Previous Chap :

Naruto duduk bersila di atas kasur. Kepalanya ia tundukan dan rambut jabriknya ia acak-acak. Nyaris semenit terlewat, dia terkekeh.

"Jahatnya aku..." Dia belai rambut Hinata dan tersenyum. Dia sentuh pelan kelopak mata Hinata yang tertutup. "Kalau kau tau niat awalku, mungkin mata ini akan menangis."

Naruto menghela nafas—agak keras. "Tapi... ya sudahlah."

Naruto berakhir tidur di sebelah Hinata, masih berpakaian lengkap, lalu jadi bahagia sendiri saat memperhatikan wajah itu tidur saat mereka berhadapan. Dia tarik tubuh Hinata mendekat, dan memeluknya dengan dekapan hangat. Keningnya ia cium dan Naruto menaruh pipinya sendiri ke kepala indigo Hinata. "Oyasumi, Hime. Aku sangat mencintaimu..."

Dua jam lamanya Naruto terjaga untuk memperhatikan Hinata dan menciumi pipi gadis itu sampai puas. Tapi karena tiba-tiba kesadarannya lama-lama menghilang, Naruto lupa berpindah tempat saat pagi, jadi tak heran kala subuh datang Hinata terbangun sambil memekik kencang ada Naruto di sebelahnya.

.

.

Yamanaka Ino mengaduk pelan sedotan yang ada di gelasnya dengan gerakan tak sabar. Raut wajahnya murung. Bete. Berkali-kali poninya dia sibak ke samping sampai berantakan, dan berkali-kali pula ia membenarkan posisi duduknya yang pegal di bangku tinggi ini.

Kapan Gaara datang?

Itulah yang menggerogoti isi kepala gadis pirang itu. Sekali lagi ia melirik layar ponselnya dan memeriksa chat terakhir dari Sabaku Gaara. Sebentar lagi sampai, katanya. Tapi kapan? Gemas, Ino meletakkan ponselnya dengan kasar ke permukaan meja dan melirik pintu masuk bar yang terletak di tengah mall di balik pintu kaca ada sebuah sosok berkepala merah yang datang dan baru saja membuka pintu.

Raut marah yang inginnya Ino pertahankan luntur seketika. Rahangnya menegang saat ia mencoba memperbaiki penampilannya sebelum pria itu mengisi bangku di sebelahnya.

"Bagaimana, sudah kau putuskan?"

Nada retoriknya keluar begitu pria itu menyampingkan tubuh untuk melihatnya. Seperti biasa; Gaara begitu serius dan to the point. Tak bisakah dia berbasa-basi sedikit?

"Kamu bikin seorang perempuan nunggu 45 menit, di sini, sendirian. Lalu kau datang tanpa minta maaf, begitu?" Ino kesal. Ya, jelas. Tapi tidak tau kenapa ia tidak bisa marah pada pemuda ini. Menyindir seperti ini saja sudah maksimal.

Gaara mendengus geli. Dia panggil bartender yang lagi bekerja dan memesan satu gelas cocktail dingin. Setelahnya ia melirik Ino sekilas. "Tenanglah. Ini bar kecil yang cukup terbuka. Ngga akan ada yang gangguin kalaupun kau menunggu lama di sini."

Ino menekuk wajahnya. Gaara mungkin tidak tau kalau dia sempat digoda oleh manajer tempat ini. "Terserahlah."

"Yang jelas, apa jawabanmu atas penawaran kita?"

Ino memejamkan matanya sebentar. "Membantumu menjatuhkan Sasuke?"

"Ya."

"Dengar, Gaara. Aku memang ngga tahu lengkap soal masalah kalian, tapi tolong jangan ganggu Sasuke lagi."

Kekehan geli Gaara keluar. "Kenapa? Kau menyukainya, hm?"

"Ngga! Tapi nyelakain Sasuke sama aja nyelakain Sakura, kan!? Kau pikir aku ngga tau kalau kau lah yang membuat Sakura tenggelam!?"

Gaara tertawa lepas tepat saat gelas minumannya datang. "Ternyata kau cukup perhatian juga."

Ino geleng kepala. Dia ingin pergi tapi Gaara menahan dengan cepat. Cengkeraman di sikunya begitu menyakitkan. "Aku minta bantuan cuma darimu, Ino. Jika usahaku kali ini selesai, aku akan berhenti mengganggunya—Sakura juga."

"..."

Kali ini seulas senyum dikeluarkan Gaara. Senyum yang dipadu dengan hijau jade-nya yang berkilau. "Bantu aku. Hanya kau yang bisa kupercaya."

Ino menelan ludah. Dia melepaskan tangan Gaara dan memalingkan wajah. "Baiklah. Tapi kalau aku sampai tau kau melukai Sakura lagi. Aku ngga akan segan membeberkan rencanamu pada mereka."

"Bagus." Gaara langsung menyerahkan secarik surat kepadanya. "Sekarang tugasmu satu, letakkan surat ini ke tas atau loker Hinata. Bilang padaku kalau kau sudah melakukannya—karena itulah awal rencana 'candaan ala anak remaja' ini akan dimulai."

.

.

.

TWINS ALERT!

"Twins Alert!" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[SasuHina—SasuSaku & NaruHina]

Romance, Friendship, Drama

AU, OOC, Typos, Multipair, etc.

.

.

TWENTIETH. Kacamata

.

.

Pagi menjelang siang yang cerah.

Tiap hari SMA ini memberikan jatah istirahat sebanyak dua kali per hari. Sesi pertama dimulai pada jam 10.00, dan yang kedua berada di jam 13.00—masing-masing berdurasi 30 menit. Berhubung sekarang masih jam 10.18 dan ini belum menyentuh jadwal makan siang, Hinata memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatnya di kelas.

Dia cuma diam di bangkunya sambil mendengungkan sebuah lagu yang baru-baru ini ia hafal. Tangan lihainya mengepang rambutnya menjadi dua bagian, mata lavendernya tak lepas-lepas dari kaca yang sengaja ia dirikan di atas permukaan meja. Sesekali ia tersenyum saat melihat tatanan rambutnya sudah hampir selesai. Tinggal diikat sedikit dan... selesai. Penampilannya kali ini sudah seperti kembali ke sedia kala—awal dia memasuki sekolah ini. Rambut biru pekat dengan dua kepangan longgar yang mudah untuk dibuat.

"Hinata..."

"Ah, Naruto-kun? Selamat siang." Katanya seraya tersenyum saat pria itu datang.

"Mau ke bawah, ngga? Aku lapar..." Suara Naruto memelan begitu ia melihat sosok sang kekasih yang ada di depannya. Mata birunya membulat untuk sesaat.

"Aku sebenarnya ngga lapar. Tapi kalau Naruto-kun ingin ditemani ke bawah, aku akan ke bawah."

Naruto masih diam terpana. Hinata. Ya, Hinata-nya... begitu menggemaskan dan manis dengan penampilan seklasik itu. Apalagi saat ini wajahnya tak lagi ditutupi oleh kacamata bulat super tebal khas keluarga Uchiha. Matanya yang menyipit karena senyuman memperindah rupanya.

"Aku baru tau kalau ada malaikat tak bersayap di sekolah ini."

Mengabaikan perutnya yang tadi berbunyi, Naruto bergerak cepat untuk duduk di sebelah Hinata dan merangkul gadis itu dengan gaya maskulin. Seringai rubahnya muncul ketika ia berbisik. "Aku jadi ingin tidur bersamamu lagi—aduh."

Hinata mengerucutkan bibir dan mencubit perut Naruto sekali lagi. "Ja-Jangan keras-keras..."

"Kenapa? Memangnya itu rahasia?" Naruto tetap tidak mengecilkan suaranya dan terus terkikik geli. "Padahal aku ingin semua orang tau kalau kau pernah bilang 'Naruto-kun, jangan tinggalkan aku.. jangan lepaskan aku... peluk aku terus, Naruto-kun' saat kau tidur..."

"E-Eh? A-Aku ngga mungkin ngigau seperti itu..."

"Aku punya rekamanannya di ponsel kalau kau ngga percaya. Mau liat?"

"Ja-Jangan!" Hinata gelalapan sendiri. Ia tahan tangan Naruto yang akan merogoh ponselnya—belum sadar gelagat pria itu hanyalah sebuah akting.

Selama Naruto dan Hinata masih rusuh soal 'malam itu' di kelas, ada beberapa murid yang diam-diam memasang kuping. Bahkan ada yang sengaja menoleh, mengintip mereka dengan wajah penasaran. Mereka sudah tidur bersama, rupanya—batin para siswa cowok yang mulai mikir aneh-aneh.

Naruto terkekeh geli. Dia memang paling senang menjahili Hinata dengan gurauannya. Kalaupun gadis berponi ini ngambek, paling yang ada cuma pipi yang menggembung dan kedua alis yang menekuk turun. Menggemaskan. Seperti yang saat ini Hinata tampilkan untuknya.

"Sini mana bibirnya, aku cium dulu..."

Hinata cemberut dan Naruto memeluk pinggangnya. Dengan senyum Naruto mendekatkan bibirnya ke pipi kanan Hinata, namun gadis itu memalingkan wajah. Naruto mengikuti gerakannya, dan gadis itu menghindar lagi dengan cara mengadah. Dengan kedua mata yang terpejam serta bibir yang merengut, Hinata mati-matian menghindari ciuman Naruto yang begitu menginginkannya.

"Hei, Naruto! Jangan pacaran di kelas! Kau mau kulaporin ke guru, hah!"

Dengan wajah bete Naruto melirik. Teriakan tadi cukup familiar di pendengarannya.

Mungkin cuma satu orang yang bisa menegur Naruto dengan sadis; hitung-hitung sekaligus menyelamatkan Hinata. Kin Tsuchi namanya. Dia ketua kelas Naruto yang kebetulan sedang meminjamkan catatannya ke teman sekelas Hinata. Kehadirannya di sini yang memergoki mereka, tanpa segan langsung menunjuk Naruto dengan acungan jari. Kin memasang wajah marah dan kelihatannya ancamannya serius. Jadilah dengan bibir dimajukan Naruto melepaskan diri dari Hinata. Ia juga menaikkan kedua tangannya di samping kepala, persis seperti kriminal yang terbekuk polisi.

"Iya, iyaa..." Lalu ia menggerutu dengan bisikan ke telinga Hinata. "Dia lebih nyebelin dari Sakura."

"Apa katamu!?" Kin nyaris melempar Naruto dengan tempat pensil. Tapi karena sadar bahwa orang-orang di kelas ini sedang memperhatikan, dia berdeham dan menenangkan diri. Dia tarik juga Naruto agar menjauh dari Hinata. "Jam istirahat sudah hampir habis. Kau harus kembali ke kelas."

"Duluan aja."

"Kau ikut denganku."

Dengan bibir yang maju Naruto mematuhi Kin.

"Jaga sikapmu kalau di sekolah, Naruto. Di sini ngga boleh pacaran. Sasuke saja ngga pernah bermesraan dengan Sakura, kan?" Ceramahan berlanjut saat mereka sudah keluar kelas XI-A.

"Asal kau tau, Sasuke sama Sakura itu mesranya kalau ngga ada orang. Mereka lebih parah dibanding aku. Tau sendiri kan Sakura itu gimana?" Naruto berkomentar asal meski Kin tetap tak percaya.

Hingga saat dia masuk ke kelas, Naruto sedikit terdiam saat ia menemukan Sasuke yang lagi-lagi masih membaca buku novel bersampul hitam di bangkunya. Mata safirnya mengernyit tak paham. Apa yang seru dari membaca buku di jam istirahat? Dan kenapa bisa Sakura menyukai orang membosankan sepertinya? Oke, Naruto sudah tau Sasuke itu tampan. Tapi percuma juga kan punya muka bagus tapi sifatnya kutu buku begitu? Memangnya Sakura suka diajak kencan ke perpustakaan?

Sepertinya Naruto lupa kalau Hinata sebenarnya kurang lebih sama dengan Sasuke.

Naruto berpikir sebentar sebelum sebuah ide melintasi kepalanya. Ia datangi cowok berkacamata bulat itu dengan sebuah senyum yang sudah terilis.

"Hei, Sasuke."

Sasuke tak menggubrisnya. Ia membalik halaman buku.

"Aku mau tanya."

Masih diam.

"Ini soal pelajaran."

"Pelajaran apa?"

Ada kemajuan walau Sasuke tetap tak berniat menatap kedua matanya. "Di luar sekolah, sejauh ini kau sama sakura sudah berbuat apa aja?"

Itu pertanyaan soal pelajarannya, ya? Sasuke menghela nafas malas.

"Bukan urusanmu."

"Aku serius." Desaknya. "Apa kalian pernah pelukan? Berpegangan tangan? Berciuman? Atau hal-hal lain yang lebih hebat dari itu? Misalnya ke hotel, main ikat-ikatan, terus—"

"Bukan urusanmu." Lagi, Sasuke menekankan. Naruto berdecak.

Oh, ya sudah.

Ada tangan tan yang menyambar kacamata bulat Sasuke.

Naruto tersenyum; Sasuke terkejut—itu dapat dilihat dari mata oniksnya yang terbuka.

"Kembalikan." Suara pria itu dalam.

"Sini." Kacamatanya Naruto mainkan di jari. "Maju kalau berani."

Setengah geram Sasuke bergerak maju. Niatnya ingin langsung menarik kerah baju Naruto namun pria jabrik itu memiliki gerak motorik yang bagus untuk memundurkan badan. Bertepatan dengan itu pula ada seorang guru yang masuk kelas dan menyuruh mereka semua—berikut murid-murid yang baru datang dari luar—untuk duduk rapi di bangku masing-masing. Ternyata bel tanda akhir istirahat sudah berdering dari tadi. Dengan terpaksa duduk diam di tempatnya. Mengejar Naruto pun percuma. Dengan mata yang seperti ini dia bagaikan kaca mobil yang tertutup derasnya hujan—buram. Wajah kesalnya terpampang jelas, dan sadar tak sadar hal itu membuat diri Sasuke Uchiha semakin terekspos.

Ya.

Dimulai dari satu orang, lalu lima, kemudian sembilan, dan terakhir delapan belas orang yang melihatnya sebelum benar-benar duduk. Reaksi mereka semua terbilang sederhana; melihat wajah Sasuke, diam sebentar, lalu lanjut duduk rapi di bangkunya sambil menghadap ke papan tulis. Tapi buat yang cewek-cewek, semuanya berbisik. Menyikut teman di sebelah sambil melihat lagi Sasuke dengan wajah penuh dendam di mejanya. Beberapa dari mereka pun ada yang menulis status penuh keterkejutan di media sosialnya. Iya, ada.

Berita pun menyebar dengan cepat, sedangkan Naruto di bangkunya tertawa dalam hati. Sudah dia duga, Sasuke tak akan bisa macam-macam tanpa kacamata noraknya.

.

.

~zo : twins alert~

.

.

Tepat jam 13.00, istirahat kedua.

"Sakura!"

Sakura nyaris tersedak jus jeruk saat Naruto menabrak punggungnya dari belakang. Gadis yang sedang duduk di meja makan itu terpaksa menepuk-nepuk dadanya yang sesak dan balas memukul Naruto tepat di bahu. "Apa-apaan sih, Naruto!? Mau buat aku mati, ya!?"

"Kau belum akan mati sebelum melihat Sasuke yang sekarang."

Sakura mengernyit saat pria pirang itu duduk di sebelahnya. "Ada apa dengan Sasuke?"

"Ke mana saja kau selama ini, bodoh?" Naruto menyeringai pelan. "Sasuke sudah menyiapkan kejutan untukmu."

"Kejutan? Kau ini lagi bercanda atau apa sih? Pria seperti dia mana bisa buat kejutan." Sakura memutar bola mata. Dengan bete meminum jusnya ia mengusir Naruto. "Pergi sana. Aku masih mau nambahin lemak di sini."

"Sakura lagi stres sasuke tidak mau mendatanginya duluan ke kelas." Ino membeberkan dan Sakura melotot.

"Aku ngga permasalahin hal itu, Ino!" Dengan bibir yang cemberut dia menunduk pasrah. "Aku cuma kesal karena sifat Sasuke yang terlalu pendiam kalau di sekolah. Kalau begini terus sama aja kayak ngga pacaran, kan?"

Timming yang tepat rupanya.

"Bilang sendiri pada Sasuke. Sakura Haruno kan anak nakal—jadinya kau ingin dia sedikit lebih agresif kalau bersamamu." Naruto memberi sebuah ide.

"Gila, harga diriku mau ditaruh ke mana, bodoh?"

"Tapi memang aslinya kau agresif, kan?"

"Enak saja!"

"Ya sudah, kalau mau gampangnya, buka aja bajumu untuk melihat Sasuke menjadi agresif." Naruto langsung menjauh sebelum siraman air jus menyerang wajahnya. Kini dia berdiri di belakang Ino dan kemudian melempar pelan sebuah kacamata bulat dari ke atas meja kantin.

"Ini saran terakhir dariku. Semoga bisa membantu."

Sakura dan Ino sama-sama mengernyit melihat kacamata berat yang terlihat familiar ini. "Kacamata? Buat apa?"

"Itu kacamata Sasuke. Baru aja aku ambil."

"APA?"

"Sudah kubilang Sasuke menyiapkan kejutan untukmu. Kembaliin ke dia, ya. Aku mau bolos di lantai atas sebelum orang itu membunuhku."

"Naruto—hei!" Sakura berdiri, ingin menahan Naruto namun pria itu sudah melesat pergi. Dari arah pria pirang itu berlari, mungkin dia cuma mau menghabiskan waktu bolosnya dengan tidur di aula lantai 4 seperti biasa. "Dasar anak itu, kenapa dia keterlaluan sekali ngambil kacamata Sasuke?"

"Keterlaluan dari mana? Ini justru kesempatan emasmu, Sakura!" Ino yang juga agak syok dengan kelakuan Naruto lantas menarik Sakura agar kembali duduk. "Sekarang, kau harus ke atas! Lihat wajah Sasuke! Buka matamu lebar-lebar!"

"Please, Ino, jangan norak. Sasuke sudah berkali-kali melepas kacamatanya di depanku—ini bukan hal baru."

"Lalu apa reaksimu?"

Sakura menelan ludah. Mana kuat ia melihat kenyataan yang dulu pernah dihidangkan untuknya? "Jelek." Tandasnya, cepat. "Sudah kubilang mukanya akan mengecewakan—"

"Bohong! Pasti kamu ngga berani lihat!"

"Aku lihat kok!" Oke, ini bohong.

Mata Ino menyipit curiga. Dengan angkuh dia berdiri. "Kalau begitu aku mau ke atas buat lihat muka Sasuke yang sebenarnya. Bye—"

Sakura menarik Ino untuk kembali terduduk. Dirinya berdesis. "Kenapa kau jadi penasaran begini sih!?"

"Karena aku memang penasaran! Foto Sasuke di wallpaper ponselmu aja sudah keren!"

Kalimat Ino seolah menamparnya. Wajah Sakura merona parah.

"B-Bukan! Sudah kubilang kan itu Ryuji Sato!"

Ino mendengus geli. "Kamu pikir aku dan yang lain ngga tau siapa yang di wallpaper ponselmu? Kita semua sudah tau dari awal kalau pemilik punggung itu adalah Sasuke."

Sakura mati kutu—setengah kaget, setengah malu. Kalau diingat-ingat, memang sudah dari lama dia membiarkan foto Sasuke menghiasi wallpaper ponselnya—foto ekslusif yang dia dapatkan diam-diam saat menyelinap ke kamar pria itus saat outing. Sebenarnya fotonya simpel. Hanya punggung Sasuke yang bertelanjang dada. Membelakanginya mata kamera pula. Makanya saat Ino dan teman-teman lainnya sengaja bertanya itu siapa, jawaban Sakura cuma satu: artis.

Pantas yang lain cekikikan saat mendengarnya. Ternyata mereka tau kalau orang wallpaper itu adalah Sasuke. Mereka tau dia berbohong.

"Makanya, ayo temenin aku ke atas. Aku mau lihat Sasuke."

"Whatever." Sakura menggenggam erat kacamata Sasuke dan melengos pergi mendahului Ino—daripada melihat Sasuke, lebih baik ia sembunyikan dulu wajahnya ini di bilik toilet dekat kantin. Dia masih malu soal ini. Tapi belum sempat meninggalkan kantin, sudah ada seseorang yang menabraknya—lagi. Persis seperti tabrakan Naruto yang tadi, bedanya ini langsung memeluknya erat.

"Berat, Tenten!"

Tenten menunjukkan muka gemilangnya. "Pasti sekarang kau mau melihat Sasuke kan, Sakura! Sana lihat sendiri di kelas!" Lalu dia tertawa kencang yang langsung membuat kedua sahabatnya terdiam.

"Kamu sudah melihat wajah Sasuke, Ten?"

Tenten mengangguk senang.

"Memangnya seperti apa wajahnya?" Sakura menelan ludah. Eh, kenapa dia jadi ikutan kepo?

Apa mata Sasuke sebenarnya jelek? Miring atau sipit banget kayak garis, misalnya? Tapi bukannya ia sudah pernah liat mata Sasuke secara sekilas? Dan rasanya tidak aneh kok. Apa itu hanya delusinya?

Sakura menggigit bibir. Sekalipun dia lebih ingin Sasuke jelek, ada 80% kemungkinan (melalui pemikiran yang telah ia matangkan) Sasuke memiliki wajah yang tampan. Tapi entah kenapa tawa Tenten yang sangat tidak elit membuat pemikirannya retak di beberapa bagian.

"Kamu—duh, harus melihatnya sendiri, Sakura! Sumpah! Hahaha!"

Sebegitu jeleknya kah Sasuke di mata Tenten?

Tenten lagi tidak bisa dikendalikan. Dan rasanya hal ini pernah kejadian saat Tenten melihat dirinya potong poni jadi rata di atas alis—oke, yang ini Sakura juga mual melihat penampilannya. Tapi yang jelas ia tau bahwa Tenten sedang 'tertawa menghina'. Entah apa yang bisa ditertawakan dari sosok Sasuke Uchiha yang tak mengenakan kacamata.

Meyakinkan diri sebentar, Sakura memutuskan untuk langsung ke atas, meninggalkan Tenten dan Ino—yang bahkan tak lagi melangkah. Ino menatap punggung Sakura yang mulai menghilang dari kejauhan dan melirik Tenten sekali lagi sambil mencubitnya.

"Kamu nih kenapa sih, Ten? Mood Sakura langsung turun tuh jadinya, padahal baru aja dia mau liat muka Sasuke tanpa kacamatanya."

"Biarin, pfft... memang sengaja kok."

"Sengaja? Memangnya wajah Sasuke benar-benar jelek, ya—?" Kalimat Ino terputus saat Tenten mencengkeram telapak tangannya kuat-kuat. Mata cokelat bening itu menatapnya lurus. Dan kali ini gadis bercepol dua itu tak lagi tertawa, rautnya serius. "Kenapa?"

"Wajah Sasuke... unbelieveable handsome. Sumpah."

Tenten berbisik sambil lemas sendiri. Ino melotot kaget.

"Aku memang tau kalau Sasuke punya hidung dan juga bibir yang pas, tapi kukira itu masih biasa aja. Tapi saat matanya kulihat, apalagi tatapannya—GILA, AAA AKU JADI TIDAK RESTU SAKURA PACARAN SAMA DIA! HAHAHAA!" Tenten tertawa keras sambil meremas gemas kemeja Ino sampai lecak.

Ino hanya menghela nafas pasrah.

Tapi kalau Tenten yang terkenal tomboy aja bisa sampai seaneh ini... bagaimana dengan reaksi Sakura nantinya?

.

.

~zo : twins alert~

.

.

"PR sialan."

Dengan menghela nafas kesal Kiba menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya direnggangkan sesaat kemudian dilipat ke belakang kepala. Ia kembali memperhatikan dua buku catatan yang tergeletak di mejanya dengan pandangan jijik. Dia baru tau kelas biologi nanti akan ada PR yang ditagih. Karena tak mengerjakan sama sekali, pada awalnya Kiba ingin menyerah dan pasrah. Setidaknya ia bisa menggunakan waktu istirahat akhir yang lumayan panjang ini untuk menyantap makan siang di kantin. Perutnya sudah keroncongan dari tadi. Tapi sifat killer guru biologi juga tak bisa diabaikan. Pilihan antara mengerjakan—ehm, menyalin—PR dan makan siang berebut posisi di kepalanya.

"Kau Kiba Inuzuka?"

Salah satu alis Kiba naik saat ia mendengar suara itu dari depan meja. Ternyata entah dari kapan sudah ada Sasuke Uchiha di hadapannya.

Dan dia... tidak mengenakan kacamata?

Kiba jadi sempat salah fokus menggunakan lima detiknya untuk terdiam memandangi wajah yang... err, entahlah bagaimana cara mengakuinya. "Iya. Aku Kiba. Kenapa? kau lupa namaku? Nama teman sekelasmu?" Kiba sewot sendiri. Efek kurang bisa menerima kenyataan saat melihat wajah asli si cupu Uchiha, mungkin?

Sasuke mengambil sesuatu dari dompet dan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja Kiba begitu saja.

"Ambilkan kacamataku."

"Kacamata? Kau taruh di mana?"

"Naruto."

"Oh, Naruto mengambilnya darimu?" Kiba melirik singkat uang 2000 yen yang ada di hadapannya. Jumlah yang lumayan hanya untuk mengambil sebuah barang. "Kalau ngga ada di dianya lagi, gimana?"

"Lakukan apapun yang bisa membuatnya kesal. Kau sahabatnya, seharusnya kau tau."

"Jelas. Tenang aja." Kiba tertawa dan menarik lembaran uang yang ada di meja. "Terima kasih atas transaksinya, Uchiha-kun."

Kiba pun berlalu dengan cengiran khasnya. PR tidak ada harganya dibanding 2000 yen yang baru ia terima. Ia membuka pintu untuk keluar kelas, dilihatnya Sakura yang membelakangi tembok luar kelas. Gadis itu terlihat gugup melihatnya sambil memegang ponsel dengan kedua tangannya di depan dada.

"Kau mau menelfon siapa? Sasuke?"

Pemilik iris giok hijau itu menoleh panik dan berdesis keras. Ia injak juga ujung sepatu Kiba sambil menurunkan ponselnya. "Diamlah sedikit! Dan juga... telfon? Siapa juga yang mau telfon dia!"

"Kalau begitu selamat berusaha." Siswa berambut cokelat acak-acakan itu tertawa dan pergi.

Ternyata memang sudah lama Sakura berdiri di depan kelasnya, terdiam tanpa suara memandangi Sasuke yang saat ini sengaja mengisi bangku belakang yang kosong tak berpenghuni. Dari depan pintu yang kacanya sedikit buram, Sakura memperhatikan Sasuke. Ya. Wajah itu tak lagi tak tertutup kacamata. Tapi dengan mata emerald-nya yang tidak begitu sempurna serta jarak yang lumayan jauh ini, mana bisa ia melihat wajah Sasuke dengan detail? Kuku kelingkingnya saja masih lebih jelas dan besar dibanding wajah pria itu bila dilihat dari sini.

Sakura menghela nafas gugup. Dia buka lock screen di ponselnya dan berdoa sebelum benar-benar menekan tombol telfon.

Trrrr...

Suatu getaran di saku celananya mengalihkan perhatian Sasuke.

"Sasuke." Sakura menyela dengan suara berat. Di awali dengan keheningan, Sakura berucap kembali. "Aku memegang kacamatamu. Berniat mengambilnya?"

'Ya.'

"Kalau begitu sepulang sekolah temui aku di UKS."

Lagi-lagi sambungan telfon mereka diam sejenak.

'Kau sakit?'

"Mm."

'Aku ke sana sekarang.'

Sakura tersentak. Dia mengintip lagi ruangan kelas XI-B dan langsung kabur saat ia melihat Sasuke yang akan berjalan keluar kelas. Buru-buru ia berlari ke ruangan kelas sebelah dan bersembunyi di balik pintu. "Ja-Jangan! Pas pulang aja!"

Tapi tunggu. Bukannya dia menghampiri pria itu untuk melihat wajahnya? Kenapa dia kabur? Sakura menelan ludah. Jantungnya masih deg-degan sekali.

'Aku akan ke sana. UKS ngga jauh.'

"Ngga usah! Nanti aja kan bisa!" Karena aku belum ke UKS! Tasku juga masih di kelas!—batinnya, gemas. "Se-Sebegitu inginnya mengambil kacamatamu, ya?"

Sasuke—yang berjalan dengan tangan menyentuh dinding sebagai panduan —menghentikan langkahnya saat mendapati kalimat itu dari Sakura. Dan kini dapat gadis itu saksikan melalui kedua mata emerald-nya, Sasuke di samping tembok itu mematung, masih dengan ponsel yang menempel di daun telinganya dan membelakanginya. Tengkuknya terlihat kala ia menunduk dan memandang lantai. 'Bukan, aku hanya...' Sasuke memelankan suara dan menahan laju kalimatnya. 'Terserahlah.'

Sasuke pergi dengan mematikan sambungannya.

Sakura yang menyaksikan hal itu menggigit bibir. Ia meremas ponsel. Debaran di jantungnya melunak. Kali ini lebih tenang dan hangat.

"Kamu... peduli, ya?"

Sakura menahan senyumannya. Dia bergegas ke ruang kesehatan.

.

.

~zo : twins alert~

.

.

Sepuluh menit sebelum bel, Sakura mendatangi ruang kesehatan yang saat itu hanya diisi oleh Shizune seorang—perawat sekolah. Keluhannya sakit perut akibat datang bulan. Jadilah ia bisa beristirahat di ruang kesehatan dengan ranjang terujung dekat jendela. Sakura sengaja menutupi sekeliling ranjangnya dengan tirai yang tersedia agar tak ketahuan memainkan ponsel selama kegiatan membolos ini.

Dia sebenarnya ingin mengirimkan email ke Sasuke. Tapi buat apa juga. Sasuke pasti tak bisa membalas pesannya.

Srak.

Tirai dibuka. Sakura bergerak cepat; dia sembunyikan ponsel di balik selimut dan memiringkan tubuhnya ke samping—seolah membenarkan posisi tidur. Kelihatannya Shizune sedang memeriksa keadaannya. Wanita tiga puluh tahunan itu berbisik, tak lupa meletakkan sebuah gelas ke meja kecil di samping ranjang. "Haruno-san, aku keluar dulu, ya. Kepala sekolah memanggil. Jangan lupa minum kalau haus—aku sudah meletakkan air hangat di sebelahmu." Dia usap punggung Sakura yang membelakanginya dan pergi.

Sakura lemas seketika.

"Ukh, buat serangan jantung aja sih..." Gumamnya tanpa bersuara. Berikut dengan suara pintu UKS yang tertutup, ia pun melihat ponselnya lagi. Tipikal remaja perempuan—tidak mau lepas dari gadget kalau lagi sendirian.

Srak.

Lagi, tirai hijau ini kembali terbuka. Sakura memejamkan mata dan menjatuhkan tangannya di atas perut. Dalam hati dia gemas sendiri. Kenapa Shizune sangat menyebalkan sekali hari ini, berulang-ulang membuka tirai? Memangnya ada barangnya yang tertinggal?

Mendadak ada suara geseran kaki kursi yang terdengar dari sebelahnya. Sakura mengintip sekilas dan nyatanya perkiraannya keliru. Kini sudah ada Sasuke di sana. Buru-buru ia menutup mata ketika arah pandangannya sudah nyaris menyentuh dagu.

Pasti dia mau mengambil kacamatanya. Sakura geregetan sendiri dengan kondisi ini. Dia lupa memegang kacamata Sasuke—benda itu bahkan terletak begitu saja di samping gelas pemberian Shizune-sensei. Jika Sasuke melihatnya, dia akan mengambilnya dan pergi dari sini, kan? Nihil sudah usaha Naruto untuknya.

Namun tiba-tiba segala pemikiran itu terlepas dan Sakura mendadak kaku. Ada jemari tangan Sasuke yang kini menyusupi helaian rambutnya. Mengelusnya lembut dan begitu perlahan seolah tak ingin merusak tatanan merah mudanya yang halus dan rapi. Jari-jari juga berjalan ke pelipis dan pipi. Membuat sentuhan sederhana bagaikan sengatan listrik untuk Haruno Sakura siang ini.

Wajahnya memanas drastis. Sudut bibirnya terangkat dan membuat senyuman lebar. Jantungnya berdegup kencang.

Hanya dengan seperti ini saja dirinya merasa sangat dimanja dan disayang. Mengerikan sekali perasaan cinta jika sanggup membuat orang menjadi lemah seperti ini.

Sakura membuka mata. menatap kancing-kancing di seragam pria itu dan menyentuh tangan Sasuke yang masih di pipinya. "Kamu datang terlalu cepat. Kan sudah kubilang ke sininya pas pulang aja. Lagian kacamatanya—"

"Cepat sembuh, bodoh."

Sakura sudah menduga Sasuke akan mengucapkan hal seperti itu, tapi tidak dengan tambahan berupa ciuman kecil di keningnya. Jantung tak bosan-bosan berdebar kencang hingga terasa sakit. Sakura memejamkan mata. Dia memeluk leher Sasuke agar tidak menjauh darinya. "Coba jujur, kamu mencemaskanku, ya?"

"Ngga."

"Bohong."

"Kau senang aku di sini?" Sasuke balas bertanya.

"Ngga juga."

Diam-diam Sakura tersenyum. Dia naikan kepalanya untuk mencium pelan bibir Sasuke yang ada di atasnya. Di awal Sasuke pikir itu kecupan, namun Sakura tak melepaskannya begitu saja. Dengan bibir yang masih menempel, perlahan-lahan Sakura membuka mata.

Dia harus melihat Sasuke saat ini. Melihat wajah kekasihnya.

Tapi... terus terang saja dia lebih suka Sasuke yang bermata empat, apalagi kalau ujung poninya sudah memenuhi bagian atas bingkai kacamatanya. Nerdy bae yang menyebalkan sudah menjadi seleranya sejak hatinya jatuh ke pria tersebut. Biarlah dia tak perlu mendapati kenyataan bahwa Sasuke lebih tampan atau lebih jelek. Dia ingin menerima Sasuke yang seperti itu; apa adanya.

Namun... demi Tuhan, Sakura, kau harus melihatnya!

Sakura membuka matanya dengan paksaan.

Dan lagi, mata hitam itulah yang kembali ia jumpai. Hitam dengan sudut mata yang sangat elegan. Tajam dan sempurna—itu bukan lagi delusinya semata. Sasuke menaikkan wajah dan Sakura masih terus melihatnya.

Kini terlihat sudah penampilan Sasuke secara keseluruhan. Wajah tampan itu yang membuat jantung Sakura seolah mati rasa. Oksigen terus terhembus hingga paru-parunya seolah menciut sampai kering. Dirinya tersentak. Ia kaget sekaligus takjub. Ingin berkomentar tapi tak tau harus mengeluarkan kalimat seperti apa. Sesak. Begitu sesak.

Memejamkan matanya rapat-rapat, Sakura mendorong Sasuke. Dia terbangun dan segera duduk memunggungi pria itu. Kakinya sekalian dia turunkan dari ranjang—berniat pergi. Tapi dia menyempatkan diri melirik lagi ke Sasuke, sekilas, lalu menelan ludah. Pria itu terlihat heran. Kedua alisnya mengerut walau tatapannya masih sedatar batu es.

Dia pun sama.

Sakura bingung.

Dia juga tidak paham apa.

Wajah itu... bahkan lebih dari ekspektasinya.

Itu bukan Sasuke yang dia bayangkan.

Sakura berniat mengambil kacamata Sasuke dan berlari pergi namun tangannya terlebih dulu ditahan.

"Kau mau pergi? Kenapa?"

"Aku merasa sudah sehat. Aku mau balik ke kelas. Jadi lebih baik kau lepasin aku." Sasuke masih menahannya. "Sasuke!"

Sasuke melepaskan tangan Sakura dalam diam. Selewat Sakura yang meninggalkannya sendiri di UKS, pria itu terdiam. Membisu sekaligus berpikir. Lagi pula ada apa dengan Sakura? Gadis itu aneh. Memeluk, memberikan ciuman, lalu melarikan diri tanpa sebab. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Seraya berpikir Sasuke meraba wajahnya dan menyadari ulang bahwa dirinya tak lagi berkacamata. Apa justru karena ini Sakura menghindarinya?

Sasuke menoleh ke belakang, menatap ke arah pintu. Minus yang mencapai angka belasan membuatnya hanya melihat campuran warna-warna buram, ditambah satu warna mencolok yang menarik perhatian indera penglihatannya. Warna merah muda. Rambut Sakura. Ternyata gadis itu masih ada di sana, di depan pintu ruang kesehatan yang bahkan belum terbuka. Sasuke masih tak berbicara. Terus diam sampai siswi itu menggerakkan tangannya yang sedang menggenggam sesuatu.

"Sasuke..."

Pria itu tak tahu bahwa sebenarnya ada jantung seorang gadis yang berdebar saat memanggil namanya.

"Kamu mau ambil kacamatamu, kan?"

"Hn."

"Kalau begitu kemarilah."

Sasuke berjalan. Lumayan pelan tapi pasti dia datang ke depan Sakura yang mengadah, namun iris matanya mengarah ke bawah. Sasuke lantas menggerakkan tangannya. Berniat meraih tangan Sakura tapi gadis itu terlebih dulu mengangkat kacamatanya. Sakura menggigit bibirnya sendiri sebelum meneruskan.

"Coba cium aku lagi."

Hening sesaat. Itu memang kalimat yang cukup sering Sakura keluarkan. Tapi kali ini untuk apa? Sasuke tak mengerti. Jadilah ia mematuhi kalimatnya dan merendahkan kepala. Dia cium pipi Sakura—tanpa sadar kalau sepasang mata itu terpejam rapat dan mati-matian menahan debaran yang lebih kencang di dalam dadanya.

Sakura berbisik, masih dengan mata yang terus berusaha terbuka. Kali ini ia lebih menunduk. "Si-Siapa bilang di pipi? Aku maunya di bibir..."

Menghela napas, Sasuke menangkup pipi Sakura, memiringkan wajah dan menggeser bibir ke bawah untuk menciumnya. Pada awalnya Sasuke berpikir untuk menjadikan ini sebagai ciuman yang cepat, namun tau-tau ada jemari Sakura yang pada akhirnya menjadi pembatas antar bibir mereka yang akan bersatu.

Sakura memberanikan diri menatap pria itu.

Dia mendorong kepalanya dan kemudian memberikan kacamata itu di tangan Sasuke.

"Pakailah kacamata itu dan barulah menciumku."

Sakura berbalik dan Sasuke terdiam. "Kenapa?"

Saat kau membuka kacamatamu, aku tidak tahan melihat wajah jelekmu.

Sakura ingin sekali mengucapkan hal itu dengan gamblang ke Sasuke. Ia ingin berbohong.

Tapi untuk kali ini hatinya tidak terima. Dia harus jujur.

"Aku... seperti berhadapan dengan orang lain."

Tanpa sadar mata Sakura berkaca-kaca.

"Sasuke yang kukenal... a-adalah Sasuke yang berkacamata, bukan yang seperti ini."

Sakura berbalik dan berniat membuka pintu UKS agar bisa keluar, namun telapak tangan Sasuke yang menahan pintu agar tak terbuka membuat Sakura menoleh. Pria itu memang tidak fokus, tapi ia tau wajah Sakura berada di hadapannya. Ia mencium lagi gadis itu, kali ini dengan lidah yang membelai bibirnya. Sakura sempat mendorongnya kencang tapi tak disangka-sangka Sasuke juga mengeluarkan tenaganya untuk bertahan. Dia malah menaikkan dagu Sakura agar menyeimbangi ciumannya yang dalam.

Sekali lagi Sakura mendorongnya, Sasuke mundur dan tamparan mengenainya telak di wajah.

"Jangan seenaknya!"

Dengan nafas terengah Sakura menyandarkan punggungnya ke pintu. Sasuke di hadapannya terdiam sambil mengusap pipinya yang memerah dengan ibu jari.

"Kenapa? Aku pacarmu. Kau juga yang tadi meminta."

"Tapi aku bilang pakai kacamatamu dulu, kan!"

Sasuke menarik nafas. Untuk tiga detik yang terasa cepat ini, untuk pertama kalinya Sakura menyaksikan tatapan tajam Sasuke yang begitu mengintimidasi. Pria itu berjalan selangkah ke belakang, menjatuhkan kacamatanya ke lantai, lalu menginjak benda tersebut dengan satu pijakan keras. Bingkai kacamata itu patah jadi dua.

"Hubunganmu dengan si kacamata ini sudah berakhir. Sekarang kau adalah pacarku. Bisa diterima?"

.

.

~zo : twins alert~

.

.

Sebenarnya ini sudah masuk jam pelajaran, tapi malah terdengar suara bahana tawa dan sorakan dari segelintir orang yang berada di koridor. Penghuni ruangan guru yang terganggu sampai keluar, awalnya ingin menegur tapi setelah melihat bahan guyonan yang saat ini sedang berjalan di hadapannya, mereka jadi ikut tersenyum dan menggoda 'si biang keladi' itu karenanya. Ya, mau marah pun susah kalau sudah melihat penampilan Naruto Uzumaki yang sekarang.

Ternyata pria pirang jabrik itu telah sukses membuat sensasi di koridor lantai dua.

Ia, Naruto, sedang berjalan di tengah koridor tanpa seragam yang menutupi tubuh bagian atasnya. Ia hanya mengenakan celana, sedangkan kemeja sekolahnya raib entah ke mana. Hanya menyisakan sepotongan kaus tanpa lengan yang sudah dipenuhi coretan doodle super heboh. Tak hanya di sana, tulisan dan gambar yang dibuat dengan spidol hitam nan tebal itu juga sampai menghiasi kulit leher, wajah, serta tangannya. Coretannya ramai; gambar Naruto ngupil, hinaan, ejekan, nama Hinata, serta kalimat-kalimat sok romantis yang seolah-olah dia tunjukan untuk Hinata. Full.

Dan ini pasti ulah Kiba. Siapa lagi? Tapi apa coba motifnya?

"Hei, Naruto! Pakai bajumu! Ini sudah masuk jam pelajaran, kan!"

"Ini juga lagi cari bajuku ke mana!" Timpalnya, kesal. Sesekali ia menggosok tulisan spidol permanen yang merambat sampai ke mukanya. Di bawah hidung melintang tulisan 'Sasuke's rival' yang menyerupai kumis. Nama 'Hinata' di kening, dan juga Kiba menggambari garis kumis Naruto menjadi tabel untuk bermain XOXO.

"Kiba sialan. Kubunuh dia nanti."

Emosi, itulah yang Naruto rasakan saat ini. Padahal dia cuma tidur selama setengah jam, tapi Kiba sudah mengerjainya habis-habisan. Lagi pula kenapa dia bisa sampai tidak sadar saat dicoret-coret seperti ini? Bau alkohol dari spidol ini benar-benar menusuk hidung. Apa sebelumnya dia diberi obat tidur? Atau apa?

"Naruto... kun?"

Bulu kuduk Naruto meremang saat mendengarnya. Suara itu... Hinata.

Naruto berniat kabur. Malu dengan penampilannya yang seperti papan tulis berjalan ini. Tapi saat dia melihat wajah cemas Hinata yang melihat tulisan-tulisan yang mengitari tubuhnya, Naruto terdiam. Ah, bagaimana bisa? Gadis itu sama sekali tidak terpingkal-pingkal menertawakan penampilannya—mengejeknya pun tidak.

"Kalau Naruto-kun mau, aku bisa membantu menghapusnya..."

Naruto nyaris terharu karenanya.

.

.

~zo : twins alert~

.

.

Bersama suara semilir angin sore yang menghiasi atap, Hinata tertawa pelan. Nadanya begitu lembut dan geli. Baru kali ini ia mendengar Hinata yang seperti itu.

"Jadi... setelah aku bahagia kau ngga menertawakanku di depan umum, di sini kamu malah menertawakanku? Begitu, hm?"

Dengan susah payah menahan senyum, Hinata menjauhkan sapu tangannya yang sudah menghitam—digunakan untuk menggosok spidol di tangan Naruto. Ternyata ia baru saja membaca tulisan-tulisan yang terdapat di lengan Naruto. Salah satunya adalah ini; '17tahun, homo, memacari Hinata sbg kedok, tbh aku mengincar kakaknya'. Dia hapus lagi bagian itu sambil tertawa. Kedua matanya menyipit dan salah satu tangannya menutupi bibir. Untuk menghinanya saja Hinata masih bisa berperilaku sopan.

"Kalau mau tertawa, ya tertawa aja deh." Naruto cemberut dan Hinata mencubit pipinya.

"Habis kamu lucu, Naruto-kun. Bisa-bisanya dikerjain sama teman sendiri."

Naruto memperhatikan Hinata yang kembali membasahi sapu tangannya dengan baby oil. "Ngomong-ngomong kenapa kau keluar kelas saat jam pelajaran berlangsung?"

"Aku tadi mau toilet untuk cuci tangan."

"Terus kenapa bisa bawa baby oil? Apa jangan-jangan kau sudah tau Kiba berniat mengerjaiku?"

"Ada prakarya yang menggunakan clay. Anak-anak banyak yang bawa baby oil." Hinata tersenyum, lalu kembali menggosok pipi Naruto. "Nah, sudah agak hilang."

"Lama juga, ya."

"Kalau gosoknya terlalu keras aku takut kamu kesakitan. Atau Naruto-kun mau menggosoknya sendiri?"

Mata biru langit Naruto menatap Hinata yang berada di hadapannya sekali lagi. "Gosok aja kuat-kuat. Bersamamu aku rela jadi masokis."

Pipi Hinata memerah sekalipun ia mengerucutkan bibir. "Apa sih..."

Kadar rasa gugup yang Hinata rasakan kian mengembang, apalagi saat Naruto menarik dan meletakkan telapak tangan Hinata ke pipinya sendiri. Pria itu tersenyum. Begitu manis dan langsung membuatnya merona. "Hei, Hinata."

"M-Mm?"

"Wajahku sudah bersih dari tinta, kan?"

"I-Iya. Kenapa?"

"Kalau bibirku? Sudah bersih?"

Hinata berniat memundurkan wajahnya tapi naruto masih menahannya. "Da-Dari awal memang ngga ada tinta di sana..."

"Mau memeriksanya?"

Mata lavender gadis itu meredup. Dia memejamkan matanya erat-erat lalu merasakan ada bibir Naruto yang mendekat.

"Kau memejamkan matamu terlalu rapat. Memangnya kata siapa aku akan menciummu?" Naruto tertawa. Namun saat Hinata membuka matanya, kali ini ia benar-benar menempelkan bibirnya ke gadis itu dan menciumnya mesra. Untung Hinata sempat menghentikannya saat ciuman Naruto sudah berjalan hingga ke leher dan bahunya.

"N-Naruto-kunnn..."

Sekalipun ini sudah masuk jam pelajaran, kelihatannya Hinata benar-benar menikmati waktu berduanya dengan Naruto.

.

.

~zo : twins alert~

.

.

Sedangkan di dalam kelas, Yamanaka Ino sedang duduk di bangku milik Hinata Uchiha yang tak berpenghuni. Gadis berponi rata itu diberi waktu setengah jam oleh Kakashi-sensei untuk mengurusi Naruto yang berlumuran tinta, jadilah bangku yang biasanya ditempati Hinata diisi dulu oleh Ino. Sambil mendengarkan penjelasan Kakashi di papan tulis, dia sibak pelan rambut ekor kuda panjangnya yang menyentuh pinggang, lalu melirikkan matanya ke sekeliling. Situasi kelas yang sedang ramai sebenarnya membuatnya sedikit was-was, tapi dengan hati-hati ia buka ritsleting tas Hinata yang tergantung di samping meja dan menyelipkan secarik surat ke dalamnya.

Itu surat titipan dari Gaara. Ia tidak tau apa isinya, tapi ia yakin itu akan menjadi perkara besar apabila Hinata sudah membacanya.

Beberapa menit kemudian Hinata datang ke kelas—dia berniat melanjutkan pelajaran. Ino yang tau dirinya harus segera pindah mengangkat tangannya dan izin ke toilet. Ia lewati Hinata dan keluar kelas. Saat menoleh ke kiri, dia dapati punggung Naruto yang sedang berjalan menjauh. Pria itu kini bersih tanpa noda. Pakaiannya juga sudah bergnti dengan seragam olahraga pinjaman. Terlihat amat jelas bahwa Hinata benar-benar mengurusinya dengan amat baik.

Ino menghela nafas. Dia berbisik pelan.

"Naruto, jaga Hinata baik-baik."

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note :

Adakah yang senang kalau fict ini tamat? :')

.

.

Special Thanks to :

NaLu, anisaaurelia25, sgiariza, Chi-chan Uchiharuno, Gilang363, respitasari, 4YOktf, vi nata, nadya ulfa, Rin Carrae, Shitada Haruto, Uchiha hinako, Indah Kokoro, Namikaze, Kireina Okita, iib-junior, NamikazeARES, CallMeBaby, mantika mochi, hsakiii, cherryana24, luchaaai, an username, Hanachan L, 66934soraoi, haruchan, fjuknii-lotogg, Ckh-Kyr, Neeldyeck, Guest, Chacha Rokugatsu, Anka-Chan, Uchihamelia, Yui Kazu, ALin, himawariuzumaki, Akihime Rena, Lala, hanafid, sofi asat, ifaharra sasusaku, Ishikawa Chiaki, ai, Kuro Shiina, Goretty, Harumia Risa, Re UchiHaru Chan, Himarura Kiiromoku, Nagi Sa Mikazuki Ananda, Henilusiana39, Virgo Shaka Mia, itachi, hyunkjh, sakura uchiha stivani, Ri, kHaLerie Hikari, potato, Nao-Chan, uulill, polarlight, Hiruka Yuuko, Aoivess, september 9th, isabella stefani, Uchiha Ryuuzaki, Misti Chan, vopoftworld, Zeesuke Hikaru23, hana nakamura uchiha, Minji-blackjack, imahkakoeni, chacha icha, RedVelvet, flowers lavender, Tsurugi De Lelouch, CLAP, Namikaze Yuli, tenod, Vanilla Latte, MichelleLobster, keisha cherry, Hanamizukii - channn, keybaekyixing, Byakugan no Hime, BlackOps, Hinaka Aoi, Ninja, VampireDPS, minri, meiko-azura, ray zummi, misakiken, hadzaputrisalsa, Ramen Panas, Trex, uzumaki sartika, iya baka-san, RQ563, Hyuuzu Avery, Uchiha victoria, yola, Alexa Chung, Sehunnie, Bofit, saschyahatake, JunHyuuga, sasusaku lovers, sa-chan blossom, Akina Hirano, Hmntlzn, VirgoShakaMia Part II, SeptiaNaelufar, naruhina kudo 123, Jenesia630, Pain san, prillyyyyy, yaumil kawaii, baechuirene, agintalavegr, Alone Bird, , Hani, ophy, rifaza uchiha, Nabila-chan, farah ain, Sarada Uchiha, Riqi, mia-chan, yuki-cerry28, Asni Susanti, riyouki, MariaUchiha, Radar Neptunus, araaaa, Revanella, Neko chan, Michishige Westwick, AL873, pinktomato, ChiaraAzuka, IndahP, eda-chan, gatsooga, Zeesuka Hikaru, Muhammad806, Diah cherry, Hanachan L, Nice, NandCha, SSSFamily, 5angels0410, Taraxacum Ratifa, radoriyouki, aoi-san, Sinar, Rurippe no Kimi, Kissuragi Kurushi, asti, istung, Guest, Yeri, Tomari Ryuu, mika, Reyanitall, Hanaka Aoi, iclo, Mr, firz, egao, Uzumakii Hyunaa, IndigoRasengan23, Akura Vashimu, CherrySand1, Zirodikkun, saphiravj, Pradita Uzumaki, Name Cheery, Alizumarch, deelyekermi, SaKuRa-ChaN, nerd.

.

.

Pojok balas Review :

Jangan cuma bilang mau banyakin NaruHina-nya dong, kan di sini pair utamanya SasuSaku. Di sini pair utamanya SS-NH, bukan cuma SS ataupun NH. Aku bilang mau banyakin NH karena setelah dipikir-pikir, SS lah yang paling menonjol di fict ini. Iya, kan? Karena itu ada saatnya bagian NH kubanyakin nantinya. Gaara mau ngapain Hinata? :) Udah penasaran sama rencana Gaara. Sama. Lagi sibuk apa sih di dunia nyata? Sibuk kuliah, mungkin. Fict ini mau tamat, ya? Iya. Nanti ada scene SasuNaru berantem sama Gaara? Idk. Udah setengah tahun fict ini ngga dilanjut. Maaf, ya. Fict ini awalnya bosenin tapi lama-lama jadi seru. Thanks. Suka persahabatannya NaruSaku dan persaudaraannya SasuHina. Makasih. Pengen tau reaksi Sakura liat muka Sasuke tanpa kacamata. Eh, tapi bukannya Sakura sempet liat? Pernah, tapi cuma suka reaksi Sakura yang ini ya haha :D Rada nyesek sih liat SasuHina. Sekarang udah lebih ke SS-NH kok. Di chap 18 ada nama Hinata Hyuuga nyempil. Edited. Thankyou. Update-nya lama. Tolong doanya supaya fict Twins Alert tamat tahun ini, ya. Apa ngga aneh SasuHina saudaraan tapi iris mata mereka berbeda? Mungkin karena ini fanfict masih dimaklumi. Bikin Gaara bahagia dong. Gimana caranya tapi, haha. Pengen ada Itachi. Nanti ceritanya makin panjang. Zo orangnya penyabar, ya. Kan kalian juga sabar nungguin fict ini. Kira-kira bakalan ada scene lemon, ngga? Idk:) Kalau TA udah tamat, ada keinginan untuk bikin fanfict SasuSaku / NaruHina lagi? Untuk fict NaruHina pastinya ada, tapi untuk fict SasuSaku aku kurang berani. Mungkin kapan-kapan aku akan buat fict yang konsepnya sama lagi kayak ini (NH-SS-SH-NS).

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU