Hai semuanya! sori kalau updatenya lama...

skrang lagi buru-buru, jadi gak bisa nulis nama para reviewers. Mohon maaf yaa...

Makasih banyak bagi semua pembaca yang udah setia baca cerita ini sampai akhir...

jadi langsung ajaaa! Enjoy the last chapter!

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: OOC, typos, alur cepat


"Hei, kau tahu sesuatu?"

"Apa?"

"Aku mencintaimu."


I LOVE YOU

.

.

.

.

"Jadi, kau mencintainya?" Mikoto bertanya dengan pelan. Matanya terpaku pada Kushina dan Minato yang berdiri berdampingan. Rahang Minato mengeras ketika dia mendengar pertanyaan itu. Dia menundukkan wajah, seakan-akan tidak berani menatap mata Mikoto. Namun, Kushina meremas tangan lelaki itu. Tangan Kushina yang hangat seakan-akan membawa keberanian pada diri Minato. Minato menoleh ke arah Kushina dan mereka berdua saling bertatapan. Setelah mengangguk pelan, Minato kembali menatap mata Mikoto.

"Aku… jika aku bilang kalau aku tidak mencintaimu maka aku berbohong," dia mendesah pelan. Mata Mikoto tetap melekat padanya. "Aku mencintaimu, makanya aku bersedia menikah denganmu. Aku bahagia denganmu di sisiku. Tapi…" Minato meneguk ludah. "Rasa cintaku terhadapmu berbeda. Aku mencintaimu… karena aku merasa aku harus mencintaimu. Sedangkan perasaanku terhadapnya…" Minato melirik ke arah Kushina. "Seakan-akan sebuah kebutuhan, bukan keharusan. Karena itu, aku…"

"Cukup." Mikoto menempelkan telunjuknya di bibir Minato. Air mata menggenang di pelapuk matanya. Wanita berambut hitam panjang itu menarik napas dalam-dalam. "Kau… Misaki kan?" Mikoto menoleh ke arah Kushina. Wanita berambut merah itu menganggukkan kepala. "Pertama-tama, terima kasih karena sudah menyelamatkanku."

Kushina menatap Mikoto dengan tatapan yang dingin. "Aku tidak berniat menyelamatkanmu. Aku hanya membantu Toujo. Dia terlihat… sangat sengsara ketika memikirkanmu yang diculik," Kushina tersenyum angkuh. Dia melepaskan tangan Minato dan berjalan menjauh dari lelaki itu. Minato tersentak. Dia mengulurkan tangannya, hendak meraih tangan Kushina lagi. Namun, wanita itu berjalan mundur, menghindari lelaki berambut pirang yang menggapainya. "Aku mencintainya. Tapi aku bukan wanita rendahan yang mencuri suami seseorang." Mata violet Kushina menatap Minato dengan tatapan enggan. Dia berjalan, menjauhi Minato dan Mikoto yang menatapnya dengan tatapan terbelalak. "Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan kalian. Selamat tinggal."

"Sejak kapan kau jadi emosional seperti ini?" Kakashi Hatake mengangkat sebelah alisnya. Pemuda berambut perak itu menatap Rin, sahabatnya yang sedang duduk di depan televisi sambil mengusap air mata. "From Hatred Into Love, bukan?"

"Film ini ditayangkan nyaris dua tahun yang lalu tapi masih populer sampai sekarang. Aku menyesal karena baru sekarang menonton film ini…" Wanita berambut kecoklatan pendek itu menoleh ke arah Kakashi. "Sedih sekali. Misaki berusaha untuk memasang wajah angkuh dan tegar seperti biasa, tapi matanya berlinang-linang seperti itu…"

"Lalu? Apa ending dari film itu?" tanya Kakashi dengan wajah datar.

"Aku tidak tahu… belum selesai menonton…" Rin dengan cepat menyeka air mata yang tersisa, mulai merasa malu karena sahabatnya sadar bahwa dia menangis. "Tapi cerita ini sangat mengharukan…"

Kakashi menatap Rin yang mulai menangis lagi. Mata pemuda tujuh belas tahun itu melirik ke layar televisi, di mana dia melihat dua aktor terkenal yang memerankan peran mereka dengan sangat bagus.

"Hei, kau mau bertemu dengan dua pemeran utama From Hatred Into Love?" tanya Kakashi tiba-tiba.

Mata Rin melebar ketika dia mendengar pertanyaan itu. "Bertemu Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki?"

"Kushina Namikaze." Kakashi membenarkan.

"Bertemu di mana?" Rin beranjak dari sofa, menatap Kakashi seakan-akan dia menatap hantu di depannya. "Kudengar kalau mereka akan tampil di acara 'Sambut Pengantin Baru' itu!"

"Setelah acara itu, mereka akan kembali ke acara makan malam. Yah… hanya acara kecil antara anggota kru From Hatred Into Love."

"Kru From Hatred Into Love? Dan kau diundang?" tanya Rin, semakin bingung.

Kakashi terdiam sesaat. Obito tertawa terbahak-bahak ketika mendengar hal ini. Dia tidak ingin bilang pada Rin alasan kenapa dia diundang, namun Rin bukan tipe wanita yang akan menertawakannya. "Aku belum bilang padamu kalau aku ini salah satu penata rias di sana," ujar Kakashi dengan wajah datar, membuat Rin melongo semakin lebar.

.

.

.

.

.

"Kushina-san? TRUTH or DARE?"

Kushina Namikaze menggertakkan gigi. Wanita berambut panjang itu berusaha sebisa mungkin untuk memasang senyuman lebar. "Truth," jawabnya dengan nada sehalus mungkin. Sabar, sabar. Dia terus membatinkan mantra tersebut di dalam kepalanya. Setengah jam lagi. Setengah jam lagi kau akan bebas dari neraka ini. Kushina melirik sesaat ke arah suaminya. Lelaki berambut pirang itu memasang senyuman kaku. Dia tahu kalau istrinya sudah tidak sabar untuk menampar pembawa acara yang ada di depan mereka ini.

"Baiklah!" Wanita setengah baya yang menjadi pembaca acara itu berseru kencang. "Apakah benar kalau ini," Maya Yukino menyodorkan selembar foto. "adalah wajah anda ketika masih remaja?" Dalam sekejap, semua kamera yang sebelumnya tersorot pada Kushina dan Minato langsung tertuju pada foto yang berada di tangan Maya Yukino tersebut. Sekarang penduduk dari seluruh Jepang bisa melihat sosok gadis berwajah sebulat tomat dengan jerawat yang memenuhi wajahnya.

Wajah Kushina terasa terbakar. Dia tidak percaya kalau foto masa lalu itu bisa muncul di tangan nenek lampir yang ada di depannya ini. Dalam hati, Kushina sangat bersyukur akan kehebatannya dalam berakting. Dengan mudah dia menyembunyikan keinginan terbesarnya untuk menampar, menjambak, atau menendang wanita yang ada di depannya ini. Tidak sedikit jumlah artis atau aktor yang dipermalukan dalam acara 'Sambut Pengantin Baru' yang dibintangi oleh penyihir bernama Maya Yukino ini. Kushina masih tidak mengerti mengapa manager Minato dengan seenaknya setuju akan tawaran untuk tampil di acara ini. Memang, dia akui kalau pernikahannya dengan Minato empat bulan lalu membawa gempar bagi para penduduk Jepang. Banyak acara televisi yang mengantri untuk meliput berita tentang mereka berdua. Dia selalu menolak, dan memaksa Minato untuk melakukan hal yang sama. Dia tidak ingin dunia mengetahui kehidupan pribadi mereka.

Memang, sebagai artis, kehilangan sesuatu yang pribadi itu bukanlah masalah yang besar. Tapi… bayangkan saja. Nyaris tiap hari banyak wartawan yang datang, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang nyaris membuat Kushina menjambak rambutnya sendiri. Alasan kenapa mereka menikah, bagaimana kehidupan perhikahan mereka, di mana mereka berbulan madu, berapa anak yang akan mereka dapat, apakah dia sudah hamil atau belum, apakah Minato akan berselingkuh, bagaimana kehidupan seks mereka, dan masih banyak lagi.

Minato melirik sesaat ke arah Kushina. Keringat dinginnya mulai muncul ketika dia melihat raut wajah Kushina yang sangat tenang. Minato bisa merasakan tangannya yang mulai gemetar ketika melihat Kushina melontarkan senyuman termanis miliknya. "Ah! Kalau aku bisa memberimu nama julukan, aku pasti akan menamaimu penguntit, Yukino-san." Kushina terkekeh, masih memasang senyuman lembutnya. "Tentu saja itu aku. Kira-kira itu diriku ketika masih berusia empat belas tahun."

"Oh? Begitukah? Ternyata sumber-sumber yang kudapat sangatlah akurat!" Maya Yukino cekikikan. "Banyak yang percaya kalau wajah yang kau dapat sekarang adalah hasil dari operasi plastik. Apakah itu benar?"

"Tentu saja itu kabar palsu," Kushina tersenyum semakin lebar. "Tapi harus kuakui, sistem operasi plastik di Jepang sudah sangat maju sekarang. Contohnya saja, wajah Yukino-san. Padahal sudah berusia nyaris enam puluh tahun, tapi masih terlihat seperti empat puluhan ya? Yukino-san melakukan operasi itu di rumah sakit mana?" Kushina balas bertanya dengan nada tidak berdosa. Di detik itu juga, suara tawa menggelegar dari kursi para penonton. Minato sudah nyaris tertawa ketika melihat wajah Yukino yang langsung memerah. Diam-diam, dia memuji istrinya.

"Ah, Minato-san? Truth or dare?" Yukino cepat-cepat beralih ke arah Minato. Lelaki yang duduk di sisi Kushina itu terdiam sesaat, memikirkan jawaban yang tepat.

"Truth." Akhirnya Minato menjawab.

"Menurut kabar yang kudapat, Kushina-san dulu berada di satu sekolah denganmu. Dan dia sangat membenci dirimu. Apakah itu benar?"

Kushina bisa mendengar seruan kaget para penonton yang menyaksikan acara ini secara langsung. Wanita itu sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Apa mau penyihir ini? Memisahkan mereka berdua? Memberi kesan buruk kepada para penonton?

"Mmm…" Minato bergumam. Tangannya tiba-tiba melingkar ke arah bahu Kushina, berusaha menenangkan wanita itu. "Aku sadar kalau istriku pernah membenciku dulu, ketika kami masih remaja." Lelaki itu tersenyum lebar. "Tapi jika Yukino-san bertanya apakah fakta itu masih penting sekarang, maka aku akan menjawab tidak." Ucapan Minato membawa keheningan pada para penonton. "Aku cukup yakin bahwa istriku mencintaiku sekarang. Dia memang jarang mengakui kalau dia mencintaiku. Namun setiap sentuhan dan ciuman yang dia berikan padaku selalu menuju kepada kalimat 'aku mencintaimu'." Minato menundukkan wajahnya dan menempelkan bibirnya di kening Kushina. Di detik itu juga, para penonton menjerit girang. Ada yang bahkan menangis terharu menatap aksi Minato yang penuh akan kasih sayang. Kushina tidak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya sehingga membuat para penonton menjerit semakin kencang.

"Baiklah! Demikian acara hari ini! Terima kasih banyak kepada suami istri Namikaze!" Maya Yukino cepat-cepat menutup acara, mengabaikan para penonton yang protes. Kushina dan Minato beranjak. Mereka menjabat tangan Maya Yukino dengan senyuman lebar terpasang di wajah mereka. Di detik ketika layar ditutup, Minato langsung menarik istrinya, berusaha untuk menjauhkan Kushina dari pembaca acara yang sangat dibencinya itu.

"Dia pikir hal itu lucu, ya!" Kushina meraung di detik mereka berdua sampai pada ruangan ganti mereka. "Mengorek masa lalu seseorang! Aku bisa saja menuntutnya gara-gara ini, dattebane!"

"Yah… kau bukanlah artis pertama yang mengatakan hal itu," Minato meraih kancing kemejanya dan melepaskan tiga kancing teratas yang mencekik lehernya sejak tadi. "Tapi banyak penonton yang suka dengan acara konyol ini."

"Huh!" Kushina mendengus. Wanita itu menyusupkan jari-jarinya di balik rambut merah yang masih disanggul itu. "Argh! Penata rias sialan! Berapa jepitan yang mereka pasang di rambutku!" Dia nyaris saja menjambak rambutnya begitu saja kalau Minato tidak menahan tangannya. Dengan sabar, lelaki itu melepaskan setiap jepitan yang menyelip di rambut Kushina.

"Nah," Minato tersenyum lebar. Rambut Kushina yang lembut jatuh dengan mulus, bertengger di bahunya. Tangan Minato mendarat di leher dan bahu Kushina, mengelus kulit yang terekspos itu. Dia bisa merasakan tubuh Kushina yang tegang mulai melemas sedikit demi sedikit. "Happy now?" Minato menundukkan kepala dan berbisik pelan di telinga Kushina. Wanita itu bergidik ketika dia merasakan bibir Minato yang mendarat di lehernya. Minato terkekeh sesaat sebelum melepaskan ciumannya. Mata birunya menatap wajah Kushina dengan tatapan yang hangat, membuat wajah wanita itu terbakar. "Kita lanjutkan nanti."

Kushina hanya bisa mendengus, berusaha menghilangkan rona merah di wajahnya. Besar kemungkinan kamera pengintai dipasang di balik ruangan ganti ini. Mereka berusaha untuk menyimpan hal-hal pribadi dari media. Sesekali Kushina merasa ingin menjadi orang normal, tidak perlu memasang kebohongan di depan kamera. Sejak memerankan Misaki Kouza, dia menjadi sangat tenar. Banyak sutradara yang memohon supaya dia memerankan peran utama dalam film-film yang lain. Tapi, tentu saja dia menolak. Sekarang dia bekerja untuk Tsunade. Kembali menjadi model untuknya. Minato sendiri melakukan hal yang sama dengan Kushina, dia menolak tawaran para sutradara terkenal lainnya. Sekarang lelaki itu bekerja sama dengan Jiraiya, menulis naskah dan menjadi produser untuk sebuah drama. Drama itu memakan waktu yang cukup lama, namun penghasilan yang didapat bisa dibilang lebih dari cukup.

"Aku suka dengan tokoh utama yang ada di drama itu," Kushina meringis. Mereka berdua berjalan melalui pintu belakang, menghindari media dan para penggemar. "Naruto bukan? Nama yang unik."

"Jiraiya mendapatkan nama itu ketika dia sedang makan ramen," Minato tertawa, membuka pintu mobil untuk Kushina.

"Bocah yang pantang menyerah, dan berusaha untuk meraih cita-citanya meski banyak hambatan," Kushina tersenyum lebar. "Aku suka! Hei! Kalau kita punya anak laki-laki, mau menamakan dia Naruto?"

Mata Minato terbelalak. "Kau hamil?" tanyanya langsung.

"Tentu saja tidak!" Kushina mendengus. "Hanya saja… kalau suatu hari kita punya anak, mau menamai dia Naruto?" Wanita itu tersenyum lebar. "Aku ingin dia menjadi seseorang yang pantang menyerah, seperti Naruto yang ada di drama itu."

"Haha, kita harus minta ijin Jiraiya dulu untuk itu." Sambil menyeringai, Minato menjalankan mobilnya. "Naruto akan menjadi nama yang bagus."

"Eh eh, Nii-chan mengirimkan foto baru barusan!" Sang mulut-motor Kushina kembali berseru dengan nada girang. "Lihat! Lihat! Elena dan Mike lucu sekali ya!" Kushina menyodorkan ponselnya. Minato melirik sekilas ke arah sepasang anak kembar yang sedang berpelukan. Dua bocah yang berambut coklat dengan sepasang mata kuning yang terang.

"Tidak ada yang mewarisi rambut merah Ryu, hah?" Minato terkekeh sesaat.

"Yah… kata Darrell rambut mereka berdua akan terlihat merah di bawah sinar matahari," Kushina masih tersenyum, mengamati foto keponakannya yang menggemaskan. Kushina tidak tahu kenapa, namun akhir-akhir ini dia suka mengamati anak kecil. Kushina baru sadar bahwa ada sesuatu yang lebih menggemaskan daripada anjing, hamster dan kucing. Jujur saja, ketika Minato melamar, mengajaknya menikah, dia sama sekali tidak terkejut. Tidak menjerit atau pun menangis terharu seperti wanita-wanita yang ada di televisi.

Dua tahun lalu, mereka menghabiskan waktu seperti biasa, dia mendengarkan musik dan Minato membaca buku. Lacter berbaring di depan kaki mereka. Kepalanya masih bersender di dada Minato ketika Minato melontarkan kalimat, "Mau menikah?". Minato tidak berlutut di depannya, tidak menyodorkan cincin berlian, tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menatap Kushina dalam-dalam. Kushina tahu kalau dada Minato berdetak kencang, dia tahu kalau Minato sudah tersipu malu. Dan dia juga tahu kalau Minato serius.

"Mmm… kukira kita memang sudah menikah. Secara tidak langsung," Kushina tertawa. Memang, mereka tinggal bersama. Tidur bersama, meski Minato tidak melakukan apa-apa. Tentu saja, pernikahan mereka menyebar dengan sangat cepat di internet. Ryu dan Darrell kembali ke Jepang, membawa dua bocah kembar yang masih berusia setahun lebih. Ryu menceramahi Minato seakan-akan tidak ada hari esok. Mengancam untuk membunuhnya kalau dia melakukan sesuatu yang buruk terhadap Kushina. Dan sejauh ini… tidak ada yang aneh selain perubahan emosi yang ada di dalam diri Kushina.

Dia suka melihat anak kecil, dia bereksperimen dalam setiap jenis makanan, bernyanyi semakin sering dan bahkan menanam bunga.

Oke, aku akui kalau aku menjadi aneh, batin Kushina. Dia mempunyai folder foto tersendiri untuk gambar bayi-bayi yang sangat disukainya. Si kembar Mike dan Elena, Itachi Uchiha, putra Mikoto dan Fugaku. Dia bahkan berhasil menemukan foto Minato ketika masih bayi dan langsung memajang foto tersebut di sebelah tempat tidur mereka. Minato selalu mengerang setiap kali dia melihat fotonya yang menyeringai hanya dengan dua gigi depan itu. Ingin sekali rasanya dia merampas foto memalukan itu dari Kushina. Namun istrinya tidak akan tidur sebelum menertawakan foto itu. "Kau sangat menggemaskan! Apa salahnya memajang foto ini?" Kushina selalu membela diri setiap kali Minato meminta foto itu. Minato biarkan saja Kushina memajang foto masa kecilnya. Namun, di hari-hari berikutnya, kamar mereka berdua sudah penuh akan foto masa kecilnya. Ketika dia menangis karena mengompol, ketika kepalanya masih botak, dan ketika dia bugil setelah habis dimandikan.

"Astaga! Kecil sekali!" Kushina selalu tertawa terbahak-bahak setiap kali melihat foto itu. "Sangat menggemaskan!"

Seumur hidupnya, itulah saat pertama kali di mana Minato menyalahkan ibunya. Bisa-bisanya ibunya memberikan foto-foto memalukan itu pada Kushina.

"Wanita memang begitu," Fugaku menjawab ketika Minato berkonsultasi padanya. "Tapi mereka akan berhenti mengagumi bayi-bayi lain ketika mereka sudah mempunyai bayi sendiri."

Minato tahu kalau dia sangat menginginkan bayi Kushina. Dia ingin mempunyai anak, dan membangun keluarga dengan Kushina. Dia tidak gila anak kecil seperti Kushina. Dia juga tidak menginginkan bayi-bayi menggemaskan yang ada di televisi. Dia menginginkan bayi Kushina. Menginginkan anak mereka berdua. Tapi tidak sekarang, batin Minato. Jepang masih heboh atas pernikahan mereka. Dia tidak ingin mereka semakin heboh dengan kehamilan Kushina. Kushina juga memikirkan hal yang sama. Mereka berdua menginginkan anak. Namun tidak sekarang. Minato menghela napas ketika memikirkan semua itu. Sampai saat itu tiba, dia harus bertahan dengan Kushina yang 'mengagumi' foto-foto masa kecilnya.

.

.

.

.

.

"Kudengar kalau si Kakashi akan membawa seseorang di acara nanti malam," ujar Kushina sambil mengenakan kalung pemberian Minato. Kalung sederhana yang berbandul permata merah mungil itu melingkar di lehernya yang mulus.

"Siapa?" Minato menghempaskan tubuhnya di sofa dan meraih remote televisi. "Oh…" gumam Minato ketika dia menatap wajahnya sendiri di layar. "Mereka masih menayangkan From Hatred Into Love."

"Pacarnya mungkin?" Kushina langsung duduk di sebelah Minato, ikut menatap layar televisi. Matanya terpaku pada sosok Minato yang berbisik pelan di telinganya.

"Hei, kau tahu sesuatu?"

"Apa?" Misaki Kouza tersenyum simpul.

"Aku mencintaimu."

Minato tersenyum singkat ketika melihat wajah Kushina yang merona. Dia melingkarkan tangannya di sekeliling Kushina. "Kenapa? Kau tahu kan kalau itu bukan sekedar akting?" Minato menunjuk ke arah layar. Kushina tidak bisa menjawab. Dia hanya menyenderkan kepalanya di bahu Minato. Perlahan-lahan, wajahnya yang merona mulai pudar.

"Aku sering berpikir… kalau cerita ini…" Kushina menunjuk ke arah layar. "sangat ironis."

Minato tidak menjawab. Mata birunya sekarang terpaku pada sosok Kushina yang berakting sebagai Misaki Kouza.

"Aku tahu."

"Jangan pergi." Toujo kembali berbisik, setengah memohon. "Tetaplah di sisiku. Jangan pergi."

Kushina terdiam, menatap dirinya yang menyentuh dada Minato sambil berbisik, "Aku akan selalu ada di sisimu.".

"Ironis ya?" tanya Minato.

"Iya," Kushina berbisik, menempelkan wajahnya ke bahu Minato. "Aku… terkadang tidak bisa menerima ending cerita ini. Kenapa Misaki harus berpisah dengan Toujo? Di saat ketika dia berjanji bahwa dia akan selalu berada di sisi Toujo, dia malah berpisah dengan lelaki itu."

"Misaki berpikir untuk melindungi Toujo. Tidak sedikit anggota gengster yang masih mengincar Misaki…" jawab Minato. "Aku sendiri… kalau aku berada di posisi Misaki aku pasti…"

"Akan kubunuh kau kalau kau meninggalkanku," Kushina langsung menggeram, membuat Minato tertawa singkat. "Sungguh," dia menatap Minato lekat-lekat. "Jangan pernah meninggalkanku."

Minato hanya bisa terpaku melihat perubahan hati Kushina yang tiba-tiba ini. Dia tahu kalau Kushina sangat tidak terima akan ending dari cerita From Hatred Into Love. Sampai saat ini, Kushina masih belum bisa terima. Minato tidak menyalahkan hal itu. Siapa yang menginginkan ending yang tragis seperti ini? Misaki Kouza, menghilang secara tiba-tiba ketika Toujo Andou sedang mengurus surat cerai dengan istrinya, Kiyora. Toujo mulai berkenala, berusaha menemukan Misaki yang menghilang. Tak lama kemudian, dia mendapat berita bahwa Misaki sudah tewas karena tabrak lari. Toujo sadar bahwa bukan tabrak lari yang menyebabkan kematian Misaki, melainkan anggota gengster yang masih mengincarnya.

Aku akan selalu ada di sisimu.

Kalimat Misaki pada saat itu hanyalah sebuah kebohongan. Sebuah kebohongan untuk melindungi nyawa Toujo Andou.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Kushina." Minato berbisik di telinga Kushina. "Sungguh."

"Janji?" Wanita itu menyodorkan jari kelingkingnya. Sambil tersenyum lebar, Minato mengaitkan jari kelingkingnya.

"Janji." Dia menundukkan wajah, memejamkan matanya. Di detik kemudian, dia merasakan bibir lembut Kushina yang mendarat di bibirnya. Masih dengan jari kelingking yang masih terkait, Minato memperdalam ciumannya, membuat Kushina mengerang pelan.

"Kau tahu," Kushina berbisik di bibir Minato.

"Apa?"

"Aku mencintaimu."

.

.

.

.

.

"S-saya penggemar berat kalian berdua!" Sambil gelagapan, Rin menjabat tangan Kushina dan Minato.

"Terima kasih," Lelaki pirang yang mengenakan blazer hitam itu tersenyum lebar.

"Pacar Kakashi ya?" Kushina menyeringai lebar ke arah bocah penata rias itu. "Lumayan juga kau!"

"Bukan," Kakashi menghela napas. "Rin sahabatku." Pemuda itu menatap wajah Kushina. "Kenapa wajahmu pucat sekali, Kushina-san?" Dia mengerutkan kening. Sebagai penata rias, dia tahu bahwa warna di wajah Kushina bukanlah warna make up.

"Aku hanya capek saja." Kushina cepat-cepat menjawab ketika Minato sudah menoleh ke arahnya, khawatir. "Aku ke toilet sebentar ya?"

"Dia mengelak lagi," Minato mengerang, membuat Kakashi mengerutkan kening. "Akhir-akhir ini dia sering terlihat pucat, sering terlihat kelelahan. Padahal biasanya tidak seperti ini... Dia selalu menolak ketika aku ingin membawanya ke rumah sakit."

"Karena media pasti," gumam Kakashi. Minato langsung mengangguk. "Kalau mau, bawa saja ke klinik Rin. Keluarganya punya klinik kecil di dekat sini."

"Dijamin tidak ada media yang membuntuti!" Rin langsung menjawab dengan wajah berseri-seri. "Bagaimana kalau aku mengecek keadaan Kushina-san dulu?" tanya Rin lagi.

"Rin cukup berbakat untuk menjadi dokter." Kakashi menunjuk ke arah sahabatnya.

Minato menganggukkan kepala sambil tersenyum. Rin dengan segera menyusul Kushina, sedangkan Minato kembali bercakap-cakap dengan Kakashi. "Jadi? Kau bekerja di mana sekarang? Kau sudah lulus SMA bukan? Jadi tidak perlu kerja dengan rahasia lagi." Di sekolah Kakashi yang sebelumnya, kerja sambilan tidak diijinkan.

"Ah, aku sepertinya akan mencoba ujian masuk ke perguruan menata rias di Kyoto."

Minato bersiul pelan. "Begitu? Jadi kau akan pindah ke sana?"

"Yah, kira-kira selama tiga tahun," Kakashi tersenyum simpul. "Rin… dia belum tahu kalau aku akan pindah ke sana. Selain itu, dia baru saja menonton From Hatred Into Love. Pada bagian ketika Misaki berpisah dari Toujo." Kakashi menghela napas. "Aku semakin tidak bisa mengaku padanya."

Minato hanya bisa meringis. "Cukup susah juga ya… Sepertinya gadis itu menyukaimu… Aku tidak yakin dia akan menerima kepergianmu begitu saja."

"Ada Obito di sisinya," jawab Kakashi. "Dia akan menjaga Rin."

"Obito? Sepupu jauh Mikoto ya?"

Kakashi mengangguk. "Bagaimana dengan pekerjaanmu sendiri, Minato-san? Menjadi produser?"

"Yah… lumayan lancar," Minato meringis. "Kushina sangat menyukai tokoh utama yang bernama Naruto itu. Kalau kami punya anak, dia ingin anak kami dinamai Naruto juga." Minato tertawa sesaat. "Ngomong-ngomong, Kakashi, klinik Rin itu spesialis ke bidang apa?" tanya lelaki itu sambil meraih beberapa potong buah apel di atas meja.

"Oh, keluarganya punya dua klinik. Satu klinik di bidang…" Ucapan Kakashi terputus ketika dia melihat Rin yang berlari ke arah mereka.

"Kakashi! Kita harus membawa Kushina-san ke klinik secepatnya!" wajah Rin merah padam karena habis berlari.

"Klinik yang di dekat sini? Klinik umum, bukan?"

"Bukan! Klinik yang satu lagi! Yang di bidang kehamilan!"

Minato langsung tersedak buah apelnya.

Dari belakang, muncul Kushina yang meringis. Ekspresi wajahnya tidak terlukiskan. Dia menatap Minato yang perlahan-lahan mendekatinya. "Kau hamil?" Minato berbisik dengan nada tidak percaya. Kushina tidak bisa menahan senyumannya ketika menatap ekspresi wajah Minato yang penuh akan harapan.

"Aku… sebenarnya sudah membeli alat pendeteksi kehamilan, tapi tidak tahu bagaimana cara memakainya," bisik Kushina. "Aku membawa alat itu, dan Rin mengajariku cara untuk memakainya. Lalu…" suaranya tercekat.

Di detik itu juga, Minato sudah mengangkat Kushina. Tangannya yang kekar melingkar di pinggang Kushina, memutar tubuh wanita itu. "Hei, hei! Kita harus ke klinik untuk memastikan!" Kushina tertawa, tidak bisa menahan kegembiraannya. Minato menurunkan Kushina, dan dengan penuh antusias, dia menempelkan bibirnya di perut Kushina yang masih rata.

"Ada apa ini?" Jiraiya menghampiri mereka dengan gelas wine di tangannya.

"Oh, bukan apa-apa," jawab Kakashi cepat. "Cuma… sepertinya Naruto akan lahir tak lama lagi."

Jiraiya hanya bisa melongo, tidak mengerti apa yang diucapkan Kakashi.


THE END

AN: yah... puas atau tidak, sekarang From Hatred Into Love sudah tamat :D

aku harap chapter terakhir ini cukup memuaskan yaaa

Oh ya, sekarang aku lumayan bebas. Jadi aku mau update cerita-ceritaku yang 'sedikit' terbengkalai

#plak!

para pembaca mau fiction mana yang di update dulu? Kasih tau yaaa. Nanti minggu depan aku pasti update fiction yang dapet suara terbanyak :)

Setiap minggu aku akan update. Jadi, silahkan kasih tahu fiction mana yang mau di-update :)

segitu duluu... sekali lagi, aku terima kasih sebanyak-banyaknya karena udah baca crita ini sampai akhir...

Mind to review? :)