Disclaimer
Hetalia Axis Powers punya Hidekazu Himaruya
Lagu-lagu berikut punya The Beatles~
Summary
Sebuah fic drama yang diadaptasi dari lagu-lagu The Beatles. Ditujukan khusus untuk para Beatlemania baik yang bersedia membaca fic ini (halah!) maupun tidak. Pairing saya usahakan agar tidak crack seperti yang biasa saya buat. Ke-OOC-an, kegalauan, kejayusan, kesalahan EyD, dan jenis-jenis kecacatan lainnya banyak ditemukan dalam fic ini.
A/N
Semoga Anda tahu lagu-lagunya dan semoga saya mengetik fic ini dengan baik serta sesuai dengan lagunya.
Selamat Membaca!
-Francis' Point of View-
"Putus?" tanyaku terkejut sambil terus berjalan mengikuti pemuda itu.
"Ya. Dengar ya, Francis. Aku tidak tahan lagi melihatmu terus-terusan berdua dengan orang lain. Daripada begini, lebih baik kita putus saja," jawab pemuda bermata hijau itu dengan ketus tanpa menghentikan langkahnya. Aku terus mengikutinya hingga kami masuk ke wilayah Baker Street 221B (A/N : ada yang tahu ini rumahnya siapa? XD).
"Apa? Kalau ini soal Sey, kemarin kami hanya mengerjakan tugas bersama!" untuk kesekian kalinya aku berbohong padanya. Aku tahu aku salah. Tapi aku tak mau ia meninggalkan aku –dia adalah kekasih terbaik di antara semua orang yang pernah kukencani.
"Tuh 'kan, kau bohong lagi padaku. Sudahlah! Anggap saja kita tak pernah saling mengenal!" langkahnya semakin cepat –tanda bahwa ia serius.
"Arthur," kugenggam erat tangan kirinya agar ia berhenti, "Kumohon. Aku janji, kali ini, aku milikmu sepe –"
"POLISI! TOLONG! ADA MAHO KERAS KEPALA!" jeritan nyaring Arthur membuat beberapa polisi yang tengah menyamar celingukan. Daripada ditangkap dan dikenai denda, aku memilih lari sekencang-kencangnya menuju tempat yang biasa kukunjungi.
Taman kota hari ini terlihat cukup ramai. Lebih mengesalkan lagi, taman ini diramaikan oleh pasangan-pasangan yang bahagia. Apaan sih? Aku kesal sekali melihat tempat aku biasa duduk tengah dipakai dua insan yang tengah –ehem, lebih baik tidak kubicarakan. Kucari tempat lain –dan aku menemukannya, sebuah pohon bertinggi sedang yang rindang. Segera aku memanjatnya dan duduk di salah satu batang sambil merenungi nasib.
Yesterday, all my troubles seemed so far away
"Siapa sih yang nyanyi begitu?" kataku pelan,"Mentang-mentang suasananya memang melankolis…"
Now it looks as though they're here to stay
Oh I believe, in yesterday
Aku baru menyadari bahwa sejak tadi ponselku berdering. Saking sedihnya, aku lupa dengan nada panggilan masuk ponselku. Biarkan sajalah, toh aku tak berniat menerima panggilan dari siapapun.
"Suddenly, I'm not half the man I used to be…" tanpa kusadari, aku mulai bernyanyi sendiri dengan pelan.
"…there's a shadow hanging over me. Oh yesterday came suddenly."
Aku menghela napas sementara ponselku berhenti berdering. Ketika itu, seorang gadis berambut cokelat diikat dua berdiri di bawah pohon tempat aku duduk. Seychelles, kelihatannya ia tengah menunggu seseorang. Kubiarkan saja ia tak mengetahui keberadaanku.
"Why she had to go I don't know, she wouldn't say…"
Pikiranku melayang ke saat-saat Arthur memutuskan hubungan kami tadi. Sementara itu, Kiku datang dan menghampiri Seychelles yang memanggilnya. Mereka berbincang-bincang dengan riang.
"I said something wrong now I long for yesterday. Yesterday…"
Aku diam sebentar, mengetahui bahwa ini adalah bagian lirik yang tidak kusuka.
"Love was such an easy game to play…"
Tuh, kan. Aku kembali teringat di saat-saat aku 'main belakang' ketika aku dan Arthur masih terikat. Aku kembali teringat di saat-saat aku mempermainkan kekasih-kekasihku dulu. Aku kembali teringat bahwa selain Arthur, aku masih punya Sey, dan beberapa orang lainnya yang mengantri untuk menjadi pacarku. Aku juga ingat dengan kebiasaanku –menggoda setiap orang yang lewat di depan hidungku. Aku hanya –hanya kesulitan untuk menolak karunia Tuhan yang sangat indah seperti mereka.
"…now I need a place to hide away. Oh I believe, in yesterday."
Kembali aku memerhatikan dua mahasiswa di bawah pohon ini. Aku tersentak kaget dan hampir terjatuh dari dahan tempatku bertengger –saat melihat Kiku dan Sey berciuman! Astaga! Ilusi macam apa ini? Aku segera mengalihkan pandanganku. Harapan terakhirku, Sey, telah direnggut pemuda berambut hitam itu.
Jadi, begini rasanya dikecewakan. Begini rasanya bila harapanmu pupus, dan pergi begitu saja tanpa menyisakan apapun.
Di tengah-tengah rasa sedihku, aku menyadari bahwa lagu itu belum selesai kunyanyikan. Aku tak suka sesuatu yang menggantung tanpa akhir. The show must go on, baby.
"Why she had to go I don't know, she wouldn't say. I said something wrong now I long for yesterday..."
Berakhir laguku, berakhir pula pertemuan kedua insan di bawah pohon ini. Mereka pergi begitu saja tanpa tahu aku di sini –sambil bergandengan tangan. Aku menghela napas panjang –dan tiba-tiba, seseorang menyapaku dari bawah sana.
"Kalau menggalau jangan di sini," katanya dengan suara serak-basah yang kukenal.
"Kalau iseng jangan sekarang," balasku. Tanpa diduga, dia ikut naik ke tempat aku duduk dan duduk di sana dengan riang.
"Haha~ aku hanya bercanda..." katanya sambil 'nyengir kuda.
"Kalau kau jatuh, aku tak mau menggendong. Dahan ini tak kuat menahan dua orang," kataku acuh. "Aku sedang tak ingin bergurau sekarang, Gilbert."
Lawan bicaraku hanya menarik napas.
"Hey France, don't make it bad. Take a sad song, and make it better..."
"Ah, diam kau, nggak usah nyanyi. Pakai merubah lirik segala lagi," kataku dengan senyum dari sudut bibirku.
"Remember, to let her into your heart," Gilbert merangkulku dengan sayang,"then you can start to make it better."
"Oh, sayangnya kini aku tak memiliki dia lagi, Gilbert. Sudahlah! Orang bersuara serak sepertimu tidak pantas menyanyikan lagu yang kusuka."
"Berisik kau, seharusnya kau berterima kasih padaku yang telah capek-capek naik pohon untuk menghiburmu!"
Aku menarik napas. Sudah cukup kehilangan Arthur, aku tak mau Gilbert menjauhiku juga.
"Justru 'Beliebers' sepertimulah yang harusnya bersyukur karena kuperbolehkan menyanyikan lagu yang harusnya dinyanyikan oleh 'Beatlemania' seperti aku."
"Sialan kau! Kau pikir aku ini om-om pedofil yang nggak 'awesome' dan–"
Gilbert marah-marah sambil memandangku dengan tatapan kesal. Tanpa sadar, aku mengembangkan senyum penuh kesedihan yang ternyata dapat dirasakan olehnya.
"Yaaah, kau benar-benar sedih rupanya," suaranya mendadak berkesan perhatian, "padahal aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Apa itu?" mendadak ada sedikit rasa semangat dalam hatiku.
"Nah. Begitu dong, semangat!" Gilbert menepuk (baca : menghajar) punggungku dengan keras hingga aku hampir jatuh, "Tunggulah di sini. Jangan bicara apapun selama pertunjukan berlangsung, oke?" aku mengangguk sementara ia meloncat turun dari pohon. Ia menunggu dan menunggu di bawah sana, dan naluri jahilku muncul lagi.
"Mana? Aku bosan menonton bocah albino yang tak melakukan hal menarik apapun," teriakku santai. Rasa sedihku menghilang sedikit.
"Sabar dong –nah, itu dia!" kulihat ia melambai pada seorang wanita berambut cokelat bergelombang yang dihiasi bunga –yang sudah kukenal betul. Dia menghampiri Gilbert segera dan menanyakan apa maunya mengajaknya bicara di bawah pohon ini.
"Hehe, Elizaveta, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, nih..."
"Cepat katakan, kalau begitu."
Kulihat Gilbert tertawa dan mendehem sebentar. Mau apa sih, dia?
"Oh yeah, I'll tell you something. I think you'll understand..."
"Uh –uh..?" Elizaveta terlihat bingung –sementara aku menahan diri untuk tidak berteriak. Aku tahu ini lagu apa!
"When I say that something. I wanna hold your hand..."
"Eh, Gilbert..." Elizaveta terlihat bingung, sementara Gilbert mulai berjalan memutarinya. Aku tidak percaya –dia 'nembak' Elizaveta?
"I wanna hold your hand, I wanna hold your hand."
"Oh, please, say to me. You let me be your man..."
Gilbert berlutut di depan Elizaveta sambil meletakkan tangannya di dadanya (layaknya pangeran-pangeran kerajaan yang menyatakan cinta). Ampun –apakah kau benar-benar Gilbert?
"And please, say to me. You let me hold your hand. You'll let me hold your hand..."
Suara Gilbert mendadak mengeras sedikit hingga beberapa mahasiswa yang lewat memilih untuk menonton 'melodrama' gratis itu untuk sementara. Dalam waktu singkat, tempat kami sudah dikerubungi banyak orang. Seharusnya aku turun dari tempatku dan menarik bayaran, nih. Haha. Lupakan saja lelucon garingku ini.
"Now let me hold your hand. I wanna hold your hand..."
Dapat kulihat Gilbert mengecup lembut tangan kanan Elizaveta yang tersentak. Para penonton histeris –jelas saja. Elizaveta sendiri terlalu kaget hingga tak bisa mengatakan apapun.
"And when I touch you I feel happy, inside. It's such a feeling that my love..."
Gilbert kembali berdiri dan menyentuh dagu Elizaveta dengan jarinya –seakan ingin menciumnya. Elizaveta membuang muka, pipinya bersemu merah karena marah. Penonton ber 'oooh' ria.
"I can't hide, I can't hide, I can't hiiiide..." beberapa penonton menutup telinga mereka sementara suara serak Gilbert mengangkasa.
"Yeah you, got that something. I think you'll understand..."
Gilbert mengacungkan jari telunjuknya kepada penonton, kemudian kembali menatap Elizaveta yang sepertinya mulai mengerti dan melipat kedua tangannya di dada.
"When I feel that something. I wanna hold your hand. I wanna hold your hand, I wanna hold your ha-a-and."
Gilbert mempertahankan kontak matanya –dan menggendong Elizaveta ala pengantin yang baru menikah tepat saat lagu itu berakhir. Tepuk tangan riuh dari penonton –dan wajah marah Elizaveta samasekali tidak dihiraukannya. Dia tak bergerak selama kira-kira lima detik.
"EH –Gilbert –turunkan aku." Gilbert menurunkan Elizaveta dengan senyum gembira –menunggu jawaban dari sang target. Tapi, Elizaveta tak kunjung menjawab. Hanya merapikan sedikit baju dan rambutnya, kemudian menatap Gilbert dengan tatapan kesal.
"Kenapa kau tadi?" teriaknya. Mahasiswa di sekeliling mereka terlihat terkejut.
"Menyatakan perasaanku padamu," jawab Gilbert santai. Otomatis aku menahan tawaku –sekaligus jeritanku karena aku tahu dia pasti akan ditolak. Elizaveta menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan ragu-ragu.
"Gilbert, kalau boleh jujur, aku –aku senang sekali sekarang," kata Elizaveta, dapat kusaksikan keriuhan penonton dan Gilbert yang tersenyum cerah, "belum pernah ada yang menyatakan cinta padaku dengan cara –dengan cara seperti ini."
"Jadi kau mau denganku, kan?" Gilbert bertanya semangat. Mahasiswa di sekeliling kami mendadak beku –dan aku tahu jelas kenapa. Inilah akibatnya jika kau berteman dengan albino yang tak pernah mau mendengar gosip (dan mencari tahu mengenai keadaan mahasiswa seangkatannya).
"Oh, Gilbert," jawab Elizaveta keras, "aku sudah jadian dengan Roderich!"
Hening. Di tengah-tengah kesunyian itu, aku dapat mendengar suara pecahnya hati Gilbert menjadi serpihan. Pemuda itu kini terpaku membatu. Satu per satu mahasiswa yang tadi mengerubungi melangkah menjauh, hingga kami hanya bertiga sekarang.
"Tapi..." suara tegar Gilbert terdengar rapuh, "...tak ada seorang pun yang memberitahuku... Kenapa tiba-tiba sekali, sih?"
"Kenapa kau tak tanya?" bentak Elizaveta, "Francis saja tahu, masa kau tidak."
Aduh! Sial, kenapa dia bawa-bawa namaku, sih? Aku dapat melihat Gilbert mengirim sebuah tatapan mematikan untukku dari bawah sana. Tak lama, Elizaveta pergi begitu saja. Gilbert sih tidak tahu dia ke mana, tapi dari atas sini aku bisa melihat dia berlari menghampiri Roderich yang baru saja keluar dari ruang musik.
Kasihan Gilbert. Padahal, aku tahu sebenarnya dia punya niat baik –menghiburku agar aku cepat melupakan Arthur. Kulihat di berjalan lesu ke belakang pohon ini. Dalam sekejap, ia sudah ada di sampingku, duduk lemas tanpa mengucap apa-apa. Ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kau tak beritahu aku?" tanyanya tidak bersemangat. Rasa bersalahku semakin menjadi-jadi.
"Sebelum aku memberitahumu, kau sudah turun duluan," aku berbohong lagi. Alasanku sebenarnya adalah merahasiakan kabar ini hingga Gilbert sudah cukup siap untuk mendengarnya. Tak kusangka jadinya malah seburuk ini. Aku yakin Gilbert tahu bahwa aku berdusta padanya tadi, karena mata merah-mengerikannya menatapku tajam di sela-sela kepedihan hatinya.
Di saat seperti ini, tak ada gunanya bicara dengan dia. Kurasa, The Beatles akan membantuku berdamai dengannya.
"When I found myself in times of trouble –" nyanyianku dipotong olehnya.
" –Mother Mary comes to me, ya, ya. Aku tahu lagu itu. Jadi sebaiknya kau diam saja deh," uh-uh, maaf Gilbert, but the show must go on.
"She said words of wisdom –"
" –let it be."
Suara pemuda lain yang kukenal tiba-tiba terdengar jelas dan merdu dari sebelah kananku.
"Antonio," kata Gilbert. Yang dipanggil hanya tersenyum.
"Halo kawan-kawan," jawabnya polos dan riang. Antonio telah berjongkok tanpa hilang keseimbangan di dahan yang sama denganku!
"Hei, dahan ini tak kuat kalau –"
" –hiraukan saja ocehan 'Mother' Francis. Minimal masih ada seorang anti galau di antara kita," Gilbert berusaha bercanda, namun tatapan matanya kepada pemuda Spanyol itu terlampau dingin. Mendadak senyum di wajah lawan bicaranya memudar sedikit –namun ia berusaha untuk tak kehilangan senyum itu. Ia menarik napas panjang –dan mulai 'mendongeng' kepada kami.
"Tugas yang kubuat selama tiga minggu lebih ditolak Pak Hitler lagi hanya karena salah ejaan pada tiga kata, buku-buku yang kubawa hari ini ternyata jauh berbeda dengan jadwal kuliahku hari ini, sup tomat kesukaanku ditumpahkan oleh Alfred sebelum jam makan siang, tumpahannya membasahi total baju Bela hingga ia menamparku karena dia pikir aku sengaja, tadi aku terkunci di toilet dan baru bisa keluar sekarang, gara-gara itu aku tak ikut kuliahnya si 'pembunuh' Stalin, dan ketika aku memeriksa ulang tasku baru-baru ini, kunci apartemen dan dompetku sudah tidak ada samasekali. Apakah aku masih punya alasan untuk disebut anti galau?"
Kami berdua 'kicep' mendengar penjelasan panjang dari pemuda itu –yang kini bernapas terengah-engah. Rupanya ia mengalami hari yang lebih berat dari kita –pantas saja tampangnya kacau begitu.
"Benar-benar times of trouble, kalau begitu," Gilbert menggumam santai sementara Antonio melompat duduk di dahan kami –hingga berbunyi "KRAK" keras.
"Antonio –awas kau kalau kita sampai jatuh!" jeritku sambil melihat khawatir daratan di bawah kami. Pemuda dengan bekas tamparan yang masih cukup jelas di pipinya itu hanya tersenyum jahil (baca : stress) kemudian lanjut bernyanyi keras-keras dengan Gilbert.
"And in my hour of darkness she is standing right in front of me..."
"Hei –turun!"
"...speaking words of wisdom, let it –"
"HYAAA!"
-sound effect : GUBRAK!-
Dahan yang kami duduki mendadak patah –dan dalam sekejap, kami sudah jatuh tersungkur di tanah. Mendadak kami terdiam, tetapi kemudian tertawa lepas.
"Kau berteriak seperti wanita, 'Francisca'!" ujar Gilbert di tengah tawanya.
"Apanya?" aku menyangkal, "Kukira itu kau!"
Kami terus-terusan tertawa hingga Antonio bangkit dari 'kejatuhan' sambil berhenti tertawa.
"Ya sudahlah, let it be saja."
Lupa aku, dialah yang paling punya banyak masalah di antara kami. Aku dan Gilbert ikut berdiri dan merangkulnya. Dengan spontan, kami bertiga mengakhiri lagu tadi dengan riang bersama-sama.
"Let it be..."
"Haha, seharusnya kita masuk dapur rekaman," komentar Antonio.
"Ngimpi," timpal Gilbert sambil tertawa lagi, "dapur umum sih iya."
"Aduh, pantatku masih sakit nih, awas kalian berdua," kataku pelan sambil meringis. Mereka berdua tertawa riang di atas penderitaanku.
Yah, walaupun begitu, terima kasih Tuhan, karena masih mengizinkan aku hidup dan bersahabat bersama orang-orang ini.
Tanpa mereka, aku pasti sudah kehilangan kewarasanku.
I think I'm gonna be sad. I think it's today, yeah.
The girl that's driving me mad, is going away.
-End of Beatledrama, Times of Trouble-
A/N
Bagaimana? Berkesankah? Terima kasih sudah membaca! Review dianjurkan : )