A/N: Hai~! (readers: *bawa pentungan dengan muka marah*)

Waa.. Gomenasai, minna! Diserang kemalasan, ujian, tugas, anime, malas, yah intinya itu. Tapi ada sedikit writer's block juga! DX

Makasih atas semua reviewnya, akhirnya aku bisa update juga. XD

Maaf kalo ngga jawab satu-satu. haha

Sekarang Mugi, ya? Bisa dibilang ini semacam sisi gelapnya hidup Mugi.

Text dalam tulisan miring: 3rd POV

WARNING: OOC


Love Stories: Mugi

By: AzraeLiv G.M.A

Disclaimer: K-ON is not mine!

Ritsu berdehem, "Oke, setelah aku siapa?"

Tsumugi melirik Yui sebentar; Yui melirik balik. Tidak ada yang berkomentar dan akhirnya, "Biar aku saja," Tsumugi berkata

Ia menarik nafas dalam, "Aku menjalani kehidupan SMP di Amerika."

Aku berjalan penuh hati-hati di tengah kepadatan lorong sekolahku, berusaha mencapai lokerku tanpa membuat insiden yang tidak perlu.

Dengan sistem moving class, lorong sekolah SMP Saint Mary memang pasti dipadati dengan begitu banyak murid untuk mengejar pelajaran berikutnya hanya dengan waktu sekitar 5 menit.

Aku segera memutar kombinasi kunci lokerku, menaruh buku yang sedang kupegang sekarang dan mengambil buku untuk pelajaran berikutnya, matematika.

Semua dilakukan serba cepat, dan hanya dalam waktu singkat, aku sekarang sudah duduk dengan tenang di salah satu kursi.

Aku mengamati pintu masuk dengan tenang, menatap orang-orang yang berdatangan dan menduduki tempat duduk berpasangan.

"Kau duduk sendirian?" Ritsu bertanya.

Cewek yang biasa dipanggil Mugi itu menjawab dengan gugup, "Aku.. adalah orang yang biasa dibilang 'loner' di tempat itu."

Keempat cewek yang mendengarnya menarik nafas kaget, Mugi hanya tersenyum pahit.

"Mugi, kalau ini terlalu berat untuk diceritakan.." Mio dipotong oleh gelengan kuat Mugi."Tidak apa-apa, lagipula cerita ini masih jauh lebih baik dibandingkan cerita Ritsu. Tidak ada salahnya sedikit berbagi."

Sekarang, semua kursi sudah ditempati kecuali kursi di sampingku. Aku menatap kursi di sampingku itu dengan nanar, apakah kursi itu akan terisi hari ini? Aku menggelengkan kepala cepat. "Tidak seharusnya aku peduli," pikirku

Tiba-tiba, kelas matematika sudah dipenuhi suara dan canda tawa itu menjadi hening. Aku mengalihkan perhatianku ke depan dan menemukan seorang guru yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Ia menatap kami satu persatu dan berhenti sebentar padaku, mungkin ia merasa heran, seorang gadis yang duduk sendirian di pojok belakang tanpa teman.

Guru tersebut memperkenalkan dirinya, "Hai semua. Namaku Vincent. Vincent Valentine." Beberapa murid mulai berbisik dengan temannya sambil tertawa. Aku mengernyit heran, Vincent Valentine? Vincent Valentine yang 'itu'?

Ia tersenyum melihat reaksi kami, "Katakanlah orangtua memang kadang menyebalkan. Tetapi apalah arti sebuah nama. Mari kita langsung saja mulai dengan pelajaran matematika ini."

Mr. Valentine terlihat begitu bersih dan rapi. Ia berpenampilan seperti typical nerd dengan kacamat yang bertengger di hidungnya.

Aku mendesah kecil, bersamaan dengan keluhan murid-murid lain, tanpa perkenalan lebih dalam? Setidaknya bagaimana dengan sedikit penjelasan akan guru kami yang lama?

"Bila kalian bertanya-tanya kemana perginya Ms. Juliet, ia menikah dengan seorang asing dan ikut dengan suaminya ke negara tersebut."

Aku mengangkat salah satu alisku, memangnya dia apa? Pembaca pikiran?

"Buka halaman 32," dan, dimulailah pelajaran yang tidak disukai oleh kebanyakan murid.

"Mugi-senpai ternyata skeptis," Azusa menatap Mugi tidak percaya.

"Tidak sekarang, pengalaman di Amerika membuatku berubah menjadi seperti ini."

Aku loner. Aku membuat dinding pertahanan untuk diriku sendiri. Ayah dan ibuku selalu menasihati untuk berhari-hati dan waspada, apalagi aku sebenarnya orang yang sangat kaya. "Semua orang hanyalah manusia egois yang memikirkan dirinya sendiri," kuulang perkataan itu terus menerus dalam hati.

Aku tidak terlalu memperhatikan pelajaran hari ini.

Guru ini hanya mengulang apa yang sudah diajarkan Ms. Juliet pada pertemuan sebelumnya, tetapi murid lain tampak memperhatikan dengan serius. Mungkin karena mereka tidak mendengarkan saat itu.

Harus kuakui, cara mengajarnya jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada Ms. Juliet, tetapi pelajaran yang diulang tetap saja membosankan.

Aku memandang ke luar jendela, tanpa sadar tanganku bergerak lincah di atas meja sesuai dengan melodi yang kulantunkan dalam hati. Musik memang satu-satunya pelarianku. Kehidupan sangat kaya yang dikekang memang tidak mudah.

Tanpa kusadari, sepasang mata terus mengamatiku sampai pelajaran berakhir.

'RING!' Bel berbunyi nyaring. Setelah ini, jam makan siang. Dengan cepat aku mengambil buku yang tercecer di atas meja dan berjalan keluar diikuti dengan murid lain yang mendesah lega.

"Kamu," Aku mendengar suara guru itu. Aku cukup yakin ia tidak memanggilku, jadi aku terus berjalan cepat.

"Hey, Kamu! Rambut panjang pirang dan alis tebal." Akhirnya merasa dipanggil, aku berhenti dan menoleh pada guru baru tersebut, ia menatapku dengan sebuah senyuman, "Ya, Kamu."

Aku mendekatinya, "Nama saya bukan 'kamu', Kotobuki Tsumugi. Ada perlu apa, Mr. Valentine?" Aku kurang suka perhatian. Panggilannya membuat beberapa cewek orang melihat ke arahku dan berbisik-bisik.

Aku tidak suka itu.

"Kamu kira saya tidak melihat bahwa kamu tidak memperhatikan pelajaran?" Ups, ketahuan.

"Pelajaran yang bapak ajarkan sudah pernah diajarkan oleh Ms. Juliet"

"Bukan alasan. Temui saya setelah sekolah selesai di kantor." Ia pergi meninggalkanku begitu saja. Dengan decakan kecil aku ikut keluar dari kelas itu dengan cepat.

"Ia sepertinya menyebalkan," Yui cemberut.

"Ia memang sangat menyebalkan.. awalnya"

Sekolah yang membosankan dan tidak terlalu menarik menjadi semakin buruk setelah aku dipanggil oleh guru itu. Setiap detik yang berjalan bagaikan neraka bagiku. Apalagi dengan serangkaian pelajaran yang semakin lama semakin sulit saja.

Akhirnya bel terakhir berbunyi, namun aku belum lepas dari neraka ini.

Aku mengambil HPku dan menekan serangkaian nomor yang sudah sangat kuhafal.

"Sam, tunggu sebentar, aku pulang agak sore. Aku ada kegiatan tambahan." Suara di seberang hanya menjawab, "Baik, Nona." Aku menekan tombol 'end' dan menaruh kembali HPku ke dalam tas.

Aku melangkahkan kakiku dengan malas ke kantor guru. Lorong yang setiap hari kulewati, lantai yang sama, langit-langit yang sama. Aku mengerang kesal.

'TOK TOK' Aku mengetuk pintu pelan dan memasuki ruang guru. Mr. Valentine melihatku dan beranjak dari kursinya. Meninggalkan setumpuk buku yang masih menunggu untuk diperiksa.

"Bapak ada perlu apa dengan saya?" Tanyaku ketika ia mendekatiku.

"Tidak disini, Mugi." Aku menaikkan salah satu alisku, sudah memanggil nama kecilku? Memangnya kau siapa?

Ia berjalan menjauhi ruang guru. Denganku di sebelahnya, kami menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi, maklum, weekends. Aku semakin heran dengan tindakannya yang begitu tidak terbaca. Tidak tertebak.

Ia memasuki di salah satu ruangan yang jarang kukunjungi sebelumnya, ruang musik. Jarang kukunjungi karena aku memiliki piano sendiri di rumah, untuk apa aku bermain di tempat ini?

"Mainkan," Ia menunjuk grand piano yang terdapat di ruangan itu.

"Untuk apa?" Aku berdiri kaku.

"Untuk kudengarkan, tentu saja," Ia duduk di atas kursi yang tersedia, tidak jauh dari grand piano itu.

"Untuk apa?" Kuulangi pertanyaan tadi. Aku tidak menyerah begitu saja.

Ia tersenyum mengejek, "Karena daripada hanya melihat jarimu menekan-nekan mejamu, akan jauh lebih menarik melihatmu memainkan piano."

Ah, jadi selain ia menyadari bahwa aku tidak memperhatikannya, Ia juga menyadari bahwa aku memainkan piano bayangan. Namun, aku belum selesai.

"Saya hanya menekan jari asal saja, sama sekali tidak ada dasar piano. Anda salah bila berpikir saya dapat bermain piano. Kalau anda sudah selesai dengan semua ini, saya mau pulang."

Mr. Valentine menampakkan berbagai ekspresi. Kaget, geli, tertantang. Ia bangkit dari meja itu dan mendekatiku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat perbedaan tinggi yang cukup mencolok. Aku menatap matanya tajam, ia melakukan hal yang sama. Matanya coklat tua, dari jauh terlihat hitam, hidungnya mancung dan rahangnya tegas, dan ternyata dagunya ditumbuhi janggut tipis.

Ia menyenandungkan lagu yang sangat familiar. Ia tersenyum sombong, mungkin perubahan ekspresiku begitu jelas. "Masih berusaha mengelak? Aku bisa menebak nada-nada yang kau mainkan tadi, kau kaget?"

Dengan kesal dan perlahan aku duduk di atas kursi dan menaruh jariku di tuts piano. Fur elise selalu menjadi lagu favoritku.

Terdengar dentingan piano memenuhi ruangan, rangkaian nada yang indah, rangkaian nada yang disenandungkan guru itu tadi. Saat memainkan piano rasanya begitu melayang, tanpa peduli apapun di dunia, rasanya.. bebas.

"Dia jago!" Yui berkomentar.

"Untuk mengetahui nada di piano bayangan, lebih dari jago," Azusa menimpali.

Aku menekan tuts terakhir dan mengakhiri permainanku. Mr. Valentine bertepuk tangan, "Ternyata kau jago."

"Terima kasih atas pujiannya, sekarang boleh saya pulang?"

Ia menatapku tidak percaya, sepertinya ia mengharapkan aku menjadi lebih baik dan lembut padanya. Jangan mimpi.

"Yah, silahkan." Akupun beranjak dari kursi piano dan keluar dari ruangan itu dengan pandangan Mr. Valentine mengikutiku.

Aku berjalan keluar dari wilayah sekolah. Menyusuri jalan yang terbuat dari batu-batu kecil dengan cepat. Tak lama kemudian aku sudah berada di sebuah wilayah kota yang cukup sepi.

Aku melihat sebuah mobil panjang, limo, yang familiar dan menaikinya tanpa berbicara lagi. "Jalan, Sam."

Dan limo melaju menyusuri jalan yang cukup padat.

"Mugi memang kaya sejak lahir," Ritus menggelengkan kepalanya

"Tetapi, saat itu lebih parah daripada sekarang. Aku hanya dapat pergi ke sekolah, pulang. Ke sekolah, pulang."

Esoknya aku melihat jadwal dan menemukan satu fakta yang menyebalkan. Matematika lagi pada pelajaran terakhir.

Aku mendesah kecil. Sekali lagi, hariku menjadi menyebalkan. Moodku sedikit membaik pada pelajaran musik. Tetapi tidak bertahan lama karena makan siangku tumpah karena seseorang menabrakku. Bukannya meminta maaf, cowok menyebalkan itu malah berkata, "Hati-hati dong!" Hal klise yang menyebalkan. Sebelum kau bertanya, tidak ada percik-percik cinta seperti yang ada di komik-komik. Itu menjijikkan!

Saat itupun datang juga, Matematika. Materi baru yang diberikan Mr. Valentine membuatku, mau tidak mau, memperhatikannya. Aku baru menyadari bahwa ia tidak setua yang kubayangkan.

Dari tampangnya, mungkin sekitar umur 23an, namun itu mungkin faktor baju formal yang dipakainya sekarang, dengan tinggi sekitar 178 cm. Rambut hitam berponi yang rapi dengan sedikit rambut abu-abu tersebar. Tidak terlihat seperti orang Amerika kebanyakan, mungkin ia seorang asia. Ia selalu kalem dan tenang. Kacamata itu, selain membuatnya terlihat culun itu juga memperlihatkan dirinya yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi.

Ditutup dengan pemberian PR matematika, yang disambut erangan murid-murid, sekolah telah selesai.

Seperti biasa, aku keluar kelas dengan cepat. "Mugi!" Aku menoleh dengan tampang kesal, "Ya?"

Sekali lagi, Mr. Valentine menghambatku pulang dengan tampangnya yang sok-tak-bersalah. "Aku kemarin melihatmu pulang naik.." Mataku membelalak secara refleks

Aku mendekatinya cepat agar ia tidak menyelesaikan kata-katanya. Ia melihatku. IA MELIHATKU! Aku sudah memilih tempat yang tersembunyi dan jarang dilalui murid, maupun guru Saint Mary. Tapi, guru ini!

"Jangan membicarakan hal itu di sini, Sir," Aku berkata pelan hingga terdengar seperti desisan.

Ia mengangkat salah satu alisnya heran namun cepat tanggap, "Kalau begitu mari berbicara di tempat lain."

Dan disinilah aku sekali lagi, ruang musik, Mr. Valentine menatapku, menuntut penjelasan.

Aku menjelaskan tanpa menutupi fakta. Aku orang kaya, aku tidak ingin kekayaanku diketahui. Pendapatku akan keegoisan manusia. Dinding pertahananku.

Kata-kata tersebut mengalir begitu saja, begitu mudahnya. Tetapi semua itu tidak menutupi bahwa aku masih tidak mempercayainya. Semua manusia punya sesuatu yang buruk dengan diri mereka.

Ia memperhatikanku dengan seksama, "Aku tidak seburuk itu," katanya, "Akan kubuktikan bahwa tidak semua manusia egois seperti yang kaukatakan tadi."

"Untuk apa? Biarkan aku sendiri. Aku tidak apa-apa begini. Lagipula kau sudah mengetahui semuanya, apa yang kau mau dariku sekarang?"

"Aku setuju dengan guru itu, ternyata Mugi benar-benar berbeda dengan dulu," Ritsu berkomentar

"Aku memang banyak berubah, aku sudah memberitahu kalian bukan?"

"Kepercayaanmu. Aku tidak percaya ada orang kaya yang freak seperti ini dan aku akan mengubahnya."

"Tidak perlu merepotkan diri anda sendiri."

Ia menghela nafas dan melakukan hal yang tidak kuduga. Ia duduk di atas meja, salah satu kakinya ia angkat ke atas meja. Dasi yang melingkar rapi di lehernya ia longgarkan. Ia bahkan membuka dua kancing kemejanya dari atas. Rambutnya ia acak-acak, membuat rambut yang tadinya rapi menjadi messy gorgeous. Aku ngomong apa tadi? Mr. Valentine berubah menjadi cowok umur 20an dan terlihat nakal. Berbeda jauh dengan kesan yang ia telah berikan selama dua ini.

"Anggaplah ini sebagai ganti rahasiamu yang tanpa sengaja kuketahui. Aku benci harus berpakaian formal seperti ini," Ia menatap kemejanya yang berwarna telur asin dengan kesal.

"Untuk apa anda melakukan semua ini?" Aku menatapnya tak percaya.

"Aku ingin lebih dekat saja dengan murid kelasku yang terlihat sendiri dan begitu sinis. Oh, and skip the formalities. Panggil saja aku Len. Aku lebih suka dipanggil begitu."

"Tak disangka-sangka. Ia begitu perhatian," Mio bergumam.

"Lalu, iakah cintamu? Apa yang terjadi dengannya?" Yui bertanya penasaran.

"Cerita ini masih cukup panjang," Mugi mendesah.

Maka, dengan kesepakatan yang terjadi secara searah. Setiap hari, aku menjadi pelayan Len. Membawa buku ini itu, mengerjakan soal ini itu, memanggil guru maupun murid yang lain, dan berbagai tugas lain. Walaupun awalnya aku sangat kesal, namun Len berhasil membuatnya mengerti bahwa manusia tidak seburuk itu. Orang lain tidak sesegois itu.

Lambat laun dengan bergantinya hari, dapat dengan mudah ditebak, aku jatuh cinta pada guru itu. Guru matematika yang lain daripada yang lain.

Menjerit dalam hati setiap namanya dipanggil oleh guru itu. Jantungnya berdetak tidak karuan setiap guru itu menyentuhnya. Memandangnya seperti orang bodoh saat ia mengajar di kelas, yang membuatnya terkena hukuman, dan aku senang, karena itu artinya lebih banyak waktu yang dihabiskan dengan Len.

Aku menjadi sangat out of character.

Sekarang sudah tahun ajaran terakhir, semester terakhir. Sudah sekitar 3 bulan aku mengenal seorang Len. Len yang baik, unik, dan nakal. Len yang tegas. Len yang usil. Len, satu-satunya cowok yang pernah kucintai selama SMP. Kadang aku kesal sendiri, mengapa Len tidak muncul dalam kehidupannya lebih awal. Persahabatan dengan yang lain lambat laun terjadi. Setidaknya ia sekarang memiliki seseorang yang dapat diajak mengobrol, tanpa Mugi merasa skeptis dengannya.

Namun, berita pada hari itu. Saat Len mengajakku ke ruang musik, menghancurkan hatinya berkeping-keping.

"Aku akan menikah pada bulan Juli."

Rasanya.. mati. Ingin menangis, namun tidak ada airmata. Ingin berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Gelap.

Namun ternyata belum berakhir sampai di situ.

"Maukah kamu menjadi bride's maid di pernikahanku?"

Belum cukupkah kau menyakitiku?

"Namanya Yuffie, ia penuh dengan semangat dan energi. Kau pasti menyukainya."

Mengapa kau memberiku begitu banyak harapan dengan kebaikanmu?

"Ia begitu berbeda."

Dan menghancurkan perasaan ini hanya dalam satu kalimat?

"Aku begitu mencintainya," Len menatapku dengan senyum bahagia.

Aku pun mencintaimu. Sangat.

"Mugi.." Mio menatap Mugi khawatir.

Ternyata tanpa sadar, setetes air mata mengalir di pipi keybordist itu.

"Mugi-chan! Jangan menangis. Cup. Cup. Cup. Ada balon.." PLAK! Kata-kata Yui dipotong oleh jitakan dari Ritsu dan Azusa.

"Ia bukan anak kecil!" kata mereka berdua serempak.

Mugi menghapus airmatanya, mengambil nafas dan melanjutkan ceritanya, "Sudah hampir ending."

Berhari-hari, aku mengurung diri di kamarnya. Keluar hanya untuk sekolah, itupun kujalani dengan sedih. Menangis dalam hati, setiap saat.

Orang tuaku yang baik menanyakan hal ini kepadaku. Aku, yang sudah berada dalam titik terbawahnya, memutuskan untuk menceritakan semuanya. Dari awal sampai akhir tanpa ada yang diputus.

Orang tuaku terlihat sangat kaget mendengarnya, memang aku tidak terlalu diperhatikan karena kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaannnya, namun bukan berarti mereka tidak menyayangiku.

"Mugi, jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang?" tanya papa lembut.

Aku menatap orang tuanya. Mamanya tersenyum menguatkan, "Semua terserah kamu. Apapun yang ingin kamu lakukan, kami akan mendukungmu."

Apa yang ingin aku lakukan? Aku tidak pernah memikirkan itu. Aku jelas tidak mau menjadi bride's maid di pernikahan Len. Terlalu sakit. Aku tidak mau hadir di pernikahannya. Bahkan, aku sama sekali tidak mau tinggal di sini lagi.

"Aku tidak mau tinggal di sini lagi. Aku mau pindah," kuutarakan permintaanku.

Orang tuaku tersenyum, "Mama dan papa sudah lama ingin pindah ke Jepang." Aku memeluk kedua orang tuaku dengan sangat erat.

"Jadi... Mugi-senpai kabur?" Azusa bertanya memastikan.

"Ya, aku kabur. Aku mengubah hidupku dengan total. Memasuki sekolah khusus wanita agar tidak perlu merasakan ini lagi. Mengikuti klub ini agar aku dapat bergaul dengan baik. Hasilnya.. Aku sangat bersyukur."

Keempat cewek lainnya saling berpandangan. Merasakan kepedihan Mugi.

"Aku tidak pernah mendengar kabar akan Len, Amerika, Saint Mary. Semua hanya kenangan pahit."

Semuanya berusaha untuk menghibur Mugi. Namun, Mugi menggelengkan kepalanya.

"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Yui, giliranmu sekarang."

Mio, Ritsu, dan Azusa menoleh dengan cepat. Memberikan tatapan yang berisi ancaman 'cepat mulai sekarang agar dia tidak sedih terus!'

"Ahhh... Umm... Jadi."


A/N: Don't forget to Read and Review!

Hmm.. Menurutku pribadi, cerita ini alurnya sangat mudah ditebak. DX

P.S. If you read and review my story, I'll definitely read and review your stories! ^^