The Dark Lady and The Bookworm

Disclaimer :

Saya bukan pemilik Harry Potter Universe, semuanya milik JKR. Saya juga tidak mendapatkan uang dari fanfic ini. Hanya kesenangan dan kepuasan belaka.

Warning :

Fanfic ini mengandung unsur seks yang eksplisit dan sedikit masochism. Tidak suka? Jangan baca! Suka? Review dong!

A/N : Sudah lama sekali saya kepengen menulis cerita dengan tema dark begini. Terutama untuk pairing fave saya, SSHG.

xxoo000ooxx

Chapter 1

Dark Rebel

Severus Snape duduk tenang bersama para staf pengajar lainnya di meja guru yang menghadap ke arah murid-murid dari empat asrama, diam mengamati keadaan di sekelilingnya. Aula Besar tampak sama seperti biasanya ketika waktunya sarapan. Ramai. Diselingi celotehan dari segala penjuru dan juga denting piring beradu dengan sendok dan garpu. Di sana-sini terlihat ekspresi bersemangat menyambut tahun ajaran baru. Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas memang selalu terasa menyenangkan.

"Awal tahun ajaran baru yang menyenangkan, kan, Severus?" tanya seorang wanita berambut keriting lebat berwarna coklat tua yang duduk tepat di sebelahnya. Hermione Granger, guru Rune Kuno Hogwarts saat ini dan wanita yang sudah mengisi ruang hatinya selama lima tahun terakhir ini.

"Sama sekali tidak. Tak ada yang lebih menyenangkan selain berpisah sementara waktu dengan murid-murid berkepala kosong. Kurasa kau mengerti apa maksudku, profesor Granger," balas Severus datar, meraih cangkir tehnya dan menyesap isinya sedikit.

Mantan muridnya yang juga sahabat karib dari Harry Potter itu hanya tersenyum tipis. Ya. Tentu saja dia mengerti betul apa maksud Severus. Dulu saat ia masih berstatus murid, ia selalu merasa perlakuan Severus tak pernah adil. Menganggap murid-muridnya tak lebih dari gerombolan idiot berseragam yang tak pernah menghargai pelajaran mereka.

Tapi kini setelah ia jadi salah seorang staf pengajar, ia tahu sendiri. Ada banyak murid yang tak serius belajar. Mengerjakan pe-ernya seadanya asal jadi dan tidak memperhatikan penjelasan guru mereka di kelas. Dan masih banyak lagi ulah murid yang membuat Hermione harus mengurut dada. Dia sadar. Perlakuan keras Severus terhadap para muridnya adalah salah satu cara untuk membuat dirinya dan juga pelajarannya dihargai.

"Aku dengar Dumbledore akan memperkenalkan guru baru pada hari ini," ujar Hermione, berusaha membuka obrolan lagi. Severus tampak sedang mengiris daging steaknya perlahan, namun kedua telinganya tetap menyimak ucapan Hermione.

Pagi itu memang Hogwarts akan mendapat tambahan satu anggota staf pengajar. Guru untuk mata pelajaran Pertahan terhadap Ilmu Hitam. Seorang wanita. Seperti apa wujud lebih jelasnya, tak ada seorang pun yang tahu. Kecuali tentu saja Albus Dumbledore, sang kepala sekolah.

"Namanya Cara Mason. Dia seorang mantan anggota Eradicator. Harry dan Ron yang memberitahuku. Mereka Auror, jadi tahu tentang Ms Mason ini."

Severus terdiam untuk sesaat karena ia masih mengunyah makanannya. Setelah ia selesai menelan, ia berkata singkat, "Menarik."

Eradicator adalah sebutan untuk pasukan elit yang dibentuk oleh Kementerian Sihir ketika masa-masa kegelapan. Keberadaan mereka sebenarnya dirahasiakan. Begitu juga dengan identitas mereka. Namun setelah Voldemort mampu dikalahkan, Kementerian Sihir tak mampu lagi melindungi kerahasiaan pasukan khususnya yang satu ini dan Eradicator pun dibubarkan.

Ada alasan tertentu kenapa Eradicator dirahasiakan. Juga kenapa mereka berbeda dari Auror biasa. Hal ini terkait dengan pekerjaan mereka. Eradicator bertugas 'membersihkan' Pelahap Maut. Mulai dari Pelahap Mautnya sendiri, terkadang sampai dengan istri atau anak mereka. Eradicator punya cara tersendiri untuk mencungkil informasi dari para Pelahap Maut, istri, dan anak mereka yang berhasil tertangkap. Interogasi yang kabarnya bisa membuat pembela HAM memprotes keras jika tahu seperti apa metode mereka. Eradicator menyiksa dan bila perlu membunuh dengan mengatasnamakan kebenaran. Kebrutalan mereka tidak lebih baik dari Pelahap Maut.

Anggota Eradicator sendiri adalah orang-orang pilihan. Orang-orang istimewa—benar-benar istimewa—karena tidak semua Auror bisa bergabung ke dalamnya. Bahkan kabarnya anggota Eradicator bisa dihitung dengan jari saking istimewanya. Mereka punya kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh penyihir kebanyakan. Salah satunya adalah kebal terhadap sihir hitam dan mampu bertarung baik dengan sihir maupun dengan tangan kosong sampai titik darah penghabisan. Semua anggota pasukan elit ini juga memiliki ilmu hitam tingkat tinggi, meski pekerjaan utama mereka adalah memerangi para penyihir berilmu hitam. Ibaratnya melawan ilmu hitam dengan ilmu hitam.

Dengan latar belakang yang menarik seperti ini, siapapun wanita yang akan menjadi guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pasti punya dasar yang sangat kuat. Rasa ingin tahu Severus terusik. Mau tak mau ia harus mengakui kalau ia ingin segera bertemu dengan guru baru ini.

Tiba-tiba pintu masuk Aula Besar terbuka dan ada dua orang yang beriringan melangkah masuk. Albus Dumbledore berjalan paling depan. Dengan jubah ungunya yang dihiasi manik-manik berkilau dia tampil eksentrik seperti biasanya. Namun bukan itu yang membuat Aula Besar mendadak sunyi senyap dan para murid melongo takjub. Adalah wanita yang berjalan di belakang Dumbledore yang menciptakan suasana tak biasa ini.

Cara Mason, jika betul itulah namanya, berjalan dengan keanggunannya tersendiri. Seperti seekor kucing besar yang sedang memasuki sebuah area baru yang nantinya akan menjadi daerah kekuasaannya. Sepasang mata biru tajamnya yang indah dan memantulkan sorot arogan mencermati seisi Aula Besar. Gayanya seolah-olah dia yang memiliki bangunan ini. Sorot matanya mampu membungkam setiap orang yang menatapnya dengan rasa ingin tahu.

Hermione beringsut sedikit di kursinya. Ia tidak suka melihat ini. Bukan hanya tidak suka dengan gaya pongah guru baru ini, tapi dia juga tidak setuju dengan selera berbusana Cara Mason yang dianggapnya kurang pantas untuk ukuran seorang guru. Mungkin yang sependapat dengan Hermione hanyalah kaum hawa. Kaum adamnya sendiri tampak terpesona dan setuju saja melihat tubuh ramping, tinggi, dan semampai milik Ms Mason dibalut busana ketat berbahan kulit. Sayang Hogwarts tidak punya aturan khusus tentang pakaian para staf. Kalau punya, tentu dari dulu Severus tidak akan bisa mengenakan pakaian tertutup rapat hitam-hitamnya yang khas dan angker itu untuk meneror para murid.

Terlepas dari itu semua, Cara Mason adalah wanita yang sangat cantik. Rambutnya pirang sebatas bahu dan membingkai wajahnya dengan apik, menonjolkan rahangnya. Mata indahnya dihiasi bulu mata lentik dan bibirnya yang pada bagian bawahnya terbelah tampak sensual. Dia punya tubuh atletis ala petarung sejati. Dengan kedua tungkai kaki panjang dan gaya berjalan yang tegap serta mantap.

Di luar keinginannya, Hermione menaruh rasa iri kepada mantan anggota Eradicator ini. Cara Mason terkesan mampu memadukan unsur seksi dan berbahaya menjadi sebuah daya tarik kuat. Jelas berkebalikan dengannya. Hermione memang cantik, tapi tidak secantik model sampul majalah seperti itu. Dia cantik untuk ukuran seorang kutu buku yang tak pandai bersolek. Tubuhnya mungil, meski berat badannya proposional dan masih sedap dipandang. Belum lagi rambutnya yang keriting lebat yang mirip surai singa saat diurai lepas. Dibandingkan dengan Cara Mason yang bersinar seperti berlian, Hermione merasa lebih pantas diumpamakan seperti sebongkah arang.

Didorong oleh rasa mindernya, Hermione berpaling ke Severus. Ia berharap Severus tidak ikut-ikutan ngiler meresapi kecantikan guru baru ini—sesuatu yang tampaknya akan seketika dilakukan Ron Weasley. Untungnya, tidak.

Severus hanya melirik sekilas ke arah Cara Mason sebelum kembali mengalihkan perhatiannya ke piringnya. Mungkin hanya dia satu-satunya kaum adam di Aula Besar yang tidak tertarik kepada wanita secantik Cara Mason, dan Hermione bersyukur sekali karenanya.

Salah satu tangan Hermione terulur ke bawah meja, meremas pangkal paha kekasihnya itu dengan rasa sayang, dan membuat Severus mengerutkan kening kepadanya. Untung saja gestur intim ini tersembunyi dari orang-orang di sekitar mereka, karena Severus masih sangat menjaga privasinya.

"Dia cantik sekali ya?" ucap Hermione, kedua mata coklat almondnya mengamati baik-baik ekspresi di wajah Severus. Dia ingin tahu pendapat kekasihnya.

Severus masih menunjukkan ekspresi ketidaktertarikan ketika menjawab diplomatis. "Cantik atau tidak itu tergantung mata yang melihatnya, Hermione. Kadarnya relatif. Dan itulah kesalahan orang-orang pada umumnya, lebih suka menilai sampulnya terlebih dulu sebelum melihat isinya. Mungkin saja Ms Mason cantik, tapi kita tidak tahu apakah dia juga cantik dari dalam."

Hermione tersenyum mendengarnya, berharap ini bukan sekedar diplomasi gombal. Ah, Severus Snape bukan tipe pria seperti itu. Dia selalu bersungguh-sungguh terhadap setiap ucapannya, batin Hermione.

"Tidak seperti dia. Aku mengenalmu luar dan dalam. Terutama bagian dalammu. Aku suka mempelajarimu sampai ke dalam-dalamnya." Severus menyeringai, kedua matanya memancarkan sorot panas, merujuk pada aktivitas bermesraan mereka. "Dan aku bisa memastikan kau memang cantik luar dan dalam."

Kedua ujung telinga Hermione sama merahnya dengan kedua pipinya. Ia tersipu malu mendengarnya. Bagian bawah perutnya pun bergejolak, ada gelitik aneh yang mengaduk-aduk di dalamnya. Kadang ia heran kenapa ia selalu tersipu setiap kali Severus mengatakan sesuatu yang seksi. Merlin! Mereka sudah saling mempelajari 'luar-dalam' selama lima tahun.

Jawaban tadi sepertinya mampu memuaskan hati Hermione sekaligus melegakan bagi Severus. Untung saja Severus bisa berpikir cepat sebelum menjawab. Kalau tadi ia menjawab "Cantik", Hermione pasti akan cemburu berat dan ngambek kepadanya, mengira kalau Severus naksir wanita lain. Dan kalau ia menjawab "Tidak Cantik", maka kekasihnya itu akan menuduhnya berbohong dan mogok bicara seharian penuh. Kaum wanita memang membingungkan dan selalu bisa membuat pria serba salah, keluh Severus dalam hati.

Di sisi lain, Severus tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Cara Mason. Cantik, memang. Tapi ada beberapa hal dalam diri wanita itu yang mengingatkannya kepada sosok Bellatrix Lestrange. Tatapan matanya dingin dan tajam, dengan kilasan sorot lapar di sana. Belum lagi tindak-tanduknya yang mencerminkan gadis bengal. Ditambah dengan latar belakangnya sebagai mantan Eradicator, tak diragukan wanita itu punya naluri pembunuh darah dingin. Hm, jelas bukan tipe Severus.

Severus sudah cukup puas dengan Hermione. Well, lebih dari sekedar puas sebenarnya. Untuk pertama kalinya sejak ibunya dilahirkan, ada seseorang yang benar-benar peduli dan sayang kepadanya. Seseorang yang sangat keras kepala dan punya kesabaran luar biasa untuk terus mendampinginya, meski harus selalu berurusan dengan lidah tajamnya. Seseorang yang loyal dan tak peduli masa lalunya yang kelam, juga tak ingin mengubah dirinya menjadi orang lain. Hermione mau menerimanya apa adanya.

Selain itu Hermione punya intelegensi yang tak usah ditanyakan lagi. Dia pendebat yang mahir. Tak terhitung malam-malam yang mereka habiskan untuk berdebat saling mengalahkan, sebelum kemudian berlanjut di atas ranjang. Bagi Severus, Hermione sangat berharga. Seperti permata. Bahkan lebih. Dia satu-satunya orang yang mencintainya dengan tulus, membuat Severus mampu menyaksikan hari esok yang membentang menunggunya. Hari esok yang jauh lebih baik daripada hari-harinya yang kelam sebelum Voldemort takluk.

Hermione menepuk lembut pangkal paha Severus sebelum kembali menyibukkan diri dengan sarapannya. Ia tak bisa menyembunyikan senyum cerianya.

Sementara itu Dumbledore dan Ms Mason baru saja duduk bergabung dengan para staf pengajar. Ms Mason duduk di kursi sebelah kanan Dumbledore yang sejak tadi memang sengaja dikosongkan. Di sebelah kiri Dumbledore duduk Minerva McGonagal yang tampak mengerutkan keningnya, tak setuju melihat penampilan sensual guru baru ini.

"Mohon perhatian semuanya!" Dumbledore mengetuk gelasnya dengan sendok dan meminta perhatian dari seisi ruangan yang sebenarnya sudah tersedot penuh kepada Ms Mason sejak ia datang. "Seperti yang kalian lihat, hari ini kita punya seorang guru baru. Beliau bernama Cara Mason dan akan mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam…"

Terdengar siulan usil bersahut-sahutan dari murid-murid laki-laki. Raut muka mereka terlihat begitu sumringah. Murid-murid perempuannya sendiri kebanyakan hanya bertepuk-tangan setengah hati. Bunyi siul meriah terus memenuhi Aula Besar selama beberapa menit sebelum Dumbledore mengangkat tangannya, mengisyaratkan diam.

"…untuk murid kelas OWL dan NEWT," lanjut Dumbledore, diikuti dengan suara keluh dan erangan kecewa mayoritas murid laki-laki. Sementara murid laki-laki kelas enam dan tujuh tampak makin girang. Salah satu di antaranya malah membuat suara raungan ala serigala di bulan purnama. Jelas sekali mereka akan semakin tertarik belajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dengan Ms Mason sebagai magnetnya.

Hermione menyipitkan kedua matanya, tidak senang melihat sambutan para murid laki-laki. Aula Besar belum pernah semeriah ini sewaktu menyambut kedatangan guru baru. Namun bukan itu yang membuat perasaannya tidak nyaman. Jujur saja ia punya firasat buruk ketika menyaksikan bagaimana Ms Mason menatap Severus dari kejauhan. Sepertinya ia sempat menangkap ada kilasan sinar aneh di kedua mata biru indah itu. Kilasan sinar predator.

Cara Mason memilih untuk tersenyum tipis dan melambai sebentar ke arah para murid sebelum mencermati staf pengajar yang duduk di kanan-kirinya. Ia hanya menggumamkan ucapan terima kasih kepada satu-dua staf yang memberinya salam kenal, sebelum sorot matanya jatuh ke sosok berpenampilan hitam-hitam di kejauhan sana. Severus Snape memilih untuk duduk di kursi yang paling ujung, tampak sama sekali acuh dengan kehadirannya.

Wanita cantik itu membelalakkan kedua mata indahnya, ekspresi khasnya ketika sedang heran dan bertanya-tanya. Well, Severus Snape tidak bertingkah seperti para pria pada umumnya yang akan langsung mengamatinya dari atas ke bawah untuk kemudian menerkamnya. Cara sudah sangat terbiasa meladeni pria-pria yang berdatangan seperti kumbang di musim semi, karena itulah sikap cuek Severus membuatnya terkesan. Pria itu berbeda dari pria lainnya.

Tentu saja Severus Snape berbeda, batin Cara. Pria yang satu ini istimewa. Bukan rahasia lagi kalau dia adalah seorang mantan Pelahap Maut. Dia menguasai ilmu sihir hitam yang hanya Merlin sendiri tahu seberapa kuatnya sampai-sampai dia mampu terbang dengan kemampuan sihirnya sendiri. Severus Snape memang tidak tampan, tapi dia punya daya tarik tersendiri. Salah satunya adalah kekuatan sihir yang luar biasa, dan Cara selalu tertarik dengan pria yang kuat.

Tanpa sadar Cara menjilat bibir bagian bawahnya, mendesah lirih. Matanya menelusuri perawakan Severus Snape, mulai dari atas ke bawah. Pria itu punya rambut hitam sekelam bulu burung gagak yang terurai sebatas bahu tegapnya. Dia punya mata yang tajam, setajam ujung sebuah pedang. Hidungnya besar dan bengkok, mirip paruh seekor burung pemangsa, dan membuatnya terkesan seperti seorang jenderal Romawi. Bibirnya tipis namun mengundang. Ah, belum lagi jari-jarinya yang panjang dan seksi. Jari-jari yang tampaknya tahu betul apa yang harus dilakukan saat menyentuh kulit wanita.

Severus Snape mengingatkan Cara kepada Carloseus, mantan Tuannya dulu. Sebelum menjadi anggota Eradicator, Cara adalah seorang prajurit Zion, sebutan untuk satu grup prajurit wanita berdarah dingin yang dibentuk untuk melayani Lord Carloseus. Melayani yang dimaksud di sini adalah melayani tanpa batas, mulai dari menjadi body guard yang tega membantai siapapun yang melawan Tuan mereka, sampai dengan melayani urusan ranjang.

Lord Carloseus adalah penguasa kerajaan Arcelia, seorang tiran yang juga menguasai ilmu sihir hitam tingkat tinggi yang membuatnya mampu berhubungan dengan underworld—alam para arwah. Dengan kekuatan dan kekuasaannya ini ia mampu menundukkan setiap wilayah negeri Arcelia yang dipijaknya.

Cara punya masa lalu dengan mantan Tuannya ini dan melahirkan seorang anak laki-laki dari hubungan mereka. Namun tanpa diketahui Cara, Lord Carloseus sengaja memerintahkan bayi mereka dibunuh setelah lahir karena ia merasa tahtanya akan terancam di suatu hari. Toh dia masih belum butuh ahli waris. Saat mengetahuinya, hati Cara hancur. Namun itu tidak menjadikannya alasan untuk ikut memberontak. Cara tetap setia melindungi Lord Carloseus sampai dengan akhir hayatnya, karena cintanya yang dalam dan juga pengabdiannya sebagai seorang prajurit.

Setelah Lord Carloseus berhasil ditaklukkan, Cara memutuskan ingin membuka lembaran hidup baru. Jauh dari tanah kelahirannya dan jauh dari siapapun yang pernah mengenalnya. Ia hijrah ke Inggris dan bergabung dengan pasukan elit milik Kementerian Sihir. Dengan menjadi seorang anggota Eradicator, Cara masih bisa melampiaskan ketertarikannya kepada ilmu sihir hitam dan menjalani hidup liarnya, berkelana di alam bebas demi mengejar lalu membunuhi Pelahap Maut beserta anak-istri mereka kalau perlu. Sampai pada akhirnya Eradicator dibubarkan dan ia menerima tawaran dari Albus Dumbledore untuk mengajar di Hogwarts.

Kini ia kembali dipertemukan dengan sosok yang mirip dengan seseorang yang dulu pernah mencuri hatinya. Severus Snape punya kemiripan dengan Lord Carloseus dari beberapa segi, namun jelas mereka berbeda. Cara Mason tahu betul hal itu. Ia pernah menangani pengejaran terhadap Severus Snape saat identitas asli pria itu belum terbongkar, saat ia masih dicurigai sebagai pengikut setia Lord Voldemort. Untung saja dulu Cara belum sempat membunuh pria itu. Dia tidak tahu kalau suatu hari penyihir berpenampilan hitam-hitam ini bisa mencuri perhatiannya.

Dengan berat hati, Cara mengalihkan perhatiannya dari Severus Snape ke piringnya yang masih kosong. Well, tak diragukan lagi kalau hari ini akan jadi hari yang panjang, dan dia masih punya banyak urusan penting daripada mengurusi seorang pria misterius. Sembari menarik nafas panjang, Cara mulai mengisi piringnya. Ayam panggang, kentang tumbuk, dan lain-lain. Ia butuh banyak energi untuk meladeni murid-murid dengan hormon labil.

Ooo000ooo

Setelah menyelesaikan sarapannya, Hermione dan Severus bersama-sama meninggalkan Aula Besar. Severus yang lebih dulu selesai makan, menunggu Hermione menghabiskan jus labunya sebelum kemudian menarik kursi kekasihnya itu dan membantunya berdiri. Tanpa bergandengan tangan, mereka berdua berjalan berdampingan.

Hermione tahu Severus tidak ingin memamerkan kemesraan di muka umum dan dia tak pernah mempermasalahkannya. Severus tak akan pernah menggandeng tangannya, menciumnya, atau menatapnya mesra selama masih ada orang lain di sekitar mereka. Meski demikian, Severus selalu menyesuaikan irama langkahnya saat mereka berjalan berdampingan dan menjaga jaraknya agar tidak terkesan terlalu memepet kekasihnya itu.

Bagi Hermione, itu saja sudah cukup menunjukkan Severus perhatian kepadanya. Dia tidak butuh kekasih yang menggandengnya kesana-kemari seolah-olah takut kehilangan jika gandengan mereka terlepas, atau kekasih yang menciuminya di muka umum tanpa menghiraukan ketidaknyamanan orang yang memandangnya. Oh, biarlah orang berpikir kalau Severus tidak romantis dan dingin. Toh orang-orang tidak tahu hal romantis apa saja yang bisa dilakukan Severus kepadanya saat mereka berduaan begitu pintu kamar tertutup.

"Severus," panggil Hermione ketika mereka sampai di depan pintu kelas Rune Kuno. Seperti biasanya, usai sarapan di Aula Besar, Severus selalu mengantarkan Hermione ke kelasnya sebelum kemudian mereka berpisah karena harus mengajar di kelas masing-masing.

"Ya, Hermione?"

"Apa kau pernah mendengar sesuatu tentang Peti Orpheus?"

Severus mengernyitkan dahinya. "Ya. Aku pernah mendengarnya dulu sekali. Kukira itu adalah semacam mitos sebelum kemudian ada kabar artefak langka itu ditemukan di suatu tempat yang jauh sekali dari sini."

"Ditemukan di suatu negeri bernama Arcelia dan kurasa hanya segelintir orang di luar kerajaan itu yang tahu," timpal Hermione, kedua matanya berkilat-kilat. Ia senang bisa mendiskusikan sesuatu yang tidak banyak diketahui oleh orang lain. Berdiskusi dengan Severus baginya seperti berdiskusi dengan sesama perpustakaan berjalan dan itu sangat menyenangkan. Seolah mereka masuk ke dalam dunia mereka sendiri, dunia yang tidak dimengerti orang lain. "Tapi sayang, katanya peti itu sudah dihancurkan."

"Menurutku itulah yang terbaik," sahut Severus datar. "Ada sihir yang kuno dan sangat berbahaya di dalam peti itu. Seandainya peti itu terbuka, maka siapapun yang membuka peti itu akan merilis kekuatan sihir kuno yang berbahaya. Dia bisa mengontrol pikiran dan perasaan banyak orang dan memerintahkan apa saja sesukanya."

"Itu karena Peti Orpheus punya hubungan dengan sihir yang paling murni dari semua sihir yang ada sekarang. Sihir yang pertama kali dimunculkan oleh penyihir yang pertama kali lahir di dunia, The Magic of Life, yang merupakan gabungan kekuatan sihir dari alam dan juga dari dalam diri manusia itu sendiri. Semua itu tersimpan di dalam peti Orpheus." Hermione membasahi bibirnya, tersenyum manis begitu melihat tatapan ingin tahu Severus. Pasti pria itu penasaran bagaimana dia bisa tahu tentang Peti Orpheus ini.

"Hermione, bagaimana kau…?"

"Aku membaca sebuah buku, Severus," balas Hermione cepat.

Jika biasanya jawaban ini membuat Severus tidak akan bertanya-tanya lagi, mengingat Hermione selalu mendapatkan semua wawasannya dari bermacam-macam buku, namun kali ini tidak. Tidak sembarangan buku memuat informasi tentang Peti Orpheus.

"Buku apa?"

"Sebelumnya, kau dulu yang memberitahuku. Bagaimana kau bisa tahu tentang Peti Orpheus?"

Severus menarik nafas panjang. Ia paling tidak suka, bahkan benci, jika diminta mengingat-ingat sesuatu dari masa lalunya sebagai Pelahap Maut. Rasanya seperti membuka luka lama dan menguak dosa yang terpendam di dalamnya.

"Pangeran Kegelapan pernah memerintahkan Pelahap Maut untuk mencari Peti Orpheus. Ia mendengar kalau peti itu menyimpan kekuatan yang sanggup membuatnya mengontrol orang lain, mengendalikan mereka seperti boneka wayang. Namun sayangnya peti itu tersembunyi dan cara mendapatkannya tidak mudah. Belum sempat kami menemukannya, mendadak ada kabar kalau peti itu sudah musnah, bersamaan dengan kabar kalau raja kerajaan Arcelia telah ditaklukkan dengan menggunakan kekuatan peti itu."

"Dan kau tidak ingin mencari tahu bagaimana peristiwanya?" Hermione menatap Severus dengan sorot tidak percaya. Severus bukan tipe orang yang sudi menyerah begitu saja.

"Informasi tentang Peti Orpheus sangatlah langka, Hermione. Hanya ada satu atau dua penyihir kuno di Arcelia yang tahu tentang hal itu. Mereka ahli waris langsung dari Sang Pembawa Peti dan mereka pastinya tidak ingin pusaka berharga milik negeri mereka jatuh ke tangan orang asing. Semua pencarian kami selalu berakhir ke titik nol. Begitu mendengar kabar kalau peti itu sudah hancur, kami kembali ke Inggris dan menerima konsekuensi kegagalan kami dari Pangeran Kegelapan."

Hermione terkesiap. Severus tidak membuatnya terdengar lebih baik saat menambahkan sinis, "Bukti otentiknya adalah luka-luka yang terukir di sekujur tubuhku. Pastinya kau sudah sangat familiar dengan luka-lukaku, kan?"

Andai saja Severus bukan tipe pria yang gengsi menerima rasa simpati dari orang lain, tentunya Hermione akan langsung memeluknya hangat. Ya, dia sudah akrab dengan luka-luka yang menghiasi tubuh Severus. Di bagian punggung dan dada adalah yang terbanyak. Silang-menyilang dan melebar. Severus punya dada dan punggung yang indah, bidang, berotot, dan tegap, dan luka-lukanya itu justru membuat tubuhnya terlihat semakin seksi. Apalagi mengingat semua luka itu didapatnya sebagai balasan atas keberaniannya menghadapi kebengisan Lord Voldemort.

Setiap kali mereka bercinta, Hermione senang menelusuri luka-luka yang memanjang itu dengan bibirnya. Mengecupnya manis atau menjilatnya mesra. Ia ingin menunjukkan kepada Severus kalau ia tidak jijik dengan luka-luka mengerikan itu. Semua bagian tubuh Severus terlihat indah di matanya. Mulai dari atas ke bawah. Setiap incinya.

"Well," ucap Severus, membuyarkan lamunan panas Hermione. Tanpa disadari wanita itu, Severus mengintip sejenak ke dalam alam pikirannya dan terkesiap. Kalau saja mereka tak punya kewajiban mengajar kepala-kepala kosong sebentar lagi, mungkin ia sudah menyandarkan kekasihnya itu ke tembok dan mewujudkan imajinasi nakal tadi dengan senang hati. "Buku apa yang memuat informasi tentang Peti Orpheus, Hermione?"

Hermione menarik nafas panjang, terkesan tidak ingin membahas hal ini dengan Severus. Namun mereka sudah saling berkomitmen untuk tidak menyembunyikan sesuatu terhadap satu sama lain. Tak ada pilihan lagi. Hermione harus berkata jujur.

"Err… Kau tahu kan kalau liburan kali ini kuhabiskan di perpustakaan Kementerian untuk melakukan sebuah riset?"

Severus mengangguk. Ya. Tentu saja dia ingat betul. Bagaimana tidak? Riset sialan itu membuatnya tidak bisa sesuka hati mengunjungi Hermione. Adalah rahasia umum kalau Hermione adalah periset yang berdedikasi dan punya konsentrasi tinggi. Sekali ia meriset, maka ia akan memusatkan perhatian sepenuhnya kepada risetnya itu dan tak mau diganggu siapapun.

Severus ingat bagaimana Hermione mengacuhkannya setiap kali ia datang ke perpustakaan Kementerian. Alih-alih bisa bermesraan, yang ada justru Severus dibiarkan merana sendirian sementara Hermione membenamkan dirinya di antara tumpukan buku-buku.

Jika hal ini terjadi, Severus pun harus memilih. Terlibat ke dalam riset itu atau pergi. Biasanya Severus mengambil pilihan yang pertama. Setidaknya dia masih bisa berduaan dengan Hermione, meski hanya untuk berdebat dan berdiskusi. Karakter Hermione yang cepat panas dan senang menggurui diadu dengan karakternya yang dingin tapi berlidah tajam mampu membuat diskusi tentang ilmu pengetahuan terasa sama menyenangkannya seperti foreplay.

"Aku membacanya dari sebuah buku. Hmm, bukan buku sih. Tepatnya secarik perkamen… perkamen itu sepertinya memuat informasi tentang Peti Orpheus. Aku belum selesai menerjemahkan semua tulisan dan bahasanya. Andai sudah, kurasa kita bisa tahu banyak hal tentang Peti Orpheus ini. Kita bisa melacak keberadaan peti itu, Severus!" ujar Hermione antusias.

Severus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Untung saja lorong tempat mereka berdiri saat ini sedang kosong.

"Peti Orpheus sudah hancur, Hermione," ucap Severus kalem.

Kedua mata Hermione membelalak. "Tidak. Di perkamen itu tertulis kalau Peti Orpheus tidak bisa hancur, meski terbakar dalam bara api atau disambar petir sekalipun. Namun begitu peti itu dibuka dan selesai menunaikan tugasnya, dia akan lenyap. Entah kembali bersembunyi di tempat yang sulit diketemukan atau apa, yang jelas tidak hancur."

"Dan menurutmu kau bisa menemukannya?"

"Kita bisa menemukannya." Hermione menekankan pada kata 'kita'. Ia tidak ingin sendirian menjelajahi tanah yang tak pernah ia pijak. Ia butuh Severus dan semakin yakin Severus bisa membantunya mengingat pria itu pernah ditugaskan ke Arcelia. "Lalu kita bisa menguak rahasia sihir paling murni dari segala sihir yang pernah ada."

Severus menyipitkan matanya. Ia melihat api semangat berkobar-kobar di kedua mata coklat kekasihnya, dan ia merasa dilema. Severus tahu betul seperti apa Hermione ketika sedang bersemangat mencari tahu hal-hal baru yang dianggapnya penting. Namun Peti Orpheus bukan sembarang artefak. Mengingat kekuatan dahsyat yang terkandung di dalamnya, akan lebih baik jika peti itu dibiarkan terpendam entah di mana ketimbang ditemukan dan memancing pertumpahan darah.

"Aku yakin ini bukan ide baik, Witch. Selain susah ditemukan, Peti-Peti Orpheus adalah milik rakyat Arcelia. Kalau pun kita berhasil menemukannya, itu sama saja artinya dengan merampas harta milik orang lain atas nama pengetahuan." Mata Severus berkilat-kilat memperingatkan saat Hermione hendak membantah. "Terakhir kali aku dan Pelahap Maut lainnya berada di sana untuk mencarinya, kami harus berhadapan dengan Pasukan Zion, mayat hidup yang disebut Demos, dan suku Malandra yang juga ingin mendapatkan peti itu. Ratusan orang terbunuh sia-sia, Hermione. Aku tak mau lagi melalui semua horror itu."

"Benarkah?" Kening Hermione berkerut-kerut.

"Aku menulis semuanya di dalam sebuah jurnal. Mungkin suatu saat nanti kau bisa membacanya."

"Apa aku bisa membacanya sekarang?" tuntut Hermione. Semangatnya kembali menyala. Punya kekasih seperti Severus tak ubahnya seperti punya sumber wawasan baru. Pria itu mampu memberinya tantangan dan pasokan ilmu pengetahuan yang membuat hidup Hermione terasa lebih hidup.

"Mungkin setelah makan siang," balas Severus pendek. Ia mencondongkan badannya untuk memberi bibir Hermione kecupan manis. Wanita itu segera merespon. Ia berjinjit dan mengalungkan kedua tangannya ke leher Severus agar bisa memperdalam ciuman mereka.

"Terima kasih, Severus," desah Hermione. Permukaan bibirnya terasa membara tapi nikmat. Ia selalu senang berciuman dengan Severus.

"Sampai jumpa kalau begitu." Severus membalikkan badannya dan berjalan menuju ke ruang kelas Ramuan. Jubah hitamnya berkibar-kibar menyapu lantai, memberi efek dramatis.

"Ya. Sampai jumpa." Hermione menatap kepergian Severus dengan senyum di wajahnya, sebelum kemudian masuk ke ruang kelas Rune Kuno. Pelajaran akan segera dimulai lima menit lagi.

Ooo000ooo

Cara menatap penyihir-penyihir wanita di hadapannya dengan tatapan takjub. Benci dan kesal, itulah sorot balasan yang didapatnya. Namun bukan itu yang membuat seorang Cara Mason takjub. Well, ia sudah sangat terbiasa dibenci banyak orang. Dimaki, diludahi, maupun hendak dibunuh. Tepatnya oleh orang-orang yang kehilangan anak, istri, orangtua, dan sanak saudaranya akibat kebiadaban pasukan Zion.

Dulu, Cara menikmati semua kebencian ini dengan perasaan puas. Mengetahui sedalam apapun kebencian yang diterimanya tidak akan membuatnya terancam. Toh orang-orang itu terlalu lemah dan takut untuk membalas dendam, meski mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana leher orang terkasih mereka tertebas pedang Cara. Bagaimana pekatnya darah tertumpah di tanah tempat mereka berpijak.

Sekarang, Cara masih merasakan sedikit kepuasan terselubung. Ia tak perlu membunuh untuk memancing kebencian, rupanya. Di sisi lain dia juga tahu kalau penyihir-penyihir wanita yang sedang marah kepadanya ini tak bisa berbuat apapun. Dalam hatinya, Cara merasa superior.

"Kau harus melakukan sesuatu, Albus," pinta Minerva McGonagal. "Wanita ini… dia sama sekali tidak pantas menjadi guru. Lihat saja kelakuan dan cara berpakaiannya."

"Ya. Ini sekolah, Ms Mason. Bukan rumah bordil!" imbuh seorang wanita berambut keriting lebat.

Cara mencermati kedua wanita itu dengan sorot setengah mengejek, setengah geli. Sambil memutar bola matanya dan berlagak masa bodoh, ia berujar, "Juga bukan panti jompo atau biara." Cara memastikan dua orang penyihir wanita itu menangkap maksudnya. Penampilan McGonagal terlalu kuno dan konservatif, seperti wanita-wanita di jaman perunggu. Sedangkan penampilan wanita satunya sama-sama tak modisnya. Tertutup dan agak kedodoran, sampai-sampai menutupi daya tarik feminimnya.

"Kumohon kalian semua tenang dulu. Solusi hanya akan datang jika kita berpikir dengan kepala dingin," ujar Dumbledore bijak. "Selain itu, perlu diketahui, aku tidak pernah memilih seorang guru dari penampilannya. Penampilan bisa menipu, menyembunyikan kualitas seseorang di baliknya. Hagrid, Firenze, Severus, dan Flitwick adalah buktinya."

"Kepala sekolah, aku setuju dengan contoh-contoh yang anda sodorkan tadi. Tapi untuk yang satu ini, aku tidak setuju," desak Minerva. Tingkah Cara yang membusungkan dada dan berkacak pinggang membuatnya semakin tidak simpatik.

"Guru adalah contoh bagi para murid. Jika gurunya saja berpakaian ketat dan menggoda begini, bagaimana seandainya murid-murid sampai meniru?" timpal si rambut keriting.

"Severus selalu berpakaian hitam-hitam dengan jubah melambai, tapi tak ada seorang pun murid yang menirunya, Profesor Granger." Albus Dumbledore tertawa kecil.

"Albus, ini bukan lelucon!" protes McGonagal. "Dan aku setuju dengan Hermione. Murid-murid bisa saja meniru gurunya. Mereka masih labil, Albus. Belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk." McGonagal sengaja melemparkan tatapan tajam ke Cara saat mengucap kata 'buruk'. Namun Cara membalasnya dengan menaikan sebelah alisnya, dingin. "Itu akan menurunkan nilai moral yang sudah terbangun di sekolah ini selama beradab-abad."

"Minerva, my dear, kurasa itu terlalu berlebihan. Hogwarts punya peraturan sendiri mengenai pakaian yang dikenakan murid-murid di sekolah ini. Terdiri dari jubah kerja sederhana berwarna hitam, kemeja putih, satu topi kerucut yang juga berwarna hitam, dan juga dasi sesuai warna asrama," balas Albus kalem.

"Baiklah. Kalau misalnya tidak bisa ditiru di sekolah, bagaimana kalau mereka menirunya di rumah? Bagaimana kita akan menjelaskan kepada para wali murid?" tuntut wanita yang tadi dipanggil Hermione atau Profesor Granger itu.

"Kurasa tanggung jawab kita hanya sampai di pintu gerbang sekolah, profesor, karena aku tak sudi memeriksa pakaian kepala-kepala kosong itu satu-persatu di rumah mereka setiap harinya," jawab suara bernada dingin dan sinis dari ambang pintu ruang kepala sekolah.

Bulu-bulu halus di tengkuk Cara berdiri tegak. Ada sensasi aneh datang menderanya begitu bertatapan mata dengan pria berpenampilan serba hitam yang baru saja datang bergabung ini. kedua mata kelam itu menatapnya tanpa emosi, namun justru itu yang membuat kepala Cara seolah dipaksa untuk menunduk hormat.

Cara tak terbiasa menghormati orang lain. Hanya Lord Carloseus yang bisa membuatnya tak berkutik dan patuh. Mau tak mau, rasa penasaran Cara bangkit. Pria yang satu ini benar-benar istimewa.

"Ah, Severus, anakku!" Dumbledore mengangkat kedua tangannya, menyambut kedatangan Severus Snape yang menanggapinya dengan kalem. "Duduklah di sini!" Pinta Dumbledore dengan nada ceria, seolah-olah mereka semua sedang mendiskusikan tentang pesta ulang tahun seseorang alih-alih sedang berdebat panas.

Salah satu alis Severus terangkat, bertanya-tanya. Dari semua orang yang ada di ruangan itu, hanya Miss Mason saja yang memilih untuk berdiri sambil berkacak pinggang meski ada dua buah kursi kosong di hadapannya. Dengan gaya elegannya, Severus duduk di sebelah kanan Hermione.

"Akan lebih sopan jika anda bersedia duduk juga, Profesor Mason," tegur Severus datar.

"Kau tak bisa memerintahku, Lo—Profesor Snape," balas Cara tajam, hampir saja lidahnya salah ucap. Bahkan dari cara duduknya saja Severus Snape terlihat seperti seorang penguasa, seperti Lord Carloseus. "Kau bukan ayahku."

"Dan aku bersyukur karenanya, Profesor Mason. Jika aku punya anak, anakku tak mungkin tidak punya tata krama sepertimu," balas Severus sarkas.

Sudut bibir Hermione dan Minerva berkedut, tampak berusaha untuk tidak tersenyum geli. Ucapan tajam dan sarkas Severus yang tepat mengenai sasaran ini membuat darah Cara bergejolak, panas. Ditambah lagi ia merasa dipermalukan di hadapan orang lain. Seumur-umur, belum pernah ada orang yang berani melakukan hal ini kepadanya.

Suara dehem Dumbledore membuat perhatian mereka kembali terpusat kepada sang kepala sekolah. Namun alih-alih memberikan wejangan, Dumbledore justru meraih sebutir permen mint dari mangkuk berisi permen di atas mejanya. Rupanya tenggorokannya sedang gatal.

"Bagiku, penampilan seseorang mencerminkan kepribadiannya," ujar Severus lagi. "Dan menurutku, cara berpakaian profesor Mason masih bisa diterima. Setidaknya dia masih berpakaian tertutup dan pakaian apa yang dia kenakan bukan urusan kita."

"Tertutup tapi ketat. Aku tak heran kenapa kau tidak keberatan, Severus," cetus Hermione gusar. Severus hanya menanggapinya dengan kening berkerut.

"Profesor Snape benar." Kali ini Cara angkat bicara. "Penampilanku memang mencerminkan siapa diriku. Aku seorang petarung dan inilah pakaian yang kukenakan saat sedang bertarung."

"Tapi ini sekolah. Bukan arena pertarungan. Pernah terpikir kalau pakaianmu justru memancing pikiran kotor pria-pria?" balas Hermione ketus.

"Pernah terpikir kalau pakaian ini membuatku mampu menghajar pria-pria berpikiran kotor dengan leluasa?" Cara balik bertanya, mencibir. Wanita berambut keriting ini tampak suka sekali menyerangnya. "Lagipula, Profesor Granger, apakah kau juga akan protes keras begini seandainya yang mengenakan pakaian ini adalah wanita yang jelek dan obesitas?"

Mendengar pertanyaan menohok ini Hermione berjengit. Bibirnya mengatup rapat, menahan marah. Kedua mata coklatnya berkilat-kilat menyoroti ekspresi berpuas-diri Cara Mason.

"Sudah kuduga." Cara memutar bola matanya, berlagak bosan. "Ini semua hanya karena cemburu rupanya. Kalian cemburu kepadaku, profesor Granger dan profesor McGonagal, walau hanya Merlin yang tahu kenapa."

"Cukup." Dumbledore berusaha meredam amukan dua orang wanita yang duduk di hadapannya. Minerva tampak tak sabar ingin mencabut tongkatnya, sementara kedua tangan Hermione mengepal kuat, menahan diri agar tidak mencekik leher Cara. "Pakaian yang dikenakan Profesor Mason tidak melanggar peraturan sekolah yang sudah berlaku. Tertutup dan tidak mengekspose bagian tubuh tertentu. Juga tidak melanggar norma kepantasan dan kesopanan di mana hal ini sangat relatif. Yang kulihat dalam hal ini, hanya kalian berdua—profesor McGonagal dan profesor Granger—yang keberatan dengan cara berpakaian profesor Mason. Aku tidak yakin staf-staf lain dan para murid keberatan."

"Tapi…"

Albus Dumbledore mengangkat salah satu tangannya, mengisyaratkan Minerva tidak membantah. "Dan mengingat latar belakang Profesor Mason yang menarik, well… dia bukan seorang penyihir meski dia punya sihirnya tersendiri, kurasa akan melanggar hak asasi rasanya jika kita memaksa dia untuk mengenakan jubah penyihir."

Hermione menatap Dumbledore, marah. Jika memang Cara Mason ini bukan seorang penyihir, bagaimana bisa dia bergabung menjadi staf pengajar di sekolah sihir. Apa keistimewaan wanita itu, selain latar belakangnya? Di tengah kegeramannya ini, Hermione merasakan punggungnya diusap-usap lembut oleh seseorang. Severus. Rupanya pria itu berusaha menentramkan amarah Hermione.

"Baiklah, Albus. Aku yakin kau punya alasan sendiri dan tak bisa diganggu gugat. Terkadang aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu." McGonagal menghela nafas panjang. Ia masih tidak setuju, tapi tahu betul kalau protesnya menemui jalan buntu.

"Profesor Granger?"

"Aku tak tahu harus berkata apa lagi, Kepala Sekolah."

"Profesor Snape?"

"Aku bukan ahli tata busana, sir," balas Severus dingin. "Jadi aku tidak dibayar untuk mengurusi isi lemari pakaian orang lain."

"Diskusi ini selesai kalau begitu," ucap Dumbledore dengan nada ceria yang justru membuat Hermione dan Minerva semakin jengkel.

"Bagus." Cara membalikkan badannya, berjalan enteng saja menuju pintu keluar. "Kalian boleh memanggilku lagi kalau ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan. Seperti bencana di Jepang atau perdamaian dunia," timpalnya sinis.

Setelah pintu ruang kepala sekolah tertutup, Hermione mendesis, "Dia punya masalah serius dengan sesuatu yang disebut tata krama."

"Hm, menghadapi orang serumit profesor Mason memang butuh kesabaran ekstra, profesor Granger. Dia sudah banyak sekali menghadapi kepahitan dalam hidupnya dan itu membentuk karakternya." Dumbledore menjelaskan, kedua matanya mengerling di balik kacamata bulan separuhnya. "Nah, sekarang siapa yang mau permen lemon?"

Ooo000ooo

Mood Hermione masih buruk saat Severus mengantarnya kembali ke bilik pribadinya. Perdebatan tadi siang masih membekas di ingatannya. Severus dan Dumbledore memang berusaha untuk netral, tapi tetap saja Hermione tidak puas dengan solusi yang diambil.

"Kalau memang Cara Mason bukan seorang penyihir, lalu bagaimana dia bisa bergabung ke dalam tim Eradicator?"

"Hermione," tegur Severus kalem. Nada Hermione yang meledak-ledak menarik perhatian lukisan-lukisan yang sedang pura-pura tertidur. "Tolong pelankan suaramu, love. Kau tahu sekarang hampir tengah malam."

"Tapi apa istimewanya dia, Severus? Eradicator berisi orang-orang yang sangat-sangat spesial. Kabarnya bahkan mereka kebal terhadap ilmu hitam dan punya ilmu hitam tataran tertinggi. Maksudku kalau…"

Rentetan pertanyaan dari bibir Hermione terhenti saat bibir Severus membungkamnya. Kedua mata Hermione terbelalak kaget, sebelum kemudian terpejam menikmati invasi mesra ini. Semua hal yang membuat pikirannya terbebani seolah terbang melayang dari dalam kepalanya saat ciuman mereka bertambah panas. Hermione hanya bisa pasrah saat Severus menggiringnya ke tembok dan menjepit tubuhnya di sana. Namun sebelum kemesraan mereka menyebabkan keduanya lupa diri, Hermione berhasil mendorong Severus menjauh.

"Well, aku tahu cara untuk membuatmu diam," ujar Severus, menyeringai. Pipi Hermione merona. Bibirnya agak memerah akibat kuluman dan gigitan lembut Severus. Pria itu tampak puas memandangi hasil karyanya ini.

"Severus! Bagaimana kalau ada murid yang memergoki kita? Apa yang akan mereka pikirkan saat melihat kita berciuman di lorong gelap?"

"Profesor Snape bajingan yang beruntung?" usul Severus, menyeringai.

Hermione menggelengkan kepalanya, terlalu jengkel untuk menjawab. Setiap kali berpatroli selepas jam malam, Severus selalu berusaha menangkap dan menghukum murid-murid yang kedapatan sedang bercumbu di lorong-lorong gelap. Sekarang dia sendiri malah melakukan hal itu.

"Dan untuk memuaskan rasa ingin tahumu." Severus merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil bersampul kulit.

"Apa itu?"

"Buku Jurnalku."

"Jurnal perjalanan ke Arcelia?"

"Bukan. Jurnalku memancing," balas Severus sebal. Dia paling tidak suka ditanyai hal-hal yang jawabannya sudah jelas di depan mata. "Ya. Itu jurnal saat aku berada di Arcelia. Tidak terlalu banyak yang bisa ditulis di sana karena kunjungan kami terlalu singkat. Tapi bisa dibilang lumayan untuk menambah wawasan."

"Oh, Severus… kau luar biasa." Sekali lagi Hermione menghadiahi bibir tipis Severus ciuman lembut.

"Jadi kurasa kita akan bertemu lagi setelah aku selesai berpatroli malam ini?"

Hermione tersenyum penuh arti. Sepertinya Severus mengharapkan ungkapan terima kasih dalam bentuk lain yang lebih privat. "Yeah. Tentu saja. Mantra penolak gangguanku akan kusetel agar membiarkanmu masuk ke bilikku."

"Hanya ke bilik saja? Bukan langsung ke atas ranjang?" salah satu alis Severus terangkat. Bibirnya agak mencibir.

"Severus, kau memang menyebalkan. Kau tahu itu?" Lagi-lagi kedua pipi Hermione memerah. Severus menganggapnya sebagai jawaban 'ya.'

"Kalau begitu jangan repot-repot berpakaian saat naik ke ranjang, witch. Dan jangan sampai ketiduran sebelum aku datang." Menoleh ke kanan-kiri, memastikan tidak ada orang di sekitar mereka, Severus mencium kening Hermione sekilas. "Sampai jumpa di atas ranjang nanti."

Sambil mengawasi kepergian kekasihnya, Hermione mendekap erat jurnal milik Severus itu. Ia tak sabar ingin segera mencari tahu apa saja yang tertulis di dalamnya.

Bersambung dulu untuk sekarang

a/n : Ya, saya tahu fic ini masi ditulis sambil jalan. Tapi saya pikir alangkah baiknya kalau saya menulisnya sambil tahu seperti apa masukan dari teman-teman yang membuat fic ini layak untuk diteruskan. So, review please. Masukan anda sangat membantu kelancaran menulis saya.