A request from my imouto, Sachan

Happy Read, Imouto!

.

.

.

Naruto

© Masashi Kishimoto

.

.

.

Sebuah Kutukan

© sacha sacchi

.

.

.

"Kutukan hanyalah bualan, Hinata. Tak akan ada yang terjadi pada kita berdua. Tidak meskipun Haruno Sakura membayangi kita berdua. Aku akan selalu mencintaimu."

.

.

.

Sakura tersungkur. Perih menjalari setiap jengkal tubuhnya. Kedua kakinya seolah tak sanggup lagi bergerak. Badannya nyeri tiada tara di sana-sini. Kedua tangannya serasa diinjak sampai remuk. Dan lagi, rasanya ia baru saja dihantam dengan beton di puncak kepalanya. Tak heran darah mengucur deras dari beberapa bagian tubuh semulus porselennya. Kini rasa sakit itu bertambah. Janin di dalam rahimnya menendang-nendang keras tanpa ampun. Ya, ia sedang hamil tua. Tapi Sakura bukanlah sosok yang cengeng, maka jangan heran bila ia tak meneteskan setitik air mata pun di tengah rasa sakit yang menjalari tubuhnya.

Sakura pun mencoba berdiri.

PLAKK

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipinya. Helai-helai rambut merah mudanya pun bergerak seirama gerakan tangan sang Uchiha muda. Sakura terhuyung, ia kembali tersungkur. Helai-helai rambut tadi jatuh berlawanan arah dengan gerakan tangan sang Uchiha muda. Ruam kemerahan pun tampak jelas tercetak di pipinya.

Sekali lagi, ia tidak menangis. Tidak sama sekali. Air matanya telah dikuras habis oleh kejamnya hidup. Spesifiknya, oleh Uchiha Sasuke—suaminya. Hanya sang Uchiha muda yang mampu menguras sumur air matanya. Hanya sang Uchiha muda, dan kejamnya ia.

"Kenapa?" Sakura mencoba bangkit sembari bertanya lirih.

"Kenapa kau melakukan ini padaku?" nada bicaranya tetap sama.

"Bukankah aku istrimu?" ia mengadu tatapan sendunya dengan sorot kegelapan dari onyx Uchiha Sasuke. Cukup. Cukup sudah ia simpan unek-uneknya di lubuk hati yang terdalam. Semuanya harus diungkap mulai saat ini.

"Kenapa, Sasuke?" ia menaikkan satu oktaf dari nada bicara yang sebelumnya ia gunakan.

Sasuke memandangnya jijik. "Kenapa?" ia memajukan tubuhnya mendekati Sakura, "Kenapa katamu?" ia menarik dagu sang istri.

"Karena aku tidak pernah mencintaimu! Karena kau membuatku terdepak dari Uchiha! Karena kau menjauhkanku dari Hyuuga Hinata! Karena kau mengandung anak sialan itu!" ia menyentakkan wajah cantik tersebut.

Untuk kalimat terakhir, Sakura kembali meneteskan air mata yang telah mengering entah berapa lamanya. Ini anaknya, tak ada seorang pun yang boleh menghinanya, termasuk suaminya. Bayangkan, ibu mana yang tega mendengar hinaan untuk anaknya? "Ini anakmu, Sasuke-kun," Sakura mencoba bersabar dengan menambahkan embel-embel sayang pada nama suaminya.

"Tapi aku tak sadar sewaktu melakukannya, Sakura!" ia membentak wanita cantik itu untuk yang kedua kalinya. Sakura terisak. Hatinya masih nyeri mendengar hinaan dari sang suami untuk anaknya.

"Meskipun begitu ini tetap anakmu! Kau tak berhak menghinanya!" Sakura meneriakinya.

"Peduli setan!" balas Sasuke. "Aku tak pernah berharap mempunyai anak darimu!" ia menjauhi Sakura.

"Apa karena aku bukan seorang Hyuuga Hinata?" Sakura bertanya dengan wajah memelas. Nada bicaranya turun satu oktaf, membuat tanyanya terdengar seolah rajukan dari seorang bocah. "Benar, kan?" ia tersenyum paksa.

"Ya, ya, kau benar!" tidak dengan Sasuke, ia tidak menurunkan satu oktaf pun dari nada bicaranya. Ia berjalan menuju sofa.

"Kenapa? Kenapa kau sama sekali tak menganggapku? Kenapa?" Sakura bertanya dengan nada frustasi. "Aku. Aku yang mencintaimu, Sasuke!" ia kembali menangis.

Sasuke mengambil gelas yang ia letakkan di meja beberapa menit lalu, ia belum "Karena aku tidak mencintaimu. Sama sekali tidak," ia memainkannya.

"Lalu, lalu kenapa kau menikahiku?" Sakura berusaha untuk mengeluarkan kalimat tanyanya di tengah tangis yang menerjangnya. Tangannya bergerak mengelus perut buncitnya.

"Formalitas, Sakura! Formalitas!" Sasuke membanting gelas tersebut hingga pecah berantakan. Beberapa pecahannya menancap di kaki Sakura, membuat wanita cantik itu meringis. "Tidakkah kau mengerti bagaimana formalitas dijunjung tinggi dalam Uchiha?" ia menendang pecahan-pecahan tersebut.

"Kini sudah saatnya semuanya berakhir. Aku telah menikahimu sehingga nama keluargaku telah bersih sepenuhnya. Statusmu dan anak itu pun jelas. Jadi, aku ingin kau angkat kaki dari rumah ini. Dan jangan pernah muncul lagi dalam kehidupanku. Aku akan segera menikah dengan Hyuuga Hinata," kalimat barusan seolah menjadi tombak yang menghujam Sakura. Yang benar saja, setelah ia disiksa selama tujuh bulan, tidak dianggap, dan sedang hamil tua, ia diusir dengan cara seperti ini? Dengan alasan seperti ini? Uchiha benar-benar tidak bisa dianggap sebagai manusia!

"Aku bilang, pergi!" Sasuke menyeret Sakura keluar menuju pintu gerbang. Sakura yang sudah tidak sanggup melakukan perlawanan hanhya bisa meronta-ronta sambil menahan sakit. Sesekali Sasuke mencengkeram erat pergelangan tangannya atau menjambak rambutnya lalu menyentakkannya. Sungguh, apabila Sakura diberi kesempatan kedua untuk mengulang segalanya, maka ia akan memilih untuk membesarkan anaknya seorang diri tanpa sudi menjadi istri seorang Uchiha. Oh, betapa cinta telah membodohinya.

Sasuke membanting tubuh penuh luka Sakura di luar pintu gerbang. Samar-samar terlihat raut wajah Sakura yang meringis kesakitan, ia memegangi perut buncitnya. "Jangan pernah menampakkan dirimu di hadapanku lagi, perempuan hina!" Sasuke meninggalkan Sakura yang masih tersungkur di luar pintu gerbang. Ia mengunci gerbang besar itu dan menggemboknya, lalu melangkah arogan menuju salah satu rumah milik klan Uchiha yang ditinggalinya. Bersamaan dengan itu, hujan deras turun dengan acuhnya.

Sakura masih meringis kesakitan, perlahan ia mencoba untuk duduk. Masih dengan memegangi perut buncitnya, ia berseru, "AKU TAK AKAN PERNAH MEMAAFKANMU, UCHIHA SASUKE! AKU BERSUMPAH KAU AKAN HIDUP DENGAN KESENGSARAAN SEPERTI APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU! TUHAN AKAN MENGUTUKMU, UCHIHA! MENGUTUKMU!"

Sasuke mendengarnya. Ia mendengar sumpah serapah milik Sakura barusan serta bunyi guntur dan melihat kilatan petir yang mengiringinya. Tapi ia tak pernah ambil pusing. Kutukan hanyalah bualan untuk Uchiha. Diraihnya ponsel miliknya yang bertengger di atas meja, dipencetnya tombol-tombol imut di atasnya.

"Halo, Sasuke?" Mikoto Uchiha menyapa anak bungsunya.

"Kaa-san, besok tolong carikan baju pengantin untuk aku dan Hinata. Aku akan pulang," sasuke melirik jendela tinggi di sampingnya. Ia memperhatikan makhluk pink yang tertatih-tatih berjalan menjauhi rumah miliknya.

"Kau sudah mengusir perempuan itu?" Mikoto bertanya antusias.

"Hn. Sampai jumpa besok, Kaa-san," Sasuke mengakhiri perbincangannya. Ia kembali memperhatikan makhluk pink itu lagi. Kini makhluk itu tersungkur. Pingsan, mungkin. Sasuke menyeringai melihatnya. Lalu ia menyeringai kembali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebentar lagi ia akan kembali memperoleh kebebasannya tanpa istri tidak berguna di sampingnya.

Ia kembali menyentuh poselnya. "Buang wanita di depan rumahku ke dalam hutan."

Tapi Sasuke, tidakkah kau berpikir bahwa do'a orang yang tersiksa akan dikabulkan oleh Tuhan?

.

.

.

Hinata mematut refleksi dirinya di depan cermin. Kanan, anggun. Kiri, anggun. Ia berputar sekali lagi untuk memastikan dirinya benar-benar terlihat cantik dan anggun di pesta pernikahannya nanti. Ia tak mau ada cela sedikit pun yang menempel pada sosok cantiknya. Hinata tersenyum puas—membuatnya terlihat semakin manis dengan balutan gaun perak-birunya. Segera saja ia keluar dari fitting room.

"Sasuke-kun!" serunya riang. Tangan-tangan berbalut sarung tangan perak dengan sedikit sentuhan biru mudanya menjinjing sedikit bagian bawah gaun mewah tersebut hingga high heels perak bertali biru mudanya terpampang jelas. Oh, siapa pun pasti iri melihat gaun dan high heels tersebut begitu cocok dikenakannya sampai-sampai ia terlihat bagai putri raja yang nyasar entah kemana.

"Ya, Hinata?" Sasuke keluar dari fitting room berjarak dua bilik di sebelahnya. Jari-jarinya masih sibuk mengancingkan kemeja biru tuanya. Dirapikannya dasi yang bertengger di lehernya, berikut jas yang dikenakannya. Barulah ia memandang Hinata.

"Ba—bagaimana?" tanya Hinata malu-malu. Sasuke menatapnya dari atas sampai bawah, lalu kebalikannya.

"Sasuke-kun?" Hinata mencoba mengembalikan kesadaran Sasuke-kun -nya.

"Eh—itu cocok untukmu," Sasuke berkomentar singkat—padahal hatinya sudah kebat-kebit tak karuan melihat pemandangan menawan di hadapannya. Ia kemudian berbalik menuju fitting room yang tadi ditempatinya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Kalau kau menyukainya, ambil saja. Aku akan memakai yang ini."

Hinata tersenyum lembut.

Sasuke memandang sosoknya di cermin. Tampan. Ia tampan seperti biasanya. Lalu ia tersenyum mengejek. Memangnya apa yang kau pikirkan, Uchiha? Ia segera menanggalkan jasnya. Dilemparnya jas hitam tersebut dengan tangan kirinya. Jasnya jatuh menyentuh lantai. Ia menggeram kesal. "Ya ampun, Sakura. Apa sih yang kau lakukan di situ? Cepat ambil jasnya!" ia mengoceh masih dengan memandangi sosoknya di cermin. Ia menelengkan kepalanya ke kiri, "Sakura, kau dengar—Sakura?" Sasuke terkejut. Mana Sakura? Bukankah tadi ia melihat sosoknya di cermin? Tunggu, ini fitting room? Bukankah ia sedang berada di rumahnya? Sasuke merasa seperti orang bodoh. Yang benar saja, ia merasa seolah-olah sedang berada di rumah lamanya bersama Sakura? Oh, halusinasi bodoh. Sasuke mendecak. Disambarnya jas yang sedang berbaring di atas lantai yang dingin tersebut.

Sasuke melangkah keluar dari fitting room. Baru saja ia menutup pintu, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya. "Sasuke-kun!" Sasuke menoleh. Astaga, batinnya. Sakura, Sakura di depannya!

Sasuke terkejut. Bagaimana mungkin gadis ini bisa berada di depannya? Ia sungguh yakin, onyx-nya telah melihat sendiri bagaimana gadis itu diseret ke dalam jeep lalu dibuang ke dalam hutan. Tapi, tapi apa ini?

"Sasuke-kun? Daijobuka?" Hinata mengelus lembut pipi Sasuke. Sasuke tersadar. Bukan Sakura? Tanyanya dalam hati. Ia segera mengubah raut wajahnya seperti biasa. Disentuhnya jemari tangan lembut milik Hinata di atas pipinya, "Hn. Daijobu, Hinata. Ayo kita pergi," Sasuke menarik lembut Hinata.

"O—oke," sebenarnya Hinata agak khawatir dengan kondisi calon suaminya barusan, tapi batinnya berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Nyatanya, kadang batinmu salah mengira.

.

.

.

Sasuke berusaha sabar menghadapi macetnya jalan raya Konoha. Tapi—ugh!—siapa sih yang tahan begitu terjebak macet? Ayolah, mendengar namanya saja pasti kita bakal kehilangan semangat. Dan inilah Sasuke, dengan—berusaha—sabarnya ia rela duduk di atas jok satu jam lebih lamanya bersama dengan sang calon istri demi terbebas dari macet.

Hinata menoleh ke arah calon suaminya. Sasuke terlihat gelisah, dahinya berkerut, bibirnya tak henti mengeluarkan decakan, berkali-kali melirik jam tangan, berkali-kali ia melongok ke luar kaca mobil, dan berkali-kali ia menerima panggilan dengan nada bicara frustasi dari poselnya. Sebagai calon istri yang baik, tentu ia akan menenangkan calon suaminya, betul kan?

Maka ia memulai percakapan, "Sasuke-kun?"

"Hn." Jawab Sasuke. Tatapannya fokus pada jam tangannya, lalu beralih pada barisan mobil-mobil di depannya.

"Apa gaun tadi terlihat bagus untukku?" Hinata memainkan jari telunjuknya. Sungguh kebiasaan yang sulit dihilangkan.

"Hn." Respon Sasuke, masih terlihat gelisah.

Hinata tak puas, "Sasuke-kun…"

"APA SIH, HINATA?" Sasuke mulai tak sabar. Ia membentak Hinata secara spontan. "Kalau kau bertanya tentang gaun pernikahan, lain kali saja. Ada meeting yang lebih penting dari hal sepele itu," ia berkata dingin.

Sasuke baru saja terbebas dari macet, dilajukannya mobil hitam tersebut secepat mungkin.

Hinata tertunduk. Apa salah jika ia berusaha menenangkan calon suaminya? "Demo… Sasuke-kun—" Sasuke segera memotongnya, "Kubilang, LAIN KALI!" Hinata tertunduk lebih dalam. Ia mencengkeram erat blouse-nya. Bahunya berguncang. Ia menangis. Menangis karena Sasuke-nya membentaknya.

"Oh, Hinata. Ayolah, jangan cengeng!" Sasuke memijat dahinya. Isak Hinata mulai terdengar. "Berhentilah menangis, Hinata," Sasuke menjambak rambutnya sendiri. Frustasi.

"Sasuke-kun—" ia terisak, "—baru sekali ini membentakku—" Sasuke memasang telinganya baik-baik, "—padahal aku hanya ingin—" Sasuke menatap sosok Hinata, "—Sasuke-kun lupa sesaat akan kegelisahannya," Hinata menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah orientalnya.

Sasuke tertohok. Segera direngkuhnya tubuh Hinata ke dalam pelukannya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang kendali penuh atas setirnya. Sasuke memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikiran. "Maafkan aku, Hinata. Aku kalut."

Bodohnya, ia tak menghentikan laju mobilnya.

"Sasuke-kun, awas!" Hinata berseru. Sasuke melihat lurus ke depan setirnya, tinggal hitungan detik sebuah mini bus berhasil menabraknya. Sasuke segera membanting setir ke kanan, tepat ke arah sebuah taman bermain—tepatnya seorang bocah kecil. Sasuke panik berlipat ganda.

"Sasuke-kun!"

Sasuke hanya bisa berharap pada rem mobilnya.

.

.

.

To be continued

.

.

.

Helloo~ ^o^

Saya bikin fic baru nih, req dari adik tercinta—Sachan, yang ngebet banget ama SasuHina ==

Berhubung saya bingung mo dibikin gimana, ya saya bikin aja kayak begene. Sorry sorry aja nih ya kalo nggak sreg, abisnya saya dikejer-kejer tugas laknat. Lagian tuh tugas udah saya tolak mentah-mentah masih aja ngejer (?) ==a

Alur mungkin atau memang belum jelas, biar saya jelasin. Di sini Sasuke dan Hinata bakal ditimpa kesiala bertubi-tubi dan hidup nggak tenang karena Sakura yang sakit hati sama Sasuke trus ngutuk bocah Uchiha satu itu. Contohnya aja chapter di atas waktu SasuHina berantem, hampir ketabrak minibus, sama yang terakhir itu tuh. Untuk ending-nya—apakah SasuHina bakal bebas dari kutukan ato enggak, kita liat aja nanti.

BTW, makaseh yang udah review ato yang baca dua fanfic baru saya di FNI: Bukan Cinderella dan Missing You. Love you all, deh :*** tapi maap yah, belom apdet lagi, eheheh ^^a

So, mind to review? Dapat pahala lhoo~

-sacha sacchi-