Warning: AU. OOC. ANOTHER HIGH-SCHOOL FIC FROM mysticahime. Not very keen on romance. Mostly friendship. DON'T LIKE DON'T READ. C&C is accepted. Reviews are received with open-hearted. Different POV in every chapter. NOT A CHARA BASHING FIC!

Disclaimer: I never own Naruto. All is Masashi Kishimoto's masterpiece. Just borrow the characters for my own fiction.

Enjoy.

.

.

.

.

mysticahime™
proudlypresents

another high-school fic

Inspired from dorama 'Dragonzakura'

© 2015

.

.

.

.

Don't be dubious to move forward

Don't be afraid to fight your way

'Cause you're not alone

We're all...

X~*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*~X

Under The Same Sky

X~*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*~X

.

.

.

.

Chapter 13: Kiba — Vacation

Aku pertama kali bertemu Yamanaka Ino saat musim semi di tahun ajaran pertama.

Saat itu, ia terlihat seperti gadis remaja yang mengenakan seragam asing—butuh waktu beberapa saat bagiku untuk teringat bahwa seragam itu adalah seragam perempuan di SMA Konoha. Butuh waktu beberapa saat lagi bagiku untuk mengagumi rambut panjangnya yang terlihat begitu lurus dan berkilau.

Butuh beberapa detik untuk menikmati bagaimana angin musim semi menyibak roknya.

Aku pertama kali berkenalan dengannya saat mendapati kami berada di kelas yang sama. Tidak heran, dengan total tujuh orang siswa, sudah sepatutnya kami semua berada dalam satu ruang kelas. Orangtua kami tidak sekaya itu sampai-sampai bisa menyekolahkan kami di sekolah privat—atau sekolah biasa dengan kelas-kelas satu lawan satu dengan guru masing-masing. Kaupikir aku membenci keadaan itu?

Tidak sama sekali.

Dengan keadaan begitu, aku bisa mengamati Ino sesuka hatiku, tanpa ada yang menyadari.

.

.

.

.

Aku pertama kali bicara dengan Ino pada suatu saat yang tidak terduga. Saat itu menjelang libur musim panas pertama kami di sekolah menengah, dan hujan turun tiba-tiba tanpa ada yang mengira. Kebetulan sekali, kakakku selalu memaksaku untuk membawa payung lipat ke sekolah. Katanya, siapa yang bisa menerka cuaca.

Baru kali itu aku berterimakasih pada Hana-neesan.

"Cuacanya menyebalkan." Saat itu, aku masih membereskan peralatan tulisku ke dalam tas, merasakan kibasan ekor Akamaru yang bergoyang senang karena mencium aroma hujan. Pemilik suara itu, Ino, tengah memandangi langit mendung dengan awan bergumpal-gumpal yang sudah mulai menitikkan hujan ke atas tanah. Bibirnya berkerut, mengerucut, bingung. "Sepertinya aku akan terlambat."

Terlambat? Tidak perlu tertawa, aku tahu ini konyol. Seringkali aku mencapati diriku begitu awas akan keberadaan Ino, telingaku selalu berhasil mendengar kata-katanya meski ia hanya berucap lirih. Perlengkapanku berhasil masuk ke dalam tas, kututup risleting rapat-rapat setelah mengeluarkan payung yang selalu kubawa setiap hari.

"Aaaahhh, mengesalkan..."

"Mau pakai payungku?"

Ino menoleh, terlihat terkejut. Saat itu, kelas sudah kosong. Anak-anak lainnya sudah pulang semenjak guru matematika kami menyatakan sudah waktunya pulang sekolah. SMA Konoha tidak punya bel yang berdering setiap kali satu pelajaran usai. Bel itu baru kami miliki setelah kelas dua.

"Bicara padaku?" tanyanya, mengerjapkan sebaris bulu mata lentik yang membingkai mata. Hmmm. Aku mulai no-rak.

Nada bicaraku sangat angkuh. "Ada orang lain di kelas ini selain kita berdua?"

Ino menggeleng pelan. Menjawab soal ketiadaan teman sekelas kami yang lain.

Aku bangkit dari kursi, menyandang tasku di bahu kiri dengan asal-asalan, kemudian mendekati meja Ino. Akamaru mengekor di belakangku, ekornya mengibas-ngibas senang.

Payung itu kuletakkan di meja Ino yang sudah dirapikan. Gadis berambut pirang itu menunduk sejenak memperhatikan payungku, kemudian mendongak dan menampilkan ekspresi ragu-ragu.

"Bagaimana denganmu?" tanyanya kebingungan.

Kukedikkan bahu dengan gaya yang kurasa keren. "Aku masih ada perlu di sekolah. Kurasa hujannya tidak akan lama lagi. Kau kelihatan terburu-buru, jadi..."

Ino tidak menunggu kalimatku selesai. Matanya tampak berseri-seri. "Baiklah! Besok akan kukembalikan—tunggu, siapa namamu?"

Ino sama sekali tidak ingat siapa aku... Padahal hanya ada tujuh orang di kelas kami...

"Inuzuka," aku berlagak cuek, padahal ingin rasanya kurenggut jantungku sendiri lalu kuinjak-injak saking depresinya. "Gih. Nanti makin telat."

Gadis itu tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan gaya yang—menurutku—sangat cantik, kemudian berlalu dari kelas dengan langkah terburu-buru. Selang beberapa menit kemudian, aku menyusul menerobos hujan. Tidak peduli pakaianku basah kuyup dan rambutku lepek tersiram hujan, aku berjalan sambil tersenyum. Senang karena bisa membantu Yamanaka Ino.

Aku pulang dalam keadaan habis diterjang badai. Hana-neesan memarahiku karena mengira aku kelupaan bawa payung.

Tahu tidak?

Aku sama sekali tidak peduli.

.

.

.

.

"Kiba?"

"Kibaaaaa?"

Ada tangan digoyang-goyangkan di depan wajahku.

"Buset 'dah, dia malah bengong liat cewek berbikini itu. Ckck. Saking nggak pernah punya cewek, kali ya?"

Aku segera tersadar sewaktu mendengar komentar usil Naruto, kemudian meninju lengannya. "Nggak juga, cewek yang itu kurang hot." Jawab asal saja, yang penting Naruto tidak bawel menggangguku lagi.

Naruto, yang mengenakan celana pendek plus kemeja pantai yang tidak dikancing, menaikkan kacamatanya hingga berada tepat di atas kepala. "Serius? Yang kayak begitu masih kurang hot?" Kepalanya ditolehkan untuk memandang cewek berbikini garis-garis merah-putih yang baru saja lewat. "Itu-nya gede banget, coooy." Kemudian, ia geleng-geleng kepala sendiri.

Kutoyor saja kepalanya kuat-kuat. "Jadi cowok mesum banget, kalau sampai Sensei dengar, liburan kita hari ini langsung diputus, tahu. Ma-uuuuuuu?"

Naruto terkekeh ringan sambil memasang kembali kacamata hitamnya. "Aku nggak mengerti seleramu."

"Kayak Kiba pernah mikirin cewek aja." Komentar itu datang dari Shikamaru, yang wajahnya masam sekali, sambil mengipas-ngipas dirinya menggunakan kipas bundar. "Siapa sih, yang mengusulkan supaya kita semua liburan di pantai begini. Udaranya panas. Menyebalkan."

"Ino!" jawab Naruto—terlihat terlalu bersemangat untuk ukuran orang yang menyetujui ide liburan milik orang lain. "Katanya, untuk musim panas ini dia mau menco—buseettt, kawan, lihat siapa yang datang!"

Aku, Chouji, Shikamaru, dan Sai langsung menengok ke arah yang ditunjuk Naruto—sementara Uchiha Sasuke si wajah batu terlihat tidak bergeming dari posisinya yang sedang membolak-balik majalah dengan bosan.

"Itu... Ino?" Cara Chouji mengucapkannya seolah-olah tidak percaya bahwa gadis yang sedang berjalan ke arah kami memakai bikini warna biru adalah Ino, bukannya model yang sedang istirahat dari jadwal pemotretan dan ingin menjaring mangsa anak sekolahan yang lugu.

"Wow. Aku nggak pernah menyangka di balik seragam sailor yang culun itu ada lekuk tubuh yang indah!" Untuk mempertajam kekagumannya, Naruto bersuit nyaring. Norak sekali.

Sedangkan aku? Aku hanya mampu ternganga beberapa saat sampai tiba-tiba kepalaku dipukul menggunakan sesuatu yang tumpul dan menyakitkan.

"Kalian persis cowok-cowok nggak laku." Suara Sakura terdengar dari belakang kami—yang buru-buru berbalik ke belakang untuk menyaksikannya mengenakan bikini seksi. Sayangnya, di luar dugaan, Sakura malah mengenakan dress bertali halter sepanjang lutut dengan motif hibiscus yang menghapuskan imajinasi nakal dari kepala kami, cowok-cowok nggak laku, kalau mengutip kata-kata Sakura. "Hapus liur tolol dari wajahmu, Inuzuka. Wajahmu mesum banget."

Ketika aku menggunakan punggung lenganku untuk menggosok bibir, tawa mereka semua berderai begitu keras.

Mengesalkan.

Liburan kali ini kami sepakati untuk melakukan kegiatan menginap bersama di Zushi, sebuah pantai yang terletak di Semenanjung Miura, bagian dari Teluk Tokyo. Sensei yang memilihkan pantai itu ketika kami semua sepakai dengan `pantai` sebagai tujuan kami, dengan alasan perjalanannya tidak memakan waktu yang lama dan keuangan kami yang pas-pasan sudah merangkum semuanya. Kami akan melewati tiga hari dua malam di sini, menginap di penginapan murah meriah untuk bermain dan, ugh, belajar.

Tapi, siksaan semengerikan belajar pun terdengar tidak menakutkan, karena sepadan dengan melihat Ino memakai bikini!

Ino yang tidak tahu apa-apa soal pembicaraan kami mendekat tanpa curiga. "Kalian semua mau main voli pantai?" tanyanya sambil nyengir lebar. Kami-sama, betapa aku suka senyumannya yang seperti itu... "Tadi kulihat beberapa orang di sebelah sana asyik bermain voli pantai dan sepertinya seru. Kita bisa bertanding dalam dua tim."

"Aku tidak ikut."

"Pass."

Dua orang, Sakura dan Sasuke, langsung menyatakan ketidakikutsertaan mereka sebelum yang lain sempat memberikan reaksi. Lain halnya dengan Chouji yang sedang menghabiskan semangkuk es serut.

"Bagaimana kalau aku jadi wasitnya?" katanya tanpa rasa bersalah, "Tapi, krauss, setelah aku kenyang, ya."

Banyak alasan. Bilang saja dia mau enak-enakan di bawah payung pantai sambil makan kakigori dan menikmati pemandangan cewek berbikini.

"Aku ikut." Tanpa diduga-duga, Sai, si murid baru, menggabungkan diri. "Satu tim denganmu, ya?"

Sesaat, Ino terlihat kaget—aku tidak tahu kenapa—lalu sebelum aku sempat menyela, gadis itu keburu mengangguk. "Oke, satu tim, ya. jadi, sisanya... umm, Naruto dan Kiba?"

APAAAAAAAAAA?!

Namun, di luar dugaan, Naruto memamerkan cengiran penuh rasa bersalah.

"Aku... mau di sini aja, sama Sakura-chan." Kata-kata Naruto langsung membuat Sakura mendelik kepadanya. "Memangnya kau mau berduaan saja dengan si Teme yang ini?" tanya Naruto sambil mengangkat-angkat alis, gayanya menyebalkan sekali. Sakura mengerucutkan bibirnya pertanda tidak setuju.

Berarti...

Yang tersisa...

Cuma...

.

.

.

.

"Kenapa. Harus. Aku."

Kening berkerut. Mata melotot. Wajah nyolot. Semua itu cukup untuk mendeskripsikan bagaimana ekspresi Nara Shikamaru yang terpaksa berada dalam di kubu yang sama denganku sementara Ino tampak begitu ceria di seberang sana, sedang membisikkan sesuatu kepada Sai yang manggut-manggut dengan wajah serius. Berbeda dengan suasana gembira di seberang sana, di pihakku hanya ada dua anak laki-laki yang terlihat tidak senang dengan situasi ini.

Shikamaru—karena dipaksa bermain voli pantai.

Aku—karena Ino berakrab-akrab ria dengan Sai.

"Hora."

Yang jadi wasit, tak lain dan tak bukan, adalah wali kelas kami sendiri yang datang sangat terlambat. Alasannya, ia menemukan seorang wanita tua yang kebingungan arah menuju penginapan sehingga terpaksa mengantarkannya ke penginapan yang dimaksud.

Terima kasih, Kami-sama... Kau menempatkanku dalam situasi yang begini menyebalkan.

"Kalian siap?" Kakashi-sensei menjepit peluit di bibirnya.

"Shikamaru," aku mengawasi Ino yang sedang bersiap-siap melakukan serve di seberang sana, "tolong jangan membuat tim kita kalah."

PRIIIITTT...!

Pertandingan berlangsung seru, kejar-kejaran angka terus terjadi—dan kebanyakan karena kesalahan konyol. Seperti Shikamaru yang sering sekali diam saja bila ada bola melaju dengan kencang menembus pertahanannya. ("Untuk apa, nanti malah kena mukaku.") Atau, ketika Sai terlibat obrolan yang seru dengan Ino sehingga mengabaikanku yang sudah susah payah membuat smash yang patut diacungi jempol. Naruto begitu bersemangat menyoraki kami dari bawah payung pantai, "KIBAAAAA! KALAU KALAH KAU HARUS LEPAS CELANA PENDEKMU LHOOOOO!" dan semacamnya.

Hingga muncul saat yang tepat, Ino yang tidak pandai melakukan smash mencoba memukul dengan keras ke arahku—aku sudah siap mengantisipasi serangan tim lawan yang tidak kuat-kuat amat—dan aku menatap matanya. Akuamarin yang begitu memukau sehingga tanpa sadar aku menahan napas, dan...

JDAK!

"Kiba?!"

"Ah! Kiba, maafkan aku!"

"Kiba? Kiba? Kau bisa dengar aku?"

"Hei, hei, jangan mengerubunginya begitu. Lebih baik kita bawa dia ke pinggir."

...kegelapan menjemputku tanpa aba-aba.

.

.

.

.

Pintu kamarku digeser hingga terbuka pada sore hari, ketika semua orang bersenang-senang setelah melewatkan waktu antara makan siang dan makan malam dengan mengerjakan tiga ratus soal pengetahuan alam dasar di ruang tengah. Di luar dugaan, Sakura datang ke kamarku.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya, tidak memberikan sapaan sama sekali. Kemudian, ia menempatkan diri pada jarak tertentu di sebelahku, membiarkan kakinya terayun-ayun dari teras kamar hingga telapak kakinya tergelitik rumput.

"Baik."

"Kau yakin?" Kedua alisnya terangkat tinggi. "Kau mimisan tanpa henti sehingga kami harus dua kali mengganti kasa di hidungmu."

"Tentu." Aku mendengus kuat-kuat sehingga kasa yang menyumpal hidungku terlempar dan lenyap di antara rerumputan. Cih. "Aku oke."

Gadis itu mengedikkan bahu satu kali kemudian memandang pada taman yang berada di sekitar penginapan. Meskipun biaya sewanya murah, penginapan tua yang kami tempati cukup terawat dan apik. Kamar anak laki-laki menyediakan pemandangan taman beserta teras rendah yang bisa dipakai duduk-duduk sambil minum soda saat tengah malam, sedangkan kamar anak perempuan memiliki teras yang dikelilingi oleh pagar kayu.

"Yang lain di mana?" Karena sempat pingsan tadi siang, aku mendapatkan mandat dari Sensei supaya beristirahat sepanjang hari ini, terlebih karena aku melewatkan jatah makan siang dan hanya sempat mengunyah satu onigiri kecil yang sama sekali tidak mengganjal perut.

"Main." Sakura memandang lurus ke depan. "Katanya, Naruto membawa kembang api air mancur. Sekarang mereka beramai-ramai kembali ke pantai untuk bermain lagi."

"Kau tidak ikut?" tanyaku acuh tak acuh. Kedekatanku dengannya bisa dibilang nyaris nol—ia tidak menyukaiku sama seperti aku tidak terlalu menyukainya. Sakura adalah tipikal anak rajin yang selalu berusaha lebih keras dalam hal pelajaran, sehingga selalu memandang remeh pada anak-anak lain yang tersortir ke dalam kategori pesolek dan pemalas. Aku dengan sukarela masuk ke golongan terakhir karena bisa dibilang salah satu penyebabku masuk ke SMA Konoha adalah karena aku tidak diterima di semua SMA yang kudatangi.

"Tidak," jawabnya ringan.

"Tidak?"

"Tidak."

"Lho, kukira semua anak perempuan suka pantai dan kembang api."

"Semua anak perempuan... atau hanya Yamanaka Ino?" Sakura mengedikkan bahu lagi. "Aku tidak terlalu suka dua hal itu."

Sudah kuduga. Cewek memang macam-macam. Tapi, sama saja ribetnya untuk ditebak.

Melihatku tidak bicara apa-apa, gadis itu menoleh. Zamrudnya terlihat membara dalam remang-remang lampu kuning yang tergantung di atas kami. Untuk beberapa saat, kami berdua hanya diam dan saling menatap, seolah-olah dalam hati masing-masing bertanya apa yang harus kami lakukan sekarang. Aku tidak diizinkan ke pantai, Sakura tidak ingin ke pantai. Apa yang harus kami lakukan?

"Kalau ada Naruto di sini," kucoba memulai percakapan meskipun rasanya kagok, "pasti dia sudah mengajak kita semua perang bantal, deh. Taruhan."

Di luar dugaan, Sakura terkekeh. Aku tertegun.

"Benar juga," katanya. "Anak itu memang tidak bisa diam. Selalu saja ada masalah yang dibuatnya, kan? Ingat bagaimana ia hampir ketinggalan kereta tadi pagi? Sai sempat merekam bagaimana ia berlari-lari menerobos kerumunan orang sampai akhirnya berhasil masuk ke dalam kereta. Kacau."

"Sepertinya kita tidak bisa tenang selama ada Naruto di sini," aku terpaksa menyetujuinya. "Kata Shikamaru, tadi Naruto sempat mengajak tanding untuk berebut bendera pantai, lalu ia malah ditegur oleh penjaga pantai karena dianggap membahayakan anak-anak kecil."

Sekali lagi, Sakura tertawa kecil, mungkin berhasil mengingat-ingat bagaimana tingkah Naruto tadi siang saat aku sudah dievakuasi ke kamar. Berbeda dengan Haruno Sakura yang serius dan pedas saat bicara, Sakura yang ini terlihat begitu santai dan menyenangkan. Nyaris sama menyenangkannya melihat Sakura tertawa dan Ino tersenyum.

"Sakura, tahu nggak?" Aku mencebikkan bibir, berpikir-pikir bagaimana cara mengatakannya tanpa membuat suasana canggung di antara kami.

"Apa?" Ia berhasil meredakan tawanya untuk menjawab.

"Kau cantik kalau tertawa. Jadi... sering-sering ketawa, ya?"

Mata Sakura melebar saat mendengarnya, dan sebelum ia sempat bereaksi apa-apa, pintu kamar sudah dibuka dengan sentakan kuat oleh siapa pun yang datang.

"HAAAHHHHH, CAPEKNYAAA. MENYEBALKAN BANGET KEMBANG APINYA TERSERET OMBAK—" Naruto memasuki kamar sambil melepaskan kaus lengan buntungnya dan melemparkan baju itu ke sembarang arah.

"Salahmu sendiri meletakkannya di garis pantai." Sai terlihat geli dengan tingkah Naruto yang berlebihan.

"SEHARUSNYA GELOMBANGNYA TIDAK SEJAUH ITU—EH, ADA APA DENGAN KALIAN BERDUA?" Suara Naruto makin meninggi saat menemukan aku dan Sakura di teras, "KENAPA KALIAN PACAR-PACARAN SELAMA KAMI NGGAK ADA? SENSEEEEEEIIIIII!"

Ya ampun...

.

.

.

.

Liburan musim panas kami masih tersisa dua hari.

.

.

.

.

●●●To be Continued●●●

.

.

.

Author's Bacot Area

Satu chapter yang super ringan, I guess? Sudah lama sekali saya nggak menulis kelanjutan UTSS ini, dan saya beberapa kali mengubah ide untuk chapter yang ini. Dimulai dari inginnya menceritakan soal keluarga Kiba, lalu diganti dengan episode cinta pertama Kiba (saja!) dan berakhir menjadi seperti ini :) Yang bikin saya senang adalah saya bisa menggambarkan kedekatan mereka sedikit demi sedikit, bagaimana mereka bersembilan mulai saling terikat satu sama lain—tapi sebel juga saya nggak bisa munculin banyak Chouji dan Kakashi di sini. Sasuke juga, huuh. Sepertinya, ini chapter khusus Kiba dan para cewek. Ngeharem aja, dasar anak muda.

2357 kata untuk ceritanya aja. Semoga cukup menghibur untuk kalian yang (katanya) kangen dengan kelanjutan cerita ini. Chapter depan tau kan jatahnya siapa? Mari kita tunggu kelanjutan liburannya, hihi.

Nggak kerasa, udah 4 tahun sejak saya mulai UTSS ini, lalu kok agak kesal ya ceritanya baru sampai chapter 13. Apa yang saya lakukan selama 2 tahun belakangan?! Oke, sindroma magerita—mager tiada tara. Apalagi kalo tumben-tumbenan dapet libur kayak gini. Hmmm. Liburan saya udah mau selesai dong. Sebal.

Terima kasih sudah membaca! Jangan sungkan-sungkan kasih feedback karena saya senang sekali kalau ada yang komentar. Hihi.

Me ke aloha,
mysticahime
Bandung, 23082015, 00.15 am