"Ryuuzaki, bisakan kau duduk? Kita berada di tempat publik dan kau membuatku malu."
Sang lawan bicara yang disinggung, bukannya langsung menjawab malah menjilat lapisan gula dari cake yang dipesannya. "… Saya sudah duduk, Light-kun," dan setelah membalas pun, yang keluar hanya kalimat yang berada di ambang entah termasuk sarkasme atau tidak.
Pihak yang bersua pertama tadi memutar bola mata sewarna hazelnya. "Dalam definisi sebagian besar orang, posisimu sekarang ini lebih bisa dibilang 'jongkok'. Apa perlu kukeluarkan kamus besar bahasa Jepang dari ranselku?"
"Saya tidak terlalu ambil pusing mengenai definisi orang kebanyakan mengenai makna sebuah kata. Daripada itu, saya malah lebih penasaran mengapa Light-kun yang mengambil jurusan hukum membawa-bawa kamus bahasa Jepang." Lagi, sebuah perwujudan dari pola pikir sang pemuda berambut raven dalam bentuk kalimat yang sarkastis; setidaknya bagi sebagian orang.
"… Terserahlah." Ia menyerah. "Kembali ke topik awal, bisakan kau duduk secara normal?"
"Apa yang Light-kun maksud normal itu 'seperti orang kebanyakan'? Jika begitu coba telaah lagi, tidak ada ruginya melakukan hal yang tidak sama dengan yang dilakukan orang kebanyakan."
Menghela nafas frustasi, Light kembali menjelaskan mengenai etika dan segala detail-detailnya untuk yang kesekian kalinya pada 'teman'nya itu.
Yeah, menceramahi detektif nomor satu dunia sudah menjadi keseharian Light semasa kuliah.
Chapter 1
The Queen:born
Death Note belongs to Tsugumi Ohba & Takeshi Obata
That Queen, the impatient one
.
That Queen, the obsessive one
.
That Queen
.
the main player
"… data yang saya minta tempo hari. Saya tahu Light-kun memiliki akses untuk itu," sebuah permintaan dengan nada bicara datar yang terdengar sebagai suara sintetis.
"… Aku akan menutup mata jika kau ingin mengumpulkan informasi secara ilegal, tapi jangan harap aku bersedia dimanfaatkan olehmu. Tidak lagi."
"Tidak bisakah meski saya yang memintanya, komandan?"
"… Kali ini yang terakhir, Ryuuzaki. Dan jangan mengejekku dengan panggilan itu."
Tujuh tahun berselang semenjak pertemuan pertama mereka, L masih kerap merepotkannya yang kini sudah menduduki jabatan komandan di kepolisian meneruskan jejak ayahnya dalam usia yang masih sangat muda.
Sungguh, Light tidak berdusta jika ia mengungkap rasa kesalnya akan keberadaan pemuda berambut raven itu, tapi…
"Kenapa jadi begini?"
Suara parau yang meluncur dari bibirnya yang bergetar. Hujaman ribuan jarum berbentuk tetes air dan ponsel yang kerap berdering, berusaha mengingatkannya untuk kembali ke markas dan mengusut tugas-tugas kepolisian; tak menyurutkan langkahnya untuk pergi ke tempat ini; tepat begitu ia mendengar kabar dari asisten L yang dikenal dengan alias Watari.
Disinilah Light Yagami berdiri, di sebuah pemakaman umum di kota kecil yang terpencil; di hadapan sebuah batu nisan yang hanya terukir huruf dengan urutan keduabelas dalam alfabet.
"L"
28 Maret 20XX
Potongan terakhir dari korban mutilasi ditemukan. Dilihat dari cara pembunuhannya, pelaku diduga tak lain tak bukan adalah pelaku dua kasus mutilasi selang beberapa minggu sebelum potongan tubuh pertama dari tubuh korban terakhir ditemukan.
Bagian-bagian mayat berjenis kelamin laki-laki dengan rambut raven lengkap sudah. Meskipun begitu, ahli forensik dan petugas pemakaman pun tak ada yang mengetahui identitasnya, hanya menguburnya sesuai prosedur sebagaimana diminta seorang kakek berjas hitam yang mengaku kenalan pemuda tersebut.
Prosesi pemakaman pun dilakukan dengan sangat sederhana, orang yang turut hadir dalam upacara pemakamannya saja masih bisa dihitung dengan jari. Meskipun seminggu setelah itu, ada seorang pemuda yang konon rutin mengunjungi makamnya tiap beberapa minggu sekali.
~(0o0)~
Sepasang bola mata zamrud menyusuri bait demi bait koran di tangannya. Tak banyak yang bisa dilakukan seorang bartender di jam istirahat selain merokok dan membaca koran. Namun kasus besar macam mutilasi yang diusut berkali-kali di berbagai jenis media membuatnya jenuh. Sayang sekali dia tidak ingat membawa salah satu dari konsol game portable-nya saat itu.
Diletakkannya koran itu di sembarang tempat; toh tidak ada orang yang lain di tempat kerjanya yang menaruh minat pada isi berita disitu.
Sambil meregangkan kedua tangannya yang pegal akibat melakukan atraksi sebagaimana tugas bartender, sang pemuda berambut merah keluar menggunakan pintu belakang. Dipikirnya rokok mampu menghilangkan sedikit kebosanannya.
Matanya yang terlindungi dibalik lensa goggle terbelalak tatkala melihat seonggok tubuh manusia tergeletak di sudut gang sempit yang selang beberapa meter dari posisinya saat ini.
Bukan, untungnya bukan korban mutilasi yang marak akhir-akhir ini. Anggota tubuhnya tampak masih lengkap dan berada pada tempat seharusnya.
Dengan langkah waspada, perlahan sang bartender mendekatinya.
… Masih hidup. Ia yakin begitu mengecek denyut nadinya yang masih normal pada pemuda berambut pirang dengan berbalut busana kulit serba hitam yang pingsan dalam keadaaan babak belur di hadapannya.
Sebenarnya perkelahian antar geng berandal bukan hal asing di kawasan itu. Tapi baru kali ini ia melihat korban yang terluka parah secara langsung.
Bagaimanapun, ia masih memiliki rasa belas kasih. Dibopongnya pemuda itu, mungkin sedikit obat antiseptik dan perban bisa memberi pertolongan pertama.
Tanpa disadarinya dua pasang azure perlahan membuka, dengan pandangannya yang samar-samar menatap orang yang menggendong tubuhnya di depan tak ubahnya layaknya pose pre-wedding untuk album foto pernikahan.
"... Matt…?"
Si rambut merah terkesiap. Darimana orang ini mengetahui namanya?
15 Maret 20XX
Setengah jam sudah terlewati dari pertama kali sang gadis menginjakkan kakinya di kafe seorang diri.
Pemuda yang ditunggunya lagi-lagi tidak datang karena urusan mendadak; entah ada apa lagi kali ini.
Gadis pirang mungil itu menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Menyeruput ice coffe-nya dengan pikiran yang masih diliputi masalah yang kerap menghantuinya tiap kali ia memikirkan kekasihnya.
Ia tidak habis pikir. Misa Amane atau lebih dikenal dengan Misa Misa. Cantik, manis, dan sudah tidak asing lagi dalam dunia modelling. Ia juga rela melakukan apa saja demi pria terkasihnya. Tapi kenapa…? Kenapa ia belum juga bisa mendapatkan hati Yagami Light sepenuhnya?
Terlihat jelas sedikit banyak komandan polisi itu masih risih akan keberadaannya; padahal sudah 4 bulan semenjak hubungan mereka berkembang ke tahap yang lebih intim. Tapi nyatanya, Light kelihatannya malah lebih sering menghabiskan waktu dengan pemuda aneh itu… siapa namanya? Ryuuzaki?
Padahal Misa saja jarang sekali bisa kencan dengan Light…
Menyinggung soal kencan, ingatan Misa mengenai kencan terakhir dengan kekasihnya kembali muncul dalam pikirannya. Setelah berusaha keras mencari tanggal dimana ia dan Light yang memiliki kesibukan masing-masing bisa meluangkan waktu, dan usaha tak kenal lelah untuk membujuk Light supaya mereka bisa pergi kencan, akhirnya mereka bisa pergi ke bioskop hari itu.
Kencan yang simple, tapi seharusnya bisa menjadi salah satu momen bahagia bagi Misa yang jarang sekali bisa menghabiskan waktu dengan Light (well, sebenarnya masalah ini lebih condong karena faktor Light, tapi…). Yeah, seharusnya; kalau saja Ryuuzaki tidak kebetulan datang pada hari dan jam yang sama. Seakan kurang lengkap, ia menonton film yang sama pula.
"Mumpung punya waktu luang, saya hanya ingin mencoba hal-hal seperti yang dilakukan kebanyakan orang untuk refreshing. 'Dilakukan kebanyakan orang'… Bukankah seharusnya Light kun senang karena saya akhirnya melakukan hal yang Light kun inginkan?"
Jawaban aneh itulah yang diterima Misa begitu ia mencak-mencak soal kedatangan Ryuuzaki ke bioskop.
Dan gara-gara dia dan Light keterusan mengobrol mengenai persamaan integral atau apalah Misa nggak ngerti, Misa jadi dicuekin deh! Iih, sebel! Kesannya Ryuuzaki mendominasi Light! Padahal dia kan tahu Light sudah punya Misa!
Begitulah kira-kira isi hatinya.
Lamunannya mengenai rencana penyiksaan untuk Ryuuzaki dengan cara menyembunyikan semua makanan manisnya; entah bagaimana caranya, terpecah ketika sesosok pemuda yang dilihatnya dari balik kaca jendela kafe menarik perhatiannya.
Seorang pemuda dengan rambut sewarna lava dengan mengenakan seragam bartender melintasi zebra cross tak jauh dari kafe tempat Misa berada. Selain itu tidak ada hal lain yang tampak mencolok dari sosoknya, tapi…
Seakan terhipnotis, Misa terburu-buru bangkit dari kursinya dan mencoba menyusul pemuda yang bahkan tak ia kenal itu.
Aku harus menemui pemuda itu. Harus.
Bahkan rasionalitas otaknya tak mampu melontarkan pertanyaan 'mengapa?' dalam pikirannya saat itu.
28 Maret 20XX
Sebuah ruangan sederhana dengan barisan loker di kedua sudutnya dilengkapi dengan sebuah meja pantry; dikenal juga dengan sebutan ruangan khusus staff. Di salah satu bangkunya duduk seorang pemuda pirang dengan tubuh penuh perban.
"Kau merasa lebih baik?" setelah pekerjaannya mengobati luka disana-sini rampung, Matt bertanya sembari menyodorkan segelas air.
Yang ditanya hanya mengangguk pelan sebagai balasan dan mengambil gelas tadi.
"Jadi…" Matt menggaruk-garuk kepalanya, bingung apa yang harus dilakukannya pada pemuda di hadapannya, "… siapa namamu? Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?"
Kedua pasang azure yang memandang sayu itu mendadak terbelalak lebar manakala pertanyaan itu meluncur dari mulut Matt.
"Matt, kau tidak mengenaliku? Buka kacamata renang bodohmu itu!"
Tercegang sejenak akibat volume suara yang overload, seakan tak punya dosa Matt malah bertanya, "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Suara gebrakan meja memenuhi seisi ruangan. "Aku mencarimu berminggu-minggu lamanya dan menelantarkan organisasiku bukan untuk mendengarmu bercanda! Ini tidak lucu, Matt!"
"… Kurasa kau salah orang," karena aku pasti ingat jika punya kenalan yang meledak-ledak seperti ini, tambah Matt dalam hati.
Amarah makin terpancar kuat dari raut wajahnya.
"Matt, aku…"
Namun belum sempat kalimat itu terselesaikan, sang empunya suara jatuh terkulai ke lantai.
"Oi, kau kenapa?" Matt menghampiri tubuh yang ternyata kembali kehilangan kesadaran itu. Memang, saat dibopong tadi tubuhnya terasa begitu ringan dibanding ukurannya. Dari situ Matt bisa memperkirakan kalau orang ini sudah beberapa hari tidak makan.
Malas berurusan dengan pria ini lebih jauh, Matt berniat meraih handphonenya untuk menghubungi ambulans. Namun sesuatu yang mengkilap dibalik jaket kulit merah yang dikenakan orang yang pingsan di pangkuannya ini menarik perhatiannya.
… Luger P08? … Damn…
5 April 20XX
Mondar-mandir. Itulah yang dilakukan sang komandan kepolisian Jepang di depan ruangan autopsi selama setengah jam terakhir. Ia sedang menunggu laporan dari badan forensik mengenai korban mutilasi yang kembali muncul seminggu setelah ia menginjakan kaki di tempat L dikubur.
Oke, itu bukan alasan yang tepat baginya untuk galau dan berkeliling pada jarak yang sama pada rotasi tertentu berulang-ulang.
Tapi entahlah, semenjak ia mengetahui kepergian L, irasionalitas pemikirannya serasa berkurang.
Mungkin karena selama ini secara tidak langsung sedikit banyak L sudah membantu kepolisian membongkar sindikat kejahatan.
… Mungkin.
Seperti yang disinggung sebelumnya, Light tidak berdusta jika ia mengungkapkan kekesalannya pada sang pemuda berambut raven, tapi…
Ia juga bohong jika bilang membenci pemuda nyentrik itu.
"Yagami-san."
Light tersentak dari pemikirannya. Memaksakan senyum, ia bertanya pada anak buah yang menegurnya barusan, "ada apa, Matsuda?"
"Dari tadi anda terlihat cemas. Anda pasti masih shock atas terbunuhnya teman lama anda… Tapi sebagai komandan kepolisian, anda harus kuat," Matsuda mencoba menghibur Light yang terlihat 'sedih' dari sudut pandangnya.
Light mengangkat sebelah alisnya. Teman lama? Yang mana?
Mengecek kembali dokumen daftar korban mutilasi, Light menemukan foto seorang wanita yang kini berprofesi sebagai reporter bernama Kiyomi Takada di data profil terakhir.
Light memang merasa sedikit familiar dengan wajah wanita itu. Ah, dia memang Takada, wakil ketua OSIS yang sempat mendekatinya sewaktu menjabat sebagai ketua OSIS di SMA-nya. Tapi Light tidak begitu mengingatnya; toh Takada memang bukan sosok penting baginya.
Diatas profil wanita itu… ah, Ryuuzaki tentu saja. Meskipun tidak satu pun ada data identitasnya yang tertera disitu; palingan hanya data fisik seperti tinggi badan atau semacamnya,
Tunggu, korban sebelumnya lagi… rasanya juga tampak tak asing lagi…
Rambut brunette sebahu dan warna mata yang unik itu… bukankah itu milik Marry Hasegawa? Light mengecek nama korban yang tertera tepat disebelah foto yang ditempelkan. Tidak salah lagi, korban satu ini memang gadis blasteran yang waktu itu diperkenalkan Ryuuzaki sebagai 'teman yang baik' di universitas dulu.
... Yah, dia memang tidak bodoh, tapi tidak jenius. Tidak heran Ryuuzaki berminat untuk menjadikannya pion.
Mata Light mulai menari liar, menelusuri satu persatu baris-baris kalimat berisi data korban.
.
… Mereka…
Tidak mungkin… Mustahil…
.
Keringat dingin mulai mengaliri pelipisnya seiring dengan matanya yang makin membelalak manakala otaknya menarik kesimpulan yang bodohnya baru ia sadari saat ini.
28 Maret 20XX
Ruangan itu terletak dalam sebuah bangunan bergaya Eropa kuno yang jarang ditemui di Jepang. Debu, retakan dinding dan sarang laba-laba di penjuru ruangan cukup untuk melukiskan bahwa bangunan itu ditelantarkan selama bertahun-tahun. Namun lekuk-lekukan kayu hasil keahlian para pemahat berpuluh tahun silam masih mampu menunjukan pesona arsitekturnya pada orang yang lewat.
... Kalaupun ada. Kota kecil dimana bangunan itu berdiri kini tak ubahnya sebuah kota mati. Tak ada seorang pun tinggal disitu.
Tepatnya, tak ada seorang pun yang masih bernyawa tinggal di tempat itu.
Tapi lain soal jika kita membahas tentang seseorang di ruangan itu.
Ruangan yang dihiasi dengan perabotan-perabotan unik macam bola mata manusia dalam toples, dimana kaleng-kaleng bekas selai dengan label berhias gambar strawberry yang tersebar di penjuru ruangan. Cahaya remang-remang mengintip dari sela-sela gorden usang dengan robek disana-sini; entah sudah berapa lama ia membingkai jendela mozaik ruangan itu.
Sepasang mata ruby milik sang penghuni menyalang liar tatkala sebaris nama yang familiar baginya terselip dalam isi koran online yang ditampilkan monitor komputernya saat ini.
"Yagami Light… komandan kepolisian, eh?" ia terkekeh pelan. Dialihkannya pandangannya pada seonggok papan catur tua di sebelah meja komputernya.
"Lawliet tidak pernah menjadikanmu sebagai pionnya, kukira jika kau berkesempatan menjadi raja permainan akan menjadi semakin menarik…" jemari kurus itu meraih pion-pion catur yang mengelilingi raja hitam, membuangnya keluar dari papan permainan.
"Tapi tampaknya otakmu tumpul akibat terlalu lama berada di organisasi dengan orang-orang dengan pola pikir statis macam kepolisian…" setelah puas menyingkirkan beberapa pion hitam, ia kembali mengatur posisi pion, kali ini untuk kubu putih. Dibentuknya sebuah pola dimana sang raja hitam sudah terdesak skak mat oleh tentara-tentara putih. "Kalau terus begini kau sendirilah yang akan rugi, bukan?"
Salah satu tangannya meraih pion ratu hitam yang tergeletak diantara tumpukan go dan pion shogi.
.
"Sayang sekali, kali ini aku hanya bisa mengharapkan hiburan yang meriah dari tangan sang ratu…"
.
"Ketimbang mengoceh dengan diri sendiri sebagai lawan bicara, bagaimana kalau kau membantuku saja, B?"
Gelak tawa mengejek pria yang dipanggil B itu makin menjadi-jadi manakala kalimat sinis keluar dari seorang tamu yang masuk tanpa diundang, bahkan tidak mengetuk pintu. Meski cahaya remang yang menyiraminya tidak cukup untuk memberikan tampilan yang jelas mengenai sosok yang berdiri di ambang pintu, ia sudah sangat mengenal pengunjung spesialnya yang satu itu.
"Kau tahu, aku sedikit enggan membantu tamu tidak tahu etiket sepertimu. Tapi mengingat kau adalah pionku yang berharga… masuklah. Dan bawa teman kecilmu itu juga."
Perlahan sosok itu mendekat hingga rambut merahnya bisa terekspos terlepas dari minimnya cahaya di ruangan itu.
"Jadi, apa yang membuat peluncur kesayanganku sudi repot-repot datang kemari, hm? Ah, biar kutebak. Apa mungkin kau…"
"Aku tidak punya waktu dengan segala basa-basi catur tidak warasmu itu," potong si bartender yang kini mengenakan stripped sleeve lengkap dengan furry vest kebanggaannya. "Aku ingin meminta segala informasi yang kau ketahui... mengenai orang ini," Matt menunjuk pemuda yang kini dibaringkannya diatas sofa reyot yang penampilannnya tidak jauh dengan perabotan lain di ruangan itu; usang dan kulit pelapisnya sudah robek di beberapa bagian.
Nyala amber sekilas kembali terlihat pada sepasang ruby itu. Mulutnya terkembang, mengulum senyum yang bahkan lebih lebar bahkan dari sebelumnya.
"Mihael Keehl, eh? Luar biasa sekali, aku tidak menyangka kau membawa pulang mainan semenarik ini…"
"Jangan berasumsi aneh-aneh. Orang ini kutemukan babak belur dekat pintu belakang tempat kerjaku, mana mungkin kubiarkan? Aku cuma berniat mengobati luka-lukanya sedikit, tapi kelihatannya orang ini salah mengiraku sebagai orang lain dan bersikeras tentang itu hingga pingsan kehabisan tenaga," dan lucunya, nama orang yang disebutkan oleh si pirang ini sama dengan namanya, begitu kira-kira batin Matt. Namun lebih bijak baginya untuk tidak membongkar hal ini pada lawan bicaranya sekarang.
Ia melanjutkan, " Kupikir merepotkan jika terlalu melibatkan diri dengannya jika ia siuman, jadi aku berniat menelepon ambulans saja. Sisanya bukan urusanku, tapi…" Matt mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Aku menemukan ini."
Lagi, mata B berkilat kesenangan. "Wow, Luger P108?"
"Juga dikenal sebagai Parabellum Pistol keluaran Jerman tahun 1990, tidak mungkin bisa didapat dengan mudah. Saat sadar ia juga sempat menyinggung tentang 'organisasi'. Kesimpulannya, kemungkinan orang ini mempunyai status tinggi di suatu organisasi kejahatan. Kalaupun pistolnya kusingkirkan kurasa penampilan kriminalnya tetap cukup mencolok. Kau lihat luka bakar di wajahnya itu? Karena itulah aku tidak akan heran jika pada akhirnya satu atau dua orang pihak rumah sakit menelepon kepolisian; dan sedikit banyak akan melibatkanku dalam sebagai saksi juga. Dan kita tak tahu sejauh apa yang bisa polisi dapakan dariku hanya dengan sedikit interogasi. "
B terkekeh. "Rupanya Matty kecilku ini masih ciut jika berurusan dengan polisi…"
Kali ini giliran Matt yang tertawa kecil. "Salahkanlah pihak perusahaan elektronik yang memasang harga setinggi itu untuk konsol game mereka. Aku terpaksa membobol beberapa akun bank dan mengambil sedikit nominalnya. Bukan salahku jika sistem keamanan database bank masih bolong disana-sini."
Kadang B pun bertanya-tanya dalam benaknya, mengapa Matt mau repot-repot bekerja sebagai bartender jika ia bisa mendapatkan uang sebanyak yang ia mau dengan hacking?
"Kali ini giliranmu mengungkapkannya," Matt kembali berkata. "Dilihat dari reaksimu, sedikit banyak kau pasti tahu sesuatu tentang orang ini 'kan? Begitu menduga latar belakang yang tidak baik dari orang ini, aku berpikir untuk menemuimu saja, raja 'dunia belakang'."
B menyeringai. "Baik, terimakasih atas pujiannya."
Berputar dengan kursi berodanya, B kembali membuka mulutnya, "Lahir dengan nama Mihael Keehl, namun lebih sering menggunakan alias 'Mello'. Besar di panti asuhan dan kini menjabat sebagai kepala mafia yang cukup berpengaruh di Amerika Serikat."
Matt mendengus. "Lalu kenapa Mello Yellow si 'bos besar' ini bisa sampai tersasar di Jepang, huh?" tanya Matt dengan menekankan kata 'bos besar'.
B angkat bahu. "Urusan bisnis illegal, mungkin? Lalu, memangnya dia mau kau apakan setelah ini?"
Matt terdiam sejenak.
"… Kau pasti punya koneksi dengan dokter gelap yang menangani orang-orang 'belakang' kan?"
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan itu hingga gelak tawa B kembali membahana. "Matty, Matty… Tidak mau mengambil resiko terlibat dengan orang lain tapi masih juga tidak tega membuangnya begitu saja ke jalanan. Ternyata kau lebih polos daripada yang kuperkirakan."
Rona merah menyeruak sedikit pada pipinya "Te… terserah saja kau mau ngomong apa! Bisa nggak?"
"Piece of cake," jawab B. "Pembayaran jasanya?"
"Bukan masalah," Matt buru-buru bangkit berdiri, tidak ingin berlama-lama di tempat apek berperabot unik dengan penghuni yang tak kalah uniknya itu. "Tiga kaleng selai strawberry ukuran sedang, kuserahkan padamu tengah malam besok," ucapnya sebelum menghilang dibalik daun pintu yang ditutupnya dengan kasar. Meninggalkan B yang terkekeh melihat kepergiannya.
Diantara semua prajuritnya, sang peluncur-lah yang pergerakannya paling mudah diperkirakan. Dengan sedikit putar otak, pastinya Matty kecilnya bisa menjadi umpan menuju taktik yang ia inginkan perwujudannya.
B mengalihkan pandangannya. Menatap sosok pemuda pirang dengan luka bakar tertoreh pada wajah bagian sebelah kirinya yang belum juga sadar itu. Sungguh mainan yang menarik…
"Yeah… aku tidak menyangka peluncurku-lah yang mengundang sang ratu masuk ke dalam permainan ini…"
to be Continued
Wai, fic ini dibuka dengan pembunuhan L~! *Dikeroyok L fg* Nyahaha, gomen bagi yang rada kecewa. Tapi kalo L dibiarin idup pasti dia udah bisa nebak langkah B selanjutnya, gak asik lagi kan? *PLAK* Lagian bukan berarti dia gak bakal muncul lagi kok, mungkin nanti di bakal ada... di flesbek. *dilempar sendal*
Baru pertama bikin fic yang kayak gini. Pengennya sih genrenya suspense tapi... pantes gak ya? =='a Dan soal tokoh utamanya, kayaknya nggak ada. Yang pasti ada beberapa karakter yang penampilannya bakal dapet porsi besar. Yah, semoga aja gak ada yang pusing ngeliat alurnya yang maju mundur...
iya, saya tau kemampuan saya di genre ini epic fail, makanya jika ada kritik alur ato typos silakan lapor pada author, seperti biasa ;)
I've worked -very- hard for this epic one, (sarcasm, ha ha) so review please? *nyodorin souvenir bola mata dalem toples*