A/N : (lirik kiri-kanan) Udah berapa lama saya gak nongol di fandom ini, ya? Hahaha. Maaf, ya, saya ngabur terus ke fandom tetangga. Habis, bishi-bishi di fandom sebelah lebih oke. Di Hetalia ada om ganteng bernama Netherlands sama oyabun imut, Spain. Di YGO ada Jou. Lirik dikit ke HTF, ada Splendid sama Flippy. Senggol dikit fandom yang jauhan bernama Star Wars, malah nemu Obi-Wan. Senangnya dunia ini kalo banyak cowok ganteng. Hohohoho.

Oke. Omongan saya yang di atas sangat terkesan tante sekali...

Disclaimer : Karakter adalah kepunyaannya JK Rowling. No. Mereka bukan kepunyaan Hidekazu Himaruya atau George Lucas. No, Papa! #plak

Warning : Beware of SLASH! Muahaha! Gak tau slash? Yaoi, sho-ai, gay, sesama lelaki jadian. Ini ceritanya tentang mafia-mafiaan dan ada sedikit tembak menembak sama bunuh-bunuhan. Maaf, kalo hasilnya abalita...

Oiya. Terima kasih buat seorang (at)zenatzenut alias Psychochiatrist dan Ambudaff yang udah bikin saya kangen sama motherland saya ini. Kalo ini macet di tengah jalan, maaf, ya. Ihiks... TT_TT


Apa yang kau lakukan ketika duduk seorang diri di tengah malam? Bukan. Bukan di dalam rumah. Bayangkan bila kau berada di dalam sebuah mobil sedan dengan radio tua yang terus berdengung, memanggil dengan nada-nada statis yang membosankan. Jok kulit tua yang mulai kotor oleh remah roti serta kaca jendela—dan juga badan mobil—yang diselimuti debu tebal karena tak pernah dicuci berhari-hari. Satu-satunya air yang pernah membasahi mobil itu hanyalah genangan air kotor yang beberapa saat lalu kau lewati. Kembali bayangkan bahwa suara statis yang keluar dari radio adalah sebuah panggilan tugas yang datang terus menerus, tak pernah henti. Bayangkan juga warna hitam dan putih pada badan mobil dan sebuah sirene besar terpasang di atas atapnya.

Bayangkan apa yang kau lakukan di dalam sebuah mobil patroli polisi seorang diri di tengah malam. Jalanan sepi, dan satu-satunya teman adalah suara menyebalkan dari radio panggil yang terus bersuara?

Bosan. Menyebalkan. Dan sangat membosankan.

Itulah situasi yang sedang dihadapi oleh seorang Sirius. Pemuda berambut hitam legam itu duduk dengan bosannya di atas kursi. Mulutnya tak henti-hentinya mengunyah sandwich isi tuna yang ia bawa sebagai bekal. Mata abu-abunya menatap bosan ke jalanan kosong di samping, mulut masih mengunyah.

Bosan. Bosan. Bosan.

Itulah sekarang yang ada di dalam otak Sirius, sang polisi lalu lintas.

Mata abu-abunya kembali mengerling ke jalanan sepi di sampingnya. Kembali dengus kesal ia hembuskan. Satu gigitan besar pada sandwich ia daratkan dengan sangar sementara mata abu-abunya sekarang melirik sebal ke arah radio panggil yang terus berbunyi.

Oke, mungkin ia bisa saja menghilangkan kejenuhan dan kebosanan itu dengan menanggapi satu saja panggilan tersebut. Satu, dan itu bisa mengubah malamnya yang membosankan menjadi cukup menyenangkan.

Ya. Kalau saja isi panggilannya lebih menarik sedikit, bukannya tentang mobil-mobil yang berlari melebihi batas maksimal dengan supirnya yang setengah mabuk. Atau, beberapa panggilan untuk membantu razia lalu lintas, mengurus para pengemudi sembrono yang tidak membawa surat izin.

Oh, ya. Sirius lebih memilih untuk berada di dalam mobil ini, menanti dengan sabar aksi yang sebenarnya.

Aksi menegangkan yang melibatkan kejar-kejaran dengan seorang drug dealer, bukannya anak muda penggila pesta yang menyupir ugal-ugalan karena mabuk. Aksi yang memacu adrenalin dengan mengejar mobil-mobil super cepat yan membawa jutaan dollar di dalam bagasi, sebuah hasil transaksi gelap para mafia. Atau mungkin mengejar bos mafianya itu sendiri. Well, apapun itu, pastinya akan lebih menarik daripada di sini seorang diri.

Ah, membayangkannya saja sudah membuat Sirius tersenyum sendiri.

Tapi, sungguh. Menunggu itu adalah pekerjaan paling membosankan seluruh jagat raya...

Bosan terus menunggu, akhirnya Sirius memutuskan untuk menanggapi salah satu panggilan bantuan. Satu aksi membosankan siapa tahu bisa membawanya ke suatu kasus yang menyenangkan. Yang membangkitkan debar jantung. Yang menarik.

Kasus yang selama ini selalu ia tunggu-tunggu.

Tapi, hal seperti itu tidak selalu ada setiap hari, kan? Kasus istimewa seperti itu tak selalu terjadi setiap saat, setiap kali kita mengucapkan permohonan kepada Tuhan sekalipun atau memohon pada bintang jatuh.

Yep. Kasus menegangkan tak selalu ada, meskipun kau seorang polisi.

.

.

.

Harry Potter © JK Rowling

La Cosa Nostra © are. key. take. tour

.

.

.

Kalaupun ada yang namanya mati kebosanan, Sirius sudah jelas mati dari sekarang. Sungguh. Bahkan Sirius beranggapan kalau alam kematian akan lebih menarik daripada dunia nyata...

Rutin, bukanlah sesuatu yang ia gemari. Rutin, bukanlah hal favoritnya sama sekali. Sirius adalah seorang laki-laki berumur 25 tahun yang menyukai ketegangan, sensasi, dan aksi. Bukan duduk bengong di dalam mobil patroli sambil mengunyah sandwich—kadang donat—sambil mata memperhatikan bosan ke jalanan. Menjadi polisi tidak seseru yang ditunjukkan pada film-film aksi.

Polisi adalah pekerjaan paling membosankan.

Terutama bila kau ada di Divisi Lalu Lintas.

Jadikan itu super duper membosankan.

"Hei, Sirius! Kau harus tahu! Kasus tadi malam itu sangat seru!"

... Oke. Pengecualian untuk Divisi Pembunuhan.

Sirius memutar tubuhnya ke arah datangnya suara. Dengan sorot mata kesal dan bosan setengah mati, ia menatap seorang pemuda bermantel cokelat susu berlari-lari kecil menghampirinya. Senyum cerah terukir di bibir sang pemuda berkacamata dan berambut berantakan. "James." gumam Sirius pelan. "Ada berita apa? Pembunuhan di mana lagi sekarang?"

Pemuda bernama James itu hanya tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-gigi putih bersih cemerlang. Mata cokelat hazel yang terletak di balik bingkai kaca mata itu berkilat jenaka. "Kau tak tahu apa yang sudah kuhadapi kemarin malam!" serunya sambil tertawa gembira.

"Well, aku tak akan bisa tahu kalau kau tak memberitahuku, James..." Lagi, Sirius menggumam pelan sambil memutar bola matanya.

James terkekeh pelan dan merangkul pundak Sirius. Diayun-ayunkannya surat kabar terbaru yang ia bawa, tepat di depan hidung Sirius. Senyum ceria masih tersungging di wajahnya. "Oh, bukan sesuatu yang besar. Hanya sebuah kasus pembunuhan besar-besaran di sebuah gudang tua. Dan asal kau tahu, itu bukanlah gudang biasa. Penuh dengan berkerat-kerat kokain, shabu, ekstasi, dan obat-obat terlarang lainnya. Oh, dan jangan lupa jutaan dollar uang tunai serta senapan mesin yang juga menjadi barang bukti. Mau berita lengkapnya? Kau bisa baca di semua koran pagi ini, halaman utama." katanya, menyerahkan koran yang ia pegang pada Sirius.

Sedikit sebal, Sirius mengambil koran yang disodorkan padanya sambil melirik James yang mengangguk antusias. Tersenyum kecil, Sirius memutuskan untuk membuka koran dan mulai membaca headline-nya:

BATTLE OF THE MAFIAS

Oh, oke. Judul yang sangat membosankan, sama membosankannya seperti hidup seorang Sirius.

Tak perlu membaca dengan detail dan cukup skimming saja, Sirius sudah tahu apa isi dari pemberitaan itu. Pertarungan antar mafia dengan menyerang gudang persediaan milik musuh. Pembunuhan dilakukan dengan cepat—kemungkinan besar dengan bantuan senapan mesin—tanpa meninggalkan satu orang pun hidup. Sedikit aneh ketika persediaan sang musuh tidak disentuh sama sekali. Dari kasus-kasus terdahulu, biasanya gudang beserta mayat dan barang persediaan akan dibakar hingga habis atau dicuri. Tak pernah mereka hanya meninggalkan mayat dengan luka tembakan di sekujur tubuh.

"Hei, James. Kau sadar, kan, kalau—"

"Mereka tidak mengambil supply musuh. Ya, aku sadar." potong James sambil mengangkat pundak enteng. "Kemungkinan yang paling besar adalah penyerangan kali ini bukan bertujuan untuk merebut supply mereka, melainkan untuk menyampaikan sebuah pesan."

"Bahwa mereka tidak bisa dianggap enteng oleh musuhnya?" tebak Sirius.

James mengangguk dan terkekeh pelan mendengar jawaban sahabatnya itu. "Aku kadang heran kenapa kau tidak mendaftar masuk untuk menjadi detektif di bagian pembunuhan saja, sepertiku." gumamnya. "Kau punya otak yang cerdas, pemikiran cepat, serta kemampuan yang sesuai untuk menjadi detektif hebat."

Ah, ya. Detektif. Sempat tebersit di benak Sirius untuk mengambil jalur kepolisian satu itu. Detektif Divisi Pembunuhan. Terdengar jauh lebih keren daripada Polisi Patroli Lalu Lintas. Sangat, sangat, sangat jauh lebih keren—mulai dari nama sampai pekerjaan.

Divisi mana yang paling sering berurusan dengan darah dan bahaya? Pembunuhan, tentu. Polisi-polisi di bagian pembunuhan selalu mendapatkan aksi yang paling menegangkan di antara polisi-polisi lainnya. Mafia? Mereka yang paling sering berurusan. Para mafia di luar sana lebih sering membunuh dan saling melontarkan timah panas daripada melanggar peraturan lalu lintas.

Sirius menatap lembaran koran itu dengan tatapan datar. Foto-foto yang menampilkan tubuh-tubuh berlumuran darah, terkapar di atas lantai konkret ataupun di atas meja penuh dengan uang tunai, kartu dan juga handgun terpampang di halaman depan. Tubuh-tubuh tak bernyawa dengan balutan kemeja berlumuran darah menjadi fokus utama kamera.

Perang antar mafia...

Bukankah justru ini yang Sirius hindari?

Sebuah sikutan keras dari James menyadarkan Sirius dari lamunannya. Sang pemuda berambut hitam berantakan itu mengedikkan kepalanya ke samping, memberi isyarat kepada Sirius untuk mengalihkan sejenak perhatian ke sudut yang ia tunjuk. Di sana, seorang pemuda dengan umur sama seperti mereka, berjalan sambil membawa tas besar. Raut wajahnya datar—malah terlihat kurang bahagia—dan sorot matanya tajam. Rambut hitam lurusnya membingkai muka lonjong sang pemuda yang masih tidak mempedulikan lingkungan sekitar. Ia bahkan tidak menggubris ejekan-ejekan yang dilontarkan oleh James serta dengus tawa Sirius. Ia terus berjalan dan berjalan memasuki kantor dengan papan 'Inspektur Jenderal' terpasang di depannya.

"Tapi, seseru apapun kasusku, kasus si Snivellus masih lebih menegangkan..." gerutu James kesal sambil melipat tangan di depan dada. Mata cokelatnya masih menatap iri ke pintu kayu itu. "Padahal kita lulus dengan nilai yang sama-sama sempurna—aku, kau, dan dia—tapi kenapa malah dia saja yang direkrut untuk menjadi mata-mata? Kutu buku seperti dia paling hanya akan memperlambat penyelidikan."

"Sudahlah, James. Suatu hari nanti kau pasti bisa melebihinya." hibur Sirius sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. "Kau akan menjadi detektif—bukan—mata-mata paling hebat yang pernah dimiliki kepolisian!"

Sorot mata kekesalan James mulai berubah menjadi kegembiraan. Diiringi tawa keras yang keluar dari mulut sang detektif, James memukul keras pundak Sirius, nyaris membuat temannya itu terjungkal. "Kau benar, sobat! Aku, James Potter, pasti akan bisa mengalahkan si Snivellus itu! Aku akan membongkar kasus mafia ini lebih cepat daripada dia!"

Cukup lama James mengoceh mengenai dirinya yang hebat, bagaimana ia suatu hari nanti akan membongkar sindikat kejahatan mendahului Snape, serta betapa luar biasa otaknya dalam memecahkan teka-teki. Hingga...

"Kau sendiri bagaimana, Sirius?" tanyanya pelan. Sorot mata cokelat yang semula penuh dengan optimisme dan percaya diri mulai berganti menjadi awas. "Kau... Kau mau terus menjalani kehidupan membosankanmu sebagai polisi lalu lintas?"

Sirius mendesah lesu. "Kau tahu kalau aku tidak mau menarik perhatian, kan? Kalau sampai dia tahu aku ada di sini..."

"Oke, oke. Aku mengerti." kata James cepat-cepat. Matanya melirik kiri dan kanan penuh kewaspadaan. Ia lalu menghembuskan napas lega saat tak ada seorangpun di dekat mereka. "Hanya saja, kejadian itu sudah terjadi lebih dari delapan tahun yang lalu. Mungkin, sedikit melangkah keluar dari gua gelapmu itu tidak terlalu buruk. Selagi kau duduk berlindung di dalam mobil patrolimu, kasus-kasus menegangkan terjadi. Mereka butuh pemecahan dari otak cemerlangmu, teman."

"Tidak sekarang, James." bisik Sirius pelan. Mata abu-abunya menatap datar lantai keramik yang ia pijak, enggan menatap lurus.

"Tidak sekarang..."


Di sebuah kamar berlantai marmer, seorang pemuda berambut cokelat madu tampak tertidur nyenyak di atas ranjang king size—dua meter kali dua meter. Bantal-bantal lembut berisikan bulu angsa menjadi alas kepala yang luar biasa nyaman dan selimut berwarna biru tua menjadi penghangat tubuhnya. Jendela-jendela besar dengan tirai berwarna biru tua menghalangi sinar matahari pagi yang mulai menyelinap masuk melalui sela-sela tirai. Sebuah baby grand piano berdiri dengan anggunnya di dekat jendela, didampingi oleh sebuah rak besar bewarna hitam yang penuh dengan buku-buku piano. Tak jauh dari rak buku tersebut, sebuah archway memisahkan antara kamar tidur dengan kamar mandi dan walking closet.

Seorang laki-laki bersetelan rapi tampak memasuki ruangan. Ia tak segan menginjakkan sepatu kulit hitamnya itu di atas rugs berwarna biru kehijauan, melangkah tanpa ragu menuju deretan jendela. Hanya dengan satu tarikan, ia membuka tirai lebar-lebar, membiarkan sinar matahari memasuki kamar tersebut.

Laki-laki itu tersenyum lembut saat mendengar erangan ptotes dari pemuda yang ada di atas tempat tidur. "Bangun, Remus. Hari sudah siang."

Pemuda manis berambut cokelat itu mengerang sekali lagi dan menarik selimut melebihi kepalanya sebagai tanda protes. Matanya memejam semakin erat ketika sinar matahari menimpa wajahnya. Ia bahkan membalikkan tubuhnya, menjauhi arah sinar matahari. "Ngh... Aku masih mengantuk, Dad..."

John Lupin tertawa kecil mendengar protes putra tunggalnya itu. Ia memutar tubuhnya dan berkacak pinggang melihat gulungan selimut di depannya. "Jelas saja kau mengantuk. Jam berapa kemarin kau pulang, hm?"

"... Jam dua malam..."

"Ah. Dan seingatku, konsermu selesai jam sebelas malam. Apa yang kau lakukan hingga larut malam begitu, Remus?"

"... After party..."

"Dan dengan siapa kau pulang? Seingatku, kau menyuruhku untuk pulang duluan."

"... Bisakah kita bicarakan ini nanti saat aku bangun nanti? Aku masih mau tidur..." Dan untuk menegaskan perkataannya, Remus bergulung semakin dalam pada selimutnya. Bantalnya juga ia peluk semakin erat.

John hanya tertawa pelan dan berjalan menuju tempat tidur anaknya. Ia meraih ujung selimut biru tersebut dan menariknya keras, membuat Remus menjerit kaget. "Kau sudah bangun sekarang." katanya. "Cepat mandi dan sarapan. Oh, jangan lupa untuk pergi ke bank."

Dahi Remus berkerenyit saat mendengar perkataan terakhir ayahnya. Mata cokelat mudanya yang masih mengantuk tampak menyipit dengan penuh kecurigaan ke arah laki-laki berumur empat puluhan itu. "... Bank?" ulangnya. "Untuk apa aku ke bank?"

"Kau lupa kalau kau mau mengurus kartu kreditmu? Kau sendiri yang bilang kalau kau tak butuh kartu kredit dan lebih memilih membawa cash."

"Tidak bisakah aku titip Dad saja?"

"Tidak boleh. Masalah kartu kredit itu tanggung jawabmu. Toh, kau tidak sedang mempersiapkan resital." sahut John enteng. Sambil tersenyum, ia berjalan menuju pintu keluar dan menghiraukan protes dari putranya yang malah merebahkan diri di atas kasur.

Lagipula, siapa yang butuh datang pagi-pagi ke bank untuk mengantri?

Apalagi bila kau adalah pemilik bank paling besar di Inggris.

Apalagi nama belakangmu adalah Lupin. Pemilik bank terbesar di Inggris.

Sangat tidak butuh datang pagi-pagi. Ia bisa datang kapan saja ia mau. Itu bank-nya.


Setelah dibangunkan paksa oleh bunyi alarm yang nyaring (rupanya John sempat menyetel alarm terkutuk itu sebelum meninggalkan kamar putranya), Remus sekarang berjalan memasuki sebuah gedung pencakar langit berlantai dua puluh. Dengan mata cokelat madunya, Remus memandangi gedung tinggi bergaya arsitektur internasional tersebut. Kemilau matahari pagi memantul dari kaca-kaca gedung di sekitarnya.

Remus menarik napas dalam-dalam dan mulai menaiki tangga menuju pintu masuk. Bunyi elektrik mesin terdengar saat dua pintu kaca membuka secara otomatis, mempersilakan Remus untuk masuk ke dalam gedung. Bunyi langkah kakinya terdengar nyaring, menggema di lobi bank dengan langit-langit setinggi tujuh meter dengan mezanin. Pilar-pilar tinggi berlapis granit hitam tampak menjulang tinggi, menopang langit-langit berbahan gipsum tersebut dengan kokohnya. Bunyi hak sepatu beradu dengan lantai granit berwarna putih gading terdengar menemani percakapan santai nasabah dan sapaan ramah para pegawai bank. Bunyi printer dan bunyi mesin terdengar sayup-sayup dari sisi meja costumer service serta teller. Bukan hanya bunyi-bunyian khas bank saja yang Remus dengar. Pada mezanin, suara mesin kopi dan dentingan cangkir terdengar. Senda gurau para pengguna kafe—terletak pada mezanin lobi—serta renyahnya croissant di pagi hari memperkaya suara yang memenuhi lobi bank. Dan bau espresso mengingatkan Remus untuk membeli satu sebelum pulang. Ia sangat butuh kopi.

"Mr. Lupin. Ada yang bisa saya bantu, Sir?" tanya seorang pegawai bank ramah, menghampiri Remus yang masih berdiri di tengah-tengah lobi. Senyum cemerlang dengan deret gigi putih dipamerkan dengan bangga oleh sang pegawai.

"Aku... Hanya ingin mengurus kartu kreditku." balas Remus sambil tersenyum kecil.

"Apa ada masalah, Sir? Terblokir? Dicuri? Hilang? Atau—"

"Bukan, bukan." potong Remus buru-buru. "Aku hanya—"

"Apa pajaknya terlalu tinggi? Bunga terlalu rendah? Kalau Anda tahu, kami baru saja membuka promo baru dengan potongan nol persen setiap pembelian di toko-toko bertanda khusus. Dengan demikian, Anda bisa berhemat sebesar—"

"Bisakah aku segera mengurus kartu kredit ini? Sekarang? Aku buru-buru."

Sang pegawai bank langsung menutup mulutnya dan mengangguk penuh hormat sebelum menggiring Remus ke salah satu costumer service. Ia tahu kalau ia tak boleh membuat tamu yang satu ini kesal. Bagaimanapun juga, ini adalah tamu istimewa. Membuat kesal tamu istimewa seperti ini hanya akan membuatnya didepak keluar dari jajaran karyawan bank.

Remus menghembuskan napas lega. Akhirnya. Akhirnya ia bisa mengurus kartu kredit itu dan pulang, melanjutkan tidur nyenyaknya. Akhirnya...

Suara decit ban serta tabrakan keras terdengar tepat di luar pintu bank. Banyak nasabah dan pegawai yang menjerit ketakutan saat melihat beberapa Hummerberwarna hitam dan satu van hitam berenti tepat di depan pintu bank. Satu mobil Hummer baru saja menabrak satu mobil sedan, menghancurkan bagian depan mobil kecil tersebut hingga remuk. Selang beberapa detik setelah mobil-mobil hitam tersebut berhenti, sekelompok orang dengan pakaian serba hitam dan topeng aneh berbentuk kepala serigala keluar dari mobil. Dengan membawa senapan dan senjata api lainnya, mereka memasuki bank. Orang terdepan—seorang laki-laki bertubuh tinggi besar—menembakan senapan ke langit-langit, menjatuhkan lampu gantung berbahan onix, nyaris menimpa seorang pengunjung bank.

"Semuanya, diam! Jangan ada yang bergerak dan serahkan semua barang berharga kalian! Ini perampokan!"

Bentakan itu berhasil membuat para pengunjung serta pegawai bank terdiam. Bank yang semula penuh dengan jerit histeris dan ketakutan telah menjadi sepi. Yang tersisa hanya suara langkah kaki para perampok serta isak tangis para wanita.

Sementara Remus sendiri masih terpaku, tak sanggup bergerak. Entah karena takut atau terlalu kaget. Mata cokelat muda Remus menatap kaget ke gerombolan berpakaian hitam tersebut yang sudah memasuki bank. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.

'Astaga! Perampokan di saat seperti ini? Kalau begini urusan kartu kreditku bisa lebih lama, dong!'

'Tunggu. Daripada memikirkan kartu kredit, bukankah lebih baik kalau aku memikirkan keselamatanku sendiri?'

'... Dan aku masih mengantuk...'

Segala pikiran dan dialog batin Remus langsung sirna saat tembakan bertubi-tubi terdengar diiringi jerit ketakutan beberapa orang. Detik berikutnya yang Remus lihat adalah tubuh seorang petugas keamanan yang rubuh di bawah kakinya. Tiga lubang di dada serta satu di kepala berhasil melumpuhkan sang petugas. Tembakan lainnya juga terdengar yang kemudian diiringi suara benda berat jatuh menghantam lantai marmer. Rupanya rekan sang petugas juga sudah dilumpuhkan oleh para perampok.

Remus sekarang benar-benar ketakutan. Tubuhnya gemetaran melihat mayat berlumuran darah dan mata membelalak lebar terbaring di depannya. Ia ingin kabur, tapi entah kenapa kedua kakinya menolak untuk bergerak sedikitpun. Selain itu, ia juga takut kalau ia akan menjadi korban berikutnya kalau bergerak sedikit saja.

Napas Remus tercekat saat melihat seorang perampok berjalan mendekatinya, berniat untuk mengambil persenjataan sang petugas keamanannya yang berhasil ia lumpuhkan. Ia membungkuk setelah mengambil handgun yang tergenggam di tangan sang petugas dan kembali berdiri. Mata di balik topeng serigala yang ia kenakan beradu dengan mata cokelat madu milik Remus. Menyadari bahwa pandangan mereka beradu, Remus segera memalingkan wajahnya. Dalam hati, ia berdoa semoga—semoga!—perampok ini tidak mengenalinya. Semoga...

Tapi, itu semua berubah menjadi impian belaka saat suara kokangan senjata terdengar. Dinginnya moncong senjata kemudian terasa beradu dengan kulit lembut Remus, tepat diarahkan di pelipis sang pemuda berambut cokelat muda.

Takut-takut, Remus melirik ke samping. Detak jantungnya serasa berhenti saat melihat seringai penuh kemenangan terlihat dari balik topeng serigala itu.

"Hei, Bos! Kita dapat tangkapan ekstra hari ini! Lihatlah, ini putra si Lupin!"

Dan di detik itu Remus tahu kalau ia tak akan bisa bertemu dengan ranjang empuknya dalam waktu dekat.

To Be Continued


A/N : ... Oke. Saya emang tolol kalo bikin pembuka. Kenapa semua yang serba awal-awal itu susah dibikin? Awal nge-design, awal bikin laporan? O.o Anyway, makasih banyak buat dukungan seorang Ambudaff dan Psychochiatrist! Tanpa kalian berdua, mungkin saya masih nyasar di fandom-fandom lain. Atau sekarang saya lagi nyari-nyari planet buat di Star Wars. Hohoho.

Uumm... Ada yang mau review cerita aneh ini? #kedipkedip