beberapa benda berharga dari tempat kami!" tunjuk salah satu pria pada Ukraine.

"Bu-bukan! Aku bukan pencuri!" Ukraine menggeleng cepat untuk meyakinkan England. 'BOING'

"Nah tuan, dia bilang dia bukan seorang pencuri. Asal kalian tahu menuduh tanpa bukti itu kejahatan yang serius," England menggantungkan kalimatnya selagi melipat kedua lengan di depan dada.

Salah satu pria di hadapan England merasa sedikit terintimidasi dengan sikap tenang pemuda itu. Namun pria yang satu lagi justru kembali menyerang, "Hanya wanita ini yang berada di tempat kejadian saat semua uang dan barang hilang!" Dengan tiba-tiba, ia mencengkram pergelangan tangan Ukraine, "Ayo mengaku saja, Nona! Atau kulaporkan polisi sekarang juga!"

"Aww!" 'BOING'

"Hei! Lepaskan dia! Lagipula kalau dia memang mencuri, seharusnya dia membawa semua barang curiannya, kan? Apa kalian punya bukti?"

"Cih, mungkin saja dia memberikan pada komplotannya untuk dibawa kabur agar terlepas dari tuduhan," balas pria itu. "Dan, mungkin saja kau lah orang itu…."

Bola mata England membesar. Tak disangka ia ikut menjadi tersangka dari sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengannya.

Beberapa detik pasca tuduhan tak berdasar itu, England kembali mendapatkan kendali dirinya. Ia berbalik ke kursi dan menyambar jasnya dengan cepat lalu memakainya.

"Antar aku ke tempat kalian, panggil saja polisi kalau perlu, karena aku yakin kalau aku dapat membuktikan diriku sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal ini."

"Ck. Sok hebat!" Salah seorang pria itu berbalik keluar pintu.

"Dan tolong lepaskan tangan kotormu dari dia." England menyambar tangan Ukraine supaya terlepas dari genggaman pria kasar itu. Pria kasar itu pun mendecih kesal.

Kedua pria tersebut berjalan di depan, sedangkan England dan Ukraine mengikuti di belakang mereka.

"A-anu, England….maafkan aku…." 'BOING'

"Tidak usah minta maaf kalau kau memang tidak melakukan hal yang salah," jawabnya segera.

"Mmm….kalau begitu, terima kasih." 'BOING'

England diam saja. Otaknya sedang berpikir, dan suara dada yang kebesaran milik Ukraine itu benar-benar mengganggu konsentrasi.

.:Cute Lil Bro & Sis:.

"Yo, Neth!"

Netherland mendelik kesal ketika seseorang yang sangat ia kenal memunculkan sebagian kepalanya dari balik pintu tanpa mengetuk.

"Aku sibuk. Tolong jangan ganggu."

"Oh ya ampun temanku yang satu ini, sibuknya enggak berhenti-berhenti deeh…." Pemuda berambut coklat itu memasuki ruangan Netherlands dengan santainya.

"Temanmu? Ck."

Tanpa diminta dan disuruh, Spain sudah memposisikan dirinya duduk dengan santai di kursi empuk di depan meja Netherlands. Sambil membolak-balik kertas di atas meja tanpa arti, ia bertanya pada mantan teman sekolahnya itu "Kemarin gimana?"

"Gimana apanya?" Netherlands balik bertanya tanpa sekalipun menoleh pada Spain karena masih sibuk dengan kerjaannya yang tidak kunjung selesai.

"Emm….Romano….ada di tempatmu?"

Kali ini Netherlands mendongakkan kepalanya.

"Memangnya Romano tidak kau jemput?"

Spain mendesah. Kenapa Netherlands selalu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan kembali.

"Berarti Romano masih ada di tempat Switzerland, ya…." ucapnya dengan nada tidak jelas bertanya atau memberi pernyataan. "….dia pasti marah," gumamnya.

"Berarti kau juga tidak menjemput Indonesia, ya?"

Alih-alih mengangguk, Netherlands mendesah, "Ada kerjaan yang benar-benar tidak bisa kutinggalkan kemarin." Dari nada bicaranya, Netherlands juga terdengar sangat menyesalkan hal itu.

"Dan, tampaknya hari ini aku juga tidak bisa datang, bisa tolong sampaikan pada Indonesia? Kau mau pergi kesana sekarang, kan?"

Begitu mendengar permintaan Netherlands, Spain langsung bangkit dari kursi dan berdiri dengan bertumpu kepada kedua telapak tangannya di meja Netherlands. "Hoo! Berarti Indonesia bakal dititip di rumahku sehari, gitu?" seru Spain tak bisa menyembunyikan keantusiasannya. Dan entah mengapa ada bunga-bunga bermekaran di sekitarnya sebagai background.

'CREP!'

Tiba-tiba Netherlands menancapkan pisau—yang entah dari mana—di meja, tepat di hadapan Spain. Bunga-bunga yang mermekaran pun layu dan mati dalam sekejap.

"Jangan harap," kata Netherlands mengancam dengan penekanan di setiap suku katanya. Spain langsung berkeringat dingin.

"Tugasmu hanya menyampaikan pesanku, itu saja," lanjut Netherlands dingin. Tentu saja daripada menitipkan Indonesia di rumah orang macam Spain, membiarkan Indonesia tetap di tempat Switzerland adalah pilihan teraman.

Padahal waktu sekolah dulu, Netherlands adalah korban penindasannya. Kenapa sekarang dia jadi lebih galak begini? Kira-kira begitulah pikir Spain.

Beruntung, sedetik kemudian pintu diketuk. Setidaknya dapat menghilangkan suasana tidak nyaman di ruangan yang tidak terlalu luas itu.

Kemudian dari balik pintu muncullah seorang gadis dengan bandana hijau menghiasi rambut ikal berwarna karamel miliknya.

"Be—"

"BELGIEE!" teriak Spain memotong ucapan Netherlands.

Spain menghambur dan memeluk Belgie, "Waaah, udah lama banget ya!"

"Uhm, iya…ya…" jawab Belgium ragu harus bereaksi seperti apa.

"Bisa enggak kau hilangkan kebiasaanmu untuk langsung menyentuh orang lain? Terutama keluargaku," ancam Netherlands yang tahu-tahu sudah berada di samping mereka berdua.

.:Cute Lil Bro & Sis:.

Pagi itu dengan perasaan tidak menentu, Hungary merapikan selimut yang ditinggal makan oleh bocah-bocah di rumah Switzerland. Sambil melipat selimut itu satu persatu, Hungary berharap para kakak yang bodoh itu menjemput mereka hari ini. Yah, setidaknya lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

Sebenarnya Hungary juga sempat mengintip anak-anak di kamar mereka tengah malam saat suara-suara ribut terjadi. Ingin rasanya ia menyeruak masuk saat melihat Germany menangis dan segera memeluknya. Namun tampaknya peran itu telah diambil oleh Liechtenstain dengan cara yang berbeda. Meskipun tubuh Liechtenstain terbilang kecil untuk anak seusianya, ia memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibandingkan anak-anak lain.

Sesaat kemudian, pandangan Hungary tertuju pada kostum Halloween yang berserakan di lantai. Tampaknya anak-anak itu sengaja melempar kostum masing-masing ke sembarang tempat karena kecewa, kostum yang mereka buat dengan susah payah untuk mendapatkan pujian dari kakak-kakaknya ternyata sia-sia. Hungary tersenyum getir ketika merapikan tiap kostum dan menaruhnya dengan rapi di almari masing-masing anak.

Hungary kembali ke ruang makan, mendapati anak-anak yang bercanda seperti biasa. Mungkin kemarin anak-anak itu hanya meluapkan emosi sesaat. Mungkin saja hari ini mereka benar-benar sudah melupakan kejadian kemarin. Tadinya, Hungary mengira kekhawatirannya berlebihan, sampai…

"Hei Germany, aku belum mendapatkan kabar apa-apa dari Prussen. Kemungkinan hari ini dia akan telat—"

"Siapa itu Prussen?" Romano memotong perkataan Switzerland ketus. "Kita enggak kenal orang dengan nama itu, ya kan, Ger?" tanyanya seraya menatap Germany meminta persetujuan.

Meski sempat ragu, Germany tetap mengangguk.

Sesaat kemudian, bola mata Hungary tampak membulat kaget. Meski anak-anak ini sama sekali bukan adik-adiknya, ia tetap merasa terluka. Bagaimana mungkin anak sekecil mereka memberikan tanggapan sedingin itu. Ini semua gara-gara kakak mereka yang tidak tahu diri, meninggalkan mereka disini tanpa alasan yang jelas. Buat apa mereka semua mengangkat adik kalau akhirnya ditelantarkan seperti ini. Kebenciannya pada para kakak angkat mereka sama besarnya pada kakak kandung yang juga tega meninggalkan mereka disini dengan alasan pekerjaan.

Hungary segera menghampiri meja makan dan berkata dengan canggung, "Nah…nah… anak-anak, kalian enggak boleh begitu…. Sebentar lagi kakak-kakak kalian juga datang menjemput. Jadi, yang sabar, ya?"

"Kakak? Kita enggak punya kakak," ucap Malaysia dingin, tak ingin dibantah. "Ya, kan?" ia meminta persetujuan America, yang sedang melahap sarapannya dengan ganas.

"Hm? Oh, ya! Brother, NO. we, no brother," jawabnya dengan grammar yang berantakan. Ia kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Malaysia. Sukses! America mengangkat ibu jarinya.

Malaysia memberikan isyarat dengan mengerutkan dahi berkali-kali serta diam-diam menempelkan telunjuk ke depan bibir.

Germany yang sejak tadi tidak bersuara, meletakkan sendok dan garpunya. Hanya sesendok kecil mashed potato yang berhasil ia telan meski ia telah cukup lama duduk di meja makan tersebut. "Aku…sudah kenyang," katanya dengan suara lemah. Kemudian ia turun dari kursi dan berjalan gontai menuju ke kamar. Yang lain hanya memperhatikan Germany yang menjauh dari ruang makan dengan pandangan bingung.

Padahal tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Germany kecuali Liechtenstain dan Italy, namun Germany merasa sedikit terhibur karena semua temannya meneriakkan suara mereka yang tidak membutuhkan sosok kakak. Meskipun tidak terlalu setuju, jauh di dalam hatinya Germany merasa sedikit terhibur karena ternyata yang merasa kesepian bukan hanya dirinya.

Ia pergi dari ruang makan bukan karena merasa tidak senang oleh perkataan teman-temannya, melainkan karena ia ingin sedikit menghindar dari suasana yang tidak nyaman itu. Entah kenapa, ketika yang lain berkata bahwa mereka sudah tidak mempunyai kakak lagi, kata-kata yang keluar dari hati justru sebaliknya.

Germany benci kakaknya yang bodoh.

Germany sangat membenci kakaknya yang tidak pernah bisa membaca situasi.

Germany amat sangat membenci kakaknya yang tidak pernah peduli padanya.

Germany,

benci,

Prussen.

Akan tetapi, Germany tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia merindukan sosok kakaknya, meskipun ia benci akan kenyataan itu. Dan dialog di ruang makan bukan membantunya melupakan Prussen, justru semakin membuatnya teringat akan kakak bodoh itu.

To be continued...

A/N: Karena mengganggu kalo ditaro atas, saya tuli pesan di akhir aja. Daaaannn... MAAF YA UDAH NUNGGU LAMA, BUAT SIAPA PUN YANG NUNGGU KELANJUTAN FANFIC INI, MAAAAAAF! 2 TAHUN BOK! GILE! Sejujurnya chapter 7 ini udah di tulis dari kapan tau, tapi saya kekeuh enggak mau update sampai chapter 8 selesai di tulis, karena nyambung sampe masalah Prussen & Germany selesai. Sejujurnya yang chapter 8 belum selesai, tapi tinggal beberapa sentuhan di sana-sini, udah bisa di publish. Jadi saya memutuskan untuk update yang chapter 7.

Saya enggak ngerti kenapa akhir-akhir ini malah banyak yang review dan follow fanfic jadul ini. Tapi itu bikin saya tertohok se-tertohok-tohoknya (bahasa macam apa, ini?). Untungnya gara-gara itu saya jadi pengen cepet selesein ini supaya enggak di teror terus, hahahaha :D Jadi, kalau mau ini cepet beres atau cepet update, terrorlah saya di review, ato PM, ato twitter, ato lewat mimpi, ato apa pun. Itu bikin hari-hari saya enggak tenang kalo enggak nulis lanjutan fic ini :) Jadi, terima kasih yang udah neror saya baru-baru ini. I really appreciate it.

Sekali lagi maaf lama. Dan maaf juga kalau gaya bahasa saya (mungkin) akan berubah di chapter 8. Chapter ini udah selesai 2 tahun lalu, jadi saya rasa enggak banyak yang berubah. Tapi mulai chapter 8, kemungkinan banyak yang berubah. Berhubung banyak menerima pelatihan nulis dan sedang bekerja sebagai jurnalis, mungkin bahasa jadi lebih kaku. Tapi saya usahain enggak berubah, karena saya lebih suka gaya bahasa saya yang lama :) I'll do my best!

So, please tell me how do you think about this. Thank yoooouuu!

Mau bilang angstnya gagal banget juga gapapa kok (sadar diri...)