Vocaloid © Yamaha


I'm Yours, Idiot!

© khiikikurohoshi

Chapter 15

A Little Miracle

PRANG!

Tanpa sengaja gelas itu meluncur deras dari tiap ruas jemari Hatsune Miku. Meluncur, kemudian menghantam permukaan lantai yang keras dan akhirnya pecah dalam keping-kepingan kecil. Tiap kepingan itu melambangkan betapa shock-nya Miku sekarang.

Speaker telepon masih menempel di telinganya. "Kau… serius… Miku… o?" pertanyaan itu keluar dengan tersendat-sendat. Napas kaku sudah menghambat cara bicaranya.

[ Hatsune Mikuo P o V ]

"PRANG!"

Tak sengaja sebelah mataku tertutup ketika mendengar suara kaca pecah. Aku bisa menduga kalau Miku kaget mendengar berita yang kuberitahu padanya. Setelah lenguhan napas, akhirnya Miku bersuara dalam kosa kata yang tersendat-sendat.

"Kau… serius… Miku… o?"

Aku merasa iba pada kakakku itu. Suaranya terdengar sangat lemas dan juga kaget. Tentu saja. Siapa pun akan kaget mendengar berita yang kuberitahu.

Rin.

Baru-baru ini Rin menghembuskan napas terakhirnya. Sungguh. Ayah dan ibu Len sampai tergopoh-gopoh kemari. Ibunya datang dengan linangan air mata. Sedangkan ayahnya datang dengan napas terengah-engah.

"Aku… serius, Miku. Makanya… bisakah kau—" ucapanku terhenti. Entah kenapa, aku jadi ingin menangis sekarang. Ugh… tegarlah, Mikuo! Sadar, kau ini lelaki! Dan lelaki tidak boleh menangis! "Bisakah kau… memberitahu pada yang lain lalu kemari? Aku akan mengirimkanmu e-mail untuk letak rumah sakitnya. Sudah ya…"

Tak ada jawaban dari Miku.

Dan hal itu membuat hatiku tersayat-sayat. "Miku." Aku berusaha memanggil namanya. "Tegarlah sedikit, oke?"

Pik.

Telepon terputus. Kurasa Miku yang memutuskannya. Gawat. Harusnya aku beritahu Kaito-senpai atau Meiko-senpai saja. Mereka jauh lebih tegar dibanding Miku.

"Mikuo-kun?"

Tubuhku menegang ketika mendengar suara yang manis memanggilku. Aku kenal… pemilik suara ini. Segera aku menoleh dan mendapati Gumi sedang berdiri di depanku.

"Gu… mi? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Gumi tersenyum lebar, "aku menjenguk saudara jauhku di sini. Mikuo-kun sendiri?" setelah menjawab, Gumi balas bertanya padaku.

Nah, sekarang… aku harus menjawab apa?

[ NORMAL P o V ]

"Maaf… maafkan aku, sungguh… maafkanlah kami… kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi anak anda…"

Dokter itu terus saja meminta maaf. Len sampai lelah mendengar ocehan dokter itu yang hanya terfokus pada satu kata. Maaf.
Ah, soal dokter, dia tidak penting sekarang. Yang masih dipikirkan Len sampai detik ini dan detik-detik berikutnya adalah… Rin.

Kenapa Rin menyerah secepat ini? Len berpikir dalam hatinya. Dia tidak habis pikir kalau Rin yang ceria, Rin yang selalu tersenyum, dan Rin yang kuat dalam bertarung, akan mengakhiri hidupnya secepat ini.

"Tidak… ini bukan salah anda, Kiyoteru-sensei. Saya tahu anda sudah sangat berjuang." Ayah berkata begitu dengan senyum yang dipaksakan. Ibu juga berusaha tersenyum di depan Kiyoteru-sensei, dokter yang menjadi penanggung jawab Rin saat operasi kemarin.

"Benar… kematian Rin… bukanlah… akhir dari… se… ugh… uhuhuhu! Hiks… Rin! Ukh!"

Len menatap ibu dengan manik mata yang mulai meredup. "Rin…" tanpa sengaja nama itu Len lontarkan. "Bangun kau, Rin idiot. Ayah dan ibu… juga aku dan Mikuo… mengkhawatirkanmu. Bangunlah… bego."

"LEN!"

Len tersentak kaget saat mendengar banyak suara yang memanggilnya. "Kalian…" Len membolakkan mata ketika melihat Mikuo bersama Gumi, juga Meiko, Luka, Kaito, Miki dan Miku datang secara bergerombolan.

"Kami turut sedih mendengarnya Len! Tegarlah, oke?" Kaito yang pertamakali mengucapkan itu. Terlihat jelas Kaito juga sedih.

"Iya! Jangan terlalu banyak menangis, ya?" kali ini Meiko. Suaranya agak bergetar, dan, ada sedikit linangan air mata yang terhambat di sudut matanya.

"Tegarlah, Len-kun. Jangan kalah oleh rasa sepi dan sedih!" Luka menambahi. Dia tidak menangis sama sekali. Tapi Len tahu, Luka juga sedih ketika mendengar Rin meninggal.

"Kami akan selalu mendukungmu, Len-kun! Jangan… menyerah, ya!" secara bersamaan Gumi dan Miki mengatakan itu. Jujur Len heran. Dua anak itu selalu bersama dan kompak. Lalu ajaibnya, sekarang mereka berbicara secara bersamaan. Tapi, saat mengucapkan itu, Gumi menangis, dan Miki tidak. Miki memang sangat tegar, Len mengakui.

"Len-kun…" Len menoleh pada Miku yang tiba-tiba sudah ada di pelukannya. Ya, Miku memeluk Len dengan erat. Tapi kedua tangannya bergetar hebat. "Maaf… tapi… aku tidak bisa menahan air mataku… ukh… huuhuuu…"

Mikuo menghampiri kemudian mengelus puncak kepala kakaknya. "Kau tidak apa-apa, Len?" tanya Mikuo. Kepala Len terdongak, menatap mata Mikuo lurus-lurus. Dengan senyum ringan, Len menganggukkan kepalanya.

"Sangat. Terimakasih banyak, teman-teman…" Len melepas pelukan Miku dengan lembut. "Aku sudah… merasa lebih baik sekarang." Ucap Len.

Klak.

Tubuh Len dan kawan-kawan menjadi tegang ketika melihat wajah Rin yang tertutupi sebuah kain putih. Dengan hati-hati, Len menyingkirkan kain putih dari wajah Rin, memperlihatkan wajah manis dari seorang gadis dalam masa kritis.

Bahkan mungkin, masa kritis itu sudah lewat. Beralih ke masa pedis yang menyayat ulu hati.

Mata itu terpejam kuat, bibir itu mengatup rapat. Tapi tidak ada sedikit pun garis pucat yang terlampir di wajah Rin. Mungkinkah Rin masih ingin bertahan hidup?

"Rin." Len memanggil dengan suara yang dia haluskan. "Semua datang melihatmu."

Setelah Len berucap begitu, semua (kecuali Len dan Mikuo) mendekati tempat tidur Rin.

"Rin…" Meiko memanggil. Tumpah sudah air matanya.

"Rin-chan…" gantian Luka yang memanggil. Air mata juga mengalir dari pelupuk matanya.

"Ri… n…" Gumi menggigit bibirnya. Menahan diri agar tidak berteriak. Sungguh, dia memang ingin berteriak dengan penuh kepiluhan.

"Rin…" Miki memanggil. Air mata sudah mulai nampak di sudut matanya.

"Rin-chan… Rin… chan… sadarlah… kumohon…" Miku memegang tangan Rin dengan erat. Antara percaya-dan tidak percaya, juga antara menerima-dan tidak menerima kalau Rin adalah orang yang terbaring dihadapannya.

"Rin… sadarlah…" Kaito juga ikut memanggil.

Mikuo bergeming dari tempatnya. Begitu pula Len. Dua pria itu hanya berdiri tegak. Satu mengigit bibir karena geram, satunya lagi mengepalkan kedua tangan dengan erat.

"Teman-teman." Mikuo angkat suara. "Sebaiknya kita keluar. Kita cuma diberi sedikit waktu." Setelah berkata begitu, Mikuo melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Rin dengan langkah-langkah cepat. Setelah Mikuo, Meiko dan Luka yang selanjutnya keluar. Dengan bantuan Kaito, Miku juga ikut keluar. Terakhir, Gumi dan Miki yang meninggalkan ruangan Rin.

Klap.

Kembali pintu tertutup.

Tinggallah Len sendirian di ruangan ini.

Oh, tidak. Len tidak sendirian. Ada Rin dihadapannya, ingat?

[ Hatsune Mikuo P o V ]

Aku melangkahkan kakiku secara cepat saat keluar dari ruangan Rin. Sesungguhnya aku merasa sesak saat melihat Rin terbaring kaku di atas kasur putih itu. Dia terlihat… sangat menyeramkan. Sungguh… aku jadi ngeri dan… kuakui saja, aku ingin menangis.

"Lho? Mana Len-kun?" Gumi bertanya sambil menghapus air matanya dengan sapu tangan.

Aku pun celingukan saat mendengar Gumi bertanya begitu. Oh. Tapi aku tahu dia dimana. Jadi… kurasa tidak apa-apa.

Kulihat Gumi dan Miki duduk bersampingan. Miki mengelus pundak Gumi yang terlihat bergetar. Gumi masih menangis. Dia sibuk menghapus air matanya berkali-kali, tapi kelihatannya nihil. Lalu, manik mataku bergerak ke sebelah Gumi. Kulihat Luka-san dan Meiko-senpai. Mereka menunduk, tetapi air mata sudah lenyap dari mata mereka. Sepertinya… mereka sudah membaik sedikit demi sedikit.

Ekor mataku menangkap Miku yang berjongkok di pinggiran, telapaknya bergerak untuk menghapus air mata. Tapi raungannya tidak juga lenyap. Dan, di samping Miku ada Kaito yang berdiri. Tangannya dia masukkan ke dalam saku celana. Tapi matanya terus menatap Miku yang menangis.

Mungkinkah…

"Akh. Harusnya aku tidak berpikiran soal itu dulu." Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan geram.

"Kau tidak apa-apa?"

Kepalaku tertoleh pada asal suara. Oh, ibunya… Len. Eh, atau Rin?

"Ngg…" aku baru ingin menjawab, tapi ayah Len (atau juga Rin) keburu memotong.

"Perkenalkan. Kami ayah dan ibu Len-Rin."

Aku menunjukkan wajah seolah-olah aku telah ditampar seseorang.

HAH? AYAH DAN IBU LEN-RIN? INTINYA MEREKA… SAUDARA?

"Umm… sepertinya kau belum mendengar penjelasan dari anak-anak kami, ya. Tapi, begini, hmm…"

"Mikuo. Hatsune Mikuo. Salam kenal." Aku menyela, sebab sepertinya ibu Len dan Rin kebingungan menyebut namaku.

"Oh. Iya. Mikuo-kun, kami berterimakasih karena kamu selalu memperhatikan Len dan Rin."

Aku merasa malu, tapi juga tersanjung. "Eeeh… tidak. Kurasa… itu memang kewajibanku sebagai teman Len dan Rin."

Ibu Len dan Rin tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya, kemudian menoleh pada suaminya.

"Om dan Tante… sudah tidak apa-apa?" aku bertanya dengan hati-hati.

"Sangat." Ibu Len dan Rin menjawab dengan yakin. "Malah, aku pernah dengar kalau… disaat kita berharap dalam masa-masa sulit, kemungkinan besar, keajaiban akan menjawab harapanmu."

Alisku terangkat. Tetap berharap walaupun itu mustahil. Apa… seperti itu maksudnya?

"Kami percaya, Rin masih ingin berjuang sekuat tenaga." Ucap ibu Len dan Rin dengan senyum merekah di wajahnya.

Entah kenapa, mendengar kata itu, hatiku serasa tenang dan ringan. Sesaat aku berpikir: "Apa yang terjadi tadi?"

Benar. Rin pastilah masih ingin berjuang!

[ NORMAL P o V ]

Entah sudah berapa jam berlalu, tetapi, Len sama sekali tidak peduli akan hal itu.

Memang. Sejak Rin dikabarkan meninggal dunia, Len tidak peduli apa-apa lagi selain… Rin. Bahkan, katanya dia rela menukar nyawanya untuk Rin.

Tapi, bodoh. Jika Len berani menukar nyawa untuk Rin, maka Rin juga akan memohon sebaliknya. Ya, 'kan?

Tapi itulah cinta.

Kita harus rela berkorban demi cinta.

Ironis memang, tapi itulah hukum cinta.

"Buka matamu, idiot. Buka. Kubilang… buka!" Len meremas pergelangan tangan Rin. Perlahan-lahan Len bisa merasakan telapak tangan Rin mendingin. Dengan sedikit menggertak, Len menarik telapak tangan Rin, kemudian menyilang-nyilangkan jemarinya diantara jemari Rin.

Telapak tangan Len seolah-olah menempel dengan telapak tangan Rin sekarang. Diharapkannya, dengan begini telapak Rin bisa kembali menghangat sedikit demi sedikit.

Len mengecup punggung tangan Rin lalu mengelus pipinya (Len) dengan punggung tangan Rin.

"Kumohon… kembalilah hangat. Kembalilah… hangat seperti Rin yang biasanya. Seperti Rin yang aku kenal. Kau bukan Rin. Sebab tubuhmu dingin. Aku tidak pernah, dan tidak akan pernah mau untuk mengenal seorang Rin yang dingin. Aku mohon. Demi aku. Bukalah… bukalah matamu!"

Mikuo membuka matanya dengan cepat. Sedetik kemudian dia mengerjapkan mata.

"Sejak kapan aku… tertidur?" gumam Mikuo. Dia menggeleng-gelengkan kepala sementara tangannya memegang dahi. Setelah merasa pandangannya sudah kembali utuh, Mikuo menatap sekelilingnya untuk membaca keadaan.

"Nnn…"

Mikuo menolehkan kepalanya. Melihat Miku yang mengucek-ngucekkan mata sambil menguap lebar. "Ng? Mikuo. Hai…" Miku tersenyum dengan canggung. "Yang lain sudah pulang ketika kau terlelap. Tapi, bagaimana pun, mustahil aku meninggalkanmu di sini. Unn… kau tidak apa-apa?" tanya Miku.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Lalu…" Mikuo menguap. Ekor matanya menangkap sosok ayah dan ibu Len-Rin di salah satu kursi. "Mana Len?" tanya Mikuo.

"Eh? Sejak tadi dia… belum keluar dari…"

Mikuo membolakkan mata. "Masa' dia masih di dalam… ck! Kau di sini!" Mikuo menarik diri dari kursi dan berlari masuk ke dalam ruangan Rin. Mikuo positif mengatakan kalau pasti Len masih ada di dalam sana.

[ Kagamine Len P o V ]

"Harus berapakali kukatakan." Aku mencengkram punggung tangan Rin dengan alis yang kutautkan. "BUKALAH MATAMU! AKU MUAK MELIHAT DIRIMU YANG TERUS BERBARING TIDAK JELAS SEPERTI INI!" aku tahu sekarang aku berteriak dengan letupan emosi. Apa boleh buat. Aku serius. Aku tahu Rin bukanlah gadis yang mudah menyerah.

Entah sejak kapan, aku merasakan mataku panas dan terasa buram. Oh, bahkan, aku sudah menangis.

A ha ha ha ha, lucu. Harusnya lelaki tidak boleh menangis. Itu sudah hukum yang wajar.

Tapi… bukankah ada kekuatan yang berasal dari air mata?

"Rin… ayolah. Aku tidak gila, dan aku tidak bodoh. Aku tahu kau masih ingin berjuang. Kenapa aku tahu? Jawabannya sudah jelas karena aku suka… sama kamu, idiot." Aku berucap dengan lirih. "Rin idiot. Bego. Payah. Kau mengecewakanku. Sungguh…"

Klak.

Aku mendengar suara pintu yang terbuka secara perlahan. Walau tak menoleh, aku tahu persis siapa yang membuka pintu.

"Len…"

Sudah kuduga. Itu Mikuo. Hmph, menyebalkan. Bisakah kau tinggalkan aku sendiri?

"Kenapa… kau menangis seperti itu… idiot?"

Aku bisa merasakan dengan jelas. Tubuhku tersentak dengan luar biasa.

Time Skip: 2 Weeks Later…

Tidak terasa musim semi sudah berlalu. Musim panas sudah menghiasi atmosfir kota Tokyo. Liburan musim panas yang sudah ditunggu banyak orang, tak lama lagi akan datang menghampiri.

Jreng! Jreng!

"Yosh." Aku tersenyum puas saat mendengar suara gitar yang selesai ku-setel. "Gimana suara gitarku barusan, Meiko-senpai?" tanyaku.

Meiko-senpai menatapku agak lama. Matanya mengernyit penuh pemikiran. Yah, mau tak mau aku gugup juga menanti jawabannya. Tapi, Meiko-senpai harus camkan 'ini' baik-baik: menyetel gitar itu sangat sulit!

"Yup." Meiko-senpai mengacungkan jempolnya. Membuatku lega setengah mati. "Suara yang mantap banget, Len! Good job!"

Setelah itu, Mikuo datang sambil menyodorkanku minuman kaleng yang sudah terbuka.

"Hm? Lemon tea?" aku bertanya sambil memutar-mutar kaleng di tanganku.

"Iya. Enak lho. Dingin-dingin. Kubukakan untukmu." Mikuo menenggak kopi kalengnya seusai menjawabku. Dan, tanpa aba-aba lagi, kutenggak lemon tea itu sampai tersisa setengah.

"Eh?"

Gumi dan Miki yang tadi sibuk bertengkar langsung menatapku dengan pandangan seperti… ini (O[]O) tapi, tentu Miki hanya menatapku dengan wajah datarnya yang seolah-olah berkata: 'bukan urusanku.'

"Ada apa?" aku bertanya pada dua gadis itu.

"Ciuman…" Gumi menggantung kalimatnya.

"Tidak langsung." Miki melanjutkan sambil menunjukku.

Sontak wajahku berubah. "Apa… maksudmu?"

"Fuahahaha! Kau gampang dijebak ya, Len! Minumanmu itu… habis diminum Rin-chan lho! Ahahahahaha! Lihat wajahmu! Merah banget!" Mikuo terbahak sambil memukul-mukul sofa. Yang lain menatapku sambil senyum-senyum… menyebalkan!

Kutatap Rin yang duduk di sofa seberangku. Tangannya memeluk gitar dipelukan, tapi matanya memandangku dengan wajah merona pula.

SIAL! MIKUO… BETUL-BETUL MENJEBAKKU!

[ NORMAL P o V ]

Kita ringkas kembali kejadian saat di rumah sakit.

Setelah Mikuo membuka pintu rumah sakit dan bergumam nama Len, bersamaan dengan itu, seseorang berkata dengan suara parau, "Kenapa… kau menangis seperti itu… idiot?"

Kalian tahu siapa itu?

Itu Rin. Kagamine Rin.

Kalian mau tahu kenapa Rin yang semula di diagnosis sudah meninggal, tapi ternyata hidup kembali? Jawabannya mudah. Pertama, karena kenyataannya, Rin memang masih ingin berjuang walau sudah berkeliaran di alam lain (dia bercerita seperti itu dengan serius). Kedua, karena Len menyilangkan jemarinya pada jemari Rin. Ditambah, Len mengecup punggung tangan Rin.

Menurut Kiyoteru-sensei, ini adalah keajaiban besar. Len yang memeluk tangan Rin dalam waktu yang sangat lama, ternyata membuat kehangatan yang tertimbun di tangan Len menyebar ke tangan Rin dengan perlahan-lahan.

Jujur, Kiyoteru-sensei sempat kaget saat menerima kabar dari Mikuo kalau Rin sudah sadarkan diri. Sedang ketika Rin ditanya, apa yang terjadi selama ia terlelap, Rin berkata kalau dia di datangi seorang pria dengan sepasang sayap besar di punggung, lalu diajak pergi ke alam yang tak dikenalnya. Lalu setelah itu, dia lupa apa yang terjadi.

Rin berpikir kalau itu hanya mimpinya semata.

Makanya, saat ia terbangun, dia berkata, "Kenapa… kau menangis seperti itu… idiot?"

Rin bahkan tidak tahu kalau dirinya sudah… meninggal.

"Tapi… syukurlah…" Miku memeluk tubuh Rin dengan erat. "Kalau sampai aku menghadiri upacara pemakamanmu, bisa-bisa… para pembaca do'a akan kerepotan."

"Kenapa?" tanya Rin.

"Soalnya… mereka jadi melakukan upacara pemakaman dua kali. Hehehe…" gurau Miku.

Semua tertawa. Jarang-jarang Miku bergurau seperti itu, jujur saja. Sebab pada dasarnya, Miku itu…

"Cengeng." Cibir Len sambil menggaruk tengkuknya.

"Apa katamu, Len-kun? Huh! Sombong! Padahal kau juga nangis saat Rin-chan sadarkan diri!" Miku mengelak sambil menggembungkan sebelah pipinya.

"Ngomong soal Len dan Rin…" Mikuo menerawang sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Ah, teman-teman! Kita keluar sebentar yuk! Angin musim panas nggak buruk-buruk amat lho!" sambil berkata begitu, Mikuo berjalan menuju pintu.

"Benar juga! Ayo! Eit, Len dan Rin jaga markas!" suruh Gumi sambil menarik tangan Miki dan bergerak keluar ruangan klub.

"Awas kalau kalian berani keluar dari sini. Seperti kata Gumi, jaga markas!" Meiko menekankan kata-katanya sambil berlalu pergi. Seusai Meiko keluar, ruangan klub jadi nyaris kosong (masih ada Len dan Rin, ingat?).

Apa kalian tahu? Mereka berdua menjadi canggung satu sama lain.

Sialan mereka. Cih… kenapa mereka bisa tahu sih kalau aku… argh! Sudahlah… tenangkan dirimu, Len, Len bersugesti pada dirinya sendiri dengan rona wajah yang samar.

Be, berduaan dengan… Len? Unn… emang sih aku pernah berduaan dengannya, tapi… Rin mengacak-ngacak rambutnya dengan gugup.

"Eee..."

Rin dan Len terkesiap. Menyadari kalau mereka berbicara secara bersamaan.

"Uff. Kalau gitu, kau duluan." Suruh Len. Mencoba untuk bersikap gentle.

"Eh, tidak apa-apa. Kau duluan." Rin membalas. Wajahnya merona.

Akhirnya, hening. Hanya ada suara 'psst… psst…' dari luar ruangan. Baik Rin, maupun Len bisa menebak kalau itu adalah bisikan anggota klub menyanyi ditambah Mikuo (ingat, Mikuo bukan anak klub menyanyi) yang diam-diam menguping.

"Huuuf!" Len menghela napas dengan berat hati. "Kalau gitu barengan." Ucap Len. Dia terlihat putus asa sekali.

"Eeeh? Barengan?"

"Iya. Pokoknya barengan. Kuhitung ya! Satu…"

"Dua…"

"JADHAASDBJHSDBKA!" (karena ngomong barengan, jadi tidak jelas).

Tuing!

Len bisa merasakan kalau ada bintang yang terpantul di atas kepalanya. Begitupula Rin. Manik mata mereka saling pandang. Tanpa aba-aba lagi, keduanya tertawa lepas.

"Ahahahaha! Kita… kok jadi konyol begini, ya?" Len bertanya dengan canggung.

"Ehehehehe! Tapi seru juga lho?" balas Rin. Dia tertawa sampai ada air mata di sudut matanya.

Lalu, di luar, Meiko menggeram sambil mengacak poninya.

"Dasar… BAKAPPURU![1]"

Setelah melewati gertakan keras yang tidak jelas dari Meiko, akhirnya Len dan Rin diizinkan pulang.

Kalian tahu? Selama berjalan pulang, mereka bergenggaman tangan.

"Len…" Rin memanggil. Kepalanya ditundukkan, sehingga matanya sibuk menatap sepasang kakinya yang dilapisi sepatu berkulit warna hitam pekat yang sudah disemir hingga mengkilap.

"Hm?" Len merespon.

"Terimakasih…" ucap Rin. Tanpa sepengetahuan Len, wajah Rin merona dengan parah.

"Untuk apa?" tanya Len. Mungkin Len jadi berkesan lamban, tapi pahamilah, Len sungguh tidak mengerti kenapa Rin berterimakasih sementara dia tidak melakukan apa pun.

Setelah Rin di diagnosis hidup kembali, dia jadi agak diam dan aneh, Len berpikir dalam hatinya.

"Ngg…" Rin menghentikan langkahnya, lalu celingukan ke kiri dan ke kanan. Setelah merasa aman, dia menghela napas dan menatap Len dengan sorot mata serius. "Aku menagih jawabanmu untuk pernyataanku beberapa waktu lalu." Ucap Rin.

Sekarang, Len menarik kata-katanya kembali. Sebab dia bisa melihat Rin sudah kembali seperti Rin yang sebelum-sebelumnya.

"Eh?"

"Pernyataanku! Yang: 'Aku suka padamu, Len.' Nah, bagaimana denganmu?" tanya Rin. Sorot matanya betul-betul memancarkan keyakinan besar. Tidak ada kecanggungan, tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan di sela-sela manik mata aqua itu.

Len sedikit terguncang ketika mendengar pernyataan itu lagi. Sambil menghela napas, dia menarik tangan Rin dan berjalan ke sebuah gang.

Sambil menghembuskan napas berat, Len menempelkan kedua telapaknya di tembok. Membuat pagar untuk Rin. Asal kalian tahu, nyaris tak ada jarak antara Len dan Rin. Ujung sepatu Len bahkan sudah menempel di ujung sepatu Rin.

"Ngg… bagaimana ya bilangnya?" Len menatap ke sembarang arah, menyembunyikan rona wajahnya. Sementara Rin menatap Len dengan tegas.

"Jangan menjadi tsundere di saat seperti ini, Len…" Rin berkata sambil berkacak pinggang.

"Oke. Kau juga. Jangan menjadi yandere di saat seperti ini, oke?" Len membalas.

Rin tersenyum miring.

"Oke." Bersamaan dengan itu, sepasang tangan Rin terulur dengan mulus ke kedua pipi Len. "Kalau kau menolak ini, aku akan menjadi seorang yandere yang akan menindasmu seumur hidup." Bisik Rin.

"Ah… kau curang. Itu ancaman keji, Rin." Len tersenyum sambil mendekatkan wajahnya pada Rin.

Kalian bisa tahu apa yang terjadi. Kedua bibir saling menempel tanpa jarak. Memberi jawaban positif yang manis pada kedua insan.

"Manis." Bisik Len tepat di telinga Rin.

"Makasih." Rin tersenyum lembut ketika merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyapu pori-pori sebelah pipinya.

"Un. Kita pulang, yuk." Len menyodorkan tangannya pada Rin.

"Nggak mau. Kau belum mengatakan soal itu." Rin menolak sambil memalingkan wajahnya ke samping.

"Eh? Apa?" tanya Len. Sebenarnya dia hanya berpura-pura. Tentu malu untuk mengatakannya, 'kan?

"Len no Baka. Huu… aku benci kau." Rin menggembungkan sebelah pipinya.

"Ukh, oke, oke! Akan kukatakan… di rumah nanti… ya?" bisik Len.

Rin menatap Len dengan tatapan tajam, tapi kemudian, senyum lebar terlukis di wajahnya.

"Wajahmu… merah banget!" sambil tertawa, Rin meraih pergelangan tangan Len dan melangkahkan kakinya keluar dari gang. "Kalau gitu… yuk pulang!"

Sambil bersungut-sungut kesal karena diledek, Len mensejajarkan langkahnya dengan langkah Rin.

"Yang pasti…" Len menerawang. "Aku sangat bersyukur kau masih hidup."

Rin menoleh pada Len, kemudian tersenyum. "Terimakasih. Itu semua berkatmu, kurasa. Tapi... kenapa kau segitu bersyukurnya padaku?" tanya Rin dengan wajah polosnya.

"Ngg…" Len melirik ke sembarang arah. "Kalau kau… benar-benar sudah meninggal, berarti… kepada siapa aku bisa mengatakan 'aku suka padamu'?"

"Eh?"

Len tertawa canggung. "Habis… kurasa cuma kau… yang bisa merebut kata itu dariku."

"Kata… itu?" Rin bertanya dengan bingung.

Len menatap Rin dengan kedua alis yang saling terangkat, kemudian mendecak sambil mengacak rambutnya dengan gemas. Dengan hati-hati, Len mengatakan, "aku suka kamu, idiot… ck! Rin payah…"

Len menghentikan langkahnya, membuka pagar rumah dengan wajah yang bersemu merah sempurna.

"Tepat di rumah. Terimakasih, Len." Rin menutup pagar rumah dengan wajah bersemu merah pula.


/ F I N \


A/N(1): Eeeh… selesai?

A/N(2): "INI ENDING… GA JELAS BANGET! GAJE! SANGAT MENGECEWAKAN! GUA NYESAL BACA FIC INI!" – kutebak, itu yang kalian pikirkan, 'kan? ^|||^

A/N(3): Nee, maaf. Entah kenapa aku jadi susah menggambarkan ending manis yang kusuka. Sungguh, maaf… (bingung mau masang emoticon apa). Eee… eee… mungkin pada dasarnya aku emang parah ya? ^^a.

Baiklah, aku mau packing dulu. Aku bela-belain kerja ini karena tanggal 5-8 aku ada acara padat yang kayaknya sulit buat apdet fic. Terus tanggal 9 dan 10… um, aku mau beres2 kamarku yang 'ANCHUR' banget ^^a lalu… begitulah xD aku ga mau membuat para readers bosan menunggu apdetan.

A/N(4): Endingnya... agak maksa? Tapi sebenarnya... SEJAK AWAL ini adalah ending harapanku! Kenapa? Aku habis nonton On the Spot terus kagum pas lihat: 'seorang bayi meninggal ketika baru lahir. Tapi karena dipeluk sama ortunya selama 2 jam, bayi itu hidup kembali!' Ini sungguhan. Makanya aku jadi merancang ending seperti ini. Tapi tetap saja kesannya maksa, ya? ^^a

Saa, gomenne untuk ending gaje ini xDa

Baiklah… sampai nanti di cerita berikut ^^. Flame is accepted, by the way.

AAH! Hampir lupa! xD

[ BAKAPPURU: Pasangan Bodoh xD (dapat dari Moe Kare! ini) ]