Yooo! Kembali lagi dengan author gaje, Lavenz Aru.
Kali ini dengan tema hallowen. Tepok tangan doong! (READER : tepok tangan gak ikhlas)
Warning!
Lime! OOC! Tidak bermaksud untuk bashing chara. Namun demi kelancaran fic ini, maka saia buat seperti ini. AU!
Enjoy minna!
V v v v V
"Kakak juga ikut hallowen?"
"Bukan.Akulahyangreal dariyangterlihatreal."
V v v v V
Seminggu lagi hallowen! Banyak anak yang dengan antusias mempersiapkan apa yang akan mereka kenakan nanti. Mulai dari kostum, tas, dan makeup. Mereka berusaha mempersiapkan yang terbaik untuk hari yang hanya ada satu hari dalam satu tahun.
Mereka membuat kostum. Membuat seseram mungkin dan secantik mungkin agar tak kalah dalam hal penampilan. Membuat perlengkapan seperti arit raksasa, tongkat, sapu, atau alat yang membuat mereka seolah-olah dapat mengeluarkan darah dari tangan, atau mic suara lolong serigala agar terlihat lebih real sebagai werewolf!
Semua anak dengan senang mempersiapkan hari itu. Banyak, namun tak semua. Karena ada seorang anak yang hanya berdiri di beranda kamarnya sambil memandangi bulan dengan tatapan kosong. Ia memangku tangannya di pilar pembatas dan berdiri dalam diam.
Sesekali Ia menghela nafas pelan melihat anak-anak yang membicarakan tentang hallowen tepat di depan rumahnya. Terdengar tawa canda juga rencana kostum apa yang akan dikenakan. Meski tak ingin menguping, namun suara anak-anak itu terdengar keras hingga Ia dengan jelas mendengarnya.
"Hey, hallowen minggu besok kalian pakai kostum apa?"
"Aku ingin coba jadi dewa kematian!"
"Kalau aku ingin jadi gadis penyihir yang sexy!"
Tawa terdengar lagi. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkan sang penyendiri yang terus menatap mereka sampai tak terlihat lagi sosoknya, dan menghela nafas kembali.
"... kapan aku bisa memakai kostum dengan bebas ya?"
"... Tsuna, kamu sudah tidur?" suara perempuan paruh baya terdengar dari luar. Sang Ibu tercinta, Sawada Nana mengetuk pintu sangat perlahan hanya untuk memastikan anak tunggalnya sudah tidur. Ia-Tsuna- hanya bergumam perlahan. Pikirannya masih melayang ke hari hallowen yang akan jatuh pada tanggal 31 nanti.
Tsuna anak yang pendiam. Ia sangat tidak percaya diri dengan penampilannya yang sederhana dan cenderung kurang. Sebenarnya Ia sangat menginginkan ikut pesta kostum di sekolahnya di malam tanggal 31 nanti. Namun Ia bingung kostum apa yang akan Ia kenakan.
Sejujurnya Tsuna ragu apakah kostum yang akan Ia pilih akan cocok dan terlihat pantas jika Ia kenakan? Sedangkan sahabat-sahabatnya terus mendesak memohon agar Ia ikut partisipasi dalam festival hallowen nanti.
"... aku harus pakai apa?"
Tsuna merenung lagi. Entah sudah berapa lama Ia berdiri di sana. Dihiraukannya angin yang bertiup cukup keras menerpa seluruh tubuhnya. Tanpa rasa takut Ia akan sakit, Tsuna terus menatap langit cerah dengan tatapan kosong.
Tiba-tiba matanya menangkap sosok seseorang tengah berdiri di bawah pohon rindang depan rumahnya. Tsuna menoleh ke belakang dengan cepat, melihat jam dinding yang terpasang di kamarnya. Pukul dua belas malam lewat. Siapa orang aneh yang masih berdiri di depan rumah orang tengah malam begini? Di bawah pohon rindang lagi.
Tsuna menyipitkan matanya. Berusaha mengenali sosok itu. siapa tahu Ia kenal. Atau mungkin orang itu tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Namun karena Ia berdiri membelakangi Tsuna, Tsuna tak dapat melihat apapun kecuali punggung orang itu.
"Aneh sekali. Siapa dia?"
Seolah mendengar gumaman Tsuna, orang itu memutar tubuhnya perlahan. Dengan senyum terlukis di wajahnya, Ia menatap balik Tsuna. Tanpa terasa wajah Tsuna sedikit merona melihat senyumnya. Hangat dan indah.
Orang itu memakai jubah hitam panjang. Seluruh pakaiannya serba hitam. Yang putih hanya kemeja yang samar terlihat karena tertutup vesthitamnya. Warna rambutnya pirang dengan mata biru sapphire.
"Orang asing ya?" ujar Tsuna saat matanya dapat melihat keseluruhan orang itu.
Ia hanya tersenyum dan bungkam seribu bahasa. Kemudian memutar kembali tubuhnya dan berjalan meninggalkan tempatnya. Meninggalkan Tsuna. Suara langkah kakinya seolah tertelan kegelapan malam. Mata Tsuna dengan yakin melihat orang itu memakai sepatu pantofel. Namun entah mengapa telinganya tak dapat mendengar suara apapun selain desir angin. Orang itu serasa berjalan di udara.
Tsuna dengan cepat menutup beranda kamarnya dan duduk di kasur sambil memeluk bantal. Masih terngiang di ingatannya, sosok itu menatapnya lembut namun dalam. Dan Tsuna samar mendengar orang itu berbisik lirih padanya.
"... trickandtreat..."
V v v v V
"Pagi, Tsunayoshi!"
Tsuna menoleh saat seseorang menepuk pelan pundaknya. Ia kemudian tersenyum saat mengenali siapa yang tersenyum lebar di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabatnya.
"Pagi, Yamamoto."
"Pagi, Juudaime!"
Tsuna meringis. Dilihatnya Gokudera melambaikan tangannya dengan semangat. Lagi-lagi memanggilnya seperti itu. Entah apa alasan Gokudera hingga Ia memanggilnya seperti itu. Panggilan spesial. Ujar Gokudera suatu hari saat Tsuna menanyakan alasannya. Akhirnya Tsuna hanya dapat mengangguk pasrah dipanggil begitu oleh sahabatnya.
"Pagi, Gokudera."
Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam gedung sekolah tercinta mereka, Namimori Chuu bersama-sama sambil mengobrol. Tentu saja tentang hallowen. Dan Gokudera adalah salah satu orang yang dengan puppyeyesmemohon pada Tsuna agar ikut dalam pesta kostum itu.
"Ya, Juudaime. Ikut ya festival sekolah itu. Kapan lagi?"
Tsuna menghela nafas pelan dan tersenyum. Hanya itu jawaban yang Ia berikan jika Gokudera atau Yamamoto mengajaknya ikut. Tak ada yang tahu alasan Tsuna seperti itu. Hanya Tsuna seorang yang mengetahui pasti alasannya.
Bel masuk berbunyi. Tsuna duduk di bangkunya dengan menopang dagu di tangan kanannya. Tatapannya kosong menatap langit di luar sana. Ia memang lebih senang duduk di dekat jendela agar Ia bisa leluasa menatap langit dan pepohonan yang tumbuh di sekeliling sekolahnya.
Tsuna menguap lebar. Rasa kantuk melandanya karena semalam Ia tak dapat tidur dengan pulas. Semalam? Tiba-tiba otaknya mengingat kembali kejadian semalam. Sosok itu. Senyum itu. Keanehan itu. Secepat itu otaknya mengingat, secepat itu pula wajah Tsuna merona merah.
"Apa yang terjadi padaku?" gumam Tsuna sambil mengacak rambutnya. Pusing dan malu mendapati dirinya aneh seperti itu. Akhirnya Tsuna lebih memilih menatap ke depan, ke papan tulis. Sebelum Ia dihukum karena lalai saat belajar.
Bel istirahat yang ditunggu akhirnya berbunyi. Tsuna menutup buku pelajarannya dan menyandarkan tubuhnya di bangku sambil sesekali memijit keningnya. Kejadian semalam benar-benar membuatnya hampir gila. Padahal hanya seperti itu saja. Namun entah mengapa Ia tak dapat melepas sosok itu dari ingatannya.
"Juudaime, hari ini batas mengembalikan buku yang kau pinjam, bukan?" ujar Gokudera mengingatkan.
"Ah, iya!" Tsuna menepuk keningnya. Ia kemudian mengambil buku dari tas dan segera pergi ke perpustakaan sekolah yang terletak cukup jauh dari kelasnya. Setiap melangkah, Tsuna merasa ada yang mengikuti. Namun saat Ia menoleh, tak ada seorangpun selain dirinya di lorong yang memang sepi itu.
"Hanya perasaan. Hanya perasaan." Gumam Tsuna berusaha menguatkan hatinya.
Dan tibalah kaki kecilnya di depan perpustakaan. Dengan perlahan Ia membuka pintu agar tidak mengganggu penghuni di dalamnya. Tsuna berjalan ke arah petugas perpustakaan dan memberikan buku yang Ia pinjam untuk dikembalikan.
"Aku ingin pinjam satu buku lagi."
Tsuna berjalan menelusuri rak-rak tinggi yang dipenuhi dengan buku. Setiba Ia di tempat yang Ia cari, Tsuna dikejutkan oleh sebuah buku yang terjatuh entah dari rak sebelah mana. Tak ingin dimarahi, Tsuna dengan cepat mengambil buku yang cukup tebal dengan cover berwarna hitam pekat dan judul berwarna merah.
"Vampire?" keningnya menyernyit saat melihat judulnya. Entah rasa penasaran apa hingga Tsuna dengan perlahan membuka lembaran buku itu satu persatu. Membaca kalimat yang ada dengan cepat hanya untuk mengetahui apa inti dari buku tersebut.
Sejarah vampire. Kehidupan mereka. Kebiasaan mereka. Dan sosok mereka. Tsuna sedikit bergidik membacanya karena di lorong rak tempat Ia berdiri sekarang, sangat sepi dan cukup remang-remang.
Saat Tsuna bermaksud mengembalikan buku ke rak dan segera pergi dari tempat itu, matanya tak sengaja melihat sebuah tulisan 'Vampire Abadi' dan sebuah gambar ilustrasi dari vampire tersebut. Sekilas Tsuna seperti pernah melihat ilustrasi itu. Namun di mana tempatnya Ia tak tahu.
"Vampire Primo?" Tsuna bergumam. Ia melamun sambil menatap ilustrasi itu dengan pandangan kosong.
Namun lamunannya buyar saat bel masuk berbunyi. Dengan cepat Ia menutup buku itu dan menaruhnya disembarang rak. Dengan cepat Ia berlari ke kelasnya agar tidak terlambat tanpa menghiraukan sang karnivore yang tak segan-segan menghukum siapa saja yang melanggar aturan sekolah.
V v v v V
Enam hari menjelang hallowen.
Lagi-lagi Tsuna hanya bisa melamun di beranda kamarnya sambil memandangi hiruk pikuk suasana malam. Ia melirik jam dinding, pukul sebelas malam. Dan lagi-lagi Tsuna tak dapat tidur memikirkan langkah yang harus Ia ambil sekarang. Ikut festival atau tidak?
Pikirannya boleh melayang ke festival sekolah, namun matanya terus mencari. Mencari sesosok misterius yang kemarin berdiri di bawah pohon rindang itu. Namun yang Ia temukan hanya kehampaan. Tak ada siapapun di sana. Dan malam terus menampakkan sosoknya yang agung.
Tsuna menguap lebar. Ternyata pegal juga berdiri di sana tanpa melakukan apapun. Tsuna akhirnya masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu beranda agar angin dengan bebas masuk ke kamarnya. Ia duduk di lantai dengan pulpen di tangan kanannya. Beberapa menit kemudian, Tsuna sudah tenggelam dalam pikirannya.
"Kostum apa yang cocok untukku? Mumi? Tidak cocok." Tsuna mencoret-coret kertas yang berisi daftar kostum hallowen. "... atau pakai jacko-laternsaja ya? Biar wajahku tidak terlihat."
Tsuna terus mencoret nama-nama kostum dengan gusar. Namun tangannya tiba-tiba terhenti di kata 'vampire'. Tsuna merasa ada yang mengawasinya. Ia menoleh ke belakang, kiri dan kanannya. Memastikan tak ada seorangpun yang masuk ke kamarnya.
"Kenapa mendadak hawanya menjadi dingin ya?" Tsuna memeluk tubuhnya yang menggigil. Ada yang tidak beres di kamarnya. Tsuna merasa kamarnya mendadak dingin dan sangat sunyi. Seolah tak ada kehidupan yang terdengar dari kamarnya. Padahal sebelumnya Ia masih mendengar tawa anak-anak atau suara mobil lewat. Namun kini telinganya seolah tuli. Tak dapat mendengar apapun.
Diliriknya jam dinding. Pukul dua belas kurang. Dengan gelisah, Tsuna menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Pukul dua belas. Berarti sama seperti semalam. Saat Ia bertemu dengan sosok misterius itu. Namun kini tak ada tanda-tanda Ia akan berdiri di bawah pohon itu lagi. Dan Tsuna enggan turun dari ranjangnya.
Dilihatnya pintu beranda kamarnya masih terbuka lebar. Tsuna menyesali mengapa Ia tidak menutupnya tadi. Namun matanya membulat lebar mendapati bayangan hitam di beranda lantai duanya. Siapa dia? Dan bagaimana cara Ia naik ke beranda yang terletak di lantai dua?
"Si-Siapa itu?" suara Tsuna bergetar karena takut. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada selimut. Tak terasa tubuhnya gemetar dan keringat mengalir melewati dagunya.
Bayangan hitam itu semakin terlihat di beranda. Tsuna memejamkan matanya rapat-rapat. Berusaha memaksa otaknya untuk berkata jika bayangan itu hanya imajinasinya. Namun usahanya sia-sia saat telinganya yang secara aneh tak dapat mendengar apapun, kini dapat mendengar suara. Suara misterius.
"Buonasera,Tsunayoshi."
Tsuna semakin menajamkan telinganya. Bahasa apa itu? Italia? Siapa itu? Tsuna bertanya-tanya dalam hati. Bayangan itu... bukan! Sosok itu! Itu manusia. Bukan! Entahlah. Yang pasti, sosok itu nyata.
"Si-Siapa?" Tsuna dengan susah payah memaksa mulutnya untuk bersuara. Meski suaranya lebih terdengar parau dan gemetar.
"Aku adalah takdirmu, Tsunayoshi." Sosok itu menggerakkan kakinya, berjalan masuk ke kamar Tsuna. Hal pertama yang Ia temui adalah senyum itu! Dan... Oh? Dia memanggil Tsuna dengan nama kecilnya?
"Kau..." Tsuna tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan cepat sosok itu menempelkan jari telunjuknya di bibir Tsuna.
"Pelankan suaramu." Sosok itu tersenyum hangat. Namun tatapannya bisa dikatakan kurang hangat. Lebih tepatnya Ia menatap Tsuna dalam. Seolah ingin menerkanya saat itu juga.
Tsuna mengangguk pelan. Matanya membulat lebar karena terkejut akan kedatangan sosok itu. Dan lagi, Ia bisa bergerak dengan sangat cepat. Sebelum Ia membuka mulut tadi, sosok itu masih berdiri di pintu berandanya. Namun baru saja Tsuna mengeluarkan satu kata, sosok itu sudah berada di depannya.
Ia berdiri di samping ranjang Tsuna. Tsuna merasa jari telunjuk itu menempel di bibirnya lembut meski dingin merayap di bibirnya. Jari itu dingin, pikir Tsuna.
"Kau... siapa?" tanya Tsuna lirih sambil berbisik.
"Aku Primo. Panggil saja aku Giotto. Aku..."
"...vampire?"
Tsuna seolah membeku. Tubuhnya sama sekali tak dapat Ia gerakkan. Entah karena ketakutan, atau memang 'orang' yang bernama Giotto itu telah menghipnotisnya. Siapa tahu?
Giotto naik ke ranjang Tsuna. Suara berdecit dari besi ranjangnya, menandakan bahwa Ia adalah makhluk nyata yang memiliki bobot tubuh. Ia naik ke atas tubuh Tsuna yang hanya dapat diam terpaku.
"Mengapa kau tahu tentangku, Tsunayoshi?" suara berat Giotto menghenyakkan lamunan Tsuna. Tsuna menggeleng pelan. Kerongkongannya seolah kering kerontang hingga tak sepatah katapun dapat keluar dari mulutnya.
"Sepertinya sudah malam. Kau tidurlah agar besok bisa sekolah lagi. Buonanotte, Tsunayoshi."
Dan sebuah kecupan lembut mendarat di kening Tsuna. Tsuna yang terkejut hanya dapat membulatkan matanya tanpa dapat berbuat apa-apa selain melihat sosok Giotto telah berada di beranda.
"Aku akan datang lagi, besok."
Dan Giotto pun terjun dari beranda. Kaget, Tsuna refleks berlari ke beranda kamarnya tanpa sadar Ia dapat bergerak lagi. Tsuna mencari sosok Giotto yang terjun dari lantai dua kamarnya. Namun tak sedikitpun Ia menemukan sosok itu di sana. Giotto telah menghilang.
Dengan wajah merona, Tsuna mengelus kening tempat Giotto mengecupnya tadi. "... kau aneh, vampire Primo."
V v v v V
To Be Continue!
Ok. Chapter pertama selesai. Mohon review untuk membangkitkan semangat saia. :D