Warning : Massive typo
Disclaimer : VOCALOID © Yamaha,dll. Ceritanya milik author masing-masing.
Chapter 1 : Paper plane & Prisoner
Suara langkah seseorang mendekat ke arah selnya yang dingin. Len mendekap selimut tipisnya rapat-rapat berusaha kembali ke dalam mimpinya tapi apa daya... Kini pintu selnya berderit menandakan seseorang sudah memasuki ruangan.
"Hey bocah!" Orang itu menarik selimut Len lalu membuangnya jauh-jauh. Len pura-pura kaget padahal ia tau pasti sipir penjara yang melakukannya. Siapa lagi yang mau repot-repot mengganggunya sepagi ini selain si sipir penjara.
Len memutar kedua matanya lalu berjalan keluar dari sel tanpa disuruh. Ia sudah tau apa yang harus di kerjakannya sekarang. Tentu saja, bekerja di lapangan luar.
"Kau tau? Hari ini akan ada pesta besar, tampaknya keadaan putri ketua mengalami peningkatan. Baguslah, si kepala sipir yang menyebalkan itu akan menghabiskan uangnya untuk mentraktir kami semua minum-minum hahaha" sipir itu tertawa keras sambil mendorong punggung len di sepanjang perjalanan.
'Jadi ketua sipir memiliki seorang putri?' Len baru mengetahui fakta tersebut. Informasi memang biasanya cepat simpang siur di dalam penjara ini tapi entah kenapa ia tidak pernah mendengar apapun soal putri ketua sipir.
"Selamat bekerja!" Tubuh Len jatuh ke tanah beserta perlengkapan bekerjanya akibat dorongan sang sipir yang terlalu keras.
"Sial" ia menggerutu sambil memunguti perlengkapannya. Satu lagi robekan di baju hitamnya yang sudah compang-camping. Bagus.
Angin meniup rambut pirangnya perlahan, itu membuatnya merinding mengingat udara yang sangat dingin pagi ini. Semuanya tampak sempurna tapi tidak bagi Len. Entah sudah berapa lama ia terjebak disini. Terisolasi dari dunia luar dan mendekam selamanya di tempat ini...
Ia mengalihkan pandangannya ke luar pagar pembatas. Terlihat rumput hijau membentang luas dengan bunga-bunga liar bertaburan di atasnya. Berbeda sekali dengan pemandangan gersang dan abu-abu yang ada di dalam pagar besi berduri. Seandainya ada sesuatu yang menghubungkannya keluar...
Disaat yang sama Rin mengendap-endap keluar dari ruangannya. Persiapannya sudah matang, ini adalah hari pertamanya keluar atau lebih tepatnya kabur dari ruangannya sendiri. Rumah sakit memang tidak pernah menyenangkan.
Ia menggunakan gaun putih pendeknya, scarf pink dan tidak lupa topi besar untuk menutupi wajahnya. Sempurna! Ia tersenyum lalu kembali melakukan kegiatan mengendap-endapnya.
Setelah melewati beberapa perawat, pasien, juga dokter akhirnya bisa juga ia keluar dari sana. Ia menghirup udara dengan satu tarikan nafas. Hanya ada satu hal yang ia pikirkan sekarang, kebebasan.
Kini ia sudah melangkah ringan menjauhi rumah sakit tapi masalahnya, ia tidak tau apa-apa soal dunia luar. Satu-satunya peta yang bisa ia temukan adalah peta menuju entah kemana yang diambilnya dari meja ayahnya.
...
Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Entah untuk ke yang berapa kalinya Len mengalihkan pandangannya ke luar pagar sampai-sampai kepalanya jadi korban pukulan si sipir. Ia mengusap-usap kepalanya kesal tapi tetap mengulangi kegiatannya. Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang asing di luar pagar kawat pembatas.
Seorang gadis! Len hampir bisa mendengar suara jantungnya sendiri saat Rin semakin lama semakin dekat dengan pagar kawat pembatas. Siapa... Dia?
"Huh? Ini kan tempat bekerja papa" Rin melihat pagar kawat berduri tinggi yang memblokir jalannya. Walau waktu itu ia masih kecil, sayup-sayup ia masih ingat tempat ini. Seingatnya papa bilang disini tempat orang-orang jahat dikurung.
Ia memandang lurus menembus pagar dan menyadari seseorang sedang mengawasinya. Biasanya kalau ada orang yang memerhatikan dengan ekspresi seaneh ini pasti ia sudah lari terbirit-birit tapi... Entah kenapa ia malah ingin menghampiri figur yang sekarang sedang memiringkan kepalanya dengan posisi aneh.
Rin berjalan berhati-hati ke dekat pagar kawat tapi tetap menyembunyikan keberadaannya di balik rerumputan panjang. Len akhirnya tersadar dari lamunannya lalu berjalan menuju ambang pagar.
'Apa yang harus kulakukan?' Len menjerit keras-keras di dalam hati. Ada seorang gadis di depannya dan ia tidak tau harus berbuat apa. Akhirnya ia memutuskan untuk mengajaknya berbicara.
"He-" ucapannya terpotong saat Rin mulai memelototinya. Len tidak mengerti, bukannya menyapa itu hal standar yang dilakukan seseorang untuk berkenalan?
'Jangan-jangan dia tidak mau berkenalan denganku?'
Rin menggeleng kesal saat melihat wajah Len yang kecewa. Ia membuat isyarat tangan mencoba menunjuk sipir yang sedang berjalan-jalan memukuli para narapidana dengan tongkatnya. Lalu menggerakkan bibirnya tanpa suara.
"Kita. Berdua. Mati. Kalau. Dia. Tau."
Len menangkap isyarat dari Rin lalu wajahnya berubah menjadi merah padam. Ternyata bukan karena gadis itu tidak mau berkenalan dengannya! Tapi karena sipir yang mengawasiku. Bisa-bisa ia dan gadis itu kena masalah kalau sampai ketauan.
"SEMUANYA! KEMBALI KE SEL MASING-MASING!"
'Sial' tampaknya waktu bekerja sudah berakhir kini saatnya Len kembali masuk ke dalam sel dinginnya.
Sebelum pergi Len membisikkan ucapan tanpa suara kepada sang gadis.
"Kembalilah besok. Aku akan mencari cara untuk berbicara denganmu."
Lalu ia berlalu tenggelam diantara kerumunan orang-orang yang memakai baju sama persis seperti dengannya. Rin tersenyum dan berlari pergi.
Semalaman Len tidak bisa tidur. Ia terus menerus memikirkan cara untuk menghubungi gadis itu tanpa harus berkata-kata. Pada akhirnya ia menemukan cara, sedikit berisiko tapi merupakan ide paling cemerlang yang bisa ia pikirkan. Pesawat kertas.
Masalahnya ia tidak memiliki apapun untuk dibuat menjadi sebuah pesawat kertas. Alat tulis, tidak punya. Kertas paling hanya sisa dari bekas pembukus makanan dan kertas seperti itu tidak akan bisa terbang dibawa angin.
Karena itulah tadi malam Len mengadakan transaksi dengan seseorang di sebelah selnya. Ia harus menukar selimut kesayangannya dengan sebuah pensil tumpul dan selembar kertas.
"Giliranmu bocah" seperti biasa sipir itu berteriak membangunkannya. Sipir itu tampak heran karena selimut Len hilang entah kemana. Len membalas wajah heran sang sipir dengan cengiran khasnya.
Sesampainya di lapangan bekerja Len buru-buru kembali ke posisinya kemarin. Rin juga tampaknya hadir di tempat yang sama. Ia melongokkan wajahnya melihat Len yang daritadi masih tersenyum. Mata birunya jadi tertutup karena cengirannya yang terlalu lebar.
Len menunjuk pesawat kertas yang ia buat lalu menurunkan tingkat cengirannya menjadi sebuah senyuman.
Ia melemparkannya ke langit. Ketinggian pagar kawat ini cukup tinggi, ia jadi khawatir pesawatnya itu tidak berhasil melewati perbatasan.
'Terbanglah'
Keduanya sama-sama menahan nafas saat pesawat kertas itu melewati pagar kawat lalu melesat terbang jauh dari tempat Rin bersembunyi. Rin berlari sekuat tenaga mengejar pesawat kertas itu, ia melompat dan akhirnya berhasil menangkapnya.
Len menarik nafas lega lalu menggerakkan tangannya menyuruh Rin segera pergi dari tempat itu sebelum ada yang menyadarinya.
Rin mengangguk lalu pergi dari tempat itu sambil menggenggam pesawat kertasnya erat-erat.
Hey...
Sebenarnya kata itu yang mau kukatakan kemarin.. Tapi yaaah dengan kejamnya kau memotong ucapanku dengan pelototanmu yang seram itu hahaha
Oh ya, namaku Len. Aku belum pernah melihat seseorang yang err begitu hmm cantik sepertimu,tentu saja karena di tempat ini tidak ada perempuan sama sekali hahaha
Sudahlah, lupakan candaanku yang tidak lucu itu.
Ngomong-ngomong siapa namamu? Beritahu aku besok ya...
-Len
Rin tersenyum simpul setelah membacanya. Sepertinya Len anak yang baik... Kenapa dia bisa ada di tempat itu ya?
Ia terbatuk beberapa kali. Keadaannya memang membaik beberapa hari kemarin tapi tampaknya penyakitnya kambuh lagi sekarang. Apa karena 2 hari ini ia berjalan-jalan ke luar ya?
Tidak.
Ini satu-satunya bukti yang mengikatkannya pada dunia luar... Ia menggenggam suratnya erat. Len...
Keesokan harinya Rin pergi lagi ke penjara tempat ayahnya bekerja. Ia membawa sebuah pesawat kertas yang terbuat dari kertas putih bersih berbeda dengan kertas kecoklatan yang diterbangkan Len kemarin.
Seperti dugaannya, Len berada di tempat biasa dengan muka yang cemas tapi berubah menjadi senyuman begitu ia melihat Rin datang.
Pesawat itupun kini berpindah ke tangan Len.
Dalam selnya yang gelap ia membuka surat itu perlahan lahan
Selamat pagi Len
Maafkan perbuatanku 2 hari yang lalu... Hanya saja aku takut sipir itu mengetahui keberadaanku..
Namaku Rin, senang berkenalan denganmu.
Ohya Len, sebenarnya kenapa kau bisa ada di sana? Kurasa kau bukan orang yang jahat. Aku rasa... Kau orang yang baik.
Besok kau akan membalas suratku kan? Kau harus berkata ya. Aku tidak mau mendengar kata tidak
-Rin
Sekarang Len yang tersenyum senang.
Begitulah. Pada akhirnya setiap hari keduanya bergantian mengirim surat. Mereka menceritakan tentang kehidupan masing-masing walau tidak semuanya mereka bongkar. Len yang merahasiakan alasan ia berada di tempat itu dan Rin yang merahasiakan identitas dan tempat tinggalnya.
Mereka karakter yang sangat berbeda tapi mereka mampu saling melengkapi... Makin lama mereka makin sadar kalau keduanya memiliki kesamaan yang tidak dapat dipungkiri. Kesepian.
Hari ini beda dengan hari-hari lainnya, hujan tampak menghiasi langit pagi ini. Rin terpaksa diam di kamarnya. Cuaca bukan satu-satunya alasan mengapa ia harus diam di kamar... Penyakitnya bertambah parah... Penglihatannya dan pendengarannya menjadi tidak peka.
Untuk menghibur dirinya sendiri ia mulai membuka surat dari Len yang ia sembunyikan di kolong kasurnya. Saat membacanya rasanya hari Rin menjadi menyenangkan, tanpa ia sadari wajahnya memerah saat ia membaca beberapa paragraf yang Len tulis tentang dirinya. Ia sadar 100% bahwa ia sudah jatuh cinta padanya. Awalnya ia terheran-heran dengan hal bernama "cinta" yang sering ia baca di bukunya. Tapi begitu merasakannya sendiri... Rasanya seperti.. Ah! Ia tidak dapat mendeskripsikannya.
Tiba-tiba seseorang menarik surat yang dipegang Rin. Ia terkejut setengah mati saat melihat ayahnya membaca surat dari Len. Pendengarannya yang mulai memburuk membuatnya tidak menyadari ayahnya masuk ke dalam kamar.
Semakin lama wajah ayahnya semakin menakutkan.
"Apa ini Rin?" Ia membentak Rin.
"P-papa I-i-ini"
"Semua ini tidak berguna!" Ia meremas surat itu hingga menjadi sebuah gumpalan bola lalu membuangnya ke lantai.
"Mulai sekarang berhenti menemui siapapun dia! Papa tidak mau tau lagi!" Teriakan terakhir disertai dengan debuman pintu yang keras. Rin mengambil kertas yang kini sudah seperti onggokan sampah dan menangis tersedu-sedu.
Sudah lama sekali Len tidak melihat Rin. Kertas-kertas kosong kini sudah mulai menumpuk di kolong kasurnya. Setiap hari ia tetap menjalankan rutinitasnya walaupun Rin tidak datang. Tampaknya untuk waktu yang lumayan lama ia bisa berhenti memasok kertas-kertas.
"Rin... Kemana kau pergi"
"Bocah! Giliranmu!" Si sipir datang seperti biasa. Len berjalan bermalas-malasan ke luar dari selnya.
Ia bekerja seperti biasa tapi sesekali ia melirik ke arah tempat Rin biasa bersembunyi. Setelah beberapa kali usahanya gagal akhirnya ia menghela nafas dan kembali bekerja. Saat itulah ia mendengar seseorang memanggil namanya.
"Psst Len"
'RIN!'
Ia langsung berjalan menuju pagar pembatas. Rin bergaya seperti biasanya tapi ada yang aneh dengannya hari ini. Wajahnya tampak jauh lebih pucat dari biasanya.
Rin menghela nafasnya keras lalu menggigit bibirnya sendiri mencoba untuk tidak menangis. Ia harus kuat, demi dirinya sendiri dan juga demi Len...
Ini... Yang terakhir...
Ia melemparkan pesawat kertasnya beserta semua perasaanya ke langit.
Len menangkapnya beberapa detik kemudian dan langsung membacanya.
Wajahnya langsung berubah kecewa setelah membacanya. Kemarahan dan kesedihan semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak tau harus berkata apa. Rin akan meninggalkannya.
Rin memaksakan senyuman di wajahnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak akan ada air mata.
Ia membalikkan badannya melangkah pergi, langkahnya terhenti saat Len tiba-tiba berteriak
"Kumohon jangan pergi Rin! Kau tidak tau betapa berartinya kau bagiku!" Len berusah keras menahan air matanya
"Apakah kau akan kembali kesini? Surat ini... Akan terus kusimpan dan kuingat di dalam hatiku. Dan aku akan terus berada disini, menunggumu. Berjanjilah kau akan kembali"
Semua emosi tercampur aduk. Keduanya tidak dapat menahan emosi masing-masing. Akhirnya Rin melepaskan tangisannya sambil berlari menjauhi Len. "Selamat tinggal... Len"
"Jangan pergi Rin!" Len terus berteriak hingga para sipir penjara menghampirinya dan memaksanya masuk ke dalan sel. Len tidak peduli lagi, ia terus meneriakkan nama Rin hingga akhirnya suaranya serak sendiri. Ia telan bulat-bulat rasa sedihnya saat seorang sipir tiba-tiba memukul kepalanya dengan cukup keras.
Saat sampai di rumah sakit tubuh Rin sudah tidak kuat lagi menahan bebannya sendiri. Ia roboh di depan rumah sakit dan diangkut oleh beberapa orang perawat. Keadaannya kritis.
Dengan terburu-buru ayah Rin menyeruak masuk ke dalam ruangan tapi dicegah oleh para perawat. Dalam keadaan kritisnya Rin terus meneriakkan nama seseorang... Len.
Ayah Rin mengepalkan tangannya. Semua karena anak itu... Keadaan Rin seperti ini karena anak itu! Ia harus memberikan pelajaran yang setimpal padanya.
Len berdiam di lantai selnya yang dingin membaca berulang-ulang kali surat terakhir Rin. Ia tidak menyangka semuanya sesingkat ini. Air matanya menggenang di matanya tapi enggan turun dari sana. Sekali lagi ia membacakan surat itu berharap semua ini hanya mimpi
Len...
Aku harus pergi... Ke tempat yang sangat jauh... Kurasa ini surat yang terakhir.. Aku tidak akan bisa bertukar surat atau bertemu denganmu lagi.
Kau tidak tahu betapa berterimakasihnya aku kepadamu. Terimakasih atas segala hal yang kau bagi kepadaku dan terimakasih telah menjadi pendengarku yang paling baik. Kau ingat aku pernah bilang bahwa aku kesepian? Sekarang tidak lagi. Aku sangat bersyukur dengan adanya kau.
Aku mencintaimu... Tapi cukup sampai disini...
Selamat tinggal Len.
Tangannya bergetar. Semuanya bukan mimpi ini nyata...
Lamunannya terganggu saat tiba-tiba seseorang menggebrag pintu selnya dan beringsut masuk kedalamnya. Selnya yang kecil tampak semakin sempit dengan kehadiran 4 orang di dalamnya.
"Apa yang kau baca, berikan padaku" salah satu yang paling dominan dalam kelompok itu berkata dengan suara memerintah. Sepertinya dia kepala sipir penjara, dilihat dari seragamnya yang berbeda dengan 2 orang lainnya.
Len menggelengkan kepalanya bingung sambil memegang kertasnya lebih erat.
"Berikan padaku!" Kepala sipir menarik surat yang dipegang Len dengan keras sehingga pegangannya mengendor dan akhirnya surat itu berpindah tangan.
Ia membacanya dengan geram, wajahnya memerah marah.
"Kembalikan!" Len meronta-ronta dalam pegangan 2 sipir yang kuat. Tanggannya dipiting ke belakang sehingga ia tidak dapat bergerak dengan bebas.
Kepala sipir itu tersenyum picik walau jelas-jelas tergenang air mata di matanya.
"Kembalikan? Kau. Kembalikan anakku." Lalu ia merobek-robek surat itu menjadi serpihan kecil lalu menebarkannya ke atas kepala Len.
...
...
...
Hening. Len yang sejak tadi menahan emosinya menjadi lepas kendali.
Kejadian itu hanya berselang beberapa detik. Len yang lepas kontrol berhasil melepaskan pitingan tangannya lalu menerjang wajah kepala sipir hingga ia terjatuh berdebam ke lantai sel yang dingin.
Kedua sipir mencoba memegang tangan Len yang meronta-ronta sambil berteriak.
Entah kenapa yang dirasakan ayah Rin sekarang bukanlah kepuasan. Yang ia rasakan sekarang ada rasa iba...
"Kembalikan suratku! Kembalikan! Hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuat Rin kembali kesini! KEMBALIKAAAAAN!" Air mata mengalir deras dari kedua mata birunya meninggalkan bercak samar-samar di baju hitamnya yang compang-camping.
Kepala sipir itu menggerakkan tangannya memberi isyarat untuk membawa len ke ruang hukuman mati.
Len akhirnya hanya bisa diam saat tubuhnya yang kurus dibanting masuk ke dalam ruangan gelap.
Ia tau konsekuensi yang harus ia hadapi saat memukul seorang kepala sipir. Kematian.
"Rin... Aku..." Pintu ruangan itu mulai menutup tidak menyisakan cahaya sedikitpun. Len dapat mencium bau gas aneh yang mulai memenuhi ruangan.
"Aku tidak bisa menepati janjiku..." Tenggorokannya mulai terasa panas tapi ia bersikeras mengucapkan sepatah demi dua patah kata.
"Maafkan aku... Aku harap kita... Bisa berada di... Tempat yang sama... Aku akan menunggumu... Di tempat biasa" kini tenggorokannya rasanya seperti tercabik-cabik. Ia meronta-ronta memegangi tenggorokannya. Suaranya tidak mau keluar lagi.
Sakit. Sakit. Sakit.
"RIIIIIIINNNNNNNNNN!"
Selamat tinggal, Rin.
Semakin hari keadaannya makin buruk. Selang infus hampir menusuk setiap urat nadinya. Masker oksigen tersemat di mulutnya.
Kini ia tidak yakin dimana dirinya sebenarnya. Ia tidak merasa sedang berbaring di kasur empuknya, rasanya seperti sudah melayang dari tubuhnya sendiri tapi suara detak jantungnya masih terdengar sayup-sayup.
Pip... Pip... Pip... Pip...
Konstan dan stabil tapi lemah.
"Len... Bagaimana keadaanmu? Aku harap kau bisa bertahan tanpa aku... Aku kesepian disini... Pertemuan terakhir kita tidak begitu baik, kuharap kau tidak salah paham..."
Ia mengingat-ingat surat terakhir yang diberikan Len padanya.
Rin,
Kenapa kau jarang sekali datang akhir-akhir ini?
Apa kau sakit? Seharusnya kau beristirahat saja daripada datang kesini. Tapi jangan juga sih... Aku kan jadi kesepian disini tanpamu.
Oiya Rin kemarin aku memimpikan sesuatu yang indah loh. Jarang-jarang mimpi indah datang dalam tidurku.
Dalam mimpiku itu kita berdua sedang bermain bersama di padang rumput hijau penuh dengan bunga-bunga liar. Wajahmu tersenyum gembira, dalam mimpiku itu juga bajuku yang lusuh ini terjahit dengan rapi hahaha.
Oh lupakan saja leluconku itu. Tapi yang jelas... Mimpi itu terasa sangat nyata. Mungkin itu suatu pertanda?
Di pertemuan berikutnya aku akan mengucapkan sesuatu padamu. Tentu saja secara langsung tanpa pesawat kertas ini. Kutunggu kau di tempat biasa ya?
"Aku lelah berpura-pura kuat..." Air mata mengalir dari kedua matanya yang tertutup.
"Sebelum pergi... Aku ingin melihatmu sekali lagi.. Sekali lagi... Sekali lagi!" Ia merasakan nafasnya tercekat lalu terdengar beberapa orang memasuki ruangan dengan panik.
Pip... Pip... Pip.. Pip. Pip Pip Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip-
Semua memori mereka berkelebat terputar dalam kepala mereka masing-masing. Betapa menyenangkan hari-hari terakhir ini.
Tertawa, menangis, tersipu berbagai macam emosi dirasakannya di dalam hatinya seperti air hangat yang membanjiri hatinya.
Kita memang berada di dua dunia yang berbeda...
"Aku berada di penjara yang pintunya tidak akan pernah terbuka lagi."
"Aku berada di sebuah rumah sakit, nyawa dan deru nafasku akan berhenti dalam waktu dekat."
Hal yang sama dari keduanya adalah... Kesepian
Satu-satunya hal yang menghubungkan 2 dunia yang berbeda itu hanyalah sebuah pesawat kertas yang gontai diterbangkan angin.
"Aku percaya kegelapan yang memisahkan kita ini suatu saat akan mempertemukan kita kembali..." mereka berdua berpikir disela-sela kematiannya.
"Maka, izinkan aku... Berada di tempat yang sama dengannya"
Rin membuka matanya perlahan lalu menutupnya kembali saat seberkas cahaya menerangi wajahnya.
Ia mengerjapkan matanya berkali-kali hingga matanya terbiasa dengan cahaya di sekitarnya?
"Di-dimana ini?" Sebuah padang rumput hijau terbentang luas dengan bunga-bunga liar berwarna-warni bertebaran di sekitarnya.
Ini... Mimpi?
Ia berdiri lalu membersihkan gaun putihnya yang terkena noda tanah.
Rin...
"Huh?" Rin membolak - balikkan kepalanya mencari asal suara yang memanggilnya
Rin... Ikuti suaraku...
Rin berlari menembus rumput liar yang semakin lama semakin panjang mentupi mukanya. Ia menyibak rumput yang mengenai hidungnya lalu langkahnya terhenti begitu saja saat ia melihat seseorang.
Len...
"Hey Rin, akhirnya kita berada di tempat yang sama"
"Len!" Rin berlari sekuat tenaga menabrak tubuh Len dan mendekapnya erat.
"Whoa, sabar dulu tuan putri" Len mengaduh kesakitan tapi malah tersenyum dan membelai kepala Rin yang topinya sudah terbang entah kemana.
"Kita akan terus bersama kan?"
"Ya... Selamanya"
OKAAAAAAY! AKHIRNYA BERES! Selanjutnya masih akan ada banyak lagi, bisa request tinggal review aja ;-)
RnR pleaseeeee
