A/N : Dan saya sempet nge-blank buat ngelanjutin ini...

Disclaimer : Karakter punya saya. #plak Kayaknya gak usah pake disclaimer juga seluruh jagat raya sampe Coruscant udah tau kalo karakter sinting ini bukan punya saya, tapi punya tante girang bernama JK Rowling =3= Tanteee~ Bagi, dong, karakternya satuuuu aja. Kasih saya Remus sama Sirius juga udah cukup, kok~ #ituduaheeeii

Warning : Interogasi panjang membosankan. Saya juga teler bikinnya. Buat yang mau iseng menebak pelaku, silakan, lho, masbro dan mbabro. Dan tentu ada RiddlexRemusxSirius dengan Remus uke central. Ya, masa' iya, tau-tau Sirius jadi uke? Jangan dooonng~ Ntar uke ngembat seme, dong? =3=


"Hei, Remus! Tidak menyangka kau ada di sini!" sapa Sirius ceria.

Dua pasang mata cokelat membelalak lebar saat melihat sosok polisi tampan itu berdiri di samping meja. Senyum memukau menghiasi wajah tampannya sementara tangan kanannya melambai ringan, menyapa.

Kenapa, oh, kenapa seorang Sirius Black harus datang sekarang? Kenapa dia tidak datang nanti, sepuluh tahun lagi? Atau nanti di saat dunia menjelang akhirnya? Kenapa harus sekarang, saat Remus memutuskan untuk menikmati kebersamaannya dengan Riddle?

"Oh, aku pesan makanan dulu, ya. Supaya kita bisa berbincang-bincang lebih santai. Kebetulan, banyak yang ingin kuceritakan padamu, Remus." ucap Sirius sambil tersenyum. Ia membungkuk sedikit kepada Alice sebelum berbalik menuju meja pemesanan.

Remus menatap punggung Sirius yang berjalan menjauh kemudian mendesah. Kalau sudah begini caranya, ia tak mungkin kabur diam-diam dari kafe bersama Alice, kan? Berbohong dengan mengatakan ada latihan dadakan sebenarnya bisa. Kebetulan, ada Alice di sampingnya yang bisa mendukung kebohongnnya. Tapi sayang. Remus bukan pembohong ulung. Satu-satunya kebohongan yang pernah ia lakukan adalah kebohongan kalau ia tidak merusakan maket yang sudah susah payah dibuat oleh ibunya dulu. Dengan bodoh dan polosnya, ia mengatakan kalau yang menumpahkan cereal ke atas maket putih bersih itu adalah kucingnya, Moony. Padahal kucing malang itu sedang grooming di toko hewan terdekat.

Tidak. Remus tidak pandai berbohong. Kali ini juga ia tak yakin bisa berbohong dan kabur dari Sirius begitu saja.

Sementara itu, Alice terus memperhatikan gerak-gerik Sirius semenjak ia pergi dan sekarang berada di meja pemesanan. "... Pantas saja kau bisa menyukainya, Remus. Dilihat dari penampilan, dia tidak kalah tampan dan gagah dari Tom. Apalagi dengan seragam polisinya itu membuat kesan gagahnya menjadi berlipat-lipat. Kau punya fetish dengan seragam polisi, Remus?"

"Bukan..." geram Remus pelan.

"Oh. Aku punya pertanyaan bagus, Remus. Kenapa dari semua pria yang ada di muka bumi, kau harus berselingkuh dengannya?"

"Aku tidak selingkuh, Alice!"

"Oke, oke. Kenapa dari semua pria yang ada di muka bumi ini, kau memutuskan untuk main mata dengan yang ini? Rasanya banyak pria-pria lainnya yang tak kalah tampan darinya. Kau tahu, Gilderoy Lockheart pemilik gedung pertunjukkan kita kemarin sepertinya menaruh hati padamu. Dan wajahnya juga tidak terlalu jelek, kok. Lalu, Amos Diggory si pemain cello juga menarik. Sekian banyak pria tampan di dunia ini, Remus, kenapa kau harus menjatuhkan pilihan kepada seorang polisi lalu lintas yang tak jelas asal-usulnya?"

Remus terdiam. Mata cokelatnya mengerling ke arah Sirius yang sekarang tertawa-tawa bersama Rosmerta—sepertinya menertawakan lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Sirius. Melihat tawa sang polisi, membuat Remus tersenyum kecil. "Karena dia adalah... penyelamatku."

"Eh?"

"Kau ingat kejadian perampokan beberapa minggu lalu? Waktu itu, aku juga diculik. Dan disanalah aku pertama kali bertemu dengannya. Saat aku bertemu dengannya, aku... aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan kata-kata. Ia ada di sana, berdiri di pintu van yang terbuka dan mengulurkan tangannya padaku. Dia menolongku, sebelum Dad sempat berbuat apa-apa. Bahkan pelaku penculikkannya belum sempat menelpon Dad dan menyebutkan nominal tuntutannya.

"Selama ini, aku selalu diajarkan bahwa uang yang dimiliki keluargaku selalu bisa menolongku dalam segala urusan. Selama rekening keluargaku masih penuh dengan uang, semuanya teratasi. Makanya, aku tak pernah merasa butuh untuk ditolong. Aku selalu bisa mengatasi semua masalahku."

Remus menarik napas panjang dan melirik Sirius yang masih berada di meja pemesanan. "Dan dia menolongku. Bagiku, itu sebuah kejutan yang menyenangkan. Selain itu, dari apa yang diceritakan Lily, polisi forensik yang sempat kuceritakan waktu itu, penyelamatanku tidaklah mudah. Dan Sirius seorang diri mati-matian menyelamatkanku! Sendirian, Alice! Dia bertarung melawan kematian hanya demi aku. Orang asing yang tak jelas siapa nama dan asal-usulnya. Dia mau bersusah payah hanya untuk aku."

"Jadi, ini semacam... cinta pada pandangan pertama?" tanya Alice.

"Dibilang cinta juga aku sendiri tidak tahu..." gumam Remus pelan. "Mungkin... Mungkin lebih tepat kalau aku tertarik padanya. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku penasaran dan ingin mengenalnya lebih dekat."

"Kalau kau hanya penasaran padanya, kenapa kau harus bimbang mengenai hubunganmu dengan Tom? Hubungan kalian harusnya baik-baik saja, kan?"

Kembali Remus melayangkan pandang ke arah Sirius. Sepertinya pesanan sang polisi sudah selesai dan sekarang uang kembali sedang diserahkan Rosmersta kepadanya. Sebentar lagi, polisi itu akan bergabung bersama dengan Remus dan Alice. "Mungkin, aku takut karena tarikannya begitu... kuat. Aku takut kalau rasa penasaranku ini malah akan membuatku semakin terikat padanya dan melupakan Tom..."

"Kalau begitu," Alice meraih tangan kiri Remus dan meremasnya lembut. Seulas senyum singkat mengembang di wajahnya yang manis. "Coba tahan rasa penasaranmu padanya. Kau sudah berjanji untuk terus mencintai Tom seumur hidup, kan? Satu untuk selamanya? Jangan sampai kau harus menjilat ludahmu sendiri. Oke, Remus?"

Remus tersenyum dan mengangguk. "Ya. Aku tahu."

"Hei!" sapa Sirius riang sambil meletakkan kopi dan piring sandwich-nya. Dengan senyum lebar terpampang di wajah tampannya, ia mengambil duduk berseberangan dengan Remus dan mengawasi Alice dengan penuh antusias. "Hai. Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Kenalkan! Namaku Sirius. Sirius... Black." ucap sang polisi lalu lintas sambil mengulurkan tangannya dan menjabat Alice.

Sesaat tadi, Remus merasa ada sedikit keraguan dalam nada suara Sirius ketika menyebutkan nama keluarganya. Remus masih belum bisa memahami betul apa yang terjadi antara Sirius dengan keluarganya, tapi ia mencoba untuk mengerti situasinya. Mungkin, Sirius masih butuh sedikit waktu untuk menerima kenyataan dan membuka diri sedikit demi sedikit kepada Remus.

Tunggu. Kenapa Sirius harus membuka diri pada Remus?

Oh, ya. Dia sudah terlanjur bicara pada Remus tentang keluarganya yang dibantai kemarin malam.

Kemarin malam...

"Well, sepertinya aku tidak bisa lama-lama berada di sini." ucap Alice sambil tersenyum. Sang gadis berambut cokelat berdiri dari sofa dan merapikan sedikit kerutan pada rok hitamnya. "Aku masih ada latihan untuk persiapan konser beberapa minggu lagi. Maaf kalau aku tidak bisa lebih lama lagi dan bercengkerama dengan kalian. Toodles!" Dan dalam sekejap mata, Alice sudah melesat keluar meninggalkan Three Broomsticks.

Meninggalkan Remus duduk dengan gelisahnya di bawah mata tajam seorang Sirius Black.

Remus melontarkan satu senyum kecil ke arah Sirius sebelum kembali meminum kopinya. Sebetulnya ia tidak terlalu haus, hanya saja sang pianis tak tahu mau membuka pembicaraan dengan apa. Selain itu, senyum kaku yang barusan ia lontarkan rasanya terkesan terlalu dibuat-buat dan ia takut polisi cermat dengan otak cemerlang seperti Sirius bisa menangkap keganjilan pada tarikan bibirnya.

"... Kau tidak apa-apa, Remus?" tanya Sirius, membuka percakapan di antara mereka berdua. Lambat-lambat, ia memotong sandwich tuna-nya. Ia sempat berhenti sejenak dan terkekeh pelan, merasa geli dengan sesuatu. Mungkin geli dengan pertanyaannya sendiri. "Silly me. Seharusnya aku tidak perlu menanyakan hal yang sudah jelas seperti itu. Kau sampai bisa berada di sini itu berarti kau tidak apa-apa. Iya, kan?"

Napas Remus seolah tercekat di kerongkongan saat melihat wajah tampan berhiaskan senyuman lebar itu. Sorot mata abu-abunya tampak begitu khawatir dan peduli, sementara senyumannya begitu lega. Lega, karena Remus tak apa-apa.

Mungkin ini juga yang membuat Remus merasa nyaman dan tertarik pada sosok polisi lalu lintas yang misterius ini. Bukan sekedar kabut misteri yang masih menyelimuti sosok pemuda ini, tapi juga perhatian ekstra yang ia berikan. Bagi Remus, perhatian dan segala bentuk perlindungan yang dengan suka rela diberikan oleh Sirius terasa berlebihan. Oke, dia adalah seorang polisi yang berarti harus melindungi masyarakat awam seperti Remus. Tapi, tetap saja ia merasa seperti diistimewakan.

Contoh seperti sekarang.

Sudah hampir tengah hari dan Sirius masih mau menyempatkan diri untuk duduk bersama dengan Remus, saling berbagi cerita. Bukan hanya sekali-dua kali, tapi beberapa kali. Bukankah polisi ini punya tugas? Patroli atau semacamnya? Kalau benar polisi satu ini melindungi Remus mati-matian semata karena itu tugas dan kewajibannya sebagai polisi, seharusnya Sirius menjalankan patrolinya. Kemungkinan hal-hal buruk terjadi di jalanan lebih besar ketimbang sebuah kedai nyaman dengan musik jazz dan bossanova mengalun merdu.

Memang Three Broomsticks bisa saja diserbu perampok atau semacamnya, tapi resiko itu jauh lebih sedikit daripada kejahatan di jalanan. Kalau Sirius benar-benar seorang polisi yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya, seharusnya ia mementingkan patroli ketimbang duduk bersama Remus.

Sebegitu pentingkah Remus bagi Sirius?

Padahal mereka berdua baru bertemu beberapa minggu lalu.

Bisakah dalam hitungan minggu dua orang merasa sangat terikat satu dengan yang lainnya?

"Remus?" Panggilan Sirius sontak membuyarkan lamunan sang pianis. "Kau betul-betul tidak apa-apa, kan? Bagaimana kau bisa lari dari gedung opera waktu itu?"

Remus mengedip-ngedipkan matanya. Masih butuh waktu beberapa saat bagi otaknya untuk mencerna pertanyaan Sirius. "Ya, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit shock dan tergores sedikit, tapi tak apa-apa. Masih bisa disembuhkan dengan obat merah, kok. Bukan luka besar." Lalu jawaban atas pertanyaan terakhir Sirius...

Remus tidak tahu jawabannya.

Jujur, ia tidak tahu.

"... Aku tak tahu." gumamnya pelan. "Yang aku ingat hanya Tom yang menarikku ke pintu keluar dimana sebuah mobil—sepertinya Rolls Royce atau Bentley, aku tidak terlalu memperhatikan—berhenti tepat di depan kami berdua. Dia langsung mendorongku masuk sebelum dia sendiri juga masuk dan setelah itu... Aku tak ingat. Aku tak ingat bagaimana aku bisa sampai ke rumah. Seharusnya aku sampai ke rumah dengan mobil itu, tapi aku tak tahu bagaimana mobil tersebut bisa melewati tembak-tembakan antara polisi dengan Werewolves..."

Remus bisa melihat ekspresi tak senang di wajah Sirius saat ia menyinggung-nyinggung mengenai Tom Riddle, kekasihnya. Sang pianis bisa mendengarkan gemeretak gigi saling bergesek tak senang dan tangan Sirius mengepal lebih erat dari sebelumnya saat Tom Riddle disinggung. Tapi, Remus tak terlalu memikirkan itu. Ia menganggap itu semua hanyalah bayangnya semata. Tak mungkin Sirius dan Tom saling kenal.

Kan?

"Begitu." gumam Sirius sambil memainkan sendok pengaduk kopinya, malas. Kilat gembira yang semula tampak jelas di lautan abu-abu matanya entah mengapa mulai meredup, tergantikan oleh sinar kelam kebosanan. "Kau beruntung sekali bisa punya pacar seprotektif dia." lanjut sang polisi, sedikit sinis.

"Tunangan." koreksi Remus, tanpa sempat ia bendung. "Ia sudah bukan pacarku lagi. Dia sudah jadi tunanganku."

Ingin rasanya Remus mengatupkan tangan ke mulutnya, membendung kalimat yang entah kenapa terlontar dengan begitu mulus keluar dari mulutnya. Apalagi ketika ia melihat ekspresi terkejut dan... tersakiti yang terlukis jelas di wajah Sirius. Tangan sang pemuda bersurai hitam yang semula mengaduk dengan lemas berhenti, kaku. Bahkan Remus seperti merasakan waktu di meja mereka berdua seolah-olah berhenti ketika ia menyebutkan kata 'tunangan'.

"... Oh." Satu kata pendek keluar dari mulut Sirius. Mata abu-abunya masih membelalak tak percaya. Ia lalu mendengus pelan saat matanya menangkap kilau berlian di jari manis Remus. Kilau yang begitu cemerlang yang seharusnya tidak luput dari penglihatannya. "Begitu. Selamat untuk kalian berdua. Kapan kalian akan menikah?"

"Secepatnya."

Sungguh Remus ingin melakban mulutnya sendiri. Seenaknya ia mengatakan pernikahan akan secepatnya dilaksanakan, padahal Riddle sendiri masih belum mengucapkan kata 'pernikahan.' Jangankan satu kata penuh. Penggalan kata 'nikah' atau semacamnya saja belum terlontar dari mulut tunangannya itu.

Sirius terdiam dan menatap Remus. Seulas senyum lambat-lambat muncul di kedua bibirnya sambil berkata, "Selamat, kalau begitu. Kalian berdua pasangan yang cocok."

'Cocok apanya! Ia tak pernah bisa kuhubungi! SMS tak pernah dibalas, telepon tak pernah disahut, apalagi e-mail! Belum lagi ia selalu memaksakan kehendak dan hobinya padaku! Pria egois tidak perhatian seperti itu tidak mungkin cocok denganku! Kau yang cocok untukku, Sirius!'

Astaga. Semoga Remus tidak mengucapkan kalimat panjang penuh dengan curahan hati serta pengakuan cinta tak langsung itu pada Sirius...

Kalau ya, matilah dia.

Tapi, melihat dari ekspresi Sirius yang masih normal—tak terkejut, terkesiap, atau sebangsanya—sepertinya raungan barusan masihlah aman di dalam hati dan pikiran Remus. Untuk sementara.

"Sekali lagi, selamat atas pertunangannya." ujar Sirius pelan. Terlalu pelan, hampir berbisik. "Semoga kalian berdua bahagia nanti."

Kali ini Remus tak bisa bicara banyak. Tenggorokannya serasa tercekat dan dadanya sakit ketika mendengar kalimat itu terdengar keluar dari mulut Sirius. Sesuatu pada diri sang pianis berambut cokelat seolah menyesal dan ingin memberontak.

Dan kembali cincin berlian di jari manisnya tampak sangat, sangat, sangat, sangat menyebalkan...

.

.

.

"Harry Potter" by JK Rowling

"La Cosa Nostra" by are. key. take. tour

.

.

.

"Jadi, bisa Anda ceritakan pada kami alasan Anda dan istri Anda bertukar kursi, Mr. Rodolphus Lestrange."

Rodolphus menatap geram ke arah Severus yang berdiri angkuh di depannya. Seorang pemuda lainnya—rambut berantakan berkacamata—duduk berseberangan dengannya. Terlihat dari ekspresi sang polisi berkacamata itu kalau ia sedikit terusik dengan keberadaan rekan berambut hitam lurus yang sok berkuasa itu.

Kembali mata hijau Rodolphus mengarah pada sosok Severus—masih berdiri angkuh dengan berkacak pinggang—dengan tatapan tak senang. Ia merupakan bagian dari keluarga terkemuka. Apalagi keluarganya adalah mafia terbesar di Inggris. Berani soldier rendahan seperti dia macam-macam dengan bagian dari borgata, kepalanya yang jadi tumbal.

Oh, ya. Rodolphus, sebagai bagian dari kelompok mafia yang disusupi oleh Severus, tahu betul siapa pria yang berdiri di depannya ini. Dulu, sekitar setahun yang lalu Lucius Malfoy memperkenalkan pria ini pada borgata sebagai penembak jitu dan soldier paling loyal. Kenyataan bahwa Severus adalah anggota kepolisian—dengan jabatan Commander—tidak menyurutkan semangat Lucius untuk mempromosikan orang baru itu kepada organisasi. Bahkan, Severus Snape sendiri mengiyakan tugas dari sang Boss untuk menjadi mata-mata di dalam tubuh kepolisian. Meskipun begitu, beberapa di antara borgata masih ragu dengan keloyalan Severus. Wajar saja. Dengan status double-agent yang disandang Severus, keraguan pasti muncul.

Dan dengan kasus ini, keloyalan Severus akan diuji.

Loyal, berarti ia akan melindungi semua anggota borgata yang terlibat dalam interogasi dan menangkap pelaku sebenarnya.

Pengkhianat, berarti dia menjerumuskan anggota borgata dalam kasus kali ini.

"Kalau Anda sudah selesai melamun, mungkin bisa segera menjawab pertanyaan kita."

Rodolphus menggeram kesal. Bagaimanapun juga, ia tetap tak menyukai arogansi si agen ganda ini. Tak pernah suka. "Istriku tidak mau terlihat menonton pertunjukan itu. Kalian tahu, kan, kalau istriku itu penyanyi opera. Dia sempat ikut audisi demi peran Christine, tapi ia gagal mendapatkannya. Malah saingannya, Selena Warbeck, mendapatkan peran itu. Jadi, ia tidak mau menonton di bawah sana, berhadapan dengan panggung dengan resiko terlihat saingannya."

"Kalau memang ia tak mau datang, dia bisa saja tidak membeli tiketnya, kan?" tanya James sambil menaikkan kedua alisnya, penasaran. "Atau, batalkan saja pesanan tiketnya."

"Tidak bisa." sahut Rodolphus diiringi desah napas panjang. "Tiket yang kami dapatkan itu sebenarnya dikirimkan ke rumah untuk beberapa anggota keluarga. Kami tidak punya keinginan untuk menonton pertunjukkan itu."

James mengangguk pelan. Sebetulnya, ia sedikit tahu tentang asal-muasal tiket itu dari cerita Sirius. Sirius sendiri tahu dari Regulus. Ia hanya mau memastikan apakah cerita yang dilontarkan oleh dua orang ini sama atau berbeda. Kalau berbeda, itu berarti salah satu dari mereka berbohong. Tapi, dengan kesamaan cerita seperti ini, tidak diragukan lagi bahwa mereka berada pada satu cerita yang sama. "Begitu... Lalu, apa yang kau lakukan sebelum lampu gantung jatuh?"

Pria berambut pirang itu mendesah panjang. Mata hijaunya menatap ke langit-langit beton ruang interogasi. "Hm... Aku hanya duduk di box bersama istriku yang terus mengeluh tentang betapa buruknya penampilan Warbeck. Sedikit bosan, sebetulnya. Opera isn't really my thing."

"Kau duduk di box M." kata Severus. "Apa kau melihat sesuatu yang ganjil?"

"Ganjil, ya..." ulang Rodolphus dengan kening berkerenyit. "Hm... Entahlah. Penglihatanku agak kabur di sana saat ruangan digelapkan. Yang kulihat hanya bayang-bayang samar dengan sedikit suara-suara tak jelas. Tidak. Aku tidak melihat sesuatu yang ganjil."

Tampak jelas James dan Severus kecewa dengan jawaban Rodolphus. "Apa Anda yakin? Anda duduk di box yang cukup tinggi dengan jangkauan pandang yang cukup baik. Seharusnya kau bisa melihat sesuatu—biarpun sedikit dan samar—gerakan-gerakan mencurigakan di sekitarmu." tanya James, masih tak yakin kalau orang ini tidak melihat apa-apa. Oke, ruang pertunjukkan memang redup, tapi itu bukan berarti gelap sama sekali! Apa dia sedang menutupi sesuatu?

Nampaknya kegiggihan James membuat Rodolphus geram. Ia menggebrak meja dan menunjuk James murka seraya berseru, "Kau mau menuduhku bohong, ya? Dasar polisi menyebalkan! Sudah kubilang kalau aku tidak lihat apa-apa karena sekitarku gelap! Memangnya itu salah, hah!" Kembali ia menggebrak meja aluminium dengan penuh amarah.

Severus memutar kedua bola matanya, jengah. Beginilah kalau bekerja dengan amatiran.

"Begitu." gumam James santai, seolah-olah raung kemarahan seorang Rodolphus Lestrange barusan bagai semilir angin. Tangan dan matanya terus sibuk membuka-buka map kuning yang ternyata berisi denah, potongan, serta tampak dari ruang pertunjukkan. "Aku sedikit ngotot karena dilihat dari potongan ini, seharusnya kau masih bisa melihat sesuatu, Sir. Memang lampu diseluruh ruang pertunjukkan diredupkan untuk memfokuskan perhatian penonton pada panggung, tapi tetap saja ada lampu kecil yang menyala redup untuk membantu pergerakan penonton.

"Lampu tersebut cukup terang untuk menyinari alley sepanjang kursi dan juga pintu keluar. Dengan total run time dua jam tiga puluh menit—plus lima belas menit intermission—pasti cukup membuat penonton tak sabar untuk ke toilet. Atau untuk kasus seperti kita sesama pembenci opera, lampu itu sangat membantu untuk keluar dari ruangan di tengah pertunjukkan.

"Jadi, dengan kombinasi lampu dan kau yang tak tahan opera, rasanya tidak mungkin kau tidak melihat sesuatu yang aneh. Kau pasti sering beranjak dari kursimu, menghindari keluh kesah istrimu tentang opera dan pertunjukkan operanya itu sendiri. Kau pasti melihat sesuatu pada saat menjauh."

Sudah tak tergambarkan bagaimana ekspresi wajah Rodolphus Lestrange. Percampuran antara marah, kesal, malu, dan macam-macam ekspresi lainnya. Mata hijaunya menatap James—yang masih tersenyum lebar, seolah-olah tak ada masalah—dengan tatapan membunuh yang sangat kentara. Kedua tangannya mengepal erat di atas meja. Tapi, akhirnya ekspresinya itu berubah menjadi sedikit lebih lunak. "Kau benar." gumamnya. "Aku sebetulnya melihat sesuatu saat menjauh dari istriku. Sungguh, kadang ocehannya tentang opera bisa membuat telingaku berdarah."

Kedua mata abu-abu Severus membelalak lebar. Ia melirik James—yang masih nyengir lebar—tak percaya. Orang amatiran ini berhasil membuat tersangka bicara. Hanya dengan gertakan kecil seperti itu?

Mungkin, Severus tidak seharusnya menganggap enteng pemuda satu ini...

"Jadi, apa yang kau lihat?" tanya James.

Rodolphus menghela napas sebelum menjawab, "Sesuatu dari sebelah kanan box-ku. Sesuatu yang sepertinya panjang dan mengacungkannya ke atas. Seperti ini." Ia kemudian memperagakan gerakan seseorang membidik ke atas dengan pistol.

Kanan atas, hm?

"Baiklah. Terima kasih untuk kerja samanya, Mr. Lestrange. Bisa tolong beritahu istrimu kalau sekarang gilirannya?"


"Sudah kubilang aku tidak mungkin pelakunya! Kenapa kalian bersikeras untuk menyelidikiku? Yang meninggal itu kedua orang tuaku! Orang tua kandungku! Bagaimana mungkin aku, putri tertua mereka, tega melakukan ini semua?" Itulah kata-kata yang mengalir pertama kali sejak Bellatrix Lestrange duduk di kursi interogasi. Wajah cantiknya tersembunyi di balik sapu tangan yang basah kuyup oleh air mata.

Lagi, Severus dan James saling lirik. Ada sedikit rasa enggan melihat seorang lady seperti Bellatrix menangis sesenggukan di depan mereka. Tapi, mau bagaimana lagi. Perempuan ini adalah tersangka sekaligus saksi penting dalam kasus pembunuhan ini.

"Begini, Mrs. Lestrange." ucap Severus dengan suara selembut mungkin. "Kami mengerti bahwa Anda sangat terpukul dengan kejadian ini, tapi bagaimanapun juga, kami butuh kesaksianmu. Kami tidak menganggap Anda sebagai tersangka atau menuduh semacam itu, hanya saja—"

"Dan untuk apa kau memanggilku ke sini?" seru Bellatrix. Untuk pertama kalinya sapu tangan putih itu menjauh dari wajah bersimbah air mata. "Aku dan suamiku masih harus mengurus pemakaman kedua orang tuaku di rumah! Tapi karena kami berdua harus datang ke sini, aku jadi terpaksa meninggalkan..."

Bellatrix tidak pernah menyelesaikan kalimatnya karena yang berikutnya terdengar hanya tangisan nyaring dari sang penyanyi opera.

Entah sudah berapa kali Severus dan James saling bertukar pandang. Bukan bertukar pandang membunuh dan sarat akan kebencian seperti biasanya, kali ini lebih pada sorotan lelah serta jenuh. Baru dua orang yang mereka interogasi dan masih ada beberapa orang lagi yang harus mereka interogasi.

Mungkin keduanya harus bicara pada Dumbledore, meminta sang Commissioner untuk menggantikan posisi mereka di ruang interogasi ini...

"Um... Supaya Anda cepat pulang dan mengurus pemakaman orang tua Anda—" Jeritan keras terdengar dari Bellatrix Lestrange, membuat James terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Apakah Anda melihat sesuatu yang ganjil sebelum atau sesudah lampu itu jatuh?"

"Dan menurut kesaksian suami Anda, Anda memaksa pindah dari kursi yang seharusnya Anda duduki karena tak ingin terlihat oleh saingan Anda. Apakah itu betul?" tambah Severus santai. Mata abu-abunya menatap tajam ke arah Bellatrix yang balik menatap sang polisi.

Untuk sejenak tadi James seolah-olah melihat sang penyanyi mengertakkan gigi tak senang. Ia bahkan sempat menangkap tatapan kesal—bahkan cenderung seperti ingin membunuh—dari Bellatrix, terarah lurus ke Severus yang tampaknya masih tak acuh. Well, mungkin itu hanya imajinasinya saja.

Bellatrix Lestrange menarik napas panjang. Ia mengusapkan sapu tangan ke wajahnya yang basah oleh air mata sebelum berkata, "Ya, aku memang sengaja pindah ke box yang letaknya lebih jauh dari panggung supaya perempuan jalang itu tidak tahu kalau aku menyaksikan pertunjukkan jeleknya! Kalau dari box jauh seperti itu, aku bisa menghinanya sekasar dan sekeras apapun aku mau!" Dia mengakhiri luapan kemarahannya dengan tawa panjang.

"Begitu... Jadi, memang benar apa yang suamimu katakan itu benar." gumam Severus, pelan. "Bagaimana dengan hal-hal aneh yang kau lihat sebelum dan sesudah lampu jatuh?"

"Hal-hal aneh?" ulangnya. Mata abu-abunya menatap liar ke arah Severus dan James, bergantian, panik serta ketakutan. "Maksudmu... seperti hantu?"

"Bukan itu... Maksud kami, apa ada yang aneh dengan orang-orang sekitar?" ucap Severus, menjelaskan kembali maksud dari hal-hal aneh yang ingin mereka ketahui. "Bukan hal-hal paranormal seperti hantu. Kami tidak terlalu peduli dengan itu sebetulnya..."

"Oh. Biar kutambahkan satu lagi." timpal James. "Suami Anda bilang kalau ia melihat seseorang dari box sebelah kanan atas dari box kalian. Dia melakukan gerakan seperti mengacungkan pistol atau semacamnya. Apakah Anda melihat hal yang sama atau yang lebih aneh lagi?"

"Oh. Oh, maksudu aneh yang seperti itu. Sayang, aku tidak melihatnya. Aku terlalu fokus ke pertunjukkan, mencari tiap celah dari akting si Warbeck sialan itu!" Bellatrix kembali menyusut hidungnya dan kembali berkata, "Maaf, aku tidak lihat apa-apa. Dan box kanan atas? Terlalu gelap untuk bisa melihat ke sana, Tuan Detektif. Toh, aku terlalu konsen ke pertunjukkan. Aku ingin menangkap tiap detail akting si brengsek Warbeck untuk menjatuhkannya. Penyanyi kacangan begitu bisa merebut peran Christine dariku! Apa yang dilihat sutradara padanya?"

Interogasi Bellatrix Lestrange berakhir sampai situ. Ia tidak cukup fokus untuk ditanyai macam-macam perihal kematian orang tuanya. Makanya, para polisi memutuskan untuk melanjutkan ke beberapa tersangka lainnya untuk mempercepat waktu.


James menghempaskan dokumen-dokumen hasil interogasi dan merebahkan kepalanya di atas meja, lelah. Sudah lebih dari tiga jam ia dan Severus menginterogasi para tersangka membuat James betul-betul bosan. Belum lagi ia terkurung di ruang konkret bersama musuh abadinya, Severus Snape. Ia baru mengangkat kepalanya—biarpun sedikit—saat sebuah kaleng bir dingin diletakkan tepat di samping kepalanya. Hawa dingin dari kaleng terasa menyegarkan membuat sang detektif gembira.

Sang polisi berkacamata langsung duduk tegak sambil tesrenyum. Ia mengambil kaleng bir itu dan tertawa gembira ketika kulitnya bersentuhan dengan lapisan metal dingin kaleng tersebut. Ia menoleh ke samping dan tertawa. "Thanks, Sev! Ini yang kubutuhkan sekarang. Bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena itu juga yang aku butuhkan..." balas Severus pelan. Sang agen ganda menempelkan kaleng dingin itu ke keningnya dan menghela napas lega. Ia melirik James yang langsung membuka bir dingin itu dan menegakknya habis. "Bagaimana menurutmu interogasi barusan?"

"Menyebalkan, melelahkan, membuang waktu, mengerikan, dan... Semuanya yang tak menyenangkan." sahut James. "Semuanya tidak membantu. Rodolphus yang bilang melihat sosok aneh tak bisa terbuktikan karena istrinya sendiri tidak melihat hal yang ganjil. Susah untuk menentukan mana yang bohong, mana yang jujur. Dan kalau dipikir-pikir, agak mustahil Bellatrix tidak melihat sesuatu yang ganjil. Ia yang membawa opera scope, bukan suaminya. Seharusnya, ia yang lebih mungkin menangkap gerakan aneh meskipun jauh. Oke, harus kuakui kalau ia terlalu berkonsentrasi ke pertunjukkan demi mencela saingannya, tapi rasanya tak mungkin ia terus memperhatikan pertunjukkan. Dengan kedengkian seperti itu, ada kalanya ia pasti tak tahan melihat saingannya beraksi di atas panggung dan mengalihkan perhatian. Sama saja seperti aku yang kadang sebal melihatmu sok berkuasa ketika rapat kasus, meskipun yang kau katakan itu penting untuk perkembangan kasus."

Severus mengangguk mengiyakan perkataan James sambil membuka kaleng bir. Harus ia akui kadang kala dia juga bertindak hal yang serupa seperti James. Sebagai saingan, tentu ia ingin tahu sejauh apa perkembangan saingannya dan selalu mengikuti detail sepak terjang saingannya itu. Tapi, ada kalanya seseorang terlalu kesal dengan saingan serta perkembangannya dan mengalihkan perhatiannya ke titik lain. Bellatrix tak mungkin fokus selamanya ke atas panggung. Apalagi Christine sebagai tokoh utama pertunjukkan itu mendapat sorotan cukup banyak dan muncul pada sebagian besar adegan. Pasti penyanyi itu akan mual melihat saingannya di atas panggung dengan peran yang sangat ia inginkan.

"Berikutnya adalah Antonin Dolohov yang sendirian, mengatakan kalau orang di bawahnya mencurigakan. Dan orang yang berada di bawah box-nya adalah Lestrange. Katanya, ia mendengar sedikit keluh kesah seorang wanita tentang keluarganya yang menyebalkan. Ia juga tidak bisa menjelaskan kepada kita apa yang ia lakukan pada waktu lampu jatuh. Kau ingat berapa kali ia menganulir jawabannya sendiri? Tiga kali. Pertama dia bilang dia ketiduran, kedua dia bilang dia sempat keluar untuk ke toilet—sayangnya tak ada yang bisa membuktikannya—dan yang terakhir dia kembali pada pengakuan pertamanya tentang ketiduran. Dan sikapnya yang gelisah itu juga aneh.

"Tersangka lainnya juga tidak membantu. Barty Crouch itu yang paling parah! Orang paling arogan yang pernah kutemui. Ia terus sesumbar kalau ayahnya akan menghancurkan polisi kalau kita terus mencecarnya. Ia juga mengatakan dengan angkuhnya kalau ayahnya bisa membebaskannya dari tahanan kapanpun ia mau. Ia tak pernah menjawab pertanyaan kita dan marah-marah terus. Pria menyebalkan. Aku yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan. Oh! Dan sewaktu kita tanya tentang hal-hal aneh yang ia lihat, dia malah menghindarinya dengan topik pembicaraan lain. Harta kekayaan ayahnya.

"Lepas dari si brengsek itu, kita malah harus berurusan dengan Igor Karkaroff si novelis Bulgaria. Cih. Ketimbang novelis, dia lebih sesuai disebut sebagai teroris. Muka kriminalnya itu sudah sangat mencurigakan. Bayi pun akan menangis jejeritan di bawah sorot dingin matanya. Dia malah mengatakan kalau ia melihat argumentasi di dalam box Crouch. Dua orang yang sepertinya berargumen. Satu orang pergi meninggalkan box, dan orang terakhir yang tinggal di dalam box mengambil sesuatu lalu mengacungkannya ke langit-langit ruang pertunjukkan. Entah bisa dibilang benar atau tidak, karena tak ada orang lain yang mengatakan hal serupa.

"Terakhir adalah si bersaudara Carrow itu. Ketahuan membawa pistol sepertinya tidak membuat keduanya panik. Oke, mungkin karena mereka membawa surat-surat resmi saat kejadian terjadi dan peluru pistol mereka berbeda dengan selongsong yang ditemukan. Tapi, justru itu anehnya. Untuk apa mereka membawa-bawa surat kepemilikan pistol? Sedikit wajar kalau mereka baru membeli pistol itu sebelum menonton opera dan tak sempat pulang untuk menyimpan surat-suratnya, tapi kenyataannya pistol itu sudah jadi hak milik mereka selama tiga tahun. Lagipula, orang bodoh mana yang membeli pistol sebelum menonton opera? Gedung opera itu, kan, tempat umum? Bagaimana kalau ada orang yang melihat pistol itu dan mengadukan mereka ke penjaga gedung? Bisa runyam masalahnya meskipun mereka punya surat bukti kepemilikan. Kalau aku jadi mereka, aku akan beli pistol itu lain hari saja dan langsung pulang untuk menyimpannya. Agak aneh membawa-bawa pistol itu ke tempat umum."

"Dan anehnya lagi," gumam Severus pelan sambil menarik kursi dan duduk di samping James. "Mereka mengatakan ada sesuatu yang ganjil dari arah box Dolohov. Sesuatu yang merah menyala tipis, seperti laser pembidik, mengarah lurus ke lampu gantung."

James mengerang keras dan kembali menghantamkan kepalanya ke atas meja, frustrasi. "Aku menyerah kalau begini caranya... Semuanya mencurigakan. Mungkin, lebih baik kalau kita fokus pada penangkapan Greyback. Aku yakin kalau dia juga terlibat dalam pembunuhan ini."

"Dan selama ini kan kau yang menyelidiki tiap kasus Werewolves." ucap Severus sambil menaikan alis matanya. "Apa yang kau dapat selama ini?"

"Hanya kenyataan kalau Werewolves sepertinya berhubungan erat dengan suatu kelompok mafia baru musuh dari Slytherin. Kelompok mafia yang kau susupi itu." James melirik ke arah Severus sebelum kembali melanjutkan. "Kemungkinan besar, mereka bergabung atau dibayar oleh kelompok mafia lainnya saingan Slytherin untuk menghancurkan Slytherin perlahan-lahan."

Raut wajah Severus menegang saat mendengar dugaan seorang James Potter. "... Bagaimana kau bisa menduga kalau Werewolves bekerja sama dengan kelompok mafia lain? Bisa saja mereka berbuat onar demi kesenangan sendiri."

"Awalnya aku juga sempat berpikir begitu..." gumam James. "Tapi, semuanya terlalu beraturan. Contohnya saja perampokan bank yang belakangan ini mereka lakukan. Dari semua bank yang ada di London, kenapa hanya bank milik Lupin saja yang mereka rampok? Masih banyak bank lainnya. Bahkan, kudengar Lupin meningkatkan pengamanan di seluruh banknya. Bukankah ini membuat aksi perampokan mereka sulit? Kalau aku jadi mereka, aku ubah saja target. Dengan mereka terus ngotot merampok Lupin membuatku semakin curiga..."

Bunyi benda tumpul menumbuk lantai keramik terdengar nyaring, membuat James bangkit dari kursinya dan menoleh-noleh, mencari sumber bunyi. Rupanya, kaleng bir yang dipegang Severus tergelincir dari tangannya sang polisi dan jatuh menghantam lantai. Cairan kekuningan mengenai sepatu kulit hitam Severus.

"Kau tidak apa-apa? Kenapa bisa jatuh, sih? Kau melamun, ya?" gumam James penasaran sambil memperhatikan Severus yang sibuk membersihkan sepatunya disertai rentetan keluhan. Kening sang detektif berkacamata berkerut ketika melihat noda hitam mengotori sapu tangan putih milik rivalnya itu. "... Kau baru menyemir sepatumu, ya?" tanyanya.

"Ya." sahut Severus, masih sibuk membersihkan sepatunya. "Aku tidak suka melihat sepatuku kotor. Makanya, aku selalu menyemirnya tiap kali kotor. Ketumpahan begini, berarti aku harus menyemir lagi." Kalimat itu diakhiri dengan erangan penuh kekesalannya.

James hanya mengangguk-angguk pelan. Orang rapi, bersih, dan perfeksionis macam Severus Snape pasti kesal kalau ada noda sedikit saja mengenai tubuhnya. Biarpun itu sepatu yang sudah sewajarnya kotor, tak heran kalau pria berambut hitam lurus ini rajin menyemirnya tebal begitu. Dan dilihat dari noda yang begitu pekat, sepertinya ia baru saja menyemir sepatunya.

'Sebentar... Bukannya kasus pembunuhan di rumah tua itu dulu juga ada hubungannya dengan semir sepatu hitam?'


Lucius Malfoy berjalan memasuki restoran mewah dengan angkuhnya. Tongkat jalan berwarna hitam dengan kepala berukir ular dan tengkorak menjadi pembimbing jalannya. Bunyi tak-tok-tak-tok menggema di restoran yang terbilang cukup sepi itu, membuat para pengunjung restoran yang lainnya menoleh ke arah Lucius, penasaran. Beberapa merasa terganggu dengan bunyi bising tongkat jalannya, sementara yang lainnya acuh tak acuh dan kembali melanjutkan makan siang mereka.

Pria berambut platinum itu kemudian berhenti di pojok restoran, tersembunyi dari mata pengunjung lain oleh partisi tunggal. Di meja itu, seorang laki-laki duduk sambil membaca koran. Wajahnya tertutupi dan hanya rambut kelamnya yang tampak.

"Sir." bisik Lucius sambil membungkuk penuh hormat. Topeng angkuh yang ia kenakan ketika memasuki restoran seketika hilang, berganti dengan wajah pucat dan sikap rendah diri. "Maaf, saya terlambat. Tadi, ada rapat dadakan di Slytherin—"

"Dan kau pikir aku tidak tahu rapat dadakan itu?" potong pria misterius itu sengit, sukses membuat Lucius Malfoy tutup mulut dan gemetar ketakutan. Ia kemudian melipat koran dan menatap dingin Lucius. "Orion pasti membahas tentang pembunuhan kemarin."

Lucius hanya diam saja. Tak berani ia membuka mulut sebelum ditanya.

"Dan seharusnya yang mati kemarin malam itu dia dan istrinya, juga putra bodohnya itu." geram laki-laki itu. "Kalau bukan karena bos sialan itu tidak pergi waktu itu, pasti ia sudah tak ada dan aku bisa dengan mudah mengambil alih kekuasaan."

Mulut Lucius masih terkatup, tak berani bicara.

Si pria misterius itu menghela napas panjang dan melirik Lucius yang masih berdiri di sampingnya. "... Kenapa kau berdiri saja di situ? Itu ada kursi kosong di depanku."

Malu, Lucius menarik kursi dan duduk berhadapan. Dia sebetulnya menyadari keberadaan kursi kosong itu, tapi tak berani bertindak sebelum disuruh. Ia tahu kalau pria di depannya ini sanggup membunuh siapa saja tanpa kenal ampun. Semua yang membangkang dan menghalangi niatnya akan dihabisi tanpa alasan.

"Jadi, Lucius, aku memanggilmu kemari untuk memberimu tugas." ucap pria itu sambil mengaduk-aduk kopi hitamnya. "Aku mau kau mengawasi penyerangan ke kediaman keluarga Lupin."

Lucius mengerenyitkan kening ketika mendengar perintah atasannya itu. "... Menyerang? Kenapa mereka harus dibunuh? Apa karena mereka associate Slytherin? Sumber dana mereka?"

"Bukan sekedar itu." Seringai licik tersungging di bibir sang pria. "Kemarin malam, aku menyadari kalau keluarga itu ternyata sangat penting bagi Black. Jauh, jauh lebih penting dari yang selama ini kita perkirakan. Jadi, aku sudah menghubungi Fenrir dan meminta dia bersama... pack-nya untuk menghabisi Lupin." ucapnya tenang sambil menyeruput kopi, seolah-olah perintah membunuh itu perintah biasa. "Toh, selama ini kita mengusik para associate Black, tetap saja ia tak tergoyahkan. Aku sudah lelah main gertak. Sekarang, saatnya menekankan pada Black brengsek itu kalau kita tidak main-main. Dan menghabisi Lupin bisa menunjukkan seberapa seriusnya kita. Aku yakin. Setelah ini, Black pasti akan jatuh, tak berguna."

"Jadi, tugas saya..."

"Pastikan Fenrir dan gerombolannya melakukan hal yang benar. Aku mau semuanya dihabisi, tak ada yang dibiarkan hidup. Bunuh semuanya."

"... Anda yakin, Sir? Bukankah—"

Gebrakan meja terdengar keras dan langsung membungkam mulut Lucius.

"Semuanya, Lucius. Mulai dari anjing-anjingnya, pramuwisma-nya, kepala keluarga, sampai putra tunggalnya.

Bunuh semuanya."

To Be Continued


A/N : Another cliffy! Enak, ya, kalo bikin peternakan cliffy? Bisa dicomot sesuka hati kalo lagi butuh :D #plak Oiya, maaf banget gak bisa bales review. Semoga berikutnya sempet dibales, amin! XD

Mau review? :3