Disclaimer: Vampire Knight bukan milikku, tapi milik Matshuri Hino. Sementara Harry Potter milik J.K. Rowlings

Warning: Slash, AU, OOC, Mpreg, Typo, etc

Rating: T

Genre: Romance


THE POMME DE SANG

By

Sky


Semua yang ada di tempat itu kecuali Draco terlihat begitu terkejut dengan kemunculan sosok itu. Berdiri di belakang Draco adalah seorang laki-laki yang mungkin berusia 18 tahunan, tapi aura pureblood vampire yang muncul dari tubuhnya membuat mereka semua menyadari kalau usianya jauh lebih tua dari penampilannya serta ia bukanlah manusia biasa. Laki-laki itu sangat mirip dengan Kaname, hanya saja dengan rambut yang lebih pendek dan sepasang mata emerald cemerlang yang tajam, seperti seekor predator yang siap mengintai mangsanya kapanpun ia mau. Seulas senyum tipis situ tergambar begitu nyata pada wajah tampan pemuda tersebut, menatap langsung ke arah sang elven yang masih terlihat marah pada dirinya.

Laki-laki itu bukanlah orang sembarangan bila sihir yang menyelimuti tubuhnya terasa begitu sangat kuat, bahkan beberapa dari mereka yang merasakannya menyentuh kulit secara langsung langsung merinding hebat tanpa perlua mencari tahu lagi apa alasannya. Sebuah senyuman kecil muncul di wajah laki-laki itu ketika sepasang mata emerald tersebut fokus kepada sosok malaikat yang ada di hadapannya. Dan senyuman lembut itu berubah menjadi penuh humor saat tatapan matanya tertuju pada Kaname Kuran yang berada di samping Rido. Entah kenapa, namun mereka bisa melihat kalau pemuda berambut hitam tersebut merasa terhibur dengan pemandangan yang tidak asing itu lagi, tapi lagi-lagi ia harus mengulum senyum kecut bila ia tidak ingin tatapan intens dari Draco yang mengarah padanya berubah menjadi lebih dingin lagi

"Hello, Rido. Long time no see." Ujar laki-laki itu dengan hangat, senyum kecil tadi berubah menjadi renyah dan gelak tawa kecil pun keluar dari bibirnya begitu seruan selanjutnya terdengar.

Sebuah senyuman lebar muncul di wajah Rido, "DADDY!" Teriak Rido dengan nada senang.

Dan semua pun tahu kalau Lord Harry Potter akhirnya muncul di hadapan mereka setelah mendapat panggilan dari sihir Lord Draco Malfoy, dan tentu saja Kaname tidak menyukai hal ini. Kedua mata merah marunnya terus-terusan menatap sosok Harry sebelum mereka beranjak ke arah sosok Draco yang masih bergeming berdiri di sana, sama sekali tidak menampakkan emosi apapun kecuali kemarahan. Kaname tidak tahu kenapa, namun rasanya emosi yang terulas dari ekspresi Draco itu sedikit mengarah padanya meski ia tahu kalau semua itu mengarah kepada Harry Potter.

Kemunculan Lord Potter adalah sebuah kejutan yang tidak terduga, ia muncul begitu saja ketika sihir Draco memanggilnya ke tempat itu, bahkan Eliza yang selalu berada di samping tuannya pun tidak bisa menebak kalau hal seperti ini akan terjadi. Semuanya adalah sebuah kejutan yang tidak terduga. Mugkin istilah Harry sebagai penyihir yang penuh akan kejutan memang bukan hanya julukan semata, dia memang orang yang memiliki segudang rencana untuk mengejutkan orang lain, bahkan orang tersebut adalah suaminya dan puteranya sendiri.

Baik Draco maupun Harry saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi yang berbeda, di mana Harry terlihat begitu kalem dengan ekspresinya yang begitu regal dan majestic, maka Draco terlihat tidak mengeluarkan ekspresi sedikitpun pada wajahnya, bahkan kedua mata silver kebiruannya terlihat begitu dingin, lebih dingin dari biasanya. Rido yang melihat ekspresi ibunya bisa mengatakan kalau ia tengah marah, sangat marah sampai kemarahan itu tidak nampak sekalipun baik dari ekspresi dan kedua bola mata yang indah itu. Anak kecil yang merupakan putra dari kedua penyihir besar tersebut merasa kasihan pada ayahnya kalau Draco memang marah padanya, ayahnya tidak akan selamat dari amukan sang ibu dan dalam hati Rido pun berdoa agar Merlin mampu menyelamatkan sang ayah jika memang sang ibu aka membunuhnya nanti. Ia tahu itu…. Dan mereka yang mengenal Draconis Potter nee Malfoy dengan begitu baik, bisa dipastikan mereka akan menghindari area itu ketika Draco tengah meluapkan amarahnya, pasalnya Draco ini mirip sekali dengan Lily, kemarahan mereka sangat melegenda.

Kaname melihat Lord Potter melambaikan tangan kanannya dengan gerakan yang santai, gerakan singkat yang mengarah pada penggunaan sihir tanpa tongkat sihir itu membuat hujan deras serta angin yang ditimbulkan oleh sihir Draco menghilang, membuat semuanya kembali menjadi normal seperti tidak terjadi apa-apa. Baik Kaname maupun semua orang yang ada di sana kecuali Draco, Rido, dan Eliza merasa terkejut dan terkagum-kagum dengan kemampuan dari pureblood yang berdiri di hadapan Draco. Ada satu hal yang bergejolak di dalam pikiran mereka, hal ini mengenai seberapa kuatnya kah Harry Potter sampai ia mampu memanipulasi nature magic yang sepertinya hanya bisa dikuasai oleh makhluk Elven seperti Draconis saja. Dari sini mereka semua pun membuat catatan untuk mencari tahu akan hal itu, serta mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat masalah dengan Harry di kemudian hari.

Drama keluarga yang tersaji di hadapan mereka semua ini pada akhirnya bergulir, dan mungkin saja hal ini akan mencapai pada klimaksnya.

"Berani-beraninya kau muncul di hadapanku setelah apa yang kau lakukan, Potter." Kata Draco dengan kalem seperti biasanya, namun mereka yang ada di sana bisa mendengar nada penuh kemarahan dalam suaranya. Bahkan saking marahnya, Draco tidak memanggil Harry dengan nama kecilnya.

Harry hanya tersenyum kecil, kedua mata emeraldnya menangkap sosok Draco dengan sempurna. Tangan kanan Harry terjulur ke depan untuk membelai wajah suaminya, namun Draco yang saat itu memang tidak ingin disentuh oleh siapa-siapa langsung menampar tangan itu untuk menjauh dari wajahnya, sebuah tamparan yang telak dan cukup menyakitkan pada jemari tangan tersebut. Kedua mata silver kebiruannya begitu dingin, seperti sebuah es abadi yang siap membekukan jiwa seseorang. Kalau saja sebuah tatapan dapat membunuh orang, bisa dipastikan seorang Harry Potter akan menjadi mayat di bawah kaki Draco sekarang ini.

Sang pureblood hanya menghela nafas kecil saat Draco menolaknya, ia sudah memprediksikan kalau hal seperti ini akan terjadi begitu ia muncul, namun tidak ia sangka kalau rasanya lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan selama ini. Harry mengacak rambutnya sendiri, tanda kalau dia tengah berpikir keras sementara itu kedua masang mata emeraldnya tetap tidak meninggalkan mata Draco, tetap menatapnya meskipun Draco memberikan tatapan terdinginnya.

"Aku tahu kalau hal ini akan terjadi saat kita bertemu, dan jujur saja ini membuatku sedikit sedih." Ujar Harry dalam bahasa Inggris yang lancar.

"Sedih? Kalau penolakanku sedikit saja membuatmu sedih, lalu apa yang aku rasakan saat kau menghilang selama ini?" tanya Draco, nada kalemnya bercampur emosi, "Kau membuat semua orang menganggap kalau kau tewas dalam pertempuran itu, Harry James Potter. Kau menipu kami semua." Dan terlebih kau menipuku, kalimat yang terakhir itu tidak terucap secara langsung namun ia yakin kalau Harry mampu mendengarnya dengan baik. Di sini nada yang digunakan oleh pemuda berambut pirang platinum tersebut terdengar sedikit histeris.

"Draco, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."

Draco menggelengkan kepalanya, "Tidak bermaksud? Apa kalimat itu ada artinya sekarang? Terlambat, kau sudah menyakiti banyak orang. Aku sangat marah padamu dan rasanya aku ingin menyakitimu sampai kau merasakan apa yang aku rasakan, Potter!"

Harry mengangguk, kali ini Draco tidak menolaknya saat Harry membelai wajahnya, ia hanya bisa memejamkan kedua matanya ketika tangan suaminya membelai wajahnya. Draco bisa merasakan kedua matanya terasa panas dan tanpa sadar air mata mulai jatuh lagi dari pelupuk matanya, namun Harry dengan lembut menghapusnya, ia memegang wajah Draco dengan kedua tangannya sebelum menempelkan kening mereka berdua.

"Aku tidak masalah kalau kau marah padaku, Draco, tapi aku tidak akan bertahan kalau kau membenciku terlalu lama." Gumam Harry lembut, ia melingkarkan tangan kanannya pada pinggang ramping Draco yang membuatnya semakin dekat dengan tubuhnya. Pemuda itu meletakkan dagunya di puncak kepala Draco dengan manis. "Draconis, aku tidak berbohong kalau aku sekarat saat pertarungan terakhir itu. Banyak hal yang terjadi selama ini dan berubah dari diriku, apa kau tidak bisa merasakannya sekarang?"

Draco mengangguk kecil, ia bisa merasakan sihir Harry yang ada sekarang sangat tipis, seperti api yang kapan saja bisa padam ketika tertiup oleh angin.

"Kalau kau mau, kau bisa melihat semuanya melalui Legilimency. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan padamu, Draco, tapi aku takut waktuku tidak cukup di sini." Kata Harry lagi, ia membisikkan kalimat itu pada telinga suaminya, sebab ia tahu pendengaran para vampire yang ada di sekitarnya sangatlah tajam dan Harry tidak ingin mereka mendengar pembicaraan sensitif ini. "Aku mengijinkannya."

Seperti mendapat perijinan dari Harry untuk melihat ingatannya, Draco yang sedari tadi membenamkan wajahnya di dada sang suami pun langsung memberikan anggukan untuk beberapa saat. Ia menempelkan keningnya dengan milik Harry dan menggunakan sihirnya untuk melihat ingatan Harry. Tatapan yang tajam namun kalem pada saat yang sama membuat jantung Draco berdetak keras, ia bisa merasakan kedua wajahnya bersemu merah ketika Harry menatapnya dengan begitu lekat ketika ia menggunakan sihirnya untuk menggunakan Legilimency pada Harry.

Harry tersenyum kecil, ia membelai wajah lembut itu secara perlahan dan merasa sama sekali tidak keberatan ketika ingatannya berpindah kepada Draco, sebab itu adalah tujuan awalnya ia muncul di tempat ini. Pemuda itu mengusap lembut bibir bagian bawah milik Draco menggunakan ibu jari kanannya, ia tersenyum kecil saat rona merah di wajah Draco bertambah gelap.

Dia masih manis seperti dulu, pikir Harry seraya tersenyum. Perlahan namun pasti, Harry mencium bibir mungil itu dengan penuh kasih sayang dan melumatnya, menumpahkan segala perasaan yang ia pendam kepada suaminya selama ini. Merasakan ciuman itu Draco membuka kedua matanya sebelum membalas ciuman dari Harry dengan lembutnya untuk beberapa saat lamanya sebelum melepaskan bibir Harry.

"Kau tidak berada di tempat ini kan?" tanya Draco, mulai mengerti dengan situasi yang ia miliki. Ia memejamkan kelopak matanya saat ia merasakan Harry beranjak untuk mencium pipinya dengan lembut. Kepalanya terasa begitu pening saat ingatan yang yang jumlahnya begitu banyak langsung berpindah pada kepalanya, rasanya seperti dihantam balok berton-ton secara bersamaan. "Kau tidak nyata, Harry."

"Antara iya dan tidak." Jawab Harry, "Tubuhku tidak bisa bertahan di waktu itu setelah perang selesai, Draco, jadi aku mengirimnya pergi jauh ke masa lalu untuk bertahan hidup. Namun, ketika semuanya sudah pulih aku kehilangan kendali dengan sihir waktuku, membuatku terjebak di tempat itu.

"Ini semua bukan maksudku untuk menyakitimu ataupun Rido, aku sangat mencintai kalian berdua lebih dari apapun, kalian berdua adalah orang terpenting dalam hidupku. Tapi sepertinya takdir berkata lain, Draco, kau tahu itu." Ujar Harry.

Draco mengambil nafas panjang, ia tahu kalau dirinya tidak bisa menyalahkan siapapun termasuk suaminya, meski tindakan bodoh yang Harry lakukan mampu menyelamatkan dirinya tapi tetap saja kensekuensi yang harus mereka tanggung tidaklah kecil. Pemuda berambut pirang platinum itu tidak bisa melakukan apapun lagi untuk memperbaiki tindakan ini, akhirnya satu tindakan yang bisa ia lakukan adalah memeluk 'tubuh' suaminya dengan erat, dan hal itupun ia lakukan detik itu juga. Meski ini bukanlah tubuh Harry tapi refleksi yang Harry ciptakan sebagai hadiah terakhirnya cukup untuk mengobati rasa rindunya. Sang high elven itu menghela nafas lega, meskipun Harry tidak bisa ada di sini tapi ia senang karena mengetahuinya masih hidup, meskipun itu dengan identitas dan hidup yang berbeda dari dulu.

"Kau mengirimkan sihirmu ke sini dan membuat tubuh ini 'kan?" tanya Draco dengan suara kecil, ia membenamkan wajahnya pada dada Harry untuk sekali lagi, merasakan belaian lembut pada tubuhnya. Draco tidak peduli kalau tindakannya itu dilihat oleh murid kelas malam dan siapapun.

"Iya, karena aku yakin kau butuh penjelasan mengapa aku mengirimkan mimpi-mimpi itu." Jawab Harry singkat, "Maafkan aku, dear, bukan maksudku untuk menyakiti kalian. Aku tidak bisa lama-lama di sini, karena sihir yang membuatku nyata telah habis."

"Kau mau pergi sekarang?" tanya Draco, ia merenggangkan pelukan mereka dan menatap Harry dengan serius, "Jadi kau terjebak dalam sihir waktu, Harry. Apakah kau masih hidup? Kalaupun iya, kau ada di mana sekarang?"

Harry memberikan senyuman kecil dan begitu misterius pada suaminya, kedua mata emeraldnya beralih dari Draco untuk menatap sosok dari sang raja vampire yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ia tertawa kecil, mungkin dirinya harus membuat hal ini lebih lama lagi, tapi Harry tidak ingin membuat Draco semakin sedih lagi.

Draco sendiri yang melihat pandangan Harry langsung mengikutinya, kedua matanya bertemu langsung dengan Kaname. Draco menggabungkan satu puzzle dengan lainnya dan akhirnya ia menemukan sebuah jawaban, yang membuatnya semakin bertambah sedih dan heran pada saat yang sama.

"Kau tidak…" Draco menghentikan kalimatnya untuk menatap Harry dengan tatapan tidak percaya.

Harry tidak membalasnya, ia hanya memberikan senyuman kecil sebelum mengangguk sebagai jawabannya. Ia melihat Draco menghela nafas panjang sebelum memberinya tanda untuk mendekat, Harry mengangguk dan berjalan ke arah Draco.

PLAK…. Sebuah bunyi tamparan hebat terdengar di sana, membuat semua orang yang melihatnya tercengang. Seorang Draco Malfoy yang mereka kenal sebagai orang lembut dan dingin yang tidak akan menggunakan tangannya untuk kekerasan telah menampar seseorang dengan keras, dan bukan orang sembarangan namun sang raja vampire yang merupakan suaminya sendiri, Harry Potter.

Harry sendiri merasa tercengang, rasa sakit bekas tamparan itu tentu dirasakannya tapi ia tidak mengerti mengapa Draco menamparnya tiba-tiba. Bekas tamparan di pipinya itu bisa dilihat dengan jelas, sangat jarang Draco melakukan kontak fisik yang mengarah pada kekerasan dengan dirinya, dan tamparan ini adalah hal pertama yang terjadi pada Harry selama mereka menjalin hubungan.

"Apa yang kau lakukan adalah hal yang bodoh, Potter. Dari semua orang yang ada kenapa kau….. ughh… dan sekarang aku yakin dirimu tidak ingat siapa kau dan keluargamu!" ujar Draco dengan cukup kerasnya, ia melipat kedua tangannya di depan dadanya dan memberikan tatapan ganas pada suaminya. "Dan jangan coba-coba kau berani berbohong lagi karena aku tidak suka untuk dibohongi yang kedua kalinya, Harry James Potter."

"Aah.. itu…" Harry tersenyum simpul, wajahnya sedikit memerah karena yang dikatakan Draco memang benar, Seorang Slytherin seperti Draco memang selalu mendominasi dalam percakapan mereka, dan entah mengapa ucapan Draco itu membuat Harry seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah tengah mencuri permen dari seorang bayi, gugup dalam memberikan jawaban tepat agar sang orangtua tidak marah padanya.

Kedua mata silver kebiruan itu menjadi lebih berbahaya, "Apa? Apa kau mau mengatakan kalau ini yang terbaik, Potter! Kau bukan Dumbledore atau Merlin, bahkan kau tidak lebih dari seorang Harry Potter di mataku. Aku tidak tahu apa yang harus aku kulakukan padamu karena ini." Draco membuang mukanya, ia tidak ingin menatap suaminya untuk beberapa saat lamanya. Ia masih bisa merasakan kemarahan yang ia pendam, dan ia takut kalau seumpamanya Draco menatap kedua mata emerald milik Harry kemarahannya akan sirna dan membuat dirinya malah akan bertekuk lutut di hadapan Harry. Draco tidak bisa membuat dirinya seperti itu, ia memiliki kebanggaan diri yang besar.

Rido melihat pertengkaran kedua orangtuanya dengan penuh ketertarikan di kedua mata birunya, meski mereka berdua sering sekali bertengkar seperti ini namun dalam lubuk hati terdalam mereka saling mencintai satu sama lain. Melihat Kaname yang masih diam memperhatikan keduanya, Rido menggunakan kesempatan ini untuk beranjak dari sana secara diam-diam. Kedua kaki kecilnya membawanya mendekat ke arah Harry sebelum ia memeluk tubuh ayahnya dengan erat.

"Hei, Rido… lihat dirimu, kau sudah tumbuh menjadi anak besar sekarang." Ujar Harry sambil mengacak rambut ikal Rido yang sangat mirip dengannya. "Ya ya… lebih tua dan besar, aku turut senang dengan hal itu."

"Dad, mungkin aku memang besar, tapi aku tidak tua." Kata Rido yang masih melepaskan pelukannya pada tubuh Harry. "Dan jangan mengacak rambutku, kau membuatnya semakin berantakan."

Sungguh, anak ini memang anak Harry dan Draco. Rido mewarisi sifat kedua orangtuanya, meski yang lebih dominan adalah milik Draco. Kaname dan mereka semua melihat reuni keluarga itu dengan diam, tidak ada yang berani mengutarakan sepatah kata apapun semenjak kemunculan Harry di sana. Kedua mata merah marunnya terlihat penuh dengan amarah, dan sesuatu yang sesak muncul di dadanya ketika ia melihat Draco mencium Harry. Perasaan apakah itu? Kenapa dadanya begitu sakit?

Harry tertawa kecil melihat tingkah jenaka putranya. "Maafkan Dad, Rido. Tapi kau memang terlihat lebih tua dari terakhir kali aku melihatmu."

Ichiru menatap reuni keluarga Potter itu dengan seulas senyum yang tersungging di bibirnya, ia merasa senang karena bisa melihat Lord Potter dalam keadaan sehat seperti ini, Ichiru rasa keluarga kecil itu akan bisa bersatu nantinya. Draco dan Rido akan senang dengan kembalinya Harry, ia sangat yakin akan hal itu. Hanya saja, akan ada pihak tersakiti kalau keluarga kecil itu bersatu lagi. Kedua mata lavender milik Ichiru mengarah pada sosok Kaname Kuran yang menatap mereka bertiga dengan tenang, iya…Lord Kuran terlihat begitu tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi, apakah yang Kaname tampakkan adalah emosi yang ia miliki?

Pemuda berambut silver tersebut mengabaikan pikirannya mengenai Kaname yang menampakkan emosi, itu adalah hal konyol.

"Jadi dia itu adalah Lord Potter yang kalian berdua maksud?" Tanya Zero, membuyarkan lamunan yang Ichiru miliki, bahkan ia sedikit melupakan kehadiran Zero yang berdiri sedari tadi di sampingnya.

"Iya, Zero. Dia adalah Lord Harry Potter, mungkin kau akan menemukan namanya saat menyusuri buku sejarah dunia vampire." Jawab Ichiru, kedua matanya masih fokus pada sosok Harry yang menggoda puteranya dengan santai, begitu santai sampai ia melupakan tujuan aslinya mengapa ia datang ke sini. Melihat hal itu tentu saja membuat Ichiru ingin pergi menghampiri vampire tersebut dan memukul kepalanya dengan keras.

"Huh… aku tidak peduli itu, Potter adalah Pureblood vampire dan terlebih lagi ia memiliki wajah yang sama dengan Kuran." Zero mengatakan apa yang ia pikirkan sebelum memejamkan kedua matanya. "Aku tidak tertarik dengan makhluk penghisap darah seperti dia."

Ichiru menyodok perut kakak kembarnya menggunakan siku kanannya, sodokan itu cukup keras dan tidak terduga yang bisa membuat seorang Zero Kiryuu mengaduh pelan. Tatapan ganas pun Ichiru dapatkan ketika sang kakak menyadari kalau dirinya adalah pelaku, ia ingin mengutarakan sepatah kata pada Ichiru namun gerakan bibir yang mau terbuka itu langsung menutup begitu saja ketika sebuah tatapan yang mengatakan 'Kira-bicarakan-ini-nanti-Zero' dari Ichiru mengarah padanya, membungkam Zero untuk mengutarakan apapun.


Tatapan mata emerald itu kembali lagi bertemu dengan sepasang mata silver kebiruan yang serta merta masih menatapnya dalam diam, mereka pun bertemu tanpa ada satu patah kata yang terucap, hanya bisu yang menggema serta diiringi oleh tatapan penuh keluguan yang dimiliki oleh anak laki-laki yang berdiri di samping Draco.

"Waktuku sudah habis," gumam Harry perlahan tanpa memutus koneksi yang ia miliki dengan Draco.

Sang high elven yang berdiri di sana dengan tatapan kalemnya itu memejamkan kedua matanya untuk beberapa saat lamanya, ia sangat mengerti akan arti kalimat yang Harry ucapkan itu, sebuah kalimat perpisahan namun bukan perpisahaan dalam arti seutuhnya. Suaminya telah mengatakan kalau sosoknya yang berada di sini tidak lebih dari sebuah residu sihir yang Harry ciptakan ketika ia masih mengingat mereka berdua (Draco dan Rido) serta belum terjebak pada kehidupannya yang selama ini.

Draco mengangguk kecil, menatap Harry lagi untuk beberapa saat lamanya sebelum seulas senyum manis terukir di wajahnya.

"Aku tahu, Harry, aku tahu itu…." Kata Draco untuk beberapa saat lamanya, pemuda berambut pirang platinum itu menjulurkan tangan kanannya ke depan yang langsung saja disambut uluran tangan kanan milik Harry, membuat kedua telapak tangan kanan itu bertemu antara satu dengan lainnya. "Dan aku sudah merelakan hal ini terjadi."

Pemuda yang memiliki bola mata berwarna silver kebiruan tersebut mampu merasakan sepasang jemari kecil menggandengnya, dan tanpa melihat siapa sang pemilik tangan itu pun ia sudah mampu mengetahui kalau itu adalah Rido.

"Maafkan aku untuk sekali lagi," ujar Harry kembali, tatapannya mengarah pada dua sosok orang yang sangat berarti dalam hidupnya. "Kalau kau masih menginginkanku, bangkitkanlah ingatanku pada orang itu, Draco!"

Kalimat itu hanya bertemu dengan diam, namun senyuman hanya yang terulas pad wajah manis Draco pun sudah mampu memberitahu Harry akan keputusan yang diambil oleh sang suami nanti. Tautan tangan mereka pun masih belum terlepas, bahkan saat tubuh dari seorang Harry James Potter pun mulai memudar dengan bayangan kunang-kunang bercahaya terbang pergi dari tubuhnya secara sedikit demi sedikit.

"Daddy, aku harap kau segera kembali!" kata Rido, ia semakin memegang tangan ibunya dengan erat, takut kalau sang ibu juga akan menyusul sang ayah yang pergi dari hadapannya seperti itu.

Harry tersenyum kecil sebelum gelak tawa pun keluar dari mulutnya. "Tentu, Rido, dan tolong jaga ibumu untuk kita!"

"Tentu, Daddy!" begitu mantap seperti seorang tentara yang mau perang, Rido pun menjawabnya dengan penuh antusias.

Tubuh Harry semakin memudar dalam hitungan detik, dan hal itu pun membuat kunang-kunang bercahaya keluar dari tubuhnya sebelum jemari tangan kanan Harry memudar secara drastis, membuat Draco tidak bisa merasakan kehangatan maupun tubuh Harry secara nyata.

"Aku mencintaimu, Draco," ujar Harry terakhir kalinya ketika bayangan dirinya pun menghilang bersama Eliza dari tempat itu, meninggalkan Draco yang masih menjulurkan tangannya berdiri di sana sendirian dengan Rido yang menggandeng tangannya.

"Aku juga mencintaimu, Harry-bodoh," hanya itu yang keluar dari mulut Draco sebelum sebutir air mata keluar dari pelupuk mata kanannya.


AN: Terima kasih sudah mampir dan membacanya

Author: Sky