My very first fanfic. Please RnR!
Disclaimer: I do NOT own Vocaloid nor the song Soundless Voice and Proof of Life. Semua copyright jatuh pada Crypton dan pihak-pihak lain yang bersangkutan.
…
Butiran-butiran salju kembali melewati jendela. Angin dingin bertiup lembut, membawa serpihan putih menari di atas tanah yang membeku. Paku es menjulai dari pinggiran atap, sama beningnya dengan lapisan es tipis di danau. Bunga es mengerak di kaca jendela dan membuat pola indah. Ketika warna yang ada hanya putih dan kelabu. Musim dingin yang menusuk.
Entah bagaimana, dingin itu selalu berhasil merayap ke dalam. Membuat nafas menjadi uap. Membuat makanan menjadi kering dan keras. Membuat dahi Rin menghangat.
Rin menarik perlahan selimutnya ke atas. Rambutnya yang pirang basah oleh keringat dingin. Matanya, dulu biru langit yang penuh sinar, sekarang pucat dan menunjukkan kelelahan. Tangannya yang kurus kembali membetulkan selimut untuk mencari kehangatan. Wajahnya tirus karena letih akan rutinitasnya selama dua setengah tahun ini. Selama itu, sepertinya yang ia rasakan hanya sakit, sakit, dan sakit lagi, bagai tak bisa sembuh.
Rin mencoba untuk tidur, tapi suhunya yang sedikit demi sedikit makin meninggi selalu membuatnya terbangun kembali. Terlelap hanya bagaikan terjaga dalam alam mimpi. Tak bisa nyenyak.
Ia memutar badannya menghadap ke jendela. Tempat tidurnya terletak persis di samping jendela. Tepat di kakinya berdiri lemari dari kayu mapel. Hanya dalam jarak beberapa langkah di samping tempat tidurnya, ada meja dengan hanya dua kursi, dan perapian di dinding di sebelahnya. Kayu di dalam perapiannya sudah nyaris semuanya berubah menjadi abu, tapi Rin tidak cukup kuat saat ini untuk memasukkan kayu bakar lagi. Dalam pondoknya yang kecil dengan hanya satu ruangan, ada satu barang yang menurutnya paling berharga: piano kayu berwarna coklat kemerahan. Ditaruh persis di samping perapian, dulu benda itu adalah seluruh hidupnya. Dulu.
Musik pernah menjadi jiwanya. Nyanyian dan tarian selalu ada tiap harinya. Dan uang mengalir dengan lancar pada masanya.
Tapi kini, nyanyian itu telah hilang. Senandung musik tak lagi menjadi temannya. Dan biaya hidupnya terpaksa Rin gantungkan pada Len.
Dimana ia sekarang? Len seharusnya hari ini datang. Teman baiknya itu dulu biasa mendampinginya menyanyi. Permainan pianonya yang luar biasa selalu memukau para penonton. Tangannya yang lembut, hentakan jari-jarinya yang lincah menari di atas tuts, dan senandungnya sebagai duet membuatnya selalu diingat. Terutama oleh Rin.
Len yang sangat baik dan ramah. Tak pernah marah pada Rin. Rambut dan warna matanya yang entah kenapa persis sama dengannya kadang membuat mereka menjadi bahan omongan iseng di desa.
Sering Rin menyesal akan situasinya sekarang.
Bila aku tidak penyakitan, aku takkan membebaninya.
Ia menghela napas, sedikit kabut putih terbentuk dari mulutnya.
Lamunan Rin terputus saat ia merasakan angin dingin dari arah pintu di sebelah kanannya. Beberapa butir salju menyeruak masuk, bersama sebuah siluet tinggi bermantelkan jaket kulit. Ia berkuncir rambut pendek yang berdesir di tengah tiupan angin. Mata birunya memandang masuk dengan tatapan dalam. Wajahnya masih muda dan menarik, tetapi sudah sedikit menunjukkan lelah dari perjuangan hidupnya.
Len melangkah masuk dan menutup pintu dengan cepat.
"Maaf aku terlambat." Rin membalasnya dengan anggukan lemah, tanpa bisa mengangkat kepala dari tempat tidur. Len menaruh tas selempangnya di meja, di samping beberapa piring dan mangkuk kosong. Ia melihat bara api yang bertahan menyedihkan di perapian. Mengernyit, Len menambahkan beberapa kayu bakar dari pojok ruangan, mengaduk-aduknya sebentar, dan membuat Rin menghela nafas lega dengan kehangatan yang bertambah. Menggosok-gosokkan tangannya, pemuda itu menoleh ke arah Rin.
"Kau baik-baik saja? Kelihatannya kau sakit lagi."
Prihatin kembali terlihat di bola matanya, selalu sama sejak dulu. Wajahnya lelah, tak berbeda dengan Rin. Len sering merasa Rin tidak sepadan untuk berbagai penyakitnya. Rasa sayang pada teman masa kecilnya membuatnya selalu mengusahakan yang menurutnya terbaik baginya. Ia ingin, sekali lagi, melihat sahabatnya tersenyum. Menyanyi. Berbicara dengannya.
Sayang masa itu telah habis.
Rin memang sejak dulu penyakitan, tetapi tak pernah hal itu mengganggunya hingga sejauh ini. Dua setengah tahun yang lalu, kaki kirinya lumpuh. Ditambah lagi, seluruh anggota badannya menjadi lemah, memaksanya untuk tinggal di tempat tidur. Rin masih bisa berjalan dengan bantuan tongkat, tetapi hanya untuk jangka waktu yang sengat pendek; lima menit sudah lebih dari cukup.
Bagaikan tak cukup, 5 bulan yang lalu Rin tidak lagi bisa melihat. Depresi yang dalam melandanya. Beberapa minggu di awal ia lewati dengan tangisan, rintihan yang bertanya-tanya.
Ini tidak adil!
"Kapan ini semua adil?", tanya Len, seakan membaca pikirannya.
~o0o~
Rin dan Len dulu dikenal sebagai Diva - begitulah mereka memanggil seorang penyanyi di desanya. Tapi, yang membuatnya berbeda adalah para diva bukan penyanyi biasa. Untuk diakui sebagai seorang diva sangat sulit, dan memerlukan bakat yang luar biasa. Len dan Rin adalah Diva termuda pada masa mereka. Berdua, mereka berhasil diakui di usia 14 tahun, mengalahkan rekor dari Miku yang masuk pada umur 16 tahun.
Dua tahun setelahnya, Rin mengalami hal ini. Dokter tak bisa menemukan penyebab penyakitnya, dan mengatakan kelumpuhan dan kebutaannya adalah penyakit bawaan. Ayah Rin memang cacat juga – ia memiliki kelainan di otaknya dan tidak bisa menggunakan tangannya dengan sempurna.
Kedua orangtuanya sudah meninggal, dan Rin sudah tidak menganggap hal ini perlu untuk dibicarakan. Toh dia sudah melewati masa berkabungnya. Ia percaya pada perbandingan kehidupan seperti roda yang kelak akan berputar ke bawah… tapi ia tak pernah menyangka sekarang akan memikirkan hal yang sebaliknya. Kontradiksi yang terjadi pada dirinya…
Selama 5 tahun terakhir ini ia tinggal sendiri, di sebuah pondok kayu terdekat dari gedung Diva. Pondok yang ia beli dengan tabungan orangtuanya memang tidak seberapa, tapi memudahkannya untuk mencari uang sendiri karena letaknya. Keluarga Len kadang memberinya sedikit tambahan, walau Rin tidak meminta.
Tapi masa itu telah hilang, bagai ditelan salju yang masih turun di halaman depan.
~o0o~
"Hati-hati," Len memberikan segelas air hangat pada Rin.
Suhu badan Rin bertambah tinggi, seiring bertambahnya lapisan salju. Badannya pun semakin lemas. Len sudah membantunya untuk menegakkan punggungnya dan duduk bersandar di tempat tidur, agar Rin bisa menyelesaikan makan malam. Sepasang mangkuk dan sendok bekas kini teronggok di sudut, menunggu dibersihkan.
Setelah menyesap air dengan perlahan, Rin memberikan gelasnya kembali pada Len, yang langsung menaruhnya di meja. Kemudian ia menggulung tubuhnya di bawah selimut, mencoba untuk tidur dengan tidak nyaman. Kain kompresnya bergeser jatuh, membuat seprainya menjadi lembap. Sulit sekali untuk memejamkan mata ketika kepalanya panas dan demam. Karena tidak bisa menarik dirinya ke alam tidur, Rin mengajak Len berbicara.
"Ada kejadian apa di desa?"
Len, yang sedang menambah kayu bakar lagi, menjawab,"Tidak banyak. Miku nyaris kehilangan suara kemarin; lalu tukang besi kita pindah ke kota, dan anak Yonid Lona, si Kagami Kawaiine mabuk lagi. Menyanyikan lagu-lagu Miku sambil mengelilingi desa. Sumbang, seperti biasa."
"Ngg."
Rin sebenarnya nyaris tidak mendengarkan isinya. Ia hanya meresapi nada bicara Len, seakan bisa membuainya tertidur. Langkah Len terdengar mendekati ranjangnya, dan sekarang tangannya terasa di sebelah kepala Rin untuk mengambil kompresnya.
Sambil merendam dan memeras kompres, Len manambahkan, " Oh, dan satu lagi: ada Diva muda baru."
"Siapa?"
"Namanya agak aneh. Gumi. Umurnya tujuh belas tahun. Dia bukan orang daerah sini, dan ada kabar dia pindah ke desa kita hanya karena tertarik dengan konsep Diva."
"Begitu."
"…Kau tidak capek?" Len menaruh kompres hangat lagi ke dahi Rin. Jarinya mengelus lembut dahi Rin dan menyapu rambutnya. "Sebaiknya kau tidur lagi."
Rin dapat meraba kekhawatiran dari nada bicara Len.
"Tidak apa-apa." Rin selalu merasa Len tidak seharusnya ikut mengambil bebannya. Rasa sakit, sepi, gelap… Semua itu bukan tanggung jawab Len. "Tidak sepusing biasanya." Ia hanya tak mau Len khawatir lebih jauh lagi.
Rin dapat mendengar desau angin lagi di luar rumahnya. Angin yang berdesir, bagai membuai butiran-butiran salju. Sedikit udara dingin itu mendesis masuk, melalui celah di dinding kayu. Rin bisa merasakan dingin di kulitnya. Dingin yang menusuk.
Suara keretak api yang membara di perapiannya melawan rasa beku, membuat Rin merasa gelenyar kehangatan timbul dalam tubuhnya. Ia menggigil sesaat. Panas tubuhnya ingin merasakan sedikit kesejukan dari udara musim Desember, tapi Rin tahu hal itu justru akan membuatnya lebih sakit. Tak lama kemudian, wajahnya basah akibat bintik-bintik keringat dingin, beberapa mengalir melewati pipinya.
Kecuali untuk satu tetes itu. Yang baik Rin dan Len tahu bukan merupakan keringat.
Dari mata buta yang tak terfokus, air mata mengalir. Setetes… kemudian dua… terus-menerus, hingga Rin dapat mendengar dirinya sendiri terisak. Terisak untuk kesekian banyak kalinya dalam lima bulan yang panjang ini. Terisak untuk dirinya sendiri yang merepotkan orang lain. Terisak sedih dan terharu untuk sahabat baiknya. Haru yang biru, dingin dan penuh penyesalan.
Len, yang sekarang duduk di sebelah tempat tidur, mengambil telapak tangan Rin ke pangkuannya. Ia merangkul tangan Rin dengan tangannya sendiri, lalu menggenggam lembut. Bagai memberikan perlindungan.
Kenapa rasanya sakit..?
Len kemudian mengusap embun di sudut mata Rin.
Tolong… Jangan lakukan apapun lagi... Rin justru terisak lebih keras.
Aku tak pantas menerima ini…
Hwaaaahh~ akhirnya selesai juga! Bahasanya cukup bagus nggak ya? Kepanjangan nggak? Atau malah kecepetan alurnya? Bisa bikin terharu nggak ya, hmm sedang berusaha biar deskripsinya bagus -_-
Kalau nanya pendapat pribadi, saya lebih suka kalau Len dan Rin itu statusnya saudara kembar *saja* tapi khusus buat yang ini dijadiin couple.
Len dan Rin umurnya kira-kira udah 18-19 tahun, soalnya kalau mau pake konsep "umur 14 tahun cari nafkah+tinggal sendiri" kok kasian banget ya… Jadi dituain deh umurnya. Tapi kalau konsep tanggal yang lain (kapan mulai buta, kapan mulai lumpuh) itu ngira-ngira sesuai lagunya, di bagian "ikudo me kano fuyu o koete.." (Having overwintered a few times..) artinya emang harus ada selang beberapa tahun dari lumpuh ke buta. Jelasnya, jadi umur 13 orangtua terakhir Rin meninggal, 14 mereka jadi Diva, 16 Rin lumpuh, dan 18 (5 bulan terakhir ini) Rin buta.
Nama Diva di sini diambil dari Synchronicity series, tapi hanya 'sekedar' penyanyi saja.
Yang terakhir, buat yang penasaran Kagami Kawaiine itu siapa, silakan cari dan denger lagunya yang 'gila' di YouTube. Kalau udah ketemu dan bingung kenapa ibunya Kagami, si Yonid Lona, nggak ada dimana-mana, Yonid Lona ini bikinan sendiri jadi nggak ada gunanya googling. Masih penasaran? Acak huruf-hurufnya, jadi deh sesuatu yg berhubungan dengan Kagami.
Thanks for reading! Please RnR!
