"Ayah." Ren berkata denga sopan, meminta perhatian Hibari. Ketika Ayahnya melihat ke arahnya, anak kecil tersebut dengan sengaja bertanya, "Kenapa dokter Shamal tidak mengunjungi kita lagi?"

Mengelus rambut anak tersebut, sang Cloud Guardianmenjawab dengan pertanyaannya sendiri. "Kenapa seorang dokter mau mengunjungi seseorang yang tidak sakit?"

Terlihat bingung, Ren memandang ke Ayahnya dengan mata penuh pertanyaan. Membenarkan posisi duduknya sehingga ia duduk tepat di depan sang Ayah. Anak tersebut bertanya, "Jika ayah tidak sakit, lalu kenapa Ayah tinggal di rumah sakit selama ini?"

Hibari mengernyit, senyum lembutnya berubah menjadi terbalik ketika ia berbisik lembut kepada anaknya yang keras kepala, "Aku akan keluar besok, bukan?"

Mengangguk pelan, anak laki-laki itu menerima fakta tersebut, setengah hati. "Bagaimana dengan luka jahitan," Ren meraih dahi Ayahnya. "Dan kantung mata di bawah mata Ayah," Ia menarik tangannya lagi untuk menyusuri di mana kantung mata ayahnya berada. "Ditambah, Ayah, kau terlihat lebih pucat daripada biasanya." Ren menusuk pipi Ayahnya, meringis. "Apa kau yakin tidak sakit?"

Menghela napas, Hibari meletakkan sebuah jari di barisan jahitan di dahi lembutnya. "Luka jahitan ini tidak berarti aku sakit," Ia menutup matanya. "Kantung mata di bawah mataku memberitahukan bahwa aku kurang tidur, aku terlalu khawatir apakah kamu tidur dengan baik di ruangan ini atau tidak."

Dia tidak sedang berbohong. Semua yang telah ia ucapkan merupakan bagian dari kebenaran. Ia hanya tidak memberitahukan anaknya segalanya, itu saja. Anak kecil seperti itu tidak perlu mengetahui penderitaan orang tuanya.

"Kulitku selalu pucat seperti ini." Ia membuka matanya lagi ketika ketukan pintu terdengar di kamar sepi itu.

Ren dengan otomatis melihat ke pintu, penasaran siapa yang datang pagi-pagi seperti ini. Kecemasannya, rasa penasarannya, menghilang saat Ryohei masuk ke dalam ruangan dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kau?" Ren bertanya, tanpa sadar mengingat bahwa pria yang baru masuk itu menggunakan setelan jas, rasa kewibawaan terasa di ruangan.

Ryohei melihat ke anak kecil yang bicara dengannya dengan nada senang. "Itu anaknya Muku—" Pria itu langsung menutup mulutnya ketika matanya beralih ke Hibari.

"Aku Ren," Menjulurkan tangannya, Ren mengenalkan dirinya, singkat, sederhana.

"Ryohei." Senyum sang penyuka tinju itu seraya menjabat pelan tangan kecil milik anak laki-laki itu, berhati-hati untuk tidak mencengkramnya terlalu keras. Ia mengalihkan wajahnya ke sang Cloud Guardian, mengambil kursi terdekat. Sun Guardianitu duduk di samping kasur, melihat lurus ke mata Hibari.

"Aku dengar kau mencampakkannya," Ryohei memulai, melihat Hibari ketika ekspresi wajahnya berubah.

Seperti sedang membaca buku bergambar, Hibari begitu mudah dibaca ketika tidak waspada, ketika lemah.

"Iya." Adalah jawaban lembut dari pasien di kasur. Matanya memberitahukan Ryohei sebuah jawaban yang berbeda, sebuah cerita yang lebih dalam dan rumit.

Mencemooh tidak percaya, Ryohei mengelus tangannya di kepalanya, seperti sedang mencoba dengan keras untuk melupakan fakta bahwa ia telah membaca pikiran Hibari.

"Kau mencintai ilusionis sialan itu, bukan?" Ryohei bertanya, suaranya mendadak serius dan berat.

"Tidak." Hibari menjawab. Bibirnya yang ditekan tidak luput dari pandangan Ryohei.

Menghela napas, Ryohei membetulkan dasinya, berkomentar tanpa wajah santai yang biasanya. "Kau pergi tanpanya."

Tatapan tajam Hibari mengakhiri pembicaraan, mengingatkan sang Sun GuardianVongola bahwa ada anak kecil di ruangan itu.

Mengerti makna dalam di balik tatapan tajam itu, Ryohei berdiri, menjulurkan telapak tangannya.

Tanpa ekspresi, Hibari berbalik, tangannya meraih ke balik bantal untuk mengambil kotak kecil dan sebuah surat. Meletakkan keduanya di telapak tangan yang lain, Hibari memandang saat Ryohei membuka kotak kecil tersebut. Sebuah Cloud RingVongola yang bersinar di bawah sinar matahari kecil yang menembus awan dan menyusup masuk ke dalam kamar.

Menutup kotak itu, Ryohei memegang surat tersebut, dalam diam bertanya apa dan untuk siapa itu.

Hibari menunjuk ke bagian depan surat itu, di mana sebuah nama sang penerima surat tertulis dalam tinta hitam, tulisan Hibari.

"Berikan itu kepadanya ketika semuanya terselesaikan."

"Semuanya?" Ryohei bertanya, suaranya ditebali dengan keraguan.

"Tentang aku dan dia."

Ryohei, sedikit kebingungan bagaimana untuk pergi, ia memutuskan untuk keluar dengan meninggalkan tiga kata;

"Hari ini berawan."

Dengan itu, Ryohei pergi. Memegang kotak cincin kecil berisi cincin yang mewakili sang Awan, sebuah surat, dan rahasia dari Hibari Kyoya yang sepertinya tidak akan diketahui oleh orang lain selain ia dan Ren. Setidaknya, tidak sampai akhir.

.

.

.


- Chapter 8 : A Cloudy Day -


Original Story by Citrus Sunscreen

Translated by hibalicious and Rokudo Renna

Disclaimer KHR (c) Amano Akira. Let Me Leave Three Words Behind (c) Citrus Sunscreen

Warning(s) OOC, Yaoi, M-Preg, OC, Chara Death


.

.

.

"Rokudo Mukuro."

Ren mendesis. Matanya menajam; jelas menunjukkan bahwa ia tidak mau bertemu pria itu. Sementara Mukuro tertawa kecil, matanya berkilat dengan kegembiraan, menunjukkan betapa ia sangat menikmati semua ini.

"Ren." Mukuro mendekat, perlahan-perlahan berjalan menuju anak yang memandangnya melalui cermin.

Berbalik dengan cepat, Ren mengambil tas sekolahnya yang ditempatkan di samping kasurnya. Melonggarkan dasinya sedikit, ia berbicara dalam nada yang, di luar dugaan, terdengar tenang. "Aku tidak mau melihat sesuatu sepertimu," Ia membuka pintu depan rumahnya.

"Terutama di pagi hari seperti ini." Dan melangkah ke luar, mengunci pintu dan meringis ketika ia bisa melihat, ia bisa mengingat bagaimana kedua tangannya pernah terlihat begitu merah ketika bermandikan darah.

Meraih ke dalam tasnya, Ren mengambil sebuah payung. Hari sedang tidak hujan, tetapi langit terlihat mendung. Ia tidak ingin melihat awan di pagi hari seperti itu. Tidak ketika ia harus pergi ke sekolah, tidak ketika awan mengingatkannya kepada semua hari di mana Ayahnya dan ia menghabiskan waktu menunggu.

Menunggu sesuatu yang sekarang pun ia tidak begitu yakin apa.

Hari masih terlalu pagi, dan dia belum sarapan. Memutuskan untuk mampir dulu ke toko permen terdekat, Ren membeli sebuah lolipop untuk ditaruh di mulutnya seraya ia berjalan lambat ke sekolah, yakin bahwa ilusionis itu tidak akan mengikutinya.

Kenapa? Karena ia telah mengunci pintunya.

Meskipun begitu, ia berhenti. Tangannya mendadak lemas, menjatuhkan payung. Ia ingat tidak pernah membuka pintu yang telah ia kunci ketika pria itu masuk.

Mengutuk, Ren mengambil kembali payungnya, memayungi sosoknya yang sudah basah; ia berlari kencang menuju sekolah, berharap tidak bertemu dengan orang itu selama perjalanan.

- oOo -

"Menyingkir."

Sebuah kata yang sederhana, memerintah dan tegas. Ancaman terlihat menggelegak di balik satu kata itu, menunggu untuk dilepaskan, namun terhalang dengan kesabaran yang terbatas milik sang ketua Komite Kedisiplinan.

Mukuro melihat k pemuda yang lebih pendek dengan tatapan kosong, mengesampingkan perintah langsung itu. Mukuro menjulurkan tangannya, memayungi sang pemegang tonfa yang kebasahan dengan payungnya.

"Hari ini mendung, jadi bawalah payung untuk jaga-jaga."

Hibari memandang yang lain dengan tatapan heran, seperti ia sedang berusaha untuk mengatakan 'Kau datang jauh-jauh ke Namimori hanya untuk memberiku payung?' Sang Awan yang tidak ramah itu mengerjap sebelum berjalan menjauh dari apa yang ia anggap sebagai perusak pemandangan.

"Kyoya!" Mukuro berseru, mengejar dari belakang dengan payungnya di tangan.

Dengan spontan, Hibari berbalik, dengan cepat memberikan Mukuro sepersekian detik untuk berhenti. Hibari melihat ke pemuda yang lain. "Jangan menggangguku."

Menyeringai, Mukuro tertawa. Suara tawanya berdering di telinga Hibari.

"Hari ini tidak akan hujan."

Seperti sedang mengejeknya, hujan mulai turun, terpantul oleh payung yang melindungi mereka berdua dari hujan.

Mengutuk, Hibari menyambar payung yang ditawarkan padanya. Dia berjalan menjauh sendiri, meninggalkan Mukuro untuk berdiri di tengah hujan.

Berhenti, Hibari diam di tempatnnya, tidak melihat ke belakang, menunggu sang ilusionis untuk menyusul. Itu adalah caranya untuk mengucapkan 'terima kasih'.

- oOo -

Menghela napas, Tsuna merapikan jubah kusutnya, melangkah keluar dari dalam bayangan.

"Sepertinya kau benar-benar dibenci, Mukuro."

Mukuro tidak mengatakan apapun, hanya duduk di bangku dapur. "Tempat ini tidak berubah sama sekali setelah bertahun-tahun lamanya." Dia melangkah ke dapur kecil, menyusuri tangannya yang bersarung di permukaan sebuah kulkas. Sebuah kulkas yang bersih dari catatan kecil, dan magnet.

"Kau tahu, Tsuna," Mukuro memulai seraya ia melihat ke arah Tsuna, "Kulkas ini pernah dipenuhi oleh banyak gambar, foto,"

Ada jeda ketika Tsuna melangkah ke arah sang ilusionis, menunggunya untuk melanjutkan.

"Dan temboknya, temboknya tidak sepolos ini; dihiasi oleh banyak lukisan dan foto." Menghela napas, Mukuro berjalan melewati Tsuna, keluar dari dapur dan ke arah meja makan. "Tempat ini dulunya memiliki aroma seperti 'rumah'."

Berbalik, jubahnya ikut berputar dengan gerakan sang pemilik, Tsuna tersenyum. "Aku yakin anak itu hanya sedang melalui masa yang semua anak laki-laki jalani."

Mengangguk, Mukuro mengernyit, seperti sedang berpikir keras.

Khawatir, Tsuna meletakkan sebuah tangan di bahu parternya. "Ayo. Kita harus menemukan anak itu. Paling tidak kita harus membawa anak Hibari-san ke keluarga Vongola kita."

"Tidak."

Keterkejutan terlihat jelas di mata Tsuna. "Ap—"

Mukuro melangkah ke arah Tsuna, mengangkat dahunya sehingga Tsuna melihat lurus ke dalam matanya. Mukuro mendekat, berbisik lembut di bibirnya. "Aku sudah mengatakan kepadamu sebelumnya; aku yang akan membuatnya bergabung. Ingat?" Melepaskan pria itu, Mukuro melangkah ke pintu depan. "Ingat untuk membawa payung, Tsuna. Hari ini mendung."

Tersenyum malu, Tsuna mengungguk, berharap yang terbaik untuk Mukuro. Sementara Mukuro memasukkan kuncinya ke lubang kunci, memutarnya perlahan, membuka pintu depan yang dikunci oleh Ren.

- oOo -

Membuka kunci lemari, Ryohei mengambil surat yang ia simpan dengan baik. Nama Rokudo Mukuro tertulis dalam huruf bersambung, sebuah tulisan rapi yang dibuat dengan hati-hati. Ryohei menyusuri tulisan itu dengan jarinya.

"Berikan itu kepadanya ketika semuanya terselesaikan."

"Semuanya?" Ryohei bertanya, suaranya ditebali dengan keraguan.

"Tentang aku dan dia."

"Semuanya." Ryohei berbisik, berpikir kepada dirinya sendiri. "Saatnya tiba." Dia melihat ke luar jendela, sebuah senyuman tulus terlihat di wajahnya. "Hari ini merupakan hari yang mendung," Senyumnya sedikit memudar dan dia melanjutkan perkataannya. "To the extreme."


- T s u z u k u -