A/N:
Yeah, ini fic horror / mystery pertama dari saya. Sengaja saya pasang dengan rated M karena dipenuhi dengan adegan berdarah, umpatan kasar,dan bahasa yang berat (mungkin). Saya juga menyelipkan sedikit romance yang tidak terlalu mendetil, namun saya usahakan mendapat feel-nya.
Sekali lagi saya menulis SasuSaku fanfic, gak tau kenapa saya ngerasa emang pas aja dengan cerita saya ini.
Oke, silahkan membaca…
Ps: jangan lupa baca A/N di bawah, ada hal penting yang ingin saya beritahu agar tidak salah paham. Lihat juga warning yang tersedia nanti ya!
.
.
.
Kamakura Minami Chūgakkō.
Sebuah sekolah tua di sebuah kota kecil yang berada di selatan Tokyo. Sekolah menengah khusus untuk anak-anak berprestasi. Tidak heran, seluruh murid yang bersekolah di tempat ini adalah murid-murid dengan kemampuan berpikir di atas anak-anak pada umumnya.
Seperti usianya, penampilan gedung sekolah ini sama tuanya. Meski tidak terlihat kotor, rusak, ataupun lusuh, tetapi tuanya usia gedung ini masih dapat terasa.
Dan, jika kita menelaah lebih jauh ke dalam gedung berusia dua ratus tahun ini, kita bisa menemukan kejanggalan yang sangat kontras dari sekolah pada umumnya.
Kegelapan yang menyelimuti di salah satu ruangan kelas.
.
.
.
"Hei, kau tahu seorang murid yang bernama Haruno?" tanya salah seorang murid perempuan bercepol dua dengan wajah menghadap ke depan, memandang papan tulis kosong yang tertutup kegelapan ruangan.
Seorang laki-laki yang berada tidak jauh dari siswi perempuan itu bertanya balik, dengan pandangan yang masih tertutup kegelapan pula. "Haruno?" dengan hati-hati laki-laki yang memiliki rambut berbentuk mangkuk tersebut melantunkan nama yang terdengar asing di pendengarannya.
"Ya, murid dari kelas tiga-empat. Kupikir ceritanya sudah menyebar di sekolah ini," sahut perempuan yang kini menutup kelopak matanya, menyembunyikan iris cokelat yang menawan dari lawan bicaranya. Walaupun sebenarnya dia juga sangat tahu, sekalipun dia membuka matanya, lawan bicaranya tentu tidak akan bisa melihatnya.
Sekarang laki-laki berambut mangkuk hitam itu sedikit mengernyitkan alisnya dalam kegelapan, mencoba mengingat-ingat akan sebuah kisah yang sepertinya pernah ia dengar sebelumnya. Murid kelas empat, tahun ketiga, atau yang tidak lain kelas tiga-empat.
Tidak lama, laki-laki itu menjentikkan jarinya. "Tunggu, aku pernah mendengarnya dari pacarmu! Neji pernah bercerita beberapa kali tentang gadis itu, tapi aku takut untuk mengetahuinya, Tenten."
Gadis yang disapa Tenten itu terdiam sejenak, membiarkan kesunyian menyalip di antara udara dingin yang tiba-tiba saja terasa menusuk di kulitnya. Membuka mulutnya secara perlahan, dan mulai menceritakan sesuatu yang dia tahu―meskipun laki-laki itu tidak ingin mengetahuinya.
"Lima belas tahun yang lalu, ada seorang murid yang biasa disapa Haruno." Tenten sedikit menarik napasnya ketika menyebutkan nama sang gadis yang menjadi topik pembicaraannya kini. Dia tahu benar, seharusnya dia tidak menyebutkan nama itu sembarangan di sekolah ini.
Laki-laki yang menjadi lawan bicara Tenten membisu, membiarkan temannya itu melanjutkan ceritanya. Sebab dia sendiri tidak bisa memungkiri, bahwa dia juga ingin mengetahui cerita legenda sekolah itu.
"Dia adalah anak yang cantik, baik, pintar, berprestasi. Dia disukai semua orang, baik guru, maupun teman-temannya."
"…"
"Sampai suatu ketika, gadis itu diperkosa, lalu hamil dan melahirkan anaknya."
Laki-laki bermata besar itu sedikit terkejut dengan nada bicara Tenten yang menurun tiba-tiba. Bahkan suara itu terkesan lebih rendah sekarang, seakan mencoba menjadikan suasana ruangan kelas yang gelap itu menjadi semakin menyeramkan.
"Gadis itu mencoba meminta pertanggung jawaban pada pria yang menghamilinya hingga melahirkan, namun tidak disangka, pria itu malah menabrakkan mobilnya pada gadis itu hingga tewas, Lee."
Sekarang laki-laki berambut mangkuk yang bernama Lee itu mulai merasakan satu demi satu bulu kuduknya berdiri. Cara Tenten membawakan cerita itu membuatnya seolah berada di posisi itu, membuatnya semakin takut saja.
"Seluruh teman serta guru tidak bisa menyembunyikan kesedihan mereka, seluruh penduduk sekolah tidak bisa menerima kepergian gadis itu." Tenten melanjutkannya lagi dengan nada yang selirih mungkin, mungkin juga Tenten ingin membuat Lee takut dengan legenda itu.
Lee tidak berani lagi menatap pintu kelas mereka yang terbuka, dia lebih memilih pindah tepat ke depan kursi Tenten. Membalikkan tubuhnya, sehingga dia menghadap Tenten.
"Sampai suatu ketika, kekasih sang gadis berteriak bahwa gadis itu masih hidup, gadis itu masih duduk di kursinya."
Sekarang perhatian Lee benar-benar tertuju pada Tenten, fokus untuk mendengarkan cerita Tenten selanjutnya. Jujur saja, walaupun Lee pernah mendengar cerita itu dari Neji, tapi dia tidak pernah mendengarkannya secara saksama seperti ini.
"Para guru dan temannya yang saat itu juga tidak mempercayai kepergian gadis cantik itu, mulai mencoba mengikuti perkataan kekasih sang gadis. Dan sejak saat itu, semuanya kembali seperti biasa, mereka semua bertingkah seolah sang gadis malang itu masih hidup."
Tenten terdiam sejenak untuk mengambil sebotol air dari dalam tasnya. Meneguknya perlahan, lalu mulai kembali bercerita setelah memasukkan botol itu kembali ke dalam tasnya.
"Kadang, teman-teman sekelasnya bercanda ria pada kursi gadis yang sudah kosong itu. Bahkan, terkadang guru-guru pun berbincang-bincang dengannya saat jam pelajaran."
Lee kembali mengernyitkan alis tebalnya, heran. Sepertinya kisah ini menarik sekali, seorang gadis meninggal lalu tidak ada yang mempercayainya. Bahkan semua orang menganggapnya masih hidup? Sepertinya orang-orang pada masa itu sungguh tidak rela akan meninggalnya gadis itu.
"Dan, saat hari kelulusan. Di foto kelas itu, yang seharusnya tidak ada sang gadis di foto itu, namun―"
"…?"
"Haruno berada di sana…"
.
.
―"From the girl, emanates a deep mystery."―
.
Nothing © Reicchi Ditachi
Naruto © Masashi Kishimoto
.
Inspired from the novel
Another © Yukito Ayatsuji
M rated
Horror / Mystery
Warning: AU, M for bloody content, OOC, Umpatan kasar, Typo
Don't like, don't read!
Summary:
Bertemu dengan Haruno Sakura, seorang gadis misterius dengan sebelah mata diperban, bukanlah kebetulan bagi Uchiha Sasuke. Gadis itu membawanya ke dalam misteri kematian seorang perempuan 15 tahun yang lalu. Siapa gadis itu sebenarnya?
.
.
I Meet Her
.
.
.
Pagi itu, di sebuah rumah sakit besar di desa Kamakura.
Seorang wanita berusia setengah baya terlihat sedang sibuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Dadanya tergerak naik dan turun, menampung dan mengeluarkan napas yang tersengal. Wajahnya pucat, dan matanya terpejam erat.
Tidak kuat dengan proses tarik-menarik napas terengahnya yang berlangsung beberapa saat, wanita itu mencengkeram rambut cokelatnya sangat erat. Sementara napasnya semakin memburu, dan peluh mulai keluar dari pori-pori wajah halus itu.
"Errrggghh…" erangnya pelan saat merasa kalau napasnya semakin sesak. Dipaksakanlah hidung serta rongga mulutnya untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin, takut akan paru-parunya yang terasa seperti kosong.
Sayangnya hal itu tidak banyak membantu dirinya, dadanya semakin sakit, semakin sesak. Tangan lentiknya tergerak untuk meremas kain seprai yang sudah terlihat kusut dan basah oleh peluhnya sendiri. Tidak kuat, sangat tidak nyaman.
"Obittoo…" lirih perempuan itu pelan seraya menggapai-gapai sebuah benda yang terletak di meja sebelah ranjangnya. Sangat jauh, seakan benda yang sangat penting untuk pernapasannya itu sama sekali tidak terjangkau dari tangannya. Untuk saat sepenting ini.
Nama itu dilatunkan dengan lirih sekali lagi, memanggil sosok suaminya yang saat ini tidak ada di ruang rawatnya. Dia tahu, memanggil sang suami dengan suara sekecil itu tidak akan mungkin sampai ke telinga pria yang berusia tiga puluh dua tahun tersebut.
Masih sama, napasnya sesak. Wanita itu merasa seperti di ambang kematiannya yang―bisa dikatakan―cukup tragis.
Apa ini akhir kehidupannya?
"Rin oba-san? Eh!"
Wanita yang sedang sesak napas itu―Rin―menolehkan kepalanya ke samping kanan, tepat ke arah pintu kamar rawatnya. Iris matanya menampakkan siluet bayangan kabur yang tidak begitu terlihat sosoknya. Seorang laki-laki muda yang terlihat―dari nada bicaranya―terkejut dengan keadaannya yang cukup dikatakan mengenaskan.
Sementara sosok laki-laki muda itu segera berlari menuju meja di sebelah ranjang Rin. Tanpa basa-basi lagi laki-laki berkemeja biru itu mengambil benda berbentuk tabung yang merupakan alat bantu pernapasan. Dengan cekatannya, laki-laki yang memiliki rambut hitam kebiruan mencuat tersebut memasangkan selang yang terhubung dari tabung itu ke lubang hidung Rin.
Wajah pemuda itu terlihat berkeringat, dan pucat. Bukan karena dia sedang tidak sehat, namun karena rasa khawatirnya pada bibi kesayangannya tersebut. Dia sungguh tidak akan rela bila bibi yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri pergi meninggalkannya begitu saja.
Nyaris. Nyaris saja pemuda itu terlambat menyelamatkan bibi yang paling disayanginya.
Syukurnya, tidak.
Napas Rin berangsur stabil berkat bantuan keponakannya yang tepat pada waktunya. Sepertinya, di antara waktu lain saat penyakitnya kambuh, saat inilah dia paling bersyukur. Jika keadaannya sudah pulih, Rin sepertinya telah berhutang budi dengan keponakannya yang satu ini.
"A-arigatou, Sasuke-kun…" Kurenai mencoba mengucapkan kata terima kasih untuk pemuda berusia lima belas tahun di hadapannya tersebut, meskipun suaranya masih sangat lirih.
Sementara yang diucapkan kata terima kasih hanya mengangguk pelan, lalu menarik sebuah kursi lipat yang diletakkan di sudut ruangan. Kursi lipat memang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk para penjenguk yang ingin menemani pasien dan menginap di sana.
Keduanya terdiam, membiarkan angin semilir bertiup di antara mereka. Baik Sasuke maupun Rin, tidak ada yang membuka mulut untuk memulai pembicaraan.
Merasa tidak nyaman dengan suasana tersebut, Rin mencoba membuka topic pembicaraan. Tentunya setelah dia merasa lebih baik dari yang tadi.
"Umm… Sasuke-kun, di mana Obito-kun?" Rin mulai melepaskan selang tabung bantu pernapasan itu dari hidung dan mulutnya. Matanya mendelik ke arah pemuda berambut raven mencuat yang tampak sedang mengupaskan apel untuknya.
Sasuke tidak bergeming, tangannya masih sibuk dengan kupasan apel tersebut. Tapi Rin yakin seratus persen kalau Sasuke masih mendengar pertanyaannya. Dia tahu benar kalau keponakannya yang satu ini memiliki pendengaran dan isting yang tajam, tidak mungkin sampai tidak mendengar pertanyaannya.
Benar saja, setelah Sasuke selesai mengupaskan apel dan membuang kulitnya ke keranjang sampah, Sasuke membeberkan jawabannya seraya menjejalkan potongan apel ke mulut Rin.
"Oji-san pergi ke Kanada, Oba-san tidak tahu?" Sasuke menjawab sekaligus bertanya balik pada Rin. Biasanya bibinya selalu tahu kabar terkini dari sang suami. Baik di mana dia bertugas, kapan kembali, sampai sudah makan atau belum.
Rin masih sibuk mengunyah ketika menjawab, "Aku sungguh tidak tahu, Obito-kun tidak memberiku kabar sama sekali." Baiklah, sekarang Rin merasa dibohongi karena suaminya―Obito―sama sekali tidak memberitahunya. Berikutnya, kabar apa lagi yang tidak diketahuinya?
"Hn, Oba-san, Kagami ojii-san kemarin memberitahuku untuk tinggal di rumahmu." Sasuke menjelaskan kembali sebuah kabar yang tidak diketahui Rin sebelumnya. Kali ini tentang Sasuke yang akan tinggal di rumahnya. Apa? Tunggu! Kenapa Kagami―ayah mertuanya―sama sekali tidak memberitahu dirinya?
Rin memang tahu tentang kabar Sasuke yang akan bersekolah di kota ini—Kamakura, karena meninggalnya sang ayah―Fugaku―yang mendadak. Tapi dia tidak diberitahu kalau Sasuke akan tinggal dengannya.
Bukan, bukannya Rin merasa keberatan, wanita itu sangat tidak keberatan bila Sasuke tinggal dengannya. Dia akan dengan senang hati menerima keponakannya tersebut menumpang di rumahnya, sampai kapanpun dia inginkan. Sasuke tidak akan merugikan siapapun yang diikutinya.
Hanya saja, Rin merasa tidak dipercaya. Tidak ada yang memberitahunya, itu agak membuatnya tidak nyaman.
"Baiklah, bagaimana dengan Itachi-kun? Kudengar dia sedang ada pekerjaan mendesain di Kyoto, apa dia tidak tinggal juga di rumahku?" kali ini Rin bertanya tentang Itachi, yang tidak lain adalah kakak Sasuke dan putra sulung Fugaku.
Sasuke hanya menghela napasnya pelan, nyaris tidak terlihat karena tertutup oleh ekspresi datarnya. Kemudian dia mengalihkan bola mata hitamnya ke luar jendela, menatap pemandangan yang khas desa―sebab sekarang dia ada di pinggiran kota Tokyo.
Sasuke membayangkan kakaknya, yang sekarang memang sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek di Kyoto. Sudah dua bulan ini Sasuke tidak bertemu dengannya, karena Itachi yang tidak pernah pulang selama masa kerjanya tersebut. Bahkan saat ayahnya meninggal dan Sasuke memberitahukannya pada Itachi, tidak sedikitpun terlintas pada pria itu untuk pulang sejenak dan melihat ayahnya untuk terakhir kali.
Ya, Sasuke tahu kalau Itachi melakukan semua ini demi keluarganya. Itachi bekerja keras untuk menghidupi keluarganya―Sasuke, dia, dan ayahnya―semenjak sang ayah tidak mampu bekerja lagi. Itachi adalah tulang punggung keluarganya sejak ayahnya tidak bisa bangkit dari ranjangnya lagi.
Sebagaimana juga Sasuke, dia menjadi pengurus rumah tangga yang mengurus semua keperluan keluarganya. Mulai dari belanja, memasak, sampai merapikan rumah. Semua itu dia lakukan sebagai rasa balas budinya pada sang ibu yang sudah mengorbankan nyawanya saat memberikan dirinya sebuah 'kehidupan'. Juga rasa terima kasihnya karena sudah melahirkannya ke dunia ini.
Lagipula, Sasuke juga tidak tega membiarkan Itachi mengerjakan semuanya. Sudah menjadi tulang punggung, lalu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sasuke juga tidak mungkin membiarkan ayahnya yang mengerjakan urusan rumah tangga, sebab saat itu ayahnya saja tidak mampu bangkit dari tempat tidurnya.
Ceklek.
"Sasuke? Apa itu kau?"
Ah, Sasuke mengenal suara ini. Ini suara―sang kakak?
Sasuke segera membalikkan tubuhnya, menghadap pintu yang kini terbuka lebar. Terpampanglah sosok pria dewasa berusia sekitar dua puluh tiga tahun tengah menyeringai kecil menatapnya. Dengan rambut rapinya yang terikat kendur di belakang, serta kemeja dan jas yang terpakai rapi pula di tubuhnya.
"Itachi!" seru Sasuke yang tidak dapat menyembunyikan raut wajah senangnya. Ya, memang hanya Itachi yang bisa membuatnya menjadi periang seperti sekarang ini, hanya Itachi jugalah yang mampu membuatnya bisa terlihat berbeda dari sikap yang biasa ditunjukkannya.
Oh, Sasuke hampir saja menerjang Itachi dan memeluknya jika dia tidak menyadari kalau Itachi tidak datang sendiri. Kakaknya tersebut datang bersama-sama orang yang belum pernah dikenalnya. Ada dua orang yang datang bersama Itachi, memakai pakaian seragam yang Sasuke ketahui seragam sekolah menengah.
Sasuke sedikit memicingkan matanya, memperhatikan lebih rinci nama sekolah yang tertera di seragam orang itu. Sedikit penasaran.
Kamakura Minami Chūgakkō.
"Umm… Sasuke, Kagami ojii-san menyuruhmu untuk tinggal di Kamakura sampai pekerjaanku di Kyoto selesai. Jadi, aku mendaftarkanmu ke sekolah menengah tempat okaa-san dan otou-san belajar dulu. Bagaimana? Oh, ya, dan ini teman barumu." Itachi menjelaskannya secara rinci bahkan sebelum Sasuke sempat bertanya.
Sekarang, pandangan Sasuke beralih ke sosok perempuan dan laki-laki yang berdiri di sebelah Itachi. Yang perempuan memakai seragam kemeja putih dengan dasi merah yang ditutupi dengan jas berwarna hitam dengan tatanan rambut yang bercepol dua, lalu dengan sentuhan rok berwarna ungu. Di sudut saku jasnya, yang berada tepat di dadanya, terdapat sebuah nametag bertuliskan "Tenten".
Dan yang laki-laki, memiliki rambut yang panjang menawan, nyaris seperti perempuan. Hampir sama dengan seragam siswi, dia memakai kemeja berwarna putih, hanya saja tidak memakai dasi namun tetap memakai jas. Celana panjangnya juga berwarna ungu. Di sudut saku jas hitamnya, terdapat sebuah nametag bertuliskan "Hyuuga".
"Ohayou, Sasuke! Aku Tenten, dan ini ketua kelas kita di kelas tiga-empat, Neji!" gadis bercepol dua itu mengenalkan dirinya dan laki-laki di sebelahnya.
Sasuke mengangkat alisnya, sejujurnya dia tidak terlalu pandai untuk urusan perkenalan seperti ini. Sasuke bukanlah orang yang banyak bergaul, pengalaman bergaulnya masih sedikit sekali. Sebab dia memang tidak mudah dekat dengan orang lain.
Agak canggung, itulah yang Sasuke rasakan sekarang. Dia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, sebab dia juga bukan tipe orang yang suka banyak bicara. Dan lagi, kekurangan kemampuannya dalam bergaul juga mempersulitnya untuk menghadapi keadaan seperti ini.
"Ohayou mo, Tenten-san, Neji-san." Sasuke membalas salam ceria itu dengan salam canggungnya. Matanya melirik ke arah Itachi yang tersenyum simpul padanya. Sasuke mulai merasa tidak nyaman sekarang.
Tenten mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya, sebuah baju ukuran laki-laki. Sepertinya sengaja dibawakan untuk Sasuke, dan baju itu adalah baju seragam yang akan dipakainya di sekolah barunya nanti.
"Sasuke-san, apa ini pertama kalinya kau berada di Kamakura? Kau terlihat canggung dengan suasana di sini," tiba-tiba saja Neji berbicara dengan suara beratnya. Mata lavendernya menatap intens Sasuke yang sedang terpaku dengan pertanyaan mendadak itu.
Sasuke jadi bingung sendiri, tiba-tiba Neji bertanya dengan nada yang sedemikian aneh begitu.
"Tidak mungkin Neji-kun, aku yakin dia sudah pernah ke kota ini," Tenten menyela perkataan Neji yang dianggapnya tidak sopan. Padahal dengan murid baru, tapi sudah dijejali pertanyaan seperti itu. Apa-apaan?
Sasuke mengernyitkan alisnya, lalu menatap Neji dan Tenten dengan tajam. Pikirannya mulai menyelidiki kedua teman―kenalan―barunya ini. Dengan hati-hati Sasuke mulai menjawab pertanyaan aneh Neji.
"Tidak, aku tidak pernah ke sini sebelumnya." Sasuke mencoba menjawab mantap tanpa keraguan.
"Apa?"
Kedua wajah itu seketika tertegun, mendengar pengakuan Sasuke yang terdengar mantap. Mata si gadis membelalak dengan raut wajah tidak percaya, sementara si pria malah menyipitkan matanya dengan alis tertekuk ke bawah―tatapan kasihan―dan bulir keringat keluar dari wajah keduanya.
"K-kau bercanda, Sasuke?" Tenten mencoba tersenyum paksa, dengan wajah ketidakpercayaan masih menghiasinya. Suaranya bergetar, dan nada bicaranya berubah menjadi ketakutan. Keringat juga mengalir semakin deras di wajah putihnya.
"Hn, tidak."
Deg!
Hening seketika. Angin yang masuk melalui jendela yang terbuka terasa sangat dingin di tengkuk Sasuke. Menyusup ke balik lehernya, membelai lembut di daerah itu. Sentuhan lembut dari sesuatu yang tidak kasat mata itu terasa sangat aneh, membuatnya merasa bergidik. Sesuatu yang berada di tengkuknya pun bereaksi, memberi respon menggelikan sekaligus janggal di pikirannya.
Sasuke mengizinkan otaknya yang sudah terlatih dalam memperhatikan keadaan untuk segera menganalisa apa yang sedang terjadi pada tubuhnya dan kedua orang yang di depannya. Tidak sampai beberapa detik, Sasuke menemukan jawabannya.
Tubuhnya merinding, dan kedua orang di hadapannya takut.
Tidak biasanya respon tubuhnya seperti ini. Sasuke pernah mengalami beberapa kejadian ganjil yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmiah sebelumnya, tapi tidak ada yang sampai berhasil membuat tubuhnya mengakui seperti ini. Sesuatu ada yang tidak beres sepertinya.
"Sa…Sasuke-san, boleh aku menjabat tanganmu?" Tenten kembali berwajah ceria seperti biasa meskipun sedikit tergagap dalam bicara. Yang anehnya lagi, tadi gadis itu memanggil Sasuke tanpa suffiks apapun, tapi sekarang bertambah menjadi lebih sopan yaitu –san.
Sasuke belum membalas uluran tangan perempuan itu, dia lebih memilih memandang Neji yang tampak datar raut wajahnya. Walaupun wajahnya tampak datar, mata lavender itu tidak bisa berbohong. Bisa dilihat matanya yang sedikit berkaca-kaca, serta kelopak matanya yang berulang kali mengerjap dan memandang sesuatu yang tidak Sasuke ketahui.
Lalu, Sasuke kembali memperhatikan Tenten yang masih mengulurkan tangannya. Terlihat jelas dari mata onyx-nya sekarang, wajah Tenten pucat, sedikit gugup. Serta tangannya yang terulur tersebut gemetar. Memangnya gadis ini akan bersalaman dengan siapa? Hantu?
Tidak ingin ambil pusing dengan kejadian aneh ini, Sasuke mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Tenten. Basah, kemungkinan tangan Tenten berkeringat hebat sebelum menjabatnya. Tapi, apa yang dilakukannya sampai membuat tangannya berkeringat seperti itu?
"Oke, Tenten-san, Neji-san, mohon bantuannya."
.
.
.
.
(Nothing)
Sasuke melangkahkan kakinya dengan cepat, begitu dia menyadari―dari Itachi―kalau dia sudah hampir terlambat di hari pertamanya sekolah. Maksud kedatangannya pagi-pagi sekali ke rumah sakit adalah untuk menjenguk bibinya yang kebetulan sedang dirawat. Namun ternyata perkenalannya dengan Tenten dan Neji malah membuatnya lupa waktu yang seharusnya dia gunakan untuk segera bergegas ke sekolah.
Sekarang ini Sasuke sedang berada di lorong rumah sakit, mengejar lift agar cepat sampai ke lantai dasar. Sebenarnya Sasuke bisa saja memakai tangga eskalator, namun tangga itu baru bisa dicapainya bila dia belok kiri dan melalui satu blok kamar rawat inap lagi. Daripada berjalan jauh lagi, lebih baik dia memakai lift yang hanya berada tiga kamar dari kamar sang bibi.
Sampailah Sasuke di depan pintu lift yang memang terletak di ujung lorong. Di sini tampak sangat sepi, tepatnya tidak ada seorang pun yang terlihat menunggu lift turun kecuali dirinya. Penerangannya pun juga kurang, sehingga lift ini terlihat suram.
Ting.
Pintu lift terbuka, dan pertama yang ada di pikiran Sasuke adalah orang yang menumpang penuh sesak di dalamnya. Sehingga dia tidak bisa masuk dan harus menunggu lift berikutnya. Ternyata, tidak.
Lift itu kosong.
Aneh sekali.
Tidak perlu pikir panjang lagi, Sasuke segera masuk ke dalam lift yang sudah ia tunggu-tunggu. Dalam hati, dia juga merasa beruntung karena tidak perlu menunggu lift berikutnya jika lift ini penuh sesak. Dengan ini, Sasuke akan semakin cepat sampai ke sekolah.
Sasuke membalikkan tubuhnya menghadap pintu lift yang sebentar lagi akan menutup. Dan yang lihat sebelum pintu itu tertutup adalah sesosok perempuan yang berdiri di luar lift. Tunggu! Seorang perempuan di luar lift?
Tangan Sasuke segera menahan pintu lift yang akan tertutup tersebut, hingga kembali membuka. Sekarang, dia bisa memperhatikan sosok gadis itu lebih jelas karena tidak terhalang pintu.
Gadis itu tidak lebih tinggi darinya, malah terlihat jauh lebih pendek jika disandingkan dengan Sasuke. Rambut merah mudanya yang pendek sebahu, tampak halus seperti kain sutera. Bahkan terlalu halusnya sampai bergoyang kecil ketika gadis itu menengadahkan kepalanya ke depan.
Sekarang Sasuke bisa melihat wajah gadis tersebut, namun tidak jelas karena masih tertutup oleh poni menyamping yang sengaja disisirkan ke depan wajahnya. Tapi, menurut perkiraan Sasuke, gadis ini tidak buruk. Mungkin di balik poni tersebut ada penampilan yang tidak Sasuke duga.
Dengan jari lentiknya, gadis itu menyibakkan poninya dan menyelipkannya ke belakang telinganya. Entah karena mengganggu pandangannya, atau memang merasa pemuda sempurna di hadapannya kini sedang memperhatikannya. Yang jelas, Sasuke bisa memperhatikan wajah sang gadis dengan sempurna saat ini.
Mata sayunya yang berbentuk sempurna, dengan iris jade yang menawan. Bulu matanya yang lentik juga memperindah bentuk optik penglihatannya. Alisnya yang berwarna senada dengan rambutnya juga pas, tidak mengurangi daya tarik dari mata tersebut. Beralih ke hidungnya yang mungil, membuat siapapun yang melihatnya akan merasa gemas. Lalu ke bibirnya, tipis, namun tetap terlihat indah karena warnanya yang merah meranum. Dan semua indera sempurna itu terbingkai indah dengan bentuk wajahnya yang sangat sempurna.
Cantik.
Hmm… tunggu sebentar, ada yang terlewat dari wajah gadis itu. Sasuke hanya melihat satu mata di wajah itu, bukan sepasang. Setelah Sasuke perhatikan lebih rinci, mata kiri gadis bubble gum itu memang tidak terlihat. Bukan menghilang, namun karena ditutupi oleh perban.
Sasuke jadi berpikir, apa gadis ini baru saja menjalani perawatan? Ada apa dengan matanya yang satu lagi? Tanpa disadari pula gadis itu telah melewatinya dan berdiri di dalam lift. Menunggu Sasuke melepaskan tangannya dari pintu lift karena tadi digunakan untuk menahan pintu itu.
"Maaf, bisakah anda menutup pintu lift-nya sekarang?" suara halus yang feminin terdengar di belakangnya. Memperintahkannya untuk segera menutup pintu lift yang selama ini ditahannya. Sasuke segera menekan tombol agar pintu lift tertutup.
Gadis itu kembali maju mendekati Sasuke, menepuk pelan bahu tegapnya yang lebih tinggi dari gadis itu. Merasakan sentuhan tiba-tiba itu, Sasuke merasakan sesuatu yang tidak seperti pada umumnya disentuh orang lain.
Dingin.
Sukses membuat pemuda itu tersentak, gadis berpenutup mata itu menghampiri tombol-tombol navigasi lantai yang tadi terhalangi oleh Sasuke. Sasuke yang cepat tanggap maksud gadis itu segera menyingkir dari tempatnya semula. Membiarkan perempuan yang berusia sama dengannya tersebut menekan tombol navigasi lift.
Jari lentiknya terayun perlahan, gerakan slow motion. Lalu mencapai tombol itu dan menekannya pelan hingga berbunyi kecil. Diam-diam, Sasuke memperhatikan tangan mungil lentik itu, putih halus. Mungkin saja bila dibandingkan dengan porselen, tangan itu masih jauh lebih halus dari benda tersebut.
Sasuke memperhatikan perempuan itu dari atas kebawah. Sebentar, sepertinya Sasuke mengenal kemeja dan jas sekolah yang dikenakan gadis ini!
"Seragam itu, apa kau bersekolah di Kamakura Minami?" Sasuke bertanya dengan nada datar, kebiasaan dirinya jika berhadapan dengan orang lain. Tapi tidak bisa dipungkiri bila Sasuke memang penasaran dengan gadis ini.
"Ya," jawab perempuan itu tidak kalah datarnya. Astaga, seumur hidup dia tidak pernah mendengar suara sedatar ini selain dari lisan Itachi dan ayahnya. Terlebih lagi orang ini perempuan, suara datar tentu akan membuat heran siapapun yang mengajaknya berbicara.
Ting.
Pintu lift terbuka, menandakan kalau alat berbentuk ruangan berkatrol tersebut sudah sampai di tempat tujuannya. Gadis yang diketahui berasal dari sekolah yang sama dengan sekolah yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu itu pun melangkah terlebih dulu keluar dari lift.
Awalnya Sasuke juga akan ikut keluar bersama gadis itu, namun tidak sampai dia menemukan kejanggalan. Lorong di depan lift ini gelap, jelas tidak seperti lobby rumah sakit yang terang benderang untuk menyambut pengunjungnya. Sepertinya Sasuke bukan berada di lobby pintu keluar.
Sasuke belum keluar dari lift itu sepenuhnya, dia masih terpaku di tengah-tengah pintu tersebut. Dia tidak yakin, apa ini memang jalan keluar dari rumah sakit ini. Terlalu sunyi, terlalu gelap. Sasuke melihat papan yang tergantung tepat di depan pintu lift tersebut.
Basement empat.
Waw, sudah sejauh itu dia turun? Lalu, apa yang ada di basement empat ini? Apa ada pintu keluar? Tidak apa jika ada, Sasuke tidak ingin ambil pusing ke atas lagi jika di tempat ini ada jalan keluar. Sejenak Sasuke kembali melayangkan tatapannya ke papan yang tergantung, melihat tempat apa ini sebenarnya? Lapangan parkirkah? Atau pintu keluar darurat?
Tidak, bukan keduanya. Tulisan di bawah kata 'basement empat' tidak terlihat begitu jelas, sedikit tertutup bercak-bercak berwarna merah pekat yang terlihat seperti darah. Sasuke memicingkan matanya, melihat satu demi satu huruf yang tertutup oleh likuid merah yang telah tampak mengering di sana. Dan Sasuke bisa membacanya.
Ruang mayat?
Sekali lagi, Sasuke mulai berusaha mencerna semuanya. Gadis itu pergi ke ruang mayat?
"Hei! Apa kau akan pergi ke sana?" Sasuke sedikit berteriak untuk memanggil sang gadis, namun sepertinya diacuhkannya. Apa gunanya dia pergi ke ruang mayat? Sendirian? Dengan keadaan yang gelap gulita seperti itu?
"…" tidak ada jawaban.
Oke, Sasuke sudah cukup merasa aneh hari ini. Pagi-pagi sekali dia bertemu dengan teman baru yang mencurigakan, sekarang bertemu lagi dengan gadis aneh yang suka mengunjungi ruang mayat. Demi Kami-sama, sekarang baru pukul delapan pagi. Namun gadis ini malah dengan rajinnya mengunjungi ruang paling menyeramkan di rumah sakit?
"Hei, kau―" baru saja Sasuke akan bertanya tentang nama perempuan itu.
"―Sakura. Haruno Sakura."
"…"
Tidak perlu bertanya lagi, gadis yang bernama Sakura itu telah menyebutkan namanya sebelum Sasuke menyelesaikan pertanyaannya. Nama yang cocok dengan dirinya, Sakura, bunga berwarna pink yang senada dengan mahkota kepalanya. Tidak salah, jika kedua orang tua Sakura memilihkan nama itu untuknya.
Sekarang, entah penglihatan Sasuke yang mulai mengawur atau hanya halusinasinya, dia melihat seperti sosok bayangan yang menanti di ujung lorong yang berlawanan dengan lift. Sosok itu seperti menunggu langkah Sakura yang akan menghampirinya. Tidak begitu terlihat, karena tertutup dengan gelapnya lorong. Setidaknya, siluet itu membentuk sesosok manusia di seberang sana.
Perasaan itu hinggap kembali di tengkuknya, dan suasana aneh itu kembali menyerangnya. Bulu kuduknya meremang, tengkuknya terasa dibelai lembut oleh sesuatu. Kali ini juga, Sasuke merasakan sesuatu yang dingin keluar dari pori-pori wajah dan tubuhnya. Keringat dingin, dan peluh membasahi wajahnya. Tanpa disadari, wajah Sasuke memucat.
Dengan cepat Sasuke kembali menekan tombol tutup pada pintu lift, bersiap naik kembali ke lantai dasar tempat lobby pintu keluar berada. Tidak mungkin dia akan menemukan pintu keluar di tempat seperti ini, ruang mayat.
Sebelum pintu lift tertutup sepenuhnya dan mulai menaik ke atas, Sasuke mendengar sayup-sayup suara gadis yang disebut Sakura. Suara halusnya tidak sedatar tadi, sedikit menurun dan terdengar lirih. Membuat Sasuke kembali menarik napas tegang ketika mendengar suara lirih itu dengan jelas.
"U-chi-ha Sa-su-ke…"
.
.
.
.
To Be Continued
Preview:
Chapter 2: Weird Class
"Kita bertemu kembali, Haruno-san, dan aku ingin bertanya padamu."
"Mengapa, kau mengajakku berbicara?"
"Apa yang kau lakukan di ruang mayat sepagi itu?"
.
"Haruno Sakura, dia aneh sekali. Apa di depanmu juga begitu?"
"S-siapa itu? A-aku tidak mengenalnya!"
"Apa yang terjadi dengan kalian, dan apa-apaan reaksi kalian itu?"
.
"Kau polos. Penuh keingintahuan. Tapi akan lebih baik jika kau berhati-hati…"
.
A/N:
Oke, ini fic baru saya di genre horror. Sedikit pemberitahuan kalian, beberapa scene di fic ini terinspirasi dari novel horror jepang yang berjudul Another. Supaya gak salah paham, saya sudah cantumkan disclaimer-nya di atas.
Oiya, kota Kamakura beneran ada loh, itu kota kecil di sebelah selatan Tokyo. Kakak perempuan saya tinggal di sana soalnya :D
Untuk Sasuke, saya mencoba menjadikan dia tidak se-OOC mungkin, tapi tetap saja OOC. Kalau Sakura, memang saya buat sedikit OOC untuk menyesuaikan ceritanya, tapi di tengah-tengah saya usahakan tidak terlalu terlihat OOC lagi…
Karena ini fic baru, saya tidak mau banyak cingcong.
RnR + CnC = Fic bagus, cepat update, dan memuaskan readers.
R
E
V
I
E
W