Disclaimer : Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya

Warning : OOC. Typo. Boy's Love. AU. SpaMano. Slight other pairing (RussPruss. AsaKiku. GerIta). Brother Complex. Adult!Duo Italy. Teen!Bad Friends Trio.

Writer's note : Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan update fic ini. Mau mengelak dengan alasan barter pun, tetap tidak mengurangi kenyataan kalau aku agak menghiraukan fic ini.

Please forgive me, readers

m(_ _)m


Capítulo 04

Confusión


"Kau tidak ada maksud tidak hebat yang lain kan?"

Gilbert bertanya tajam. Mereka berdua berada di depan pintu Ruang Kesehatan tempat dimana dia telah diperlakukan tidak seharusnya oleh seorang guru kepada muridnya. Mata merah Gilbert berkilat. Ketakutan dan waspada. Kepalan tangannya siap dia layangkan ke wajah guru Russia-nya itu jika dia sedikit saja melakukan gerakan tak senonoh seperti sebelumnya. Ivan yang melihat kewaspadaan muridnya tak memasang perubahan ekspresi. Dia tahu apa yang telah dilakukannya itu sudah salah. Melanggar hukum karena menyentuh anak di bawah umur, terlebih lagi muridnya. Memang dia bisa tergolong seorang kriminal sekarang dan bisa ditangkap jika Gilbert melaporkannya. Tapi, bagaimanapun dia, Ivan masih punya pandangannya sebagai guru.

"Kalau kau masih banyak bicara, mungkin aku ada maksud lain."

Senyuman khas milik Ivan yang memiliki aura tidak menyenangkan itu keluar. Membuat Gilbert merinding. Didorong rasa tertekan, Gilbert diam dan membukakan pintu karena kedua tangan Ivan digunakan untuk menggendongnya. Setelah mereka berada di dalam, Ivan membaringkan Gilbert di ranjang berbeda dengan ranjang yang kemarin mereka gunakan meskipun masih bersebelahan. Gilbert tak memperhatikan hal itu karena dia terlalu sibuk memikirkan posisi yang enak di atas ranjang yang berakhir dengan dia menelungkupkan badannya di bawah selimut.

"Kau tidur saja, aku akan memberitahu wali kelasmu," kata Ivan selagi membuka jendela agar angin masuk sekaligus pergantian udara.

"Sudah seharusnya 'kan!" Gilbert membalasnya dengan sinis. Ivan memandangnya tersenyum lalu memukul kepalanya cukup keras, "BIcara yang sopan pada guru, Gilbert."

"Aw!" seru Gilbert, "buat apa bicara sopan kalau gurunya main pukul!"

Tersenyum lagi. Lalu, Ivan memukulnya lagi.

"Tidur sana."

"Dari tadi juga aku yang hebat ini sudah mau tidur tapi kau yang menanggu."

Gilbert mendapat lagi senyum menakutkan itu. Kali ini, Gilbert menutupi dirinya dengan selimut. Berharap itu sebuah pelindung terhebat di dunia. Melihat itu, Ivan meninggalkan Gilbert dan duduk di meja kerjanya yang terletak di samping pintu. Suasana hening. Tak ada suara apapun karena kelas telah dimulai. Dalam ruangan yang berbau obat inipun, hanya suara kertas-kertas yang terdengar. Gilbert menurunkan sedikit selimutnya sehingga bisa melihat Ivan yang sedang membereskan berkas-berkas data ruang kesehatan.

Ditatapnya guru terkejam, tersadis, paling tak bermoral di seberang ranjangnya itu. Kemarin, saat dia dipaksa, gurunya itu sama sekali tak mempedulikan teriakannya yang jelas-jelas berkata tidak mau. Dia juga mengacuhkan keinginan Gilbert yang ingin itu semua dihentikan. Singkatnya, Ivan sangat tak berbelas kasihan. Tapi, kenapa hari ini justru berubah 180 derajat? Memang tindakannya tidak bisa dikategorikan lembut. Entah bagaimana, Gilbert merasa ada yang berbeda. Dia merasa diperhatikan.

Mengingat pikirannya sendiri, wajah Gilbert memanas. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menolak dirinya merasa senang diperlakukan seeprti itu.

"Permisi," suara lembut seseorang terdegar setelah suara pintu dibuka.

Gilbert menarik selimutnya lagi untuk menutupi dirinya sepenuhnya karena takut ketahuan kalau dia tadi memperhatikan Ivan. Tapi, penasaran siapa yang masuk ruang kesehatan di jam pelajaran seperti ini, membuat Gilbert menurunkan selimut sedikit. Hanya untuk matanya supaya bisa melihat siapa yang datang.

"Honda," kata Ivan tidak beranjak dari duduknya. "Ada apa? Rapat guru sore ini 'kan?"

Kiku Honda, Guru Budi Pekerti asal Jepang. Pria Asia dengan wajah remaja itu sungguh tak terlihat kalau usianya nyaris 30 tahun. Berbeda dengan Ivan yang masih 27 tampak umur 33 tahun. Perbedaan gen yang sangat kental. Dia memakai kemeja hijau tua dengan dasi hijau muda dan celana hitam panjang. Pakaian formal untuk seorang guru. Kiku mendekati Ivan dengan terpincang.

"Iya, rapatnya sore nanti, tapi..." Kiku tersenyum tertahan. Nampaknya kakinya sakit.

"Kau terkilir?" tebak Ivan begitu melihatnya. Kiku mengangguk lemah sebelum duduk di kursi samping Ivan. Dia mengangkat celana panjangnya serta memuka sepatu dan memperlihatkan tumit kaki kirinya yang telah bengkak. Ivan mulai mengobatinya. Beberapa kali Kiku meringis pelan.

"Sakit?"

"Iya."

"Tahan sebentar."

Gilbert yang mendengar percakapan itu entah kenapa merasa kesal sendiri. Dia merasa tidak adil Ivan berkata selembut itu dengan orang lain, sementara dengannya justru kasar. Apa karena dia masih anak-anak? Belum dewasa? Ditambah percakapan itu terdengar begitu intim di telinga Gilbert. Menambah kekesalannya.

"Aw…"

"Tahan ~da."

"I-iy-ach!"

"Sebentar lagi selesai ~da."

Tanpa sadar Gilbert mengepal tangannya.

"Braginski-san…" suara Kiku terdengar memohon. Ivan hanya tersenyum mendengarnya.

"To-tolong…pelan…se-aah!"

"HONDA-SENSEI!" pintu terbuka kasar menampilkan sosok seorang remaja berambut pirang bermata hijau dengan alis agak tebal berpakaian seragam terengah-engah serta keringat mengucur. Wajahnya tampak ketakutan dalam usahanya berusaha menampilkan air muka tenang seperti biasa. Dia mendekati Kiku dan Ivan. Dengan pandangan menusuk menyiratkan kebencian, dia menatap Ivan sebelum beralih ke Kiku yang duduk dan memandangnya heran. Sorot benci tadi berganti tatapan khawatir ketika menata Kiku.

"Kirkland-san!" seru Kiku.

"Anda tidak apa-apa, Sensei?" Arthur berlutut di samping kursi Kiku.

"Ya, tidak apa-apa."

Arthur mengalihkan pandangannya ke kaki Kiku yang masih dipegang Ivan. Dia menatap Kiku lagi lalu bertanya lembut, "Ini…karena kemarin?"

Kiku tersenyum resah, "Kelihatannya iya. Aku sendiri tidak sadar sampai aku bangun tidur tadi pagi."

"Maafkan aku, Sensei…" Arthur menundukkan kepalanya. Terlihat menyesal. "Ini salahku tidak bisa mencegah Sensei jatuh dari tangga kemarin."

"Tidak, tidak, ini bukan salah Kirkland-san," Kiku berusaha menghilangkan rasa bersalah Arthur. "Aku saja yang tidak hati-hati. Bukan salahmu kok."

Arthur menatap Kiku dalam seraya mengucapkan dengan nada rendah, "Sensei…"

"Sudah selesai, Honda," kata Ivan karena merasa suasana semakin menghiraukannya. Kiku melihat kakinya telah diperban lalu dia berkata, "Maaf merepotkanmu, Braginski-san. Terim-waa!"

Kiku kaget mendapati dirinya tiba-tiba melayang karena Arthur memperlakukannya sama persis seperti Ivan membawa Gilbert ke ruang kesehatan ini. Kiku bertanya dengan wajah merah juga cemas, "Kirkland-san! Kenapa kau melakukan ini?"

"Sensei tidak bisa jalan 'kan?"

"Ta-tapi kau tidak perlu seperti ini."

"Aku tidak mau Sensei kesakitan."

Kiku hanya bisa menunduk malu dan terdiam karena muridnya itu terang-terangan menunjukkan perhatian yang lebih dari seorang murid ke guru. Ivan hanya terpana melihat itu. Dia sendiri kaget ada murid yang begitu berani menunjukkan perasaannya tanpa ditutupi. Jarang bukan yang seperti itu?

"Kau mau membawanya kemana seperti itu, Kirkland?" tanya Ivan. "Ranjang masih kosong di sebelah sana kalau kau ingin Honda istirahat di sini."

"Tapi, Braginski-san…"

"Tentu saja ke ruang guru," Arthur menjawab ketus tanpa melihat Ivan. Dia tidak bisa memperkirakan apa yang mungkin dilakukan seorang Ivan Braginski kepada Kiku yang terlihat lemah. Tapi, nadanya masih tergolong sopan mengingat dia adalah Ketua OSIS sekaligus murid teladan di sekolah ini. Dia tidak mau meninggalkan Kiku di sarang Serigala, "Sensei masih ada kerjaan kan?"

"Ya," jawab Kiku. "Tapi Kirkland-san, malu kalau dilihat orang."

"Sekarang jam pelajaran. Semuanya di kelas. Tidak ada yang di luar."

Maka, Kiku pun tak punya alasan menolak lagi. Ivan membukakan pintu ruangan kesehatan. Ketika Arthur berpapasan dengannya, tatapan penuh kebencian Arthur menusuk Ivan yang sedikit kaget. Setelah mereka pergi, Ivan tersenyum seraya bergumam, "Aku dibenci ~da?"

Gilbert yang telah kembali menutup selimutnya kini, entah kesal atau ketakutan, di dalamnya. Dia melihat semua adegan barusan dan tak bisa menyangkal omongan Francis tentang Arthur. Suasana yang terlihat itu tampak sangat akrab. Bahkan mungkin lebih. Padahal belum satu minggu lewat dari mereka berkesepakatan tentang jangka waktu. Dia tidak yakin dengan Rambut Tulip bisa menang karena guru yang menjadi targetnya itu memang terkenal lambat dalam hal apapun. Bahkan cara dia hidup masih tergolong primitif dibanding yang lain. Untuk Antonio, masih ada harapan kalau Antonio tahan digampar atau sejenis itu oleh guru Akuntansi satu itu. Lalu dia? Bagaimana dengan Gilbert sendiri?

Dia harus bagaimana agar menang?

.

.

"Fransssss," Antonio tampak letih. Dia menyandarkan kepalanya dia tas meja. Mereka bertiga kini sedang berada di restoran yang sama dengan kemarin. Kelas telah usai. Hari juga berlalu biasa saja. Telah lewat lebih dari seminggu sejak mereka bertemu terakhir kali di sini dengan hasil gagal hari pertama.

Gilbert dan Francis yang melihat Antonio tampak lesu seperti itu kaget. Terdapat memar biru di wajahnya. Masih baru karena kemarin tidak ada. Gilbert dan Francis yang duduk bersebelahan saling berpandangan lalu kembali melihat Antonio yang duduk bersebarangan.

"Kau berkelahi dengan siapa?" tanya Francis.

"Kok tidak ngajak aku yang hebat ini?" tambah Gilbert.

Antonio menatap kedua sahabatnya dengan lesu. Lalu, menjawab setelah menghela nafas, "Aku tidak berkelahi. Ini gara-gara Señor Vargas."

Kedua sahabat Antonio terdiam. Francis bertanya lagi, "Antonio…memang apa yang kau lakukan?"

"Jangan-jangan kau…" tanpa Gilbert melanjutkan, yang mendengar tahu maksud Gilbert. Antonio duduk biasa, "Tidak! Aku belum melakukan apa-apa. Hanya saja kemarin, waktu dia mengajariku, aku melihat wajah dekat sekali. Refleks aku menciumnya, tapi ini yang kudapatkan."

Tali ketegangan Francis dan Gilbert putus. Mereka tidak percaya, "Ha-hanya itu?"

Antonio mengangguk.

Mengetahui itu, Gilbert tak tahu harus merasa beruntung atau sial karena meskipun dia dipaksa oleh Ivan, dia belum pernah dipukul sekeras yang dialami Antonio. Keluhan Antonio memanjang, "Frans, sampai kapan aku harus setiap hari mendatanginya? Kalau begini terus, sebelum kita menang, aku mati duluan."

Francis tertawa, "Sebentar lagi. Ini baru seminggu. Belum ada efeknya."

"Efek apa maksudmu? Kau yakin dengan taktikmu ini kita bisa menang?" Gilbert nampak cemas.

"Tenang saja, bisa kok. Hanya butuh waktu saja."

"Berapa lama?" tanya Antonio.

"Tidak bisa diperhitungkan, Antonio," Francis melanjutkan, "bahkan aku tidak bisa memperkirakan kapan seseorang bisa jatuh cinta. Tapi, aku tahu seseorang pasti jatuh cinta. Sekasar apapun Monsieur Vargas, dia tetap saja manusia."

Antonio terlihat putus asa, "Masa'? Aku tidak yakin."

Francis dan Gilbert tahu, untuk Antonio topik ini sangat sensitif. Maka, mereka hanya diam saja ketika mendengar, "Aku tidak mengerti rasa jatuh cinta. Sayang dengan seseorang itu bagaimana?"

.

.

KRING! KRING!

"Feliciano!" teriak Lovino pada adiknya yang didapur. "Angkat telepon!"

Suara Feliciano terdengar menjawab, "Ve~ aku lagi membuat pasta, Kak. Tidak bisa ditinggal! Teleponnya kan di sebelah Kakak!"

"Cih!" Lovino kesal karena dia yang dekat telepon. Menganggu acaranya menonton TV sambil menunggu makan malam yang sedang dimasak adiknya. Dengan berat hati dia mengangkat telepon, "Halo?"

[Selamat malam. Bisa bicara dengan Herr Vargas?]

Tanpa bertanya, Lovino tahu murid Jerman yang menelepon. Masih kasar nadanya bertanya, "Aku Vargas. Kenapa?"

[Oh. Em. Sebenarnya, yang saya cari adalah Herr Feliciano. Apakah beliau ada?]

Kekesalan menyelimuti Lovino. Dia sudah bisa menduga murid Jerman mana yang menelepon ini. Kentang Sialan, umpatnya dalam hati. Dia nyaris saja menutup telepon itu jika tidak ingat kalau murid itu adalah anggota klub kesenian yang dibimbing adiknya. Sampai menelepon malam begini, pastilah ada hal penting. Lovino menjauhi gagang telepon darinya dan berteriak pada Feliciano, "Oi, ada yang nyari!"

"Ve?" Feliciano masih mengaduk saus pasta yang belum selesai. "Bilang nanti saja telepon lagi, Kak."

"Cigii!" Lovino berkata kesal ke telepon, "Kentang Sialan! Adik Bodoh itu bilang telepon lagi nanti!"

"Ve? Ludwig?" Feliciano baru tahu kalau Ludwig yang menelepon. Dia segera memanggil kakaknya. Memintanya untuk ke dapur sebentar tanpa menutup telepon. Lovino bingung tapi dia tetap ke dapur tanpa menutup telepon. Setelah Lovino di dapur, Feliciano menyerahkan sudip yang tadi dipakainya untuk mengaduk ke Lovino dan segera berlari ke ruang tengah. Dia hanya berkata, "Tolong ya, Kak!"

Lovino ingin marah, tapi adiknya telah melesat ke ruang TV mengangkat telepon.

"Ludiwg ve~?" Feliciano memegang gagang telepon.

[Herr Vargas? Sedang sibuk? Kalau sibuk, nanti saya telepon lagi.]

"Tidak. Tidak apa-apa. Ada apa ve~?" Feliciano senang Ludwig menelepon. Wajahnya tampak sumringah. Beberapa saat mereka berbicara untuk kegiatan seni klub mereka. Lalu setelah selesai. Keduanya diam. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan.

"Ludwig?" tanya Feliciano karena mereka diam lama.

[….Herr Vargas?]

"Ve~?"

[Sudah makan?]

Feliciano kaget ditanya seperti itu. Biasanya Ludwig tak begitu mau tahu apa yang Feliciano lakukan. Karena Feliciano punya beberapa seminar dalam seminggu ini, mereka memang jadi jarang bertemu. Telepon pun baru kali ini. Feliciano merasa senang sekali Ludwig bertanya basa-basi seperti itu. Walaupun hanya sedetik, ia masih ingin mendengar suara Ludwig lebih lama. Yang paling membuatnya senang adalah Ludwig juga memikirkan hal yang sama. Senyum bahagia terlukis jelas di wajah Feliciano.

"Sudah. Ludwig sudah makan ve~?"

[Sudah…. Kalau begitu, saya akan kabari lagi jika ada sesuatu. Terima kasih Herr Vargas.]

"Sama-sama, Ludwig."

Telepon pun ditutup. Feliciano berlari ke arah dapur dan langsung memeluk kakaknya.

"Kakaaaaaaaaakkkkk! Aku senaaaaaaaaangg vee~," seru Feliciano memeluk kakaknya dari belakang. Lovino tak bisa bergerak, membiarkan adiknya mengeratkan pelukannya. Dia berkata, "Hanya ditelepon saja. Tidak usah berlebihan, Adik Bodoh!"

"Tapi Kak, ini pertama kalinya Ludwig bertanya aku sudah makan atau belum. Aku senang sekali, Kak!" air mata Feliciano keluar. Lovino bisa merasakan baju bagian punggungnya basah oleh itu. Tapi, meski dia tak melihat wajah Feliciano, Lovino tahu adiknya merasa sangatlah senang. Dia tidak mengerti kenapa adiknya begitu senang sampai menangis seperti itu hanya karena kata-kata tidak penting dari seseorang.

"Kenapa kau berbohong kalau kau sudah makan?"

"Ludwig memang cuek, Kak. Tapi, dia sebenarnya mudah cemas ve~."

Begitukah kalau jatuh cinta?

.

TBC

.

.

.

.

Terima kasih masih sedia membacanya! Mohon maaf sekali karena lama update m(_ _)m

Tambahan: Fujoshi Anonim, iya nih agak rumit =_=' Semoga lancar deh nih dua, aku ikut doain deh =)