Inspirated by:
J-drama, Hana Kimi
Fanfiksi, Scandallicious punya Rully bee
Drama anak 'Enchanted' yang pernah saya lihat di televisi.
.
.
.
Disclaimer: Chara punya om Masashi Kishimoto. Plotnya baru punya saya.
Warning: Alternative Universe, OOC, misstype.
.
.
.
Present…
…
…
Overloaded Fairy Tail
.
.
.
Beri tepuk tangan…
.
.
.
#1
Princess Mermaid
::
::
::
Suatu hari di tengah lautan yang tenang, tiba-tiba saja badai terjadi dan menghantam sebuah kapal besar yang sedang berlayar. Seluruh awak terjun ke laut. Sang pangeran tenggelam. Namun dia tidak mati.
Tepat sebelum tak sadarkan diri, dia melihat seorang gadis.
Sang gadis yang menyelamatkan pangeran akhirnya sadar kalau dia menyukai pangeran itu. Dia ingin bersamanya. tapi yang dia miliki hanya ekor, bukan kaki. Lalu sang penyihir datang dan mengajukan penawaran. Menukar ekor untuk sepasang kaki yang membantunya berjalan di daratan.
Konsekuensinya? Tentu besar. Tapi sang puteri tak peduli.
::
::
::
Semua cerita pasti punya awal untuk di mulai. Begitu juga dengan kisah ini. Jadi, biarkan aku menceritakannya padamu.
Saat itu, tidak ada kerajaan yang berdiri, hanya ada sekelompok orang yang menganggap diri mereka jauh lebih tinggi dari yang lain. Menyebalkan? Pasti. Tapi, bukan itu yang akan kita bahas di sini.
Di antara orang-orang itu, ada satu keluarga yang menjadi awal di mana cerita ini bermula.
::
::
::
Liburan musim panas, harusnya dilalui dengan piknik dan jalan-jalan di pantai sampai kulit berubah kecoklatan. Tapi hal ini gak berlaku buat Hyuuga yang menghabiskan waktunya selama liburan untuk menginap di villa keluarganya di kaki gunung Fujiyama.
Alasannya?
"AYAH!"
Hanabi, sang Hyuuga bungsu, berteriak marah sambil menjambak rambutnya sendiri. Kilatan di matanya saat itu menegaskan bahwa dia, Hyuuga Hanabi, adik dari Hyuuga Hinata, benar-benar marah. Dia bahkan meloloskan beberapa kerutan di keningnya tanpa perlu banyak berpikir.
Mayday! Mayday!
Hanabi ngamuk!
::
::
::
"Hanabi-chan… tenanglah…"
Hinata menyelamatkan dunia. Dengan satu tepukan lembut di bahu adiknya, Hanabi berhasil diam. Hyuuga yang selalu kalem di setiap situasi itu akhirnya tersenyum lembut dan berkata, "Kita juga bisa bersenang-senang di sini, kok."
" Padahal, aku udah janji mau ikut ke pantai bareng teman-temanku, Nee-chan… Ayah menyebalkan." Hanabi mengucapkannya dengan nada yang sangat-sangat lambat, ditambah lagi dengan matanya yang berlinangan air mata, Hinata yang baik hati pun jadi iba.
"Hm… memangnya Hanabi mau main apa?"
"Kenapa? Memang Nee-chan mau ikut?"
Tidak. Tidak. Tidak. Biar bagaimanapun, Hinata itu tahu kebiasaan Hanabi yang suka melakukan hal yang ekstrim-ekstrim. Hinata mau hidup lebih lama, dia gak mau mati muda cuma karena kena serangan jantung mendadak nanti.
"I-iya…" dengan ragu, Hinata mengiyakan.
"Benarkah?" Hilang sudah ekspresi menyayat hati yang tadi dikeluarkan Hanabi. Yang ada sekarang tuh, wajah cerahnya yang berbinar persis malaikat. Tapi di mata Hinata, dia lebih mirip iblis.
Yeah, Hanabi is a demon.
::
::
::
Satu kesialan Hinata bertambah dengan kesialan lain. Setelah berhasil diperdaya Hanabi untuk ikut ke hutan, dia yang hanya memakai kaos lengan pendek dan celana tiga perempat harus menghadapi fakta lain yang gak kalah menyebalkannya.
Nyamuk.
Di hutan yang penuh pohon besar, suasana jadi dingin dan gelap. Tenpat yang sempurna bagi nyamuk untuk berkembang biak. Kulit lengan Hinata yang putih dihiasi bintik-bintik kemerahan yang gatal.
"Hanabi-chan… ngapain sih ke sini?" Hinata yang jelas-jelas gak nyaman bertanya. kedua tangannya masih asik mengusir nyamuk sambil garuk-garuk.
"Aku dengar, di sekitar sini ada harta karunnya, Nee-chan."
"Dengar dari siapa?"
"Udon."
Udon. Ud-on. U-d-on. U-d-o-n.
Mm…
…
…
Ng?
Ah! Udon!
Temen sekelas Hanabi yang punya rambut mangkok dan ingusan, dan punya wajah polos yang cederung bego.
Udon yang itu?
"A-ano… Hanabi-chan… mending kita pulang aja," karena Hinata tahu kalau pasti akhirnya gak bakalan ketemu.
"Aduh Nee-chan… percaya deh sama aku. Udon itu memang bego, tapi dia gak tukang bohong," ujar Hanabi sambil terus menyeret lengan kakaknya untuk memasuki kawasan hutan lebih jauh.
Satu pertanyaan buat Hanabi yang keras kepala, kalau Udon bego, dari mana dia tahu ada harta karun di sini?
"Hei…"
Hinata yang berjalan di belakang Hanabi tersentak saat merasakan bahunya menerima beban lebih dari benda yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana. Kakinya berhenti dan tubuhnya mulai bergetar. Hanabi yang akhirnya sadar berjalan sendirian langsung berbalik dan menjatuhkan senter yang ia bawa. Matanya yang melotot serta wajah yang pucat semakin membuat Hinata bergidik ngeri. Pelan-pelan, dia memutar lehernya kebelakang, dan langsung berteriak kencang, "HANTU!"
"Hei, aku cuma-"
"Jangan ambil Hinata-nee, hantu!" Hanabi siap menjadi penolong kakaknya dengan melempar senter besar yang ada di dekat kakinya dan tepat mengenai kepala si hantu yang menyeramkan. Selanjutnya, yang terdengar adalah erangan kesakitan yang keras sekali.
Hutan yang gelap itu jadi berisik.
"Eh? Hantu bisa kesakitan?"
"Aku bukan hantu!" kata sosok itu sambil mengusap-usap jidatnya yang bengkak. Matanya menatap tajam pada Hanabi, sementara yang ditatap cuma bisa tersenyum kikuk. "Aku punya nama," katanya, kali ini lengkap dengan ekspresi sendu, "Namikaze Naruto."
Hinata hanya diam mengamati sosok mengerikan yang ada di hadapannya kini. Namikaze Naruto, pemuda berambut pirang dengan mata sejernih samudera itu terduduk dengan kemeja biru yang sudah tercabik-cabik. Ada luka dan memar di sekujur tubuhnya. Sebenarnya, dia kenapa?
"Aku diculik," dia mengambil jeda agak panjang, kelihatannya nafasnya mulai berat, "Tapi, untungnya berhasil melarikan diri. Kemudian aku tersesat di sini."
"Oh…"
"Ayahku… pasti sangat khawatir. Aku… ingin segera… memberitahunya kalau aku… selamat…" dia mengerang lagi. Ada darah lagi yang mengalir dari lukanya yang kembali terbuka. Nafasnya semakin cepat menahan sakit, lalu pingsan.
Saat kedua Hyuuga ini memutuskan untuk membawa Naruto ke rumah mereka, sebuah cerita baru saja menemui garis mulainya.
::
::
::
Hinata merawat pemuda itu dengan sangat cekatan. Udara malam yang sedikit basah karena embun dihiraukannya yang melangkah masuk ke kamar tamu dengan peralatan obat-obatan yang dia punya. Sepintas, ada raut kasihan di wajahnya. Lalu dia kembali melangkah mendekat, membersihkan lukanya, memberinya obat, dan terus menjaga hingga pemuda itu akhirnya tersadar keesokan harinya.
"Terima kasih," kata Naruto saat itu sambil tersenyum.
Yang akhirnya di sadari Hinata, merawat Naruto dan bersamanya sepanjang waktu menumbuhkan sesuatu yang hangat di hatinya. Melihat pemuda itu dalam waktu yang tak sebentar memberinya kesempatan untuk bisa lebih mengenali sosok yang diam dan sedang terluka. Dan perlahan, rasa senang muncul saat dia melihat senyumnya. Tapi dia kemudian tahu ini hanya berarti satu hal; perpisahan.
Naruto yang sembuh segera menelepon ayahnya, dan pulang.
Meninggalkan Hinata yang berdiri lama di depan gerbang, berharap pemuda itu turun dari mobil hitam mewahnya, berlari menghampirinya, dan bilang ada yang ketinggalan atau alasan konyol lainnya. Hinata tak berkeberatan, asal bisa lebih lama dengannya. Meski hanya beberapa menit.
Tapi pemuda itu tak pernah kembali lagi. Hanya Hinata yang terus menanti.
::
::
::
Dua tahun berikutnya…
"Tolong, jangan disebarkan."
Gedung belakang Senjuu Gakuen yang memang sepi saat sore hari, menjadi tempat bagi Karin untuk memojokkan Hinata. Dengan tangan yang memegang selembar foto, dia menatap gadis itu dengan rendah. Rambut merahnya yang berkibar karena angin jadi semakin bergelora, seolah menegaskan dirinya yang memang sedang marah.
Hinata yang memang sedang dalam posisi terjepit hanya bisa memohon.
Namun Karin mengabaikannya.
Gadis berkacamata itu malah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Buku tebal dan penuh dengan gambar warna-warni kemudian dikenali Hinata sebagai buku diarynya.
"Kita buat kesepakatan," ujarnya, "Foto dan diary ini akan aku kembalikan padamu… asalkan kau melakukan sesuatu untukku."
::
::
::
Seharusnya Hinata tahu hal ini lebih awal. Karin hanya berniat menjebaknya. Dia tak sungguh-sungguh ingin berteman dengannya. Lagi pula, siapa sih, yang ingin berteman dengan Hinata yang kuper, gak gaul, dan pendiam abis?
Cuma satu.
Ya, cuma si Uchiha Sasuke.
Ini jugalah yang biang dari semua masalahnya.
Uchiha Sasuke, pangeran Senjuu Gakuen. Dicintai para gadis dari segala usia dan lapisan masyarakat. Di sekolah, dia bahkan memiliki club yang isinya para fangirls yang emang naksir berat sama cowok bermata gelap yang benci makanan manis ini.
Hinata yang memang teman sebangku Sasuke sama sekali gak ganggu, gak berisik, dan gak tertarik sama dia. Tapi, justru itu yang bikin cowok ini –paling tidak –mau berbicara padanya. oke, memang pernyataan di awal perlu di ralat, bukan berteman. Hinata dan Sasuke gak berteman. Secara teknis, mereka cuma sering ngobrol.
Dan ngobrol dalam dunia Sasuke dan Hinata, cuma nanya pernyataan yang dijawab dengan iya, tidak, angguk-angguk, dan geleng-geleng.
Scene yang gak romantis itu ditanggapi dengan kecemburuan mendalam oleh Karin yang selalu dikacangin pangeran impiannya.
Jadi,suatu sore, Karin datang berkunjung ke rumah Hinata. Dan tanpa sengaja, saat memeriksa kamera Hanabi yang tergeletak begitu saja di meja tamu, dia menemukan gambar yang menarik. Lalu Karin muncul di sekolah dengan membawa foto yang ada gambar Hinatanya. Tanpa apa-apa.
::
::
::
Kalau sudah begini, Hinata ingin sekali memarahi Hanabi yang masih belum menghapus gambar aneh itu dari kameranya. Gambar yang tak sengaja terambil saat Hanabi masuk ke kamar di saat Hinata baru selesai mandi.
::
::
::
"Naruto itu… pangeran kuda putihmu, kan?" nadanya setengah mengejek pada Hinata, "Jadi, kita buat kesepakatan."
Hinata memucat.
"Foto ini akan ku kembalikan, asal kau berhasil pacaran dengan orang yang namanya Naruto ini. Bagaimana?"
Kalau ada yang tanya kenapa Karin membuat kesepakatan begini, alasannya tentu saja Sasuke. Kalau dia menyuruh Hinata menjauhi Sasuke, si Uchiha itu pasti bakal langsung tahu ada yang gak beres. Jadi, lebih baik dia meminta Hinata untuk mencari pacar, lalu membuat Uchiha patah hati karenanya, dan langsung muncul untuk mencerahkan dunia mendung Sasuke yang dirundung duka.
Rencana hebat?
Karin gitu loh!
Lagi pula, toh dia gak seratus persen jahat. Kan si Naruto itu cowok yang ditaksir Hinata. Jadi, anggap aja dia sudah menjadi pendorong Hinata untuk menyatakan cintanya pada cowok yang dia suka. Well, ini kedengarannya jadi misi mulia.
Karin dan misi mulia?
Oh, no!
"Kok diem? Gak setuju?"
Hinata menggeleng.
Masalahnya, Naruto itu sekolah di asrama khusus cowok.
"Oh, iya. Batasnya sampai waktu sebelum liburan musim panas."
Dan dia baru akan pulang kalau liburan musim panas.
Disaster?
Yep! Gak diragukan lagi.
::
::
::
Setelah peristiwa itu, sambil duduk dan melamun di bawah sebuah pohon rindang di tengah taman kota, Hinata bertanya, "Siapa yang akan menolongku?" Di sini, dia hanya sendiri. Hanya ada angin, rumput, awan, dan langit yang mendengar permintaannya.
"Hei, bodoh! Kau bicara sendiri?" dan seseorang yang menganggu masa suramnya.
Hinata berbalik, melihat cowok pucat yang punya mata hitam muncul dari balik pohon tempat dia bersandar. Matanya sayu. Apa ia baru tertidur?
"Jangan berisik. Kau menganggu tidurku."
Ternyata benar. "Maaf…" karena merasa bersalah, Hinata menunduk. Menyesal. Menyesal. Menyesal. Menyesal.
"Sudahlah. Jadi pacarku, ya?"
Eh?
Taman sepi, dan ada cowok keren yang minta jadi pacarnya? Ini, gak bener, kan? Jangan-jangan… jangan-jangan… dia itu…p-pe-perv-
"TIDAK!"
Suara yang menggelegar bak halilintar memenuhi angkasa, dan burung-burung terbang dari sarang mereka menjauhi Hinata.
::
::
::
"Cewek bego."'
Hinata yang udah keburu salah paham langsung menggigit bibirnya. Wajahnya sudah memerah tak karuan.
"Bukan itu maksudku. Kau hanya perlu jadi pacar bohonganku. Aku malas diledek terus."
"Hah?"
"Udah, deh. Jangan kebanyakan nanya. Aku tahu kau ingin masuk dan menyamar jadi siswa di Konoha Gakuen, kan? Aku bisa membantu. Tapi, syaratnya, kau mau jadi pacar bohonganku. Gimana?"
Hinata sebenarnya pingin nanya gini, "A-ano… tahu dari mana?" tapi berhubung cowok aneh ini udah ngelarang dia buat nanya, jadi deh pertanyaan itu disimpan dalam hati.
Kalau aja Hinata tahu dari tadi dia curhat sendiri selama setengah jam tentang kesepakatan Karin, dia pasti bakal dapat jawaban dari pertanyaannya itu.
"Kok diem sih? Cuma setiap hari Sabtu aja, kok."
"Kau benar bisa membantu?"
Anggukan yakin dari lawan bicaranya langsung membuat Hinata menyepakati perjanjian tanpa pikir panjang.
"Deal?"
"Deal."
Jabatan tangan meresmikan kesepakatan yang mereka buat tanpa hitam di atas putih. Hanya ada angin, pohon, dan rumput yang menjadi saksi awal dunia baru untuk Hinata.
Semoga Hinata selamat.
"N-namamu, siapa?"
"Sai."
::
::
::
Penyihir.
::
::
::
-:- To be continue -:-
Maaf kalau fanfiksi ini membingungkan dan agak membosankan. Saya punya keterbatasan.
Mind to Review?
-:- H. Kazuki -:-
