.::1925::.


Special Thanks:

Terima kasih; terima kasih banyak untuk semua yang bersedia menunggu update-an fic yang tadinya saya rencanakan untuk tidak dilanjut. Saya sudah benar-benar kehilangan keinginan untuk menulis kelanjutan fic ini—walaupun sejujurnya ending dari fic ini sudah di kepala—beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya bagian ini sudah selesai lama sekali, tapi baru bisa saya terbitkan sekarang. Jadi, walaupun gaya penulisan di bagian empat ini masih gaya penulisan saya yang lama, semoga Teman-Teman puas akan fic ini, ya!

Disclaimer:

KAITO, Hatsune Miku, dan Megurine Luka adalah karakter dari software Vocaloid yang dikembangkan oleh Crypton Future Media, di bawah Yamaha sebagai pemilik lisensi engine Vocaloid. Penggunaan karakter, selanjutnya diserahkan kepada pihak Piapro.

Kamui Gakupo adalah karakter dari software Gackpoid/Vocaloid yang dikembangkan oleh Internet Co.,Ltd, di bawah Yamaha sebagai pemilik lisensi engine Vocaloid. Hak cipta karakternya adalah milik Kentaro Miura.

Artwork lagu "1925" yang menginspirasi saya untuk menulis fic ini adalah karya Buchiko yang diterbitkan di situs Piapro.

Warning:

Fic ini bukan songfic; tidak ada sedikitpun alur cerita yang saya adaptasikan dari lirik lagu "1925". Bagian ini adalah bagian terakhir bagi saya untuk menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama. Semua yang tertulis di sini adalah murni fiksi, walaupun saya akui ada beberapa peristiwa sejarah yang sengaja saya ambil dan jadikan latar fic ini. Fic ini pun tidak saya rekomendasikan sebagai acuan maupun literatur bagi Anda-Anda yang ingin mempelajari sejarah Jepang.

Fic Made By:

Asaichi23


Chapter 4

"Perasaan Anehku kepada Dirimu"


Miku's Point of View

Diriku sekarang tersembunyi di balik kursi panjang yang berada di ruang tengah ini. Beberapa menit lalu, masih sempat kusembulkan kepalaku untuk sekedar melihat keadaan. Tapi, Kaito langsung menyuruhku untuk kembali bersembunyi. Kudengar ia membuka pintu yang tadi dipukul dengan sangat keras; sekeras gemuruh di luar yang membuatku sangat ketakutan. Selanjutnya, hening; tak ada ucapan ataupun perkataan Kaito lagi setelah itu. Yang ada hanyalah suara rintik hujan ditambah suara gemuruh dan gemerlap kilat. Sedikit rasa cemas mendatangiku, dan ia membujukku agar segera melihat keadaan Kaito sekarang. Kalah melawan perasaan cemas, kusembulkan kembali kepalaku,dan kulihat sekarang Kaito sedang mengarahkan pistolnya kearah wajah "tamu" yang tadi memukul pintu utama dengan sangat keras.

Kaito dan "tamu" kami kini saling diam. Wajah "tamu" itu tak dapat kulihat karena di luar gelap gulita; mungkin Kaito pun demikian. Itulah kenapa ia masih menahan tembakannya sampai sekarang; ia mungkin masih belum bisa menentukan, teman atau musuhkah "tamu" kami ini. Kuperhatikan lagi lebih saksama, dan ternyata "tamu" kami itu juga mengarahkan pistolnya tepat kearah kepala Kaito. Rasa cemas makin menguasai diriku, tapi aku tak punya daya untuk membantunya. Aku hanya selalu merepotkan Kaito, aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk kalau kucampuri urusan mereka. Jadi, sekarang aku hanya bisa melihat dengan penuh rasa cemas dari balik kursi ini.

Detik-detik jarum jam terdengar begitu sinkron dengan detak jantungku. Masih kulihat mereka berdua mematung; masih tidak ada kata yang terlontar dari mulut mereka. Sampai suatu ketika sebuat gemuruh besar diikuti gemerlap kilat menerangi kontur wajah "tamu" kami ini. Seperti biasa, kututup telinga dan mataku ketika gemuruh yang didahului oleh kilat datang. Setelah kubuka mataku, Kaito menurunkan pistolnya. Wajahnya terlihat lebih tenang sekarang. Ia pun memulai pembicaraan dengan "tamu" kami itu.

"Ga ... Gakupo? Apa yang kau lakukan di malam hujan begini? Dan dari siapa kau tahu tempat ini?" Kaito bertanya penuh keheranan kepada seseorang yang mungkin ia kenal itu.

"Maaf, sedikit mengganggu, Temanku. Ada sedikit masalah yang kuhadapi, sehingga aku mesti menyambangi tempat ini," balas lelaki itu sembari mengembalikan pistolnya ke pinggang.

Tahu bahwa lelaki itu bukan orang berbahaya, tanpa sadar diriku meraih buku tebal yang Kaito tinggalkan, dan berjalan ke arah pintu utama. Wajah lelaki yang tadi dipanggil Gakupo itu hanya terlihat samar. Kulihat dinding, siapa tahu ada sebuah sakelar lampu yang bisa menghidupkan lampu di luar. Kutemukan tiga sakelar lampu, dan kutekan sembarang sakelar yang posisinya di tengah. Secara tiba-tiba, lampu di luar pun menyala; membuatku dapat melihat dengan jelas wajah lelaki yang berada di luar itu.

Postur tubuhnya tinggi; wajahnya terlihat pucat, mungkin gara-gara kehujanan; rambutnya panjang, diikat á la samurai dan berwarna ungu. Tunggu! Kenapa rasanya pernah kulihat ia beberapa waktu lalu? Kuingat-ingat lagi, dan langsung saja jariku menunjuk ke arahnya saat dapat kuingat siapa dia.

"Ka ... kau, 'kan orang yang dikejar oleh mereka saat itu! Dia pasti membawa orang-orang yang asal tangkap itu kemari, Kaito!" teriakku. Kaito maupun Gakupo, kaget dengan teriakanku barusan. Lalu, lelaki berambut ungu ini pun menanggapi pernyataanku.

"Huh? Apa maksudmu, gadis kecil? Tentu saja aku tidak akan membawa mereka kemari. Kalau memang mereka mengikutiku, potongan kepala Kaito sekarang sudah berserakan di lantai. Siapa gadis ini Kaito? Kau bilang keluargamu sudah ..."

"Jangan lanjutkan! Gadis ini adalah 'hasil penyelamatanku', maafkan ia kalau terlalu paranoid, Gakupo," potong Kaito. Masa' aku dibilang "hasil penyelamatan", sih? Apa tak ada panggilan yang lebih bagus?

"Apa itu 'hasil penyelamatan', Kaito? Tidak ada panggilan yang lebih bagus lagi?" balasku ketus. Pelan, kudorong tubuhnya pertanda bahwa aku protes pada panggilannya padaku barusan.

Kaito menerima protes dariku. Jadi, diputar badannya dan ia tersenyum padaku, "Jadi kau mau kupanggil apa? 'Miku sayang'? Hm?"

Kata terakhir yang ia katakan membuat wajahku terasa panas, dan mungkin terlihat merona merah lagi, "A ... apaan lagi itu!? Aku, 'kan, bukan ..."

"Bukan apa~?" potong Kaito menggodaku. Kalah telak melawan godaan darinya, kupalingkan wajahku agar ia tak bisa melihat rona merah di permukaannya.

"Umm … maaf mengganggu kemesraan kalian. Ada yang ingin kukenalkan padamu, Kaito!" sela Gakupo. Kaito berbalik badan ke arah Gakupo lagi.

Sesuai perkataannya barusan, Gakupo memalingkan badannya ke belakang dan berbisik kepada seseorang yang dari tadi tak terlihat karena kegelapan malam. Seiring orang itu mendekat, cahaya temaram lampu pijar menerangi seluruh sosok tubuhnya. Tampak seorang gadis berumur kira-kira delapan belas tahunan; tingginya mendekati tinggi Gakupo; rambut merah mudanya yang panjang basah dan agak kusut karena hujan; ia mengenakan pakaian yang biasanya dipakai oleh gadis-gadis dari Cina, cheongsam kalau tidak salah nama pakaian itu.

Dengan sedikit malu-malu, gadis berambut merah muda ini muncul dari balik badan Gakupo. Gakupo memberi isyarat "tidak apa-apa" pada gadis itu. Melihat isyarat dari Gakupo, ia pun mendekat ke arah pintu utama dan memperkenalkan dirinya pada kami.

"A ... anu, perkenalkan, namaku Megurine Luka, mohon bantuannya!" tutur gadis itu setengah malu-malu.

"…" Kaito terdiam beberapa saat. Apa, sih, yang dipikirkannya? Ada orang yang memperkenalkan dirinya, bukannya dibalas, eh malah diam.

Kuperhatikan lagi si bodoh berambut biru ini; ia masih terpaku diam. Kulihat matanya mengarah ke bawah dan mulutnya sedikit terbuka. Kutelusuri ke mana matanya melihat, dan kudapati orang ini sedang memandangi paha Luka yang memang agak ter-expose diakibatkan model pakaiannya yang memiliki semacam potongan di bagian pahanya.

Dasar kau ini memang cowok mesum! Sekarang hatiku yang mulai terasa panas, kugenggam keras buku yang kupegang. Eh? Buku? Sepertinya bisa kumanfaatkan buku ini. Di samping fungsi aslinya—yaitu untuk dibaca—buku ini juga bisa dijadikan sebagai penyadar pria mesum sepertimu, Kaito! Kuambil ancang-ancang, lalu kukerahkan tenagaku untuk mengayun tangan yang masih memegang buku ke kepala Si Bodoh ini.

-Plok!-

Buku berjudul "Sejarah Jepang" yang kugenggam ini, sukses mengenai kepala Kaito dengan keras. Sontak menyadarkannya dari alam khayal. Kaito sadar; Luka pun ikut-ikutan sadar dengan apa yang Kaito lihat dari tadi. Seketika itu wajahnya memerah dan segera bersembunyi lagi di balik Gakupo. Gakupo hanya terkekeh geli dengan apa yang baru saja terjadi di hadapannya.

"Halo Mr. Pervert, sudah kembali ke dunia nyata? Orang memperkenalkan diri, kok, malah lihat ke arah lain? Suruh mereka masuk, dong! Kasihan kehujanan begitu!" ujarku dengan mulut berbentuk kerucut.

Kaito memegangi kepalanya yang pasti sakit pasca "benturan" tadi, "Kok, malah kau yang marah sih? Padahal, 'kan, Luka yang kulihat, bukan kau!"

"Tch! Aku cuma geli saja melihat kelakuanmu, Mesum!" balasku ketus.

"Oooh~ begitu? Gadis kecilku ini sekarang cemburu, ya~? Kawaiiii~!" ledek Kaito disertai senyumannya, yang lagi-lagi sukses membuat wajahku ini panas dan kembali mengeluarkan rona merahnya.

"Di ... diam kau! Dan jangan panggil aku gadis kecil! Aku sudah enam belas tahun, tahu!" balasku sambil memukul-mukul Kaito dengan buku yang masih kugenggam. Kaito hanya menangkis seranganku dengan sebelah tangannya.

"Enam belas tahun, ya? Umur segitu di mataku yang sudah dua puluh satu tahun ini, tetap saja seorang gadis kecil, heheheh~" ledeknya lagi sambil merebut buku yang kupegang. Lalu ia mengacak-acak rambut turquoiseku yang sampai saat ini belum kuikat dengan gaya twintail.

Kesal dengan ucapannya, aku menjauh dan kembali duduk di kursi panjang yang tadi kugunakan sebagai sarana berlindung. Tapi, kenapa rasa kesal ini begitu berbeda? Rasa yang kurasakan beberapa waktu ini begitu aneh. Kadang ketika Kaito memelukku, aku merasa tenang. Kala ia membelai lembut rambutku, seketika aku lupakan kesedihan yang saat itu mendera. Kali ini, saat ia melirik perempuan lain, hatiku terasa panas dan amarah lah yang keluar selanjutnya. Ini namanya perasaan apa?

Kulihat Kaito mempersilakan mereka masuk; ia meminta kunci kamar yang tadi pagi belum kukembalikan. Kurogoh saku rokku, dan kulemparkan untaian kunci itu padanya. Dengan cepat, ia menangkap dan memberikan untaian kunci itu pada Gakupo. Kaito memberitahu di mana kamar tamu untuk Gakupo dan kamar yang tadi pagi kugunakan untuk mengganti baju. Terlihat Luka masih agak risih ketika berada di dekat Kaito. Gara-gara kejadian konyol barusan sepertinya.

"Hati-hati dengannya! Kalau tidak, nanti ia akan membawamu ke kamarnya, lho!" ledekku. Kulihat sekarang Luka makin risih pada Kaito. Melihat itu, aku pun tertawa kecil.

"A ... apa? Waktu itu aku, 'kan, cuma bercanda!" balas Kaito agak terbata-bata.

"Ga ... Gakupo-kun, apakah semuanya akan baik-baik saja kalau kita di sini?" tanya Luka pada Gakupo.

"Kun?" ujarku bersamaan dengan Kaito. Bukankah kalau sufiks "–kun" digunakan oleh seorang wanita pada lelaki, berarti bahwa lelaki itu sangatlah spesial bagi dirinya?

"Hooo~ sepertinya hubungan kalian sudah ke tingkatan lanjut, mau kuberi kamar spesial?" goda Kaito dengan wajah liciknya.

"E ... eh? Apa maksudnya 'hubungan tingkat lanjut'? Tidak perlu repot-repot, Kaito! Kami hanya teman biasa kok!" balas Gakupo agak malu-malu. Terlihat Luka mengeluarkan rona merah di wajahnya.

"Tapi, kok, panggilannya manis sekali? Aku sudah lama mengenalmu, lho! Dan baru kudengar seorang gadis memanggilmu dengan sebutan seperti itu, heheh~." Kaito makin menggoda Gakupo.

"Te ... terserah, lah!" Gakupo tak punya kosa kata yang bagus untuk menepis godaan Kaito. Gakupo melepas kunci perak, dan diberikannya pada Luka. Lalu mereka pun pergi ke kamar yang Kaito tunjukkan.

Dengan diiringi tawa kecil, Kaito menutup pintu utama; mematikan sakelar lampu depan, dan menuju ke sebelahku. Sebelum Kaito duduk, kuusir ia terlebih dahulu. Mengerti kalau aku tak ingin ia duduk bersama denganku, Kaito pindah ke kursi panjang satunya—kursi yang terletak tepat berseberangan denganku.

"Aih~ senangnya yang sudah punya kekasih. Semuanya pasti terasa ringan, karena ada orang yang bisa diajak berbagi," gumam Kaito sembari duduk di kursi panjang yang posisinya berada di seberangku.

"Memangnya kau tahu dari mana kalau punya kekasih itu enak?" tanyaku padanya.

Mata biru Kaito tertuju padaku, dengan santainya ia menjawab, "Hanya menebak saja, kok!"

"Huh! Dasar sok tahu!" balasku sambil melipat tangan di dada.

"Nah, kalau kamu bagaimana? Sudah pernah punya seseorang yang spesial di hidupmu, Miku?" Kaito balik bertanya padaku.

Jujur saja, aku agak bingung mengenai pertanyaan Kaito ini. Seseorang yang spesial? Maksudmu, laki-laki yang spesial? Sepertinya dari semua lelaki yang kukenal, hanya beberapa saja yang menarik perhatianku. Tapi, meskipun begitu, hubungan kami cuma sebatas sahabat saja kok.

"Atau jangan-jangan, kau belum pernah punya hubungan spesial dengan laki-laki, ya?" tanya Kaito yang langsung menyadarkan diriku yang sedang melamun.

"E ... eh? Tahu dari mana? Ups …" sontak kututup mulutku saat tanpa kusadari aku mengucapkan sesuatu yang kurahasiakan darinya.

Senyuman licik tersungging lagi di bibir Kaito, "Oh~ ternyata begitu? Mau coba memulainya? Aku juga belum pernah kok."

"A ... apa maksudmu? Mana mungkin aku … aduuuh!" sekarang kakiku sepertinya mulai kambuh lagi. Kulihat sekarang darah mulai merembes dari perban putih di kakiku ini.

Sebenarnya setiap kulangkahkan kaki, rasa sakit selalu menyerang. Tapi kucoba untuk tak memedulikannya. Aku hanya ingin terlihat mampu di mata Kaito, agar tidak selalu merepotkannya. Tapi, kalau sudah kambuh, rasa sakitnya bertambah beberapa kali lipat. Kalau sudah begini, tak ada jalan lain; aku mesti merepotkan Kaito lagi. Maaf, ya?

Tanggap dengan rintihanku, Kaito segera mengambil tas obat besarnya. Memilih-milih peralatan dan obat yang akan digunakan, setelah itu ia langsung duduk di depanku. Wajahnya terlihat serius sekarang, berbeda dengan wajah konyolnya beberapa menit lalu. Ia membuka perban yang melekat di kakiku. Sekarang terlihat luka tembak yang kelihatannya makin memburuk. Jadi, kututup mataku, agar tidak melihat pemandangan seram ini.

"Sepertinya makin memburuk saja, Miku. Kalau mandi, kakimu ini kau basuh dengan air, ya?" tanya Kaito denga nada serius.

"Mmm … mmm!" jawabku sambil mengangguk pelan, dengan wajah masih tertutup tangan tentunya.

"Oh, pantas. Lalu kalau kau berjalan, masih terasa sakit, ya? Terus, selama ini kau paksakan untuk berjalan, walaupun itu menyiksa dirimu?" tanyanya lagi.

Aku hanya membalas pertanyaannya dengan sebuah anggukan pelan; tak ada satu kata pun keluar dari mulutku.

"Kalau begini terus, terpaksa nanti kakimu mesti kupotong!" ujar Kaito, tanpa menyisipkan perasaan berdosa ketika mengatakan kalimat menyeramkan barusan.

Seketika itu juga, tangan berpindah dari wajahku. Kutunjuk Kaito yang baru saja mengatakan kalimat yang hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya, "Ka ... kau bilang apa, Dokter Amatiran? Kalau kakiku ini benar-benar kaupotong, akan kuhantui kau seumur hidupmu, ingat itu!"

"Sabar dulu, Nona Histeris! Aku, 'kan bilang 'kalau begini terus'. Jadi, mudah saja, 'kan? Jangan basuh dengan air lukamu ini saat mandi. Lalu kau tidak boleh memaksakan dirimu berjalan kalau masih sakit!" balasnya, menangkis perkataanku tadi.

"Hmmf~ kalau yang pertama sih bisa saja, tapi kalau aku mau jalan kesana-kemari, bagaimana?" aku, sih, setuju-setuju saja, asal jangan sampai dipotong, masa' masih muda sudah cacat permanen?

"Tenang saja, aku lelaki yang memegang kata-katanya, sebodoh apapun kata-kata itu!" ujar Kaito; ia memalingkan wajahnya.

Lalu muncul kembali ingatan akan perkataannya itu. Di mana Kaito akan melakukan apa saja ketika aku masih sakit. Padahal aku cuma bercanda saja, kok. Tapi ditanggapi serius olehnya, sebegitu khawatirnya kah kau padaku, Kaito? Tapi, apakah alasannya kau begitu khawatir padaku? Kalau cuma sebatas rasa ingin menepati janji, sepertinya itu terlalu berlebihan.

Kaito membersihkan dan mengobati luka di kakiku dengan perlahan; membuatku tak merasakan sakit terlalu banyak. Setelah ia bersihkan dan diberi obat, kaki ini langsung diperbannya lagi. Selesai dengan pekerjaannya, Kaito merapikan perlengkapannya, dan memasukkan barang-barang itu ke dalam tas besar yang berfungsi sebagai tempat penyimpanannya.

"Yak! Selesai sudah! Pekerjaan mudah saja, kok," gumam Kaito sembari menaruh tas besar itu di atas meja. Sekarang ia menuju ke arah kursiku lagi, sepertinya ia mau duduk bersebelahan denganku, "boleh aku duduk di sebelahmu, Miku?" pertanyaannya tepat sekali dengan yang kuperkirakan.

"Boleh, duduk saja di sebelahku, Kaito! Terima kasih," jawabku dengan ekspresi datar.

"Ya, sama-sama. Ingat ya, jangan dibasuh saat mandi, terus tidak boleh jalan sendiri kalau masih sakit!" ujarnya mengingatkanku.

Kuanggukkan pelan kepalaku; pertanda aku mengerti apa yang ia katakan, "Tapi kenapa kau sangat mengerti masalah kesehatan seperti ini, Kaito?"

"Yah, walaupun begini, aku adalah petugas medis lapangan tingkat advance lho!" jawabnya sambil mendongakkan kepalanya ke atas, disertai sedikit senyum kebanggaan.

Oh, begitu? Pantas saja waktu kau mengeluarkan peluru dari kaki kananku, kau tak terlihat kesulitan. Kami pun diam beberapa saat, aku maupun Kaito kehabisan topik untuk dibicarakan. Kumainkan rambutku, sekedar membunuh waktu yang terus berjalan. Kulihat Kaito masih melihat ke langit-langit. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan saat ini.

"Hei, Miku!" panggilan Kaito menarik perhatianku.

"Ya? Ada apa?" jawabku singkat.

"Bagaimana tanggapanmu, mengenai tawaranku? Maukah kau memulai 'hubungan spesial' itu?" tanya Kaito dengan nada datar, ia pun menoleh kepadaku sekarang.

"E ... eh? Mak-maksudmu? Anu ... anu, perkataan tadi itu serius?" dengan terbata-bata, kutanggapi pertanyaan yang ia lontarkan padaku. Jantungku berdegup kencang; nafasku tidak teratur; wajahku terasa sangat panas. Kututup lagi wajahku dengan kedua tangan, agar ia tak melihat rona merah yang sudah tak terhitung berapa kali munculnya.

Dari sela-sela jariku, kulihat wajah Kaito yang tersenyum padaku. Senyumannya membuat jantungku makin berdegup kencang. Ia seakan menunggu, menunggu jawaban dariku yang memang masih sangat "hijau" untuk sesuatu semacam itu. Selang beberapa lama, kuperhatikan dari balik telapak tangan ini, senyum Kaito berubah. Walaupun tak signifikan, dapat kulihat perubahan kecil itu. Senyumannya begitu berbeda; seperti tercampur dengan perasaan sedih saat ia mengeluarkannya.

Dapat kurasakan Kaito sekarang membelai lembut rambutku lagi. Tanganku kupindahkan dari wajah, dan kutatap ia yang sekarang masih tersenyum. Mulutku tak dapat berkata-kata, dikarenakan tingkat kegugupanku yang masih tinggi saat ini. Sejujurnya aku bingung mau jawab apa. Kami, 'kan, baru saja bertemu, tapi kenapa Kaito bisa-bisanya mengucapkan hal demikian? Kalau kujawab tidak pun, sepertinya berat sekali. Karena sebenarnya aku juga … punya suatu perasaan padanya, lebih dari sebuah perasaan suka pada seorang laki-laki. Tapi, sepertinya aku masih terlalu malu untuk mengutarakan perasaan aneh ini.

"Sepertinya jawabannya adalah 'tidak', ya? memang sudah kuduga sebelumnya," gumam Kaito pelan. Tapi, tidak cukup pelan untuk dapat tertangkap indera pendengaranku.

"Apa? Sebenarnya ... kau itu mau bicara apa, sih?"

"Heheheh~ jangan dianggap serius, Miku! Aku hanya bergurau saja, kok! Kau ibarat kertas yang masih putih bersih, aku mana mungkin tega untuk mengotorinya. Lalu, aku hanya punya kesedihan dan kepahitan hidup untuk dibagi pada orang lain. Maafkan aku kalau gurauan ini terkesan terlalu serius, ya?" potong Kaito. Kau hanya bercanda seperti sebelumnya? Tapi kenapa kali ini rasanya terlalu serius untuk dapat dikatakan sebuah gurauan? Adakah perasaan yang kau sembunyikan dariku?

Sembari menurunkan tangannya dari kepalaku, Kaito bergegas pergi, "Kau lapar, 'kan? Sebentar kubuatkan makan malam, ya? Nanti kalau Gakupo dan Luka sudah datang, tolong bilang pada mereka: aku butuh bantuan di dapur, ya?"

Kubalas perkataannya hanya dengan sebuah anggukan kecil. Kaito pun sekarang sudah hilang dari pandangan, yang tersisa hanya aku sendiri. Seorang gadis yang masih belum mengerti dengan perasaan aneh yang dirasakannya sekarang. Suka? Terlalu hambar kalau dibandingkan dengan perasaan yang kurasakan saat ini. Perasaan ingin berterima kasih? Mungkin benar, tapi tak sampai membuat wajah merona merah saat ia tersenyum padaku, 'kan?

Sembari melamun, kulihat jendela yang tertutup rapi oleh tirai-tirai lebar dan berkesan menyeramkan. Hujannya, sudah berhenti. Kilat dan gemuruh yang selalu menakutiku juga sudah tak terlihat maupun terdengar lagi. Di tengah lamunanku, muncullah dua orang teman yang baru datang tadi. Si pria berambut ungu panjang—Gakupo—dan gadis berambut merah muda—Luka. Tanpa basa-basi, kukatakan saja pada mereka bahwa Kaito meminta bantuan di dapur untuk memasak makan malam. Yang bersangkutan pun tak banyak bicara, mereka berdua menuju dapur untuk membantu Kaito.

Diriku kembali melamun, kulirik jam besar tua yang ada di ruangan ini. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Terlalu malam untuk sebuah makan malam, menurutku; lebih tepat dibilang waktu tidur. Kembali kupikirkan lagi perasaan aneh ini. Tidak adakah seseorang yang bisa kutanyai mengenai ini? Aku memang menyukai dirinya, walaupun sampai saat ini masih belum kuungkapkan secara lisan. Aku pun sangat berterima kasih pada Kaito, karena tak terhitung berapa kali dia menolongku.


"Cinta"


Sebuah kata dengan dua suku kata itu terlintas di benakku. Sebuah kata yang kutahu dari buku-buku roman milik Ayah. Perasaan di mana seseorang menyayangi pasangannya, sampai rela berbuat apapun untuknya. Cinta juga tak butuh waktu lama dan alasan pasti untuk ia muncul. Setidaknya hanya sejauh itulah aku mengerti arti kata itu. Jadi begitu? Apakah rasa yang kurasakan ini namanya cinta? Apakah Kaito merasakan perasaan ini juga? Hal itu masih menjadi misteri sekarang. Dengan melihat kelakuannya, aku tidak bisa memastikan hal ini.

Sikapnya sering terlihat dingin, tapi di balik itu, kurasakan kehangatan darinya. Bercandanya juga sangat aneh, seperti ada yang disembunyikan di balik candaan anehnya itu. Wajahnya saat serius, membuatku terpesona. Tapi wajah konyolnya seketika menghilangkan rasa terpesonaku itu. Shion Kaito, kau mesti bertanggung jawab karena membuatku merasakan perasaan aneh ini!

Tak terhitung berapa lama aku melamun. Sosok Kaito yang tiba-tiba saja muncul dan menggendongku seketika itu juga membuatku tersadar, "E ... eh? Kau mau bawa aku ke mana, Kaito?"

"Ke ruang makan, Miku. Masa' kami makan tanpamu, tidak mungkin, 'kan?" jawabnya. Oh iya, tadi, 'kan, Kaito pergi memasak makan malam untuk kami, kenapa bisa lupa ,ya?

Sesampainya di ruang makan, kulihat Gakupo dan Luka sedang menunggu kami untuk makan bersama. Aku tak punya nafsu makan karena memikirkan perasaan aneh ini, jadi tak kuperhatikan apa menu makan malam sekarang. Gakupo dan Luka melihat kami dengan tatapan heran, tapi tak kupedulikan juga tatapan itu. Kaito menurunkan dan membantuku duduk di sebelahnya. Luka berada di seberangku dan Gakupo di sebelahnya.

"Sekarang, siapa yang hubungannya sudah tingkat lanjut, Kaito?" ujar Gakupo, mengembalikan kata-kata yang dilontarkan Kaito beberapa waktu lalu.

Kaito tersenyum, "Sudah, nikmati saja makan malamnya!" ia lalu mengambil makanannya dan mulai makan.

"Ya, sudah, deh, selamat makan!" Gakupo tak banyak bicara lagi; ia pun mulai makan.

Luka belum mulai makan, ia melihatku yang sekarang tertunduk lesu dengan wajah khawatir, "Hatsune-san, kamu tidak makan? Apa kamu sakit?" suara lembutnya kubalas dengan gelengan kepalaku. Luka tahu dari mana namaku? Ah, mungkin waktu memasak makan malam, Kaito bercerita tentang diriku, tapi aku tak terlalu peduli akan hal itu.

Kaito memperhatikanku, dan alisnya naik sebelah, "Kau tidak enak badan? Sepertinya beberapa waktu lalu dirimu sangat sehat, Miku?"

Sehat? Memang luka di kakiku ini sudah mulai membaik karena sudah kau obati. Tapi, apa kau masih belum sadar kalau kau sudah mempermainkanku dengan kata-katamu beberapa saat lalu? Kata-kata yang seakan-akan mempermainkan perasaan anehku padamu; perasaan yang juga belum kuketahui dengan pasti apa namanya ini. Mengingat-ingat hal itu saja sudah cukup untuk membuatku kehilangan selera makan.

"Ini gara-gara kamu, Bodoh!" jawabku singkat, kukerucutkan bibirku dan kupalingkan wajahku darinya.

"Kau apakan gadis ini, Kaito? Sampai-sampai ia jadi tidak nafsu makan begini?" tanya Gakupo dengan nada menggoda.

"Gara-gara aku? Memang aku tadi berbuat buruk padamu? Tidak, 'kan?" tanpa memedulikan Gakupo, Kaito bertanya lagi padaku.

"Aku tidak nafsu makan, mau tidur saja!" jawabku. Kuambil posisi berdiri, tak memedulikan rasa sakit yang menyerang kaki kananku, kucoba berjalan ke arah kamar Kaito.

"Mi-Miku, 'kan sudah kubilang kau tak bo ..."

"Tutup mulutmu! Aku mau jalan sendiri!" potongku dengan kasar. Kaito tentunya tak tinggal diam; ia tak menggubris sedikitpun kata-kataku, berdiri dan segera menuju ke arahku. Tapi, Luka mendahuluinya; ia pun memapahku dan mengantarkanku ke kamar Kaito, dengan petunjuk dariku tentunya.

"Shion-san, biar aku saja yang mengantar Hatsune-san ya? Kalian makan saja duluan," ujar Luka yang sekarang sudah memapahku.

"Tapi Megurine, akulah yang mesti ...," balas Kaito yang sekarang makin dekat dengan posisiku dan Luka.

"Serahkan saja padaku, ya? Sepertinya hanya perempuan yang mengerti hal begini," potong Luka sembari memapahku.

"Ba ... baiklah, mohon bantuannya, Megurine," gumam Kaito lemas.

"Sudahlah, Teman. Itu urusan perempuan. Kau lebih baik tidak mencampurinya," timpal Gakupo yang masih mengunyah makanannya.

Aku dan Luka berjalan perlahan ke kamar Kaito—kamar yang sementara ini menjadi hak milikku. Setidaknya sampai lelaki itu membantuku menemukan kedua orangtuaku. Sesampainya di sana, Luka membantuku lagi untuk naik ke ranjang besar di kamar ini—ranjang yang menjadi saksi bisu kejadian-kejadian konyolku dan Kaito. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kulakukan ini? Ini semua terjadi begitu saja. Dengan acuh, aku main pergi saja dari ruang makan—memang Si Bodoh itu juga salah, sih. Kaito pasti khawatir denganku sekarang. Kenapa? Kenapa lagi-lagi sifat ini tak bisa kuhilangkan? Dari dalam hati aku mengakui bahwa aku membutuhkan Kaito. Membutuhkan pelukan hangatnya; membutuhkan belaian lembutnya; membutuhkan candaan anehnya.

Tapi tubuhku kadang tidak mau mengakui bahwa aku membutuhkannya. Mungkinkah suatu saat nanti, tubuh dan hatiku bisa sejalan? Hatiku menerima bahwa aku membutuhkannya, dan tubuhku juga demikian? Luka yang dari tadi diam di sebelahku, sekarang terduduk di ranjang ini dan mulai membuka pembicaraan denganku.

"Hatsune-san, ada apa? Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Luka membuka pembicaraan.

Tanpa menoleh, aku membalas perkataannya, "Panggil aku Miku saja. Tidak ada apa-apa kok, terima kasih sudah membantuku berjalan, Luka."

"Kembali, tapi melihat sikapmu tadi, sepertinya ada yang Shion-san lakukan padamu, ya? Maukah kau membicarakannya denganku?" balasnya dengan senyuman. Senyum yang manis dari gadis yang manis dan feminin pula.

Wajahku berpaling ke arah lain, "Tidak ada apa-apa di antara aku dan Si Bodoh itu, aku cuma mau sendirian sekarang."

Luka menghela nafas panjang, mengangguk sedikit, dan mulai bersiap berdiri, "Kalau kau punya masalah, jangan segan mengutarakannya padaku ya, Miku?"

Gadis itu pun perlahan meninggalkanku sendirian di kamar ini. Aku masih duduk terdiam di ranjang besar ini. Kuambil sebuah guling dan kupeluk benda itu. Diriku sekarang kembali memikirkan rasa aneh yang dengan seenaknya saja ku-klaim bernama "cinta" itu. Kubayangkan lagi semua yang terjadi antara aku dan Kaito. Mulai dari yang pahit sampai yang paling manis. Mulai dari yang wajar, sampai yang paling konyol. Di antara semua itu—kuakui seperti yang lalu-lalu—aku sangat suka padanya. Tetapi, yang kutunjukkan padanya adalah yang sebaliknya.

Tak tahu berapa lama kupikirkan perasaan ini; jam yang tertempel di dinding berdentang. Kuhitung dentangannya, sebelas kali, yang menunjukkan bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tanpa peduli dengan baju apa yang kukenakan untuk tidur, aku memejamkan mataku. Berusaha menuju alam mimpi yang mungkin lebih menyenangkan. Belum sampai aku ke alam mimpi, kudengar pintu kamar dibuka. Kaito, kau kah itu?

Bukan, Luka-lah orang yang membuka pintu kamar ini; ia terlihat memakai baju tidur berwarna putih, dan menuju ke arahku sekarang. Ia tersenyum saat aku menoleh padanya. Dalam hatiku, aku bertanya: mau apa gadis ini?

"Miku, kamu belum tidur?" tanya Luka padaku yang sudah terbaring di ranjang.

"Ng? Belum kok, ada apa Luka? Kamu sendiri belum tidur?" jawabku mengembalikan pertanyaannya.

"Mmm … belum terlalu mengantuk, boleh aku menemanimu malam ini, Miku?" Luka berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku yang sudah terbaring ini.

"Boleh saja, Kaito yang suruh kamu kemari ya?" tanyaku lagi, aku pun bangun dan mengambil posisi duduk menghadap jendela.

Luka memutar tubuhnya, ia pun sekarang menghadap jendela juga, sama sepertiku, "Hehehe, separuh iya, separuh lagi tidak."

"Maksudmu?" Bingung aku mendengar jawaban darinya itu.

"Tadi Shion-san memang mengkhawatirkan dirimu, dan memintaku untuk menenangkanmu. Tapi, aku juga sebenarnya ingin membantumu, Miku," jelasnya padaku. Luka berdiri, berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirai, lalu kembali duduk di sebelahku.

Jendela dengan tirai sedikit tersingkap, membuat cahaya temaram bulan purnama masuk ke dalam kamar ini. Aku terpesona pada Bulan purnama; membuatku tak berkata-kata untuk beberapa saat. Melihat Bulan, sedikit memberiku ketenangan. Cahayanya yang lembut menyiram wajahku—sarat akan kedamaian. Mengingatkanku pada kehidupan "normal"ku beberapa waktu lalu. Tak ada perasaan aneh, perasaan selalu dikejar-kejar orang yang asal tangkap, dan perasaan "abnormal" lainnya.

Sekilas, kulihat wajah Luka yang juga disiram cahaya lembut Bulan purnama. Wajah putih mulusnya memantulkan cahaya Bulan dengan sempurna. Kalau dilihat dari kelakuannya, sepertinya ia orang yang baik, lemah lembut, dan yang paling penting, dewasa. Kuperhatikan lagi raut wajahnya, berubah. Ia menyisipkan sedikit kesedihan yang membuat wajahnya begitu berbeda sekarang. Di saat aku sedang asyik memperhatikan wajahnya, si pemiliknya pun menoleh padaku. Membuatku agak tersentak kaget.

"Benarkah kau tidak ada masalah untuk dibicarakan, Miku?" Luka mengulangi pertanyaan itu padaku; seakan ia tidak percaya dengan jawaban singkatku beberapa waktu lalu.

"Umm … sebenarnya … ada sedikit," jawabku setengah ragu-ragu. Apakah harus kudiskusikan perasaan anehku ini pada Luka? Sepertinya … belum waktunya.

Luka tersenyum lembut padaku; sekali lagi ia memperlihatkan wajah manis itu, "Kalau begitu, maukah sekarang kau bicarakan padaku, Miku?"

Kuanggukkan kepalaku sedikit, dan mulutku mulai bercerita. Semua kisah yang kualami dari mulai penangkapan asal-asalan itu, saat pertama aku bertemu Kaito; saat Kaito membawaku ke tempat persembunyiannya ini; sampai semua kisah aneh nan konyol yang sempat kami alami berdua. Setelah kerongkonganku terasa agak kering dan wajahku agak panas karena menceritakan semua hal itu pada Luka, lawan bicaraku ini mengangguk pelan. Tak lama ia tertawa kecil.

"Hihihi~. Jadi, mana masalah yang ingin kau bicarakan, Miku? Sepertinya kau menikmati itu semua. Pertemuanmu dengan Shion-san yang baru terhitung satu hari, begitu berwarna!" canda Luka, yang masih tertawa sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"A ... apa? bagaimana mungkin aku menikmati itu semua? Memikirkannya saja mau muntah!" tangkisku dengan ditambahkan sedikit kebohongan.

"Kalau mau muntah, kenapa kau menceritakannya dengan semangat, dan dengan wajah merona merah pula? Wajahmu diterangi cahaya Bulan, lho! Jadi, aku bisa melihat rona merah itu dengan jelas!" balas Luka lagi. Ia menarik nafas dan mulai berhenti tertawa.

"Huuuh …" kukerucutkan mulutku, dan tak kubalas perkataan Luka; karena memang aku tak punya argumen yang bagus untuk melawan kata-katanya.

"Hhhh~ terkadang kalau kau menyukai seseorang, hati dan badanmu tidak kompak sama sekali. Hatimu bilang suka, tapi badanmu bilang tidak. Itu mengingatkanku pada saat aku dan Gakupo-kun pertama kali bertemu," gumam Luka sembari ditengadahkan kepalanya.

"Eh? Tapi, kok, sekarang kelihatannya mesra sekali?" tanyaku yang tertarik dengan pernyataan Luka barusan.

"Pertama kali kami bertemu, 'kan, sebulan yang lalu, Miku. Sekarang semuanya sudah berubah," balas Luka; ia menolehkan lagi kepalanya ke arahku.

Tanpa kuminta, Luka menceritakan bagaimana Gakupo dan dirinya bertemu. Berdasarkan ceritanya, Luka hidup terpisah dari orang tuanya, ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah organisasi masyarakat menggantikan temannya untuk sementara. Tapi sialnya untuk Luka, organisasi itu dicurigai oleh pemerintah terlibat dengan "Kelompok Sayap Kiri". Lalu, disebutnya "Tokkō"—kesatuan polisi di mana Kaito bekerja—mengirim Gakupo yang menyamar menjadi simpatisan dari "Kelompok Sayap Kiri" untuk memata-matai mereka.

Dalam kurun waktu satu bulan, Gakupo dan Luka berinteraksi. Awalnya Luka begitu dingin pada Gakupo karena ia kurang suka dengan orang asing yang tiba-tiba saja bersikap sok dekat padanya. Gakupo bertanya semuanya tentang organisasi masyarakat itu; ia juga bertanya semua tentang Luka. Sebenarnya yang ingin ditanyakan si rambut ungu itu apa sih? Pantas saja Luka merasa risih padanya saat pertama bertemu, baru kenal, kok, tanyanya sudah macam-macam.

Tapi lama kelamaan, Luka tak bisa menutupi rasa sukanya pada Gakupo. Bagaimana Gakupo begitu peduli padanya saat ia absen kerja karena sakit. Tiga hari, Gakupo selalu menjenguknya di rumah. Bagaimana Gakupo selalu membuatnya tersenyum kecil di tengah kesibukannya. Dan yang terpenting, bagaimana Gakupo rela melakukan desersi di saat akhir tugasnya sebagai mata-mata. Hanya untuk menyelamatkan dirinya, yang memang secara tidak sengaja terlibat dalam organisasi "Kelompok Sayap Kiri" itu. Gakupo menolak menangkap Luka saat hari terakhir yang mungkin juga merupakan hari sama saat aku bertemu Kaito. Karena itulah, aku sempat melihat mereka berdua berlari menghindari kejaran orang-orang asal tangkap itu.

"Tunggu dulu! Kok, kejadiannya bisa sama denganku, ya?" tanyaku saat Luka selesai bercerita.

Lagi, dengan tersenyum, Luka menjawab pertanyaanku, "Oh, ya? Dunia ini ternyata kecil ya?"

Setelah Luka menceritakan pengalamannya barusan, kami jadi terasa lebih dekat. Mungkin karena kesamaan nasib yang kami alami. Lagi-lagi sesuatu yang mengusikku datang kembali, perubahan wajah Luka yang tiba-tiba saja jadi terlihat sedih. Sepertinya ada hal yang tak ingin ia utarakan—sama seperti diriku. Jam dinding kembali berdentang, kuhitung lagi dentangannya yang pasti berjumlah dua belas kali. Tebakanku benar, jam menunjukkan pukul dua belas malam—telah masuk waktunya untuk tidur.

Seakan pikiranku dan Luka saling sinkron, ia menoleh padaku, "Sudah malam. Kita tidur, yuk!"

"Hoahm~ aku, sih, maunya juga begitu," jawabku. Langsung saja kurebahkan tubuh lelah ini di ranjang.

"Eh? Miku tidak ganti baju?" tanya Luka padaku yang memang tidak mengenakan baju tidur sepertinya.

"Malas minta kuncinya ke Si Bodoh itu!" jawabku sembari menutup mata yang memang sudah mulai berat ini.

Luka merogoh sakunya dan meraih kunci yang tadi kumaksudkan, "Nih! Aku pegang kuncinya!"

"Malas, ah, sudah ngantuk," balasku.

Luka pun membaringkan tubuhnya di sebelahku, "Ya, sudahlah, selamat tidur, Miku."

Tak kuhitung berapa lama kami terbaring. Kalau diperhatikan, sepertinya Luka sudah tidur. Sedangkan aku, mulai memikirkan perasaan aneh ini lagi. Rasanya kurang adil kalau langsung ku-klaim rasa ini sebagai cinta. Aku, 'kan, hanya tahu kata-kata itu dari buku. Makin kupikirkan rasa ini, membuatku semakin merasa kantuk.

Yah, perasaanku padamu ini menjadi lagu pengantar tidurku. Walaupun aku masih bingung rasa apa ini, itu membuatku sangat nyaman. Tanpa kusadari, diriku ini sudah terlelap tidur.

Di tengah nikmatnya tidurku, telingaku terusik dengan suara yang ia tangkap. Sebuah tangisan—tangisan sedih. Sedih sekali sampai menyeruak ke dalam hati, dan membuatku ingin menangis bersama si pemilik tangisan. Kubuka dengan susah payah pelupuk mataku ini. Kulihat si pemilik tangisan sedih ini. Luka, gadis yang tadi sempat mengobrol denganku. Ia menggengam sebuah pisau; pisau buah yang tadi tergeletak di meja.

"Semuanya menjadi semakin berat sekarang, aku sepertinya mulai tidak kuat untuk menjalani hidup ini," gumam Luka. Tapi gumamannya ini terlalu sayup-sayup, membuatku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Luka mulai menangis lagi, "Ayah, Ibu, Gakupo-kun, maafkanlah aku yang mengambil jalan pintas ini, maaf …" dengan cepat, ia menyayatkan pisau buah itu ke pergelangan tangan kirinya.

-Sret!-

Seketika mataku terbelalak lebar; cukup lebar untuk melihat semprotan darah yang keluar dari pergelangan tangan Luka. Sifat asliku mulai keluar—ya, teriak sekeras-kerasnya, "Kyaaaaa! Kaitooooo! Tolooooong!"

Selang beberapa detik setelah aku berteriak tadi, terdengar suara derap langkah; derap langkah yang terburu-buru. Dengan keras, Kaito terlihat menendang pintu kamar yang kutempati kini. Setelah pintu terbuka lebar, mata mereka terbelalak; sama besar dengan pintu yang baru saja Kaito tendang tadi. Terlihat Luka yang sudah terkapar hampir kehabisan darah, dan aku yang berada persis di sebelahnya.

Bergetar, tubuhku bergetar hebat. Campuran takut, bingung, dan khawatir membuat tubuhku melakukan hal demikian. Mulutku terkunci, lidahku terasa kelu, tak ada satu kata pun yang dapat keluar dari mulutku ini. Melihat hal begini, Kaito segera kembali ke ruang tengah, mengambil tas obatnya mungkin; Gakupo, tak usah ditanya. Ia langsung menuju ke arah Luka, dengan kecepatan tinggi tentunya. Seperti mengerti tindakan medis dasar, ia menekan luka yang menganga di pergelangan tangan Luka dengan sapu tangan yang dikeluarkannya dari saku.

Tak beberapa lama, Kaito terlihat dengan tas obat besarnya. Ia meraih sebuah gunting, eh? Sepertinya terlalu tumpul untuk sebuah gunting. Memang pangkalnya seperti gunting, tapi ujungnya lebih mirip penjepit. Ia menjepit segumpal kain dengan gunting penjepit tadi, tak bisa kupastikan jenisnya, karena aku sama sekali tak mengerti hal-hal medis begini.

"Gakupo, singkirkan sapu tanganmu, pegang hemostat ini dan tekankan di luka itu!" ujar Kaito, ia memberikan gunting penjepit yang mungkin bernama hemostat itu pada rekannya.

Gakupo dengan cepat membuang sapu tangannya; posisi benda itu sekarang digantikan oleh hemostat Kaito, "Baiklah. Kau tak punya benang khusus untuk menjahit luka sayat seperti ini, Kaito?"

"Punya! Tapi, beri aku waktu untuk menemukannya, sepertinya tak ada di tas ini!" balas Kaito sambil tangannya merogoh-rogoh isi tas itu. Setelah ia tak dapat menemukannya, Kaito terlihat bertopang dagu; berpikir di manakah benda yang ia cari.

Di sela-sela berpikirnya, ia baru sadar kalau aku ternyata masih ada di kamar ini. Dengan tubuh gemetaran, disertai air mata yang tiba-tiba saja keluar. Ia sepertinya ingat bagaimana reaksiku kalau melihat adegan seperti ini. Jadi, ia berkata pada Gakupo, agar ia tetap menekan luka sayat itu. Gakupo mengangguk, dan ia terlihat mengganti kain yang digunakan untuk menekan luka sayat itu. Selanjutnya, Kaito langsung menggendongku menuju ruang tengah. Ia meletakkan diriku di kursi panjang yang selalu menjadi tempat duduk kami.

"Miku, sekarang kau tenang, ya? Aku mesti mengobati Luka sekarang, jadi kau duduk sementara di sini ya?" ujar Kaito. Suaranya terdengar agak gugup.

"Ta ... tapi, aku juga ingin membantu Luka, Kaito," dengan berderai air mata, kuucapkan kalimat barusan kepada Kaito. Tak tahu kenapa, ikatanku dengan Luka seperti terjalin, membuatku ingin membantunya juga.

Kaito menggeleng pelan, "Dengan keadaanmu yang begini, dan juga ketakutanmu akan situasi seperti ini, sepertinya jawabanku adalah 'tidak', Miku. Kumohon mengertilah," balasnya.

Diriku seakan berontak dengan jawaban 'tidak'nya. Dengan agak keras kupukul ia beberapa kali, "Pokoknya, aku mau menolong Luka! Karena dia juga sudah meno ..."

"Kaito, sepertinya keadaan Luka makin memburuk! Tak bisakah kau temukan benda itu lebih cepat?" teriak Gakupo dari dalam kamar.

Kaito menghela nafas panjang, "Maaf, Miku. Tapi, jawabanku tadi sudah mutlak. Kalau kau begini, malah membuat Luka kehilangan waktunya untuk hidup, kau tahu?"

Perkataan Kaito tadi seketika membuat aku terhenyak. Ia benar, aku hanya bisa merepotkan dan membuatnya pusing. Tapi, di dalam hatiku, aku sangat ingin menolong Luka, yang tadi sempat berbagi cerita denganku. Tak lama setelah Kaito mengucapkan kalimat tadi, ia pergi menuju ke kamar besar di mana aku selalu mengganti bajuku. Ia keluar dengan sebuah bungkusan putih; sepertinya ia sudah menemukan apa yang dicarinya.

Aku yang masih terduduk lesu di kursi panjang ini, hanya bisa terdiam. Aku mau menolong, tapi ditolaknya uluran tanganku ini oleh Kaito. Kenapa saat aku ingin membantu, kau malah tak mau menerimanya? Kulirik jam tua yang berada di kamar itu, jamnya menunjukkan pukul setengah empat pagi. Pada saat jam menunjukkan pukul empat tepat, dan berdentang empat kali dengan nyaring, Kaito keluar dari kamar itu. Ia sekarang berjalan ke arahku.

Kaito langsung mengambil posisi di sebelahku. Kupalingkan wajahku untuk yang kesekian kalinya dari Kaito. Ia hanya dapat menunjukkan ekpresi kebingungan, bingung dengan apa yang sebenarnya kesalahan yang ia lakukan terhadapku.

"Miku, aku sebenarnya tidak bermaksud ..."

"Aku tidak mau mendengar penjelasan apapun darimu!" potongku dengan kasar. Padahal nyatanya, persentasi kesalahanku dan Kaito, lebih banyak kesalahanku. Tapi, tak tahu kenapa bisa-bisanya kuucapkan kalimat kasar barusan.

Kaito sedikit tertunduk lemas, "Aku … aku sebenarnya berbuat hal jahat apa? Sehingga kau jadi begini?" gumamnya sedih. Sebenarnya tak ada kejahatan sedikitpun yang kau lakukan, Kaito. Aku hanya tidak dapat menyatukan irama hati dan ragaku. Di saat hatiku bilang aku salah, ragaku malah terlalu malu untuk mengatakan hal itu, jadilah sifat anehku ini keluar.

Mendengar gumamannya barusan, membuatku merasa sangat bersalah, "Kaito ..."

Sebelum sempat kuselesaikan kata-kataku, ia mengambil posisi berdiri, "Aku mau cuci tangan dulu, permisi, Miku."

Kulihat langkahnya yang gontai. Walaupun wajahnya tak dapat kulihat, ia sepertinya mengeluarkan ekspresi sedih. Terlihat ia mengusap pelan dahinya. Aku … aku melakukan hal yang jahat padanya, tapi aku malah tak mau mengakuinya, dasar Miku bodoh!

Di tengah penyesalanku, Gakupo datang dari dalam kamar Kaito. Kucoba tanyakan tentang keadaan Luka padanya. Ia hanya menjawab "Luka baik-baik saja, ia hanya butuh istirahat sekarang," jawabnya sambil tersenyum. Ia menyapu peluh di dahinya, dan langsung saja dijatuhkan tubuhnya ke kursi panjang yang menjadi tempat dudukku sekarang ini. Lagi-lagi bukan jawaban yang kuinginkan.

"Namamu … Miku, 'kan?" tanya Gakupo; wajahnya masih belum menoleh ke arahku.

"Iya …, ada apa?" jawabku tanpa nafsu mengobrol sama sekali.

"Oh, tidak ... tidak, aku hanya ingin bertanya sedikit padamu," balasnya; ia sekarang menoleh ke arahku.

"Mau tanya apa?" aku benar-benar tidak dalam mood untuk mengobrol sekarang, jadi kujawab singkat-singkat saja.

"Sebenarnya … apa yang telah kau lakukan pada Kaito? Sehingga berubah drastis, seperti ia yang kukenal dulu."

Mataku terbelalak lebar lagi kali ini, "Mak ... maksudmu apa?"

"Lima tahun lalu, Kaito kehilangan keluarganya, semenjak itu ia berubah. Benar-benar berubah, tidak seperti Kaito yang kukenal sejak kecil."

Seketika kututup mulutku, aku kaget karena mendengar perkataan Gakupo. Kaito ternyata punya masa lalu yang kelam. Tapi, maksudnya Kaito berubah itu apa?

Gakupo melanjutkan ucapannya, "Kaito berubah menjadi orang yang suka berdiam diri, ekspresinya selalu datar, dan ia jarang sekali tertawa seperti saat aku datang tadi malam. Makanya aku agak kaget melihat Kaito mulai tertawa lagi seperti dulu. Seperti saat keluarganya masih hidup."

"…" aku hanya terdiam mendengar ucapan Gakupo. Aku tak tahu sifat Kaito beberapa tahun silam, karena kami, 'kan, baru bertemu.

"Sebagai sahabatnya, sudah kucari apa yang bisa membuatnya tertawa seperti dulu. Tapi, hasilnya nihil. Aku merasa tak tega melihatnya selalu diam tiap hari, merenungi keluarganya yang sudah tiada." Gakupo kembali lanjutkan kata-katanya.

Benarkah yang dikatakan orang ini? Aku … aku membuat Kaito berubah? Dari Kaito yang pendiam, menjadi Kaito yang penuh canda tawa? Kukira itu adalah sifat yang selalu ditunjukannya, makanya tak terlalu kupermasalahkan.

"Sebagai sahabatnya, secara pribadi, kuucapkan terima kasih padamu, Miku. Terima kasih sudah membuat sahabatku kembali pada sifat aslinya, dan sedikit melupakan penderitaannya."

"Tapi … aku merasa tidak pantas," jawabku pelan. Kalian bisa lihat, 'kan? Aku hanya menjadi beban Kaito, jadi aku merasa tidak pantas untuk menerima kata "terima kasih" itu. Seharusnya aku-lah yang berkata itu pada Kaito.

"Kau pantas menerimanya, gadis kecil. Karena mungkin …" Gakupo terdiam sesaat.

Kebisuan Gakupo terasa sangat lama, waktu terasa berhenti untuk beberapa saat. Sontak aku terhenyak mendengar lanjutan dari perkataan Gakupo yang sempat terputus.

"Kau adalah satu-satunya semangat hidup Kaito."


.::Author's Note::.

Terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mau membaca fic ini sampai habis. Seperti yang saya pernah bilang di atas, kalau ini adalah kali terakhir saya menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama; saya agak-agak kurang yakin dengan sudut pandang itu, karena saya ini memang payah kalau mendeskripsikan perasaan cewek. Jadi, daripada nanti perasaannya gak "dapet", lebih baik saya kembali pada penulisan dengan Sudut Pandang Orang Ke-tiga.

Sekali lagi, terima kasih banyak sudah menyempatkan diri kalian untuk membaca fic ini, ya!