Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: OOC, typos, alur cepat, dll

AN: thanks buat semua yang udah fave, alert, review dan baca fiction ini..

Sadly... ini chapter terakhir. Haha

thanks to...

arisa kk, luthfiyyah, guest, Ruko Kawaru, Zui Aizawa, Aristy, , Common Fall, Anagata Lady Okita, SilverChitatoQueenChan, Kei, pha chan, flowers lavender, chanshasa, KUSHINA LOVERS, Uzumaki Endou 0307, opimsky, Mr x3x, Fiyui-chan, yoohabanero, ca kun, nana-chan love naruto, uvu, SeiHinamori, Fajeri no Misaki-kun, Namikaze Naruna, sienna, NiendaZaoldyeck, Nana, Ichikawa soma, ShiroNeko, mikacha, Meiko Hoshiyori, Ritard. , Kuro Tenma, Alice Jane, Kudo Widya-chan Edogawa, Dama De Star, NanoYaro-Kid, Michie .A

Aku mau kasih special thanks buat beberapa readers...

Meiko, yang udah setia dengerin ide2 fic ku, dari yang konyol sampai yang gak nyambung... Yang udah setia denger keluh-kesah (?) Haha! Intinya, arigatou Meiko! Love you deh! :*

Buat readers yang setia review-in fic2ku... bukan cuma yang ini aja, tapi nyaris semua ficku yang lain juga... salah satunya Anagata Lady Okita, nana, Kuro Tenma, Quint, dan yang lain2nya! :D

Dan buat reader luthfiyyah, aku sangat mengerti perasaanmu. Makasih buat sarannya! :D

Okay, enough deh bacotnya. Enjoy the last chapter :)


Chapter 6

.

.

.

.

.

"Hmm jadi…"

"Kenapa, Sakura?" Kakashi menoleh ke arah gadis berambut pink yang mengerutkan kening itu.

"Jadi…" Sakura menengadah, menatap Kakashi dengan sepasang mata yang lebar. "Jadi… Sasuke-kun lahir karena gosip ibu-ibu?"

"Betul." Kakashi langsung menjawab tanpa belas kasihan.

Sasuke terpaku, sedangkan Naruto menyeringai lebar. "Buntut ayam lahir karena gosip ibu-ibu, dattebayo!" tawa Naruto meledak. Wajah Sasuke langsung pucat seketika. Dari pucat, langsung berubah menjadi merah padam. Dia mendelik ke arah Naruto, seakan-akan hendak menerkam 'sahabat'nya itu.

"Naruto! Jangan menghina Sasuke-kun, shanarooo!" Sakura menjitak kepala Naruto, membuat bocah pirang itu mengaduh.

"Kok begitu, Sakura-chan? Bukannya kau sendiri bertanya duluan?" Naruto memanyunkan bibirnya, cemberut.

"Sudah, kalian bertiga," Kakashi melirik ke jam dinding. "Sudah sore. Sebentar lagi kalian pasti dicari sama ibu kalian." Naruto dan Sakura langsung mengeluh, sedangkan Sasuke mendengus. "Aku bacakan sedikit lagi. Lagipula, cuma empat halaman lagi yang tersisa."

"Ehhh! Kenapa sedikit sekali?" Sakura mengeluh lagi. "Lebih sedikit daripada diari sebelumnya."

"Yah… pertama, Kushina-san menulis diari ini ketika dia baru menikah dengan Minato, jadi tentu saja aku tidak membacakan beberapa halaman kepada kalian."

"Kenapa tidak?" Sakura menantang.

"Karena kalau kubacakan, bisa-bisa aku bisa dibunuh orang tua kalian. Tunggu sampai kalian sudah cukup umur." Kakashi meringis dari balik maskernya. "Kedua, dia berhenti menulis diari ini sehari sebelum kelahiran Naruto. 9 Oktober."

"Kenapa?" Naruto mengerutkan kening.

"Sepertinya aku bisa menebak kenapa…" Kakashi bergumam.

"Ah!" Sakura berseru kaget. "9 Oktober kan, sehari sebelum ulang tahunmu, Naruto!"

"Lalu?"

"Kushina-san tidak melanjutkan diari ini lagi karena di hari berikutnya dia harus melahirkanmu!"

"Dia bisa melanjutkan diari itu setelah melahirkan Naruto kan?" Sasuke mengerutkan kening.

"Tidak semudah itu," jawab Kakashi. "Lima tahun lalu, di hari kelahiran Naruto, kyuubi menyerang desa bukan?"

"Ah, betul juga, dattebayo!" Naruto bergumam. "Tapi apa hubungannya? Kenapa ibu tidak melanjutkan diarinya?"

"Kalian akan tahu nanti," dia menepuk kepala Naruto. "Siap? Akan kubacakan empat halaman terakhir ini."

Ketiga bocah itu langsung membenarkan posisi duduk mereka.

"9 Oktober…"

.

.

.

.

.

Sudah kuputuskan. Tidak ada orang yang memiliki hati yang lebih busuk daripada para tetua di Konoha ini. Masih menggeram, aku melotot ke arah kodok peliharaan Minato.

"Kushina, kau akan menjadi orang pertama yang berhasil membunuh kodok itu dengan tatapan." Suara tenang Minato membuat amarahku sedikit menghilang.

Sedikit.

"Bayangkan saja Minato! Sudah tiga bulan lamanya aku tidak bisa menemui semua teman-temanku!" Aku meraung. Oke, sejak dulu aku tidak punya teman yang banyak. Cuma Midori dan Mikoto yang paling sering kutemui. "Aku bahkan tidak bisa berkirim surat dengan mereka! Apa gunanya kodok ini kalau aku tidak bisa berkirim surat?" Aku berani bersumpah kalau aku melihat kodok ini memucat sesaat. Minato hanya bisa meringis kaku.

"Jangan teriak begitu dong Kushina, kasihan gama-chan kan?"

"Jadikan sup kodok saja." Aku mendelik lagi, membuat Minato tertawa panik. Suamiku itu cepat-cepat membentuk segel, memulangkan kodok yang malang itu. Aku mengerti kalau sebagai jiinchuriki, keberadaanku di Konoha ini adalah top secret. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa aku ini adalah istri dari sang hokage. Dan hanya sedikit yang tahu kalau aku hamil.

Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Namun, akhir-akhir ini hormonku memuncak, membuatku tidak tahan lagi.

Aku harus keluar rumah, kalau tidak…

Pikiranku terputus ketika aku merasakan ciuman singkat di keningku. "Bersabar ya, Kushina." Tangan Minato yang hangat mengusap perutku yang bundar. "Sebentar lagi kita bisa melihat Naruto." Suara Minato yang tenang langsung mengusir semua kegusaranku.

"Hmm." Aku menyunggingkan senyuman singkat. Aku memejamkan mata sejenak, membayangkan bocah mungil berambut pirang yang berlari-lari, mengejarku dengan sepasang kaki yang montok. "Aku tidak sabar melihat anak ini." Aku tersenyum lebar.

"Kau yakin kalau Naruto anak laki-laki?" Minato menyeringai.

"Seratus persen. Dia akan mewarisi rambut pirang dan mata birumu itu."

Minato tertawa. "Kau terobsesi dengan penampilanku."

"Dan kau terobsesi dengan rambutku."

Suamiku menyeringai, menempelkan hidungnya di puncuk kepalaku. "Rambutmu indah."

Aku meringis. Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat itu. "Aku tahu."

Senyuman kami berdua menghilang begitu kami mendengar ketukan di pintu. Minato membenarkan posisi berdirinya, menatapku sesaat. "Akan kubukakan."

Aku mengangguk, mengusap perutku sesaat.

Aku tahu siapa itu.

.

.

.

.

.

Sandaime dan istrinya duduk di depan kami, menjelaskan segala prosedur yang harus kami lakukan untuk menjaga keselamatan Naruto. Aku tidak tahu wajah seperti apa yang kupasang ketika mereka menjelaskan. Sosok kyuubi muncul berkali-kali di benakku. Cakra siluman itu tidak ada tandingannya. Dan dalam proses melahirkan segel kyuubi akan melemah? Kyuubi akan keluar dari tubuhku?

"Kushina, kita bisa melakukan ini." Tangan Minato yang hangat menempel di bahuku, membuatku tersentak. Dia mengusap keningku, menghapus keringat yang muncul tanpa kusadari. Aku mengangguk, menatap Sarutobi. Sandaime tersebut melemparkan tatapan prihatin ke arahku.

"Proses melahirkan tidak mudah." Istri Sandaime menatapku dengan tajam. "Tugas Minato sebagai yondaime sangat penting. Dia harus mempertahankan segel kyuubi sehingga segel itu tidak terlepas."

Minato mengangguk. Tangannya meremas tanganku.

"Besok pagi, tanggal 10 Oktober, kami akan kembali dan membawa kalian ke tempat persembunyian." Istri Sandaime manatapku sesaat, memasang senyuman tipis dan berjalan menuju pintu rumah diikuti oleh Sarutobi.

Aku tidak berkata apa-apa. Mataku terpaku pada Minato yang baru saja mengantar Sarutobi di depan pintu. Lelaki berambut pirang itu mendekaiku. "Kushina, kau masih terlihat pucat." Dia berbisik pelan, duduk di sebelahku.

Aku menggeleng. "Aku tidak apa-apa." Aku tertawa kaku. Minato terdiam sesaat. Dia selalu bilang kalau aku ini selalu payah dalam berbohong. Namun, kali ini dia tidak bicara apa-apa. "Aku…"

"Hmm?" Lelaki itu mengusap pelan wajahku, membuat tenggorokanku terasa tercekat secara tiba-tiba.

"Aku tidak tahu kenapa… tapi aku merasa takut."

Minato terdiam. Tangannya berhenti mengusap wajahku. "Aku juga." Dia berbisik pelan. "Ini pertama kalinya aku merasa tidak percaya diri dengan kekuatanku sendiri." Dia tertawa kaku. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa kehilangan kalian berdua." Minato menundukkan kepala, menempelkan bibirnya di buntalan perutku.

Aku terpaku, tanganku mengusap pelan jari-jari Minato yang menempel di perutku. Aku menggigit bibir ketika sadar bahwa tangan Minato bergetar.

Bukan cuma aku yang merasa ketakutan.

"Aku seorang shinobi." Minato berbisik. "Seorang hokage. Seorang yang diandalkan seluruh rakyat Konoha."

"Aku tahu." Aku mengusap pelan rambutnya.

"Tapi aku juga seorang ayah. Aku… bagiku kalian berdua adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari nyawaku sendiri."

Aku terdiam. "Minato… kau tidak pernah mengecawakanku dan kau tidak akan pernah mengecewakan kami." Aku menyentuh wajahnya, mendongakkan Minato sehingga mata kami berdua bertemu. "Aku akan berjuang." Aku menyeringai. "Aku akan melahirkan Naruto dengan selamat, meski…"

Meski aku harus mati.

Aku tidak menyelesaikan ucapanku, namun Minato mengerti.

Dia mengerti.

Lelaki itu tersenyum, menempelkan ciuman di perutku sekali lagi.

"Aku juga."

.

.

.

.

.

Aku menatap ke arah jendela, menatap bulan purnama yang bersinar di kegelapan malam. Jari-jariku bergerak dengan lincah, menulis kalimat-kalimat terakhir di buku diari ini. Aku melirik ke arah Minato yang tertidur. Sudah nyaris jam dua belas malam dan Minato baru bisa terlelap sekarang. Sepertinya dia terlalu tegang sehingga dia tidak bisa tidur. Minato memutar tubuhnya, tangannya mendarat di pahaku, membuatku nyaris melompat kaget.

"Dasar…" aku meringis.

Besok aku akan melahirkan Naruto.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun, apa pun yang terjadi, Minato dan aku akan menggendong Naruto, membawa bayi itu pulang.

.

.

.

.

.

"… dan siapa pun yang berani mengacaukan rencanaku ini akan menerima tendangan di pantat, dattebane." Kakashi membacakan kalimat terakhir di dalam buku itu. Dia terdiam sesaat, mengingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Sampai sekarang, para penduduk masih tidak bisa melupakan kejadian di mana kyuubi menyerang desa.

Seperti kasus Kushina yang dulu, hanya beberapa orang yang tahu bahwa jinchuriki yang sekarang adalah… Kakashi menatap sepasang bola mata biru yang bundar.

"Sudah selesai? Yah… kok selesai, dattebayo!" Naruto merengek.

Kakashi menghela napas, mengusap rambut Naruto dengan kasar, membuat bocah itu mengeluh kesakitan.

Di dalam tubuh yang mungil ini, terdapat monster yang sangat mengerikan.

Sampai sekarang dia masih tidak tahu bagaimana cara Kushina dan Minato selamat dari serangan itu. Dia dan teman-temannya mengungsikan penduduk Konoha sedangkan ninja lainnya bertarung. Tidak sedikit jumlah ninja yang tewas dalam penyerangan itu.

Dia ingat kalau dia berlari ke rumah sakit di pagi-pagi buta, menjenguk Minato dan Kushina yang terbaring di rumah sakit. Mereka berdua jatuh dalam koma selama beberapa bulan. Kakashi bertanya pada Sarutobi, apa yang terjadi pada malam itu. Namun, Sarutobi hanya menggelengkan kepala, menggendong bayi pirang yang menangis tanpa henti. Sarutobi sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena kekkai yang dipasang oleh Minato pada waktu itu. Ketika pelindung itu sudah hancur, dia berlari ke arah Kushina dan Minato yang tergeletak pingsan, sekarat.

Dan pada saat itu, segel kyuubi sudah ada di dalam tubuh Naruto dan Minato.

Nyaris tiga bulan berlalu sejak Kushina dan Minato jatuh dalam koma. Naruto dirawat oleh keluarga Uchiha. Kakashi mendengus geli ketika teringat kejadian di mana Naruto dan Sasuke berebut dot. Itachi terpaksa mengorbankan tangannya untuk disedot Sasuke karena Naruto dengan ganas merebut dot itu dari mulut Sasuke.

Meski Naruto dan Sasuke bertengkar tanpa henti di siang hari, mereka selalu tidur berpelukan di malam hari, membuat Mikoto menjerit-jerit seperti orang gila. Entah sudah berapa foto bayi Naruto dan bayi Sasuke yang diambil oleh sang nyonya Uchiha itu.

Ketika Minato dan Kushina sadar dari koma mereka, mereka tidak bisa ingat apa yang terjadi pada mereka.

"Sampai saat ini, apa yang terjadi pada waktu itu sama sekali tidak diketahui…" Kakashi bergumam pelan.

"Apa?" Telinga Sasuke yang tajam menangkap ucapan Kakashi.

"Tidak." Dia mengulurkan tangan, hendak mengusap rambut bocah Uchiha itu, namun Sasuke mengelak dengan mudah. "Bocah tidak lucu."

"Mesum." Sasuke mendengus, membuat Kakashi meringis dari balik masternya.

"Ah, sudah waktunya aku bertemu dengan yondaime." Kakashi beranjak. "Sudah ya, bocah-bocah." Kakashi melambaikan tangan dan di detik kemudian, dia sudah menghilang dari hadapan bocah-bocah tersebut, meninggalkan tiga anak lima tahun yang terpaku bengong, menatap diari yang tergeletak di lantai.

"Jadi…"

"Kita pulang sekarang." Sasuke beranjak, menyelesaikan ucapan Sakura yang terputus.

"Hee?! Bagaimana denganku?" Naruto menatap kedua sahabatnya dengan raut wajah yang panik. "Aku sembunyikan diari ini lagi?" Wajahnya pucat ketika membayangkan Kushina yang mengamuk.

"Hmm…" Sakura bergumam. "Ah, aku tahu! Kata Kakashi, dia akan bertemu dengan ayahmu kan?"

Naruto mengangguk.

"Bagaimana kalau kau meminta tolong ayahmu saja, Naruto?"

Naruto terdiam sesaat. Ayahnya sendiri selalu kalah setiap kali menghadapi amukan ibunya. "Kurang membantu… tapi…" Naruto mengigit bibir. "Oke deh, dattebayo." Lebih baik dia bersembunyi di balik punggung Minato daripada menghadapi amukan Kushina yang tidak ada batasnya itu.

"Memangnya yondaime mau membantu Naruto?"

Pertanyaan Sasuke membuat bocah itu tersentak.

"Ayahku selalu ada di sana untuk menolongku, dattebayo!" Naruto membela diri.

"Oh ya? Kali ini juga?"

Naruto meneguk ludah. Bocah lima tahun itu berpikir keras. Kalau dipikir-pikir, kali ini dia agak keterlaluan. "Ahh! Jadi bagaimana dong?" Naruto merengek, menggoncang tangan Sasuke.

"Tenang, Naruto." Sakura meringis. "Akan kubantu kau supaya ayahmu mau membantumu."

.

.

.

.

.

"Kau telat, Kakashi." Minato menatap tajam ke arah murid satu-satunya itu.

"Aku baru saja menolong sepasang nenek kakek yang tersesat di jalan."

"Jalan kehidupan kan?" Minato mendelik sesaat.

"Tidak." Kakashi menggelengkan kepala dengan wajah tidak berdosa.

Minato menghela napas, mengusap kepalanya. Entah kemana perginya Kakashi yang selalu gila akan peraturan itu. "Kau sedang bermain bersama Naruto kan?"

"Sensei tahu dari mana?" Kakashi menaikkan sebelah alis.

"Itu." Minato menyeringai, menunjuk ke arah beberapa helai rambut pirang yang menempel di sarung tangan hitam Kakashi.

"Oh."

"Kau melewatkan rapat penting, bermain dengan anak kesayanganku?" Minato memasang senyuman paksa, membuat Kakashi meneguk ludah. "Kau tahu, karena rapat tadi pagi aku tidak sempat untuk sarapan bersama putra kesayanganku dan kau…"

Kakashi tertawa kaku, dia lupa kalau begini-begini sang yondaime terhormat gampang cemburu akan sesuatu yang terkait dengan istri dan anaknya.

"Sensei, bicara soal Naruto…" Kakashi teringat akan pertanyaan yang sejak tadi muncul di kepalanya. "Apa yang terjadi pada malam itu? Lima tahun lalu…"

Minato terpaku sesaat. "Sudah kubilang kalau aku lupa apa yang terjadi." Minato menggeleng kepala. "Tidak. Aku tidak lupa. Ingatanku menghilang begitu saja."

"Kushina juga?"

Minato mengangguk. "Aku teringat ketika kyuubi menyerang desa. Aku menggunakan jurus terlarang, memisahkan cakra kyuubi, menjadi yin dan yang."

Putih dan hitam.

"Aku memasukkan cakra hitam kyuubi di tubuhku dengan nyawaku sebagai taruhannya. Dan cakra putih di tubuh Naruto ketika dia bayi."

Kakashi mengangguk.

"Tapi aku tidak tewas. Begitu juga Kushina."

Kakashi membuka mulutnya, siap untuk bertanya lagi, namun Minato menggelengkan kepala. "Sudah. Kita akan bicarakan tentang hal itu kapan-kapan. Sekarang…" Sambil bersiul, lelaki itu melempar setumpuk berkas di mejanya. "Misi level S. Bersama Gai. Selama sebulan." Minato menyeringai lebar ketika melihat Kakashi yang mematung. Dengan kaku, lelaki itu mengambil kertas-kertas di depannya dan membaca berkas itu sekilas.

"Misinya sekarang?" Kakashi merintih.

Di detik kemudian, pintu ruangan hokage terbuka dengan kencang dan manusia terhijau yang pernah dilihatnya masuk ke dalam ruangan. "Hahahaha! Di kehidupan yang penuh dengan semangat ini, marilah kita melaksanakan misi dengan sukses, rivalku!" Sebelum Kakashi sempat berkata sesuatu, Gai menyeret rival-seumur-hidupnya itu dan keluar dari ruangan.

Minato hanya bisa menggelengkan kepala, kembali mengambil pena dan berkas-berkas lain. Namun, sang yondaime memalingkan tatapannya dari dokumen itu ketika melihat sejumput rambut pirang dari balik pintunya yang masih terbuka.

Minato tersenyum lebar, meringis ketika melihat sepasang bola mata biru yang memperhatikannya secara diam-diam. "Siapa di sana?" Minato berpura-pura tidak tahu, terkekeh ketika melihat kepala Naruto yang mungil kembali tersembunyi di balik pintu. "Hmmm… sepertinya aku melihat sesuatu tadi. Apa ya?" Minato beranjak dari kursinya, mengendap-endap ke arah pintu. "Siapa di sana?"

"Naruto Namikaze, dattebayo!" Naruto menjerit kencang, melompat di dada ayahnya sambil tertawa riang.

Minato tertawa, dengan gesit melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang Naruto. "Aduh, aduh, berat sekali!" Lelaki itu pura-pura tersandung, perlahan-lahan mundur ke arah jendela yang terbuka dengan langkah sempoyongan, membuat Naruto menjerit-jerit di tengah-tengah tawanya.

Beberapa ninja yang melewati ruangan hokage itu tersenyum geli menatap pemimpin mereka yang melepaskan topeng wibawanya. Minato hanya bisa menjadi seperti itu di depan Naruto dan Kushina.

"Opps, tidak jadi terjatuh deh!" Minato menjauhkan diri di kursinya, membuat tubuh mungil Naruto terlompat, mendarat di pangkuannya dengan sempurna.

"Ayah!" Naruto memanyunkan bibirnya, menyentuh pipi Minato dan menarik wajah ayahnya, membuat Minato meringis.

"Apa?"

"Aku kangen Ayah." Naruto menatap ayahnya dengan sepasang mata biru yang bundar. Dia memautkan bibirnya dan dengan sengaja mengusapkan wajahnya di dada Minato berkali-kali.

Minato bersumpah kalau jantungnya langsung lumer begitu saja.

Tapi, Minato tidak bodoh. Dia tahu kalau anaknya cuma seperti ini kalau dia…

"Kau melakukan sesuatu yang membuat Ibu marah ya?"

Naruto tersentak, menatap Minato dengan mata terbelalak. Minato meringis. "Bingo. Kau melakukan apa kali ini? Tidak menghabiskan sarapan?"

Naruto menggelengkan kepala.

"Mencoret kamar barumu?"

Naruto menggeleng lagi.

Minato menaikkan sebelah alisnya, mengingat-ingat daftar kejahilan Naruto yang tidak ada batasnya. "Naruto… aku tidak mau menanyakan ini… tapi ibumu kemarin sedang senang karena dia berhasil menemukan diari lamanya."

Naruto meneguk ludah.

"Tapi, dia bilang kalau masih ada satu diari lagi yang hilang."

Wajah Naruto memucat.

"Dan seingatku kau punya kebiasaan buruk; menyembunyikan sesuatu dan lupa kalau kau pernah menyembunyikan sesuatu."

"Maaf Ayah!" Naruto menjerit, menyodorkan buku diari berwarna kuning di depan wajah Minato.

Minato mengerang ketika melihat buku itu. Dia benar-benar mencintai Naruto, tapi kali ini anaknya agak… "Kau tahu Naruto, kau berhutang padaku."

"Kalau Ayah sudah tua, aku janji untuk terus memijat bahu Ayah." Naruto melancarkan cengiran terlebarnya, membuat Minato mengerang lagi.

"Aku sudah bertambah tua melihat kejahilanmu ini." Sambil mendengus, Minato memindahkan Naruto dari pangkuannya, membuat anak itu berdiri di kursi, tepat di belakang punggungnya. "Nah, pijat bahu Ayah sekarang."

"Eehhh?! Tapi Ayah kan hokage yang paling hebat! Masa Ayah capek?"

"Hokage juga manusia. Bukan superman di buku-buku cerita punyamu."

"Tapi Ayah lebih hebat dari superman." Naruto mendengus bangga.

"Wah, terima kasih atas pujiannya. Tapi sekarang Ayah butuh kekuatan untuk menghadapi seseorang yang jauh lebih mengerikan dari Ayah."

Wajah Naruto memucat ketika sosok Kushina muncul di kepalanya. Minato meringis ketika merasakan tangan mungil Naruto yang mulai menekan-nekan bahunya dengan panik. Lelaki itu memejamkan mata, mulai melongkarkan otot-otot di bahunya yang kaku.

"Ngomong-ngomong, kau tidak membaca diari ibumu kan?"

"Tidak." Naruto menjawab langsung.

"Benar?"

"Benar, dattebayo! Aku tidak bisa baca kanji."

Minato bergumam pelan, teringat kalau sejak tadi pagi Kakashi menghabiskan waktu dengan Naruto. "Pasti Kakashi membacakan diari ini untukmu."

"Iya, tapi dia membacakan bagian yang aman saja."

"Bagian yang aman?" Minato mengerutkan kening.

"Aku juga tidak tahu apa maksudnya. Nii-san jahat karena tidak mau membacakan semuanya!" Naruto mendengus kesal.

"Naruto… kau tidak boleh membaca sesuatu yang privat seperti ini…" Minato menggelengkan kepala, tanpa sadar lelaki itu membuka buku diari Kushina. "… lagipula ini kan milik ibumu, jadi…" Ucapan Minato terputus. Dia melongo ketika membaca beberapa lembar pertama.

Sekarang dia tahu apa maksud Kakashi dengan bagian yang aman.

"Ayah?"

Minato cepat-cepat menutup buku di tangannya. Wajahnya terasa panas. Kushina… bisa-bisanya dia menulis sesuatu sampai sedetil ini… "Kau bilang kalau Kakashi yang membaca buku ini?"

Naruto mengangguk.

"Dia membaca semuanya?"

Naruto mengangguk lagi.

Minato berjanji dalam hati untuk memberi Kakashi misi bersama Gai seumur hidup.

.

.

.

.

.

Minato masih mengerjakan berkasnya ketika dia merasakan Naruto menyenderkan kepala di bahunya. Dia menoleh ke belakang, tersenyum ketika mendengar dengkuran halus dari putra satu-satunya itu. Lelaki itu meletakkan penanya, meraih tubuh mungil Naruto dan meletakkan Naruto di pangkuannya. Naruto mendesah sesaat sebelum menyenderkan wajahnya di dada Minato, tertidur pulas.

"Ah… di sana rupanya dia."

Minato menengadah, menatap wanita berambut merah panjang yang masuk ke dalam kantornya. Senyumnya langsung muncul. "Hmmm, siapakah wanita lancang yang masuk ke kantor yondaime tanpa mengetuk pintu ini?"

"Hmmm, siapa ya?" Kushina Namikaze menyeringai. Tanpa peringatan, wanita itu duduk di meja Minato menatap suaminya dengan tatapan jahil. "Mau kubuat kau ingat lagi siapa wanita lancang ini?"

"Hmm, coba saja." Minato menengadah, matanya terpaku dengan mata Kushina. Wanita itu menundukkan kepalanya dan di detik kemudian, bibirnya sudah bertemu dengan bibir Minato.

"Ingat?" Kushina berbisik di bibir Minato.

"Belum." Lelaki itu menggigit pelan bibir Kushina, membuat wanita itu mengerang. Minato menghentikan ciumannya ketika merasakan Naruto yang menggeliat di pangkuannya. Dia meringis ketika Kushina memautkan bibirnya. "Kita lanjutkan nanti malam ya?"

Kushina mendengus, wajahnya merona. "Kau sudah bisa pulang?"

Minato mengangguk. "Tinggal beres-beres."

Tanpa buang waktu lagi, mantan sekretaris Minato itu mulai membereskan berkas-berkas di meja Minato. Minato tersenyum, membenarkan posisi Naruto. Dia melingkarkan lengan mungil Naruto di lehernya dan kaki Naruto di pinggangnya. Tangannya dengan sigap memeluk tubuh anaknya. Naruto mengerang sesaat, namun dia tetap tertidur pulas. Wajahnya menempel di lekukan leher Minato.

"Aku masih salut dengan Naruto." Kushina berbisik. "Dia sama sekali tidak terganggu dengan jambangmu yang panjang itu."

Minato tertawa sesaat. "Aku kan ayahnya. Ayo."

Kushina tersenyum, berjalan di belakang Minato. Namun, sebelum dia keluar dari kantor, matanya terpaku pada buku kuning muda yang familiar di balik meja Minato. "Hei. Ini kan diariku?"

Minato berani bersumpah kalau jantungnya berhenti berdetak.

"Kok ada di sini?" Kushina mengerutkan kening.

"Naruto menemukan buku itu di perpustakaan." Minato menjawab cepat.

"Oh, dia menemukan buku diariku yang satu lagi di perpustakaan juga." Kushina masih mengerutkan kening. "Kok aneh ya? Kenapa buku-bukuku ada di perpustakaan?"

"Entah?" Minato tertawa.

"Naruto tidak baca kan?" Kushina cepat-cepat bertanya.

"Naruto belum bisa baca kanji."

"Kau tidak baca kan?" Kushina bertanya lagi, kali ini nadanya menajam.

Minato terpaku. Dia tertawa kaku, dengan sengaja mengoncangkan tubuh Naruto sesaat, membuat bocah itu mengerang. "Ah! Naruto nanti bangun." Minato mendesis pelan. "Ayo pulang." Tanpa menunggu jawaban Kushina, dia langsung keluar dari kantornya.

Kushina menyipitkan mata. Dia tidak tahu harus merasa senang karena dia menemukan diarinya atau merasa ingin membunuh Minato. Sambil mendengus, wanita itu mengikuti Minato, menutup pintu kantor.

.

.

.

.

.

Kushina tidak tahu kapan kemarahannya menghilang, ketika melihat Minato dan Naruto yang makan dengan lahap atau ketika melihat Minato yang menyanyikan lagu nina bobo, meniduri Naruto. "Kau tahu…"

"Hmm?" Minato menoleh ke arahnya. Tangannya masih mengelus rambut Naruto.

"Aku merasa beruntung punya suami yang bisa menyanyikan nina bobo."

Minato tertawa pelan.

"Soalnya aku tidak bisa membayangkan suami seperti Fugaku melakukan itu."

Minato meringis, beranjak dari kasur anaknya. "Kau tahu…" dia berbisik. "Naruto belum bisa membaca kanji. Namun, Kakashi membacakan diari itu pada Naruto."

Kushina melotot.

"Tenang, tenang. Dia membacakan bagian yang aman."

"Kau juga baca?" Kushina mendesis.

Minato tertawa panik. "Aku cuma melihat sekilas."

Kushina melotot semakin menjadi-jadi.

"Pokoknya, bukan itu yang mau kubicarakan." Minato cepat-cepat menenangkan istrinya. "Aku cuma lihat sekilas, jadi aku tidak tahu apa isi diarimu. Aku juga tidak tahu bagian mana yang diceritakan Kakashi…"

Kushina meneguk ludah. Dia mulai mengingat-ingat apa yang dia tulis di sana, namun ingatannya menjadi kacau. Di kepalanya sekarang adalah bunuh Kakashi, bunuh Kakashi dan bunuh Kakashi.

"… tapi kau tahu apa yang Naruto ucapkan padaku tadi ketika kami berdua mandi?"

"Apa?"

Minato tersenyum. "Dia bilang kalau dia sangat mencintaimu."

Kushina terpaku. "Kok bisa? Dia… dia tidak pernah bilang seperti itu sebelumnya…"

"Begitu-begitu Naruto pemalu." Minato meringis. "Dia juga bilang kalau dia mau minta maaf padamu karena ketika kau mengandungnya kau menjadi cemas dan ketakutan."

Kushina menggigit bibir. Matanya terpaku pada Naruto yang sedang tertidur. "Dia… tidak seharusnya dia tahu tentang itu…"

"Aku tahu." Minato tersenyum singkat. "Dia bilang, mulai sekarang dia akan menjadi anak baik karena dia tidak mau membuatmu sedih lagi."

Kushina tertawa. Dia sama sekali tidak sadar kalau suaranya sudah bergetar. "Baka… ibu tidak pernah sedih…" Dia mengusap rambut Naruto. "Sebaliknya…" Kau membuat Ibu bahagia.

"Ayo." Minato berjalan menuju pintu kamar Naruto. "Kita kembali ke kamar kita."

Kushina mengangguk, mengecup pipi Naruto. Sesaat, matanya terpaku pada tanda lahir di wajah Naruto. "Minato, kau tahu…"

"Apa?"

"Di hari kita diserang kyuubi…"

Minato terpaku sesaat.

"Kita sudah siap untuk mati kan?" Suara Kushina bergetar. Minato kembali mendekati Kushina, memeluk bahu istrinya. "Tapi… kita tidak tewas. Kita selamat."

"Ya. Meski aku tidak tahu kenapa."

"Ingatan kita terhapus."

Minato mengangguk.

"Minato, bukankah kau pernah mengalami hal yang sama? Misi sebelum kau menjadi hokage." Kushina menatap suaminya. Minato terpaku sesaat, teringat ketika dia sedang menjalani misi untuk menghentikan rencana jahat Anrokuzan yang melibatkan Sara. "Kau berhasil melakukan misi itu, tapi kau melupakan sesuatu yang penting."

Minato terpaku. "Aku tahu."

"Kenapa?"

Mata Minato melirik sesaat ke arah Naruto. "Aku sengaja menghapus ingatanku… karena aku bertemu dengan seseorang yang seharusnya tidak kutemui. Orang itu datang dari dimensi lain, membantu kami menunaskan misi itu."

"Siapa orang itu?"

Minato menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat."

Kushina terdiam. "Kau tahu… di malam itu, ketika kyuubi menyerang kita... Aku…" Kushina menggigit bibirnya, mengusap wajah Naruto dengan pelan. "Aku tidak ingat apa-apa, tapi aku bersumpah kalau aku melihat lelaki berambut pirang yang mengenakan jubah hokage dan mempunyai tanda lahir yang sama dengan Naruto." Kushina bisa merasakan tubuh Minato yang menegang. "Lelaki itu membentuk segel, dan di detik kemudian aku merasakan cakranya masuk ke dalam tubuhku, memberiku kehidupan lagi. Dia melakukan hal yang sama untukmu."

"Lalu?"

"Sebelum aku kehilangan kesadaran, lelaki itu tersenyum ke arahku. Dia memanggilku…"

Ucapan Kushina terputus ketika Naruto membuka matanya. Bocah itu menggeliat, mengusap matanya yang setengah terbuka. "Ibu?" Dia meringis ketika melihat ayahnya yang memeluk Kushina dari belakang. "Aku juga mau…" Sambil menguap, dia meringkuk, menempelkan kepalanya di paha Kushina. Jari-jari mungil Naruto menggenggam tangan ayahnya.

"Kita membangunkannya." Minato mendengus geli.

"Ayo bawa dia ke kamar kita." Kushina cekikikan, dengan mudah menggendong Naruto yang kembali terlelap. Sebelum keluar dari kamar, dia menyelipkan buku diarinya di balik celemek. "Kau tahu, kita memang seharusnya lupa akan apa yang terjadi malam itu."

"Hmm? Lalu?"

"Tapi aku tidak bisa lupa karena wajah lelaki itu tampan sekali." Kushina dengan sengaja mengedip ke arah Minato, membuat lelaki itu menaikkan sebelah alis.

"Kau mau membuatku cemburu, Kushina?"

"Entahlah." Kushina meringis. Dia menempelkan bibirnya di kening Naruto. "Siapa pun dia, aku yakin kalau Naruto akan menjadi setampan dia. Sekuat dia. Sehebat dia. Se…"

"Oke. Kau membuatku cemburu." Tanpa peringatan, Minato menundukkan kepala, menggigit leher Kushina. Wanita itu melompat kaget, kembali membuat Naruto terbangun sepenuhnya.

"Naruto! Ayahmu mengganggu Ibu!" Kushina memanyunkan bibirnya.

"Ahhh! Ayah! Jangan ganggu Ibu!" Naruto mengerang. Dia meronta-ronta, memaksa Kushina untuk menurunkannya.

"Naruto! Kalahkan Ayah!" Kushina berseru, menunjuk ke arah Minato yang menyeringai lebar. Tanpa buang waktu lagi, Naruto kembali melompat ke arah Minato, membuat sang yondaime itu tertawa.

"Aku akan mengalahkan Ayah! Raawrrr!" Bocah itu menirukan suara monster. Namun di detik kemudian dia langsung tertawa karena Minato menggelitikinya tanpa henti. "Ampun Ayah! Ampun! Ahhh! Geli, dattebayo!"

Kushina tertawa terbahak-bahak, mengusap air matanya. Dia mengeluarkan buku diari dari balik celemeknya. Dengan senyuman lebar, dia memasukkan buku itu di laci kamarnya, menyimpan buku itu bersama diari yang satu lagi; diari yang dia tulis ketika dia masih remaja.

Kushina tidak ingat apa yang dia tulis di kedua buku diari itu. Namun dia tahu pasti, nyaris semua lembar di buku itu menceritakan tentang dirinya dan Minato.

Matanya terpaku pada Naruto yang masih tertawa di atas ranjang, berusaha untuk melindungi perutnya dari jari-jari Minato.

Sambil menyeringai lebar, Kushina melempar tubuhnya ke arah ranjang, mendarat di tubuh Minato dengan sempurna. Naruto tertawa, melompat di atas tubuh Kushina. "Namikaze sandwitch!" Kushina berseru kencang. Minato meringis, memeluk istri dan anaknya. "Ayo tidur! Sudah malam!" Kushina tertawa, mengecup pipi Naruto. Meski anak itu merengut, dia tidak menolak ketika Kushina menyelimutinya.

"Ibu, mau tahu rahasia?" Naruto berbisik pelan di telinga Kushina. "Aku saaayaanggg sekali sama Ibu!"

Kushina tersenyum lebar. Dadanya terasa sesak ketika melihat senyuman ceria Naruto.

"Ayah juga mau tahu rahasia?" Naruto kembali berbisik ke arah Minato. Lelaki berambut pirang itu tersenyum, mengangguk. "Aku sayaaang Ayah! Kita akan menjadi tim hokage di masa depan yaaa! Jangan bilang Ibu ya! Jadikan kejutan untuknya!" Naruto menyeringai, sama sekali tidak sadar bahwa 'berbisik'-nya itu berarti berteriak. Kushina dan Minato meringis, mengecup pipi putra mereka.

Sampai sekarang, Minato dan Kushina tidak tahu siapa lelaki yang menyelamatkan mereka. Namun, siapa pun lelaki itu, mereka tidak bisa berterima kasih dengan cukup. Berkat lelaki itu, mereka bisa hidup bersama Naruto, memeluk bocah itu di dalam tidur mereka.


THE END

AN: oke, chapter kali ini kurang ada 'diary' nya... lebih ke family. Sebenarnya, waktu aku menulis 'Diary', aku mau buat ending di mana sebenarnya Minato dan Kushina tewas (mengikuti alur di anime) dan Naruto menemukan diari Kushina tanpa tahu kalau sang penulis diari itu ibu kandungnya.

Tapi... sekali dipikir-pikir, aku tidak tega membunuh Minato dan Kushina!

Aku suka buat cerita canon family tentang keluarga Namikaze.

Jadi, aku berharap reader sekalian suka dengan chapter ini, meski kurang ada romance atau diary-nya.

Lalu... buat reader yang bingung... Di movie Naruto The Lost Tower, Naruto datang ke masa lalu, membantu Minato menuntaskan misinya. akhirnya Minato menghapus ingatan mereka. Jadi waktu Naruto kembali ke masanya, dia tidak ingat sama Minato.

Sedangkan di movie Naruto The Road of Ninja, Naruto pergi ke dimensi lain, ketemu sama Kushina dan Minato yang masih hidup. Jadi aku dapat ide dari situ. Kushina dan Minato di fiction ini selamat karena 'seseorang' datang ke dimensi mereka dan menyelamatkan Minato dan Kushina.

Reader sekalian tentunya tahu kan siapa 'seseorang' itu? ;)

Makasih udah bersedia nunggu buat chapter terakhir ini!