Siapa bilang menggunakan setting Original Game, pairing ini tidak bisa dibuat ceritanya. Aku ingin mengejutkan kalian dengan kisah hidden canon khas Eleamaya^^. Jadi gini, aku penasaran kenapa rute Cloud dkk dari Temple of Ancient itu ke Gongaga lagi padahal lokasi-lokasi lain hanya dikunjungi sekali. Ada yg nyadar ga sih? Jangan-jangan ini suatu hint buat Zerith. Makanya aku menulis kisah kali ini.


Title #2: One Step Closer

Words: 2485

Genre: Hurt/Comfort

Setting/Timeline: Original Game, hidden scene di sekitaran Scene 86: Hutan Aerith dan Scene 87: Diri Cloud.

Summary: Kembali ke Desa Gongaga setelah kejadian di Temple of Ancient, apa yang sebenarnya membuat Aerith akhirnya memutuskan untuk menghadapi Sephiroth seorang diri? Apa yang memberinya kekuatan dan keberanian?


"Indah... Matamu."

"Lihatlah lebih dekat. Seperti warna langit bukan?"

"Jika memang langit seperti itu, maka aku tak perlu takut lagi."

(Crisis Core Chapter 5: Kencan Pertama)


Hari masih begitu pagi ketika Aerith sudah keluar penginapan dan berjalan-jalan untuk menghirup udara segar khas pedesaan di Gongaga. Udara yang begitu alami, sungguh berbeda dengan suasana kumuh yang ia jalani sehari-hari di sektor lima Midgar. Aroma seperti ini hanya bisa ia rasakan di depan hamparan bunganya di dalam gereja yang secara ajaib tak terkontaminasi polusi di luarnya.

"Rasanya seperti kembali ke rumah..." [1]

Sebuah suara seperti bisikan terdengar tatkala suatu kepingan memori di kepalanya meloncat keluar di saat ia sampai pada puing-puing reaktor Shin-Ra yang ada di desa itu. Reaktor yang meledak. Ledakannya tentu membuat trauma para penduduknya, sama seperti saat ia menyaksikan langsung reaktor sektor tujuh Midgar yang sengaja diledakkan Shin-Ra. Tapi sisi positifnya, ketiadaan reaktor itu seperti kembali memurnikan udara yang sebelumnya terpolusi.

Aerith memandang sebentar reruntuhan tersebut, tempat Scarlet menemukan materia yang katanya sampah dimana Cloud justru menemukan materia berguna yang disebut Titan.

Cloud dan materia.

Ingatannya pun melayang ke peristiwa beberapa hari sebelumnya saat ia dan rombongan tiba di Temple of Ancient, tempat ia merasa begitu dekat dengan suara-suara para leluhurnya. Menemukan Tseng yang terluka, mereka pun masuk ke dalam kuil untuk mencari Black Materia sebelum keduluan Sephiroth. Aerith lalu menyaksikan Sephiroth mengendalikan Cloud layaknya boneka, membuatnya menyerahkan materia terkutuk itu pada musuh mereka. Ia bahkan kena hajar Cloud sampai akhirnya Tifa datang menolongnya. Sempat berkomat-kamit, Cloud pun jatuh pingsan.

Aerith merasa tubuhnya sakit akibat dihajar Cloud. Tapi ia merasa sakitnya tak seberapa jika dibandingkan dengan Cloud yang tak kunjung sadar setelah beberapa hari. Merasa baikan, Aerith pun keluar kamar dan menuju kamar Cloud untuk melihat keadaannya. Hal itu sudah dilakukannya sekian kali bahwa ia ingin berada di sisi Cloud dan menemaninya. Tapi setiap ia membuka pintu kamar, ia selalu melihat Tifa tak pernah beranjak dari samping ranjang. Ada rasa cemburu dalam hatinya. Memang, ia menganggapnya sebagai saingan cinta dan mereka sudah sepakat untuk berkompetisi sehat. Tapi di sisi lain, Aerith sadar ada sebuah ruang di antara keduanya yang tak dapat ia masuki. Bahwa dalam hal ini, ia kalah telak. Ia merasa tidak bisa memahami Cloud sebaik Tifa yang telah lama kenal dengannya. Dan dalam hati kecilnya, ada sedikit kerinduan akan seseorang yang dulu pernah ia sentuh dan ia peluk dari belakang saat orang tersebut tak berdaya dan menunjukkan kelemahannya. Seseorang yang telah lama bersama dengannya. Bahwa saat itu, ia juga tak beranjak dari sisinya sampai orang itu kuat kembali. Ya, Aerith ingin ada seseorang yang dapat menempati posisi belahan jiwanya yang tengah kosong seperti bagaimana saat ini ia melihat Tifa memiliki orang itu dan bisa memberikan kepedulian serta kasih sayangnya.

Itulah alasan yang membuat Aerith keluar penginapan untuk menata hatinya yang perih. Ia tak bisa terlalu lama menyaksikan Cloud dan Tifa bersama. Dan rasanya seperti kebetulan ia dan rombongan kembali ke desa ini untuk mengistirahatkan dirinya yang terluka dan Cloud sampai siuman. Kebetulan yang sungguh ajaib seolah ia memang telah dituntun untuk ini, sebagaimana kakinya dilangkahkan sekali lagi ke arah yang sama.

Seorang wanita paruh baya tampak menyapu pekarangan rumahnya saat Aerith melintas. Terang saja wanita itu menyapanya.

"Nak, kau gadis yang waktu itu bukan? Kenapa sendirian?"

Aerith pun menghapus kesan canggungnya saat dulu pertama berkunjung ke kediaman keluarga Fair. "Teman kami sakit, kami beristirahat di penginapan desa sampai ia sembuh," jawabnya.

"Maaf mendengarnya, apa ia pemuda SOLDIER berambut pirang itu?"

Aerith mengangguk pelan. "Ya."

"Kuharap ia tidak apa-apa. Menjadi SOLDIER harus siap dengan segala pertarungan yang berat," lanjut Nyonya Fair.

"SOLDIER...," gumam Aerith.

"Sudah lama tak ada pengelana kemari selain kalian waktu itu, kau bersedia mampir?"

Aerith pun buru-buru mengibaskan tangannya, tak mau tertahan di tempat itu lebih lama. "Eh, saya tidak..."

Tapi Nyonya Fair dengan gesit mengajak Aerith masuk ke rumah. Kegesitan yang sepertinya menurun. Wanita itu pun memanggil suaminya bahwa mereka kedatangan tamu. Ia lalu berbicara lagi pada Aerith. "Sekitar setahun lalu, ada seorang gadis yang pernah kemari juga. Rambutnya pendek bergelombang dan berwarna jingga. Ia mengenakan setelan jas seperti pria." [2]

"Turks," ucap Aerith mengenal ciri-ciri pakaiannya.

"Ah benar, ia dari Shin-Ra," responnya mendengar kata 'Turks'. "Ia mencari putra kami, menanyakan apakah ia pernah pulang kemari dalam waktu dekat. Karena sepertinya sangat perhatian padanya, aku bahkan sempat mencandainya apakah ia kekasih putra kami seperti yang tertuang dalam suratnya. Dari ekspresi gentingnya, kami tahu bahwa anak itu pasti tengah membuat masalah besar. Anak itu memang tak pernah memberi kabar kecuali sekali, kami hapal perangainya jadi tak terlampau cemas, hanya rindu saja. Tapi jika Shin-Ra sampai mencari salah seorang SOLDIER-nya seperti itu, kami pun akhirnya kepikiran sampai sekarang. Apa mungkin putra kami benar-benar menghilang?"

Aerith merasa sama sekali tak tahu cerita ini. Ia membiarkan saja Nyonya Fair terus bercerita.

"Membicarakan gadis Turks itu membuatku mendadak teringat sesuatu. Sambil menolak, gadis itu berkata bahwa kekasih putra kami adalah gadis pemilik mata emerald indah yang sangat serasi dengan mata biru langit putra kami. Penampilannya sangat bersahaja dengan balutan dress panjang, seorang gadis bak malaikat yang mampu mendengar suara-suara alam dan benci peperangan. Di rambutnya tertambat sebuah pita merah yang merupakan pemberian putra kami. Gadis seperti itulah yang membuat putra kami tergila-gila padanya."

Benar juga, pikir Aerith. Turks selalu mengawasinya, tak mungkin mereka tak tahu hubungan sang Cetra dengan salah seorang SOLDIER-nya. Tapi, ia tak menyangka dirinya dideskripsikan seperti itu. Gadis Turks itu mungkin salah seorang sahabat yang sering diceritakan sang SOLDIER padanya. Dan Aerith menyukai cerita-ceritanya, bahkan ia pernah memintanya bercerita tentang teman-temannya. Teman, batinnya, suatu hal yang baru ia temukan sekarang setelah bertemu Cloud dan yang lainnya.

"Nak," panggil Nyonya Fair membuyarkan lamunan Aerith, "kami tahu. Kau kekasih Zack bukan?"

Kembali terkejut, Aerith tak menjawab, masih sama seperti saat ia pertama bertemu dengan suami-istri Fair di kediaman mereka. "Saya..."

"Aku nggak apa-apa nggak mendapat kabar darinya," itu ucapannya dulu pada Cloud. Bohong! Lalu untuk siapa delapan puluh sembilan surat itu ia tulis?

"Tapi aku kasihan pada orangtuanya." Lantas kenapa ia tak memberitahu mereka? Seperti saat ia memberi tahu ibu angkatnya mengenai kabar suaminya? Bahwa sebagai seorang Cetra, ia tahu apa yang terjadi pada Zack?

Begitulah, kali ini Aerith tak lari keluar ruangan. Sejak kencan dengan Cloud di Gold Saucer ia sendiri sudah memutuskan untuk menghentikan penyangkalan, melihat Cloud bukan sebagai pengganti kekasih yang ia rindukan, bahwa ia bisa jatuh cinta sekali lagi, dan mulai menerima kenyataan bahwa tiga bulan lalu, Zack telah...

Zack telah tiada...

Aerith pun tak bisa menyembunyikan lagi betapa air matanya setetes demi setetes tertumpah keluar di hadapan mereka. Air mata kesedihan yang bahkan tak ingin ia tunjukkan di hadapan teman-temannya, memaksa mereka percaya kekeraskepalaannya bahwa ia adalah gadis berkemauan kuat. Tanpa perlu kata-kata untuk menjelaskan itu semua, Nyonya Fair dapat mengartikan sikap Aerith dan memahami perasaannya, bahwa putra mereka tak akan kembali. Ia pun memeluknya, membuat tangisan gadis Cetra itu semakin deras. Tuan Fair pun ikut mendekat dan menepuk-nepuk bahu Aerith untuk menenangkannya, memberinya kehangatan yang terpancar dari sosok orangtua kandung yang sebelumnya belum pernah ia rasakan sejauh ingatannya. Ketegaran mereka pun mengalir ke dalam diri Aerith.

Perlahan, gadis berambut brunette itu pun meredakan tangisnya. Nyonya Fair masih melingkarkan lengannya di bahu Aerith dan membawanya duduk di sofa ruang tamu. Ia menyuruh Aerith untuk tetap di tempat sementara ia beralih ke dapur sebentar untuk memberinya secangkir susu hangat. Setelah menyesap susu dan menstabilkan emosinya, Aerith kembali berbicara dengan nada riang khasnya ketika Tuan dan Nyonya Fair mengajaknya berbincang-bincang mengenai putra mereka. Mereka menceritakan kenakalan-kenakalan yang pernah dilakukan oleh Zack semasa kecil, membuat Aerith tak bisa menahan tawa. Namun, saat Nyonya Fair menunjukkan kamar Zack, betapa ia selalu merapikannya demi kepulangannya suatu hari, Aerith kembali sesenggukan meski tak sederas tadi.

Dan tentu saja mereka ingin tahu kisah Zack selama di Midgar. Aerith pun bercerita lepas mulai dari Zack yang jatuh dari atap gerejanya, langsung mengajaknya kencan, membantunya merawat bunga, suatu hari saat pemuda itu menangis berduka dan ia menghiburnya, ia yang membuatkan gerobak dan berjualan bunga bersama, dan lain-lain. Ia juga menyelipkan beberapa cerita Zack soal misi yang pernah diceritakan padanya. Sebuah rangkaian cerita yang seolah dapat menghadirkan putra mereka begitu dekat di samping mereka. Sebuah cerita yang mampu menggantikan tahun-tahun bersama putra mereka yang hilang.

"Anak itu sejak dulu berbeda dengan anak kebanyakan," lanjut Nyonya Fair. "Ia terlalu lincah, desa kecil ini tak dapat menampung keingintahuannya pada dunia yang luas ini. Ia ingin menjelajahi berbagai tempat dan berteman dengan semua orang. Ia bahkan berteriak-teriak pada orang-orang sekampung bahwa ia ingin menjadi seorang SOLDIER. Katanya, kelak Gongaga bukan diingat orang kota hanya karena memiliki reaktor. Katanya, kelak nama Gongaga akan bersinar karena telah melahirkan seorang pahlawan."

"Pahlawan..," ungkap Aerith.

"Sesungguhnya kami khawatir, SOLDIER identik dengan peperangan, orangtua mana yang tak khawatir? Namun, ia malah tersenyum dan berkata, bahwa sejak ia bertekad menjadi SOLDIER dan memiliki cita-cita sebesar itu, ia sudah tahu hal itu akan menjadi takdirnya dan ia tak bisa menghindarinya. Ia juga berkata bahwa ia ingin membuat kami bangga meskipun artinya ia harus gugur di medan perang. Mendengarnya, kami seperti merasa bahwa ia memang terlahir untuk tugas itu. Begitulah, kami melepas kepergiannya ke Midgar," ujar Nyonya Fair menerawang.

Tuan Fair pun kembali angkat bicara. "Apa di akhir hayatnya, ia telah berhasil meraih cita-citanya?"

Bibir Aerith lantas mengulas senyum, ingat saat ia berkomunikasi terakhir dengan spirit sang SOLDIER tercinta sebelum berpendar hilang ke dalam Lifestream untuk selamanya. "Ya," sahutnya lembut. "Ia telah menjadi seorang pahlawan."

Dan jawaban Aerith pun membuat suami-istri Fair kini bergantian menitikkan air mata. Ia mendiamkan sebentar keharuan itu sebelum akhirnya beranjak untuk pamit.

"Kembalilah kemari kapan saja, Nak. Rumah ini terbuka untukmu," ujar Tuan Fair.

"Kau kekasih Zack, berarti kau putri kami juga," sambung Nyonya Fair.

Aerith hanya mengangguk dan berterima kasih. Hatinya menjadi lebih ringan sekarang. Kekosongan itu kini telah terisi seolah telah bertemu dengannya barusan. Dan kali ini, hatinya semakin mantap untuk menatap maju dengan cinta yang baru, bukan untuk menggantikannya. Ia masih mencintai Zack dan akan terus mencintainya. Namun, ada orang-orang yang masih hidup yang membutuhkan perhatiannya. Salah satunya adalah...

"Bagaimana keadaan Cloud?" tanya Aerith pada Tifa sekembalinya ke penginapan.

Tifa menggeleng. "Tidak ada perubahan. Tapi syukurlah, napasnya tetap konstan."

"Kugantikan menjaganya, Tifa," tawar Aerith akhirnya setelah dari kemarin membiarkan Tifa. "Kau istirahatlah."

"Terima kasih, Aerith."

"Wah, tidak apa-apa nih menyerahkannya padaku, hmm?" godanya.

"Kau kan juga sayang padanya. Tapi ingat, kita tetap saingan lho."

"Aku tahu, tehee~," lanjut Aerith nyengir lebar. Ia merasa beruntung memiliki sahabat perempuan seperti Tifa.

Sambil menguap, Tifa berjalan ke kamar perempuan yang seharusnya ditempatinya bersama Aerith dan Yuffie. Aerith pun mengganti kompres Cloud dan mengelap wajahnya. Ia menatap Cloud yang tertidur dan merasa iba, ingin dapat melakukan sesuatu untuknya lebih dari ini. Bodyguard-nya yang sok jagoan itu jadi seperti ini.

Bodyguard?

Tiba-tiba terlintas suatu ide dalam benak Aerith. Bahwa ialah kini yang harus menolongnya. Melindunginya dari Sephiroth. Hanya ia yang bisa menghadapinya sebagai seorang Cetra. Bahwa ia telah ditakdirkan terlahir sebagai Cetra terakhir. Dan seperti ucapan lantangnya pada Sephiroth, ia tak ingin membiarkannya menguasai masa depan Planet dengan menghancurkannya.

Takdir?

Berbicara takdir, Aerith teringat ucapan Bugenhagen di Planetarium. Berbicara takdir, Aerith juga teringat ucapan Nyonya Fair bagaimana Zack tahu takdir di hadapannya dan justru menghadapinya. Karena itu, ia juga tak boleh lari dari takdirnya.

Takdir seorang SOLDIER...

Takdir seorang Cetra...

Mendongak, Aerith pun menyesap napas. Ah, seandainya kami hanya orang biasa yang tak terikat tanggung jawab besar, mungkin takdir kami pun akan lain. Tapi tak ada yang perlu disesali bukan? Bukankah takdir pula yang telah mempertemukan mereka? [3]

Gadis berbaju pink itu menatap Cloud lagi dan mendesah panjang. Meski ia senang mendengarnya waktu itu, ia tahu ia tak bisa percaya begitu saja ketepatan ramalan Cait Sith untuknya sebagaimana probabilitas mesin fortune-nya bisa tepat bisa meleset, hanya untung-untungan dari sebuah permainan saja. Pertemuannya dengan Cloud memang membawanya ke sebuah petualangan yang akhirnya membuatnya menemukan jati diri dan tahu takdirnya sebagai seorang Cetra. Tapi, takdirnya bukan dengan Cloud.

"Tifa, kaulah yang harus menjaga Cloud," ucapnya untuk sahabatnya di kamar sebelah. Kemudian ia berkata pada Cloud meski tak didengarnya, "Hei, kuberitahu, peran bodyguard-mu sudah usai. Bukankah aku sudah membayarmu dengan sekali kencan? Terima kasih ya atas kencannya waktu itu."

Dan Aerith pun kembali keluar penginapan setelah mengemasi barangnya. Kali ini tanpa diketahui oleh yang lainnya.

Sebuah keputusan yang berat. Bahunya pun terasa bergetar hebat, kulitnya, terasa mengigil, kakinya membatu, dan jantungnya berdegup tak karuan. Rasanya ia masih tak percaya dengan apa yang barusan diputuskannya. Menghadapi titisan Jenova seorang diri, sanggupkah? Bayangan betapa mengerikannya seorang SOLDIER kembali muncul dalam benaknya. Apalagi Cloud dan Tifa pernah menceritakan peristiwa kelam di desa mereka. Serta Bugenhagen yang juga mengisahkan betapa sulitnya para Cetra dahulu melawannya sebelum akhirnya menyegelnya.

Dan, ia kini hendak ke sebuah hutan angker sendirian...

Aerith tiba-tiba menepuk pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Membawa fragmen pemuda berambut hitam jabrik dengan senyuman seterang matahari yang selalu membangkitkan sejuta harapan untuknya.

Bahwa Zack telah mengajarinya.

Ia yang pertama mengatasi ketakutan berlebihannya pada langit. Ia yang pertama membuat lebih percaya diri dengan mengajaknya keluar dari 'sangkar' gerejanya dan bunganya. Ia juga yang pertama membuatnya berinteraksi dengan banyak orang, dengan menjual bunga.

Zack-lah yang selama ini memberi kekuatan padanya dan bisa menjadi dirinya yang sekarang.

Dan Aerith seperti mengenalnya lebih dari siapa pun. Betapa Zack mencintai orang-orang, hangat, berkawan dengan siapa pun di seluruh penjuru dunia lewat misi-misinya, dan ingin melindungi semuanya sebagaimana ia bercita-cita menjadi seorang pahlawan. Bertemu dan mengobrol dengan orangtua Zack tadi telah membuatnya merangkai kembali semua kepingan-kepingan kenangannya yang dulu ia coba buang.

Ayo kita penuhi Midgar dengan bunga agar orang-orang dapat tersenyum bahagia. [4]

Aerith tak dapat melupakan impian yang pernah mereka cetuskan bersama itu. Bahwa Ia juga sangat mencintai Planet. Entah apakah itu karena darah Cetra yang mengalir dalam dirinya seperti yang diceritakan Bugenhagen di Planetarium tentang para leluhurnya, yang jelas Ia ingin melindunginya. Ia ingin Cloud, Tifa, dan semua orang yang berdiam di atasnya selamat.

Aku ingin hidup. Kalau bisa...

Ia seperti bisa mendengar suara Zack yang juga berkata demikian. Namun setakut apapun, dengan lawan yang jelas tak sebanding, Aerith yakin Zack tak akan gentar.

Lawan yang tak sebanding.

Sephiroth...

Gadis berkepang itu lalu membusungkan dada untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia juga mengencangkan ikatan pita rambutnya yang menyimpan White Materia agar tidak jatuh, pertanda keseriusan niatnya. Lalu ia memejamkan mata dan berkonsentrasi penuh agar batinnya terhubung dengan Cloud yang tengah tertidur dan pesannya dapat tersampaikan padanya melalui mimpi. Setelah dirasa selesai dan membuka mata, ia menerawang sebentar ke arah penginapan tempat Cloud, Tifa, dan yang lainnya berada.

"Kalau begitu, aku berangkat sekarang. Aku akan kembali setelah semuanya selesai," ujarnya dengan mantap. [5]

Siapa yang tak ingin kembali? Bahkan Zack pun ingin kembali.

Aerith lalu berbalik arah dan mulai melangkah keluar Desa Gongaga. Sesekali ia menatap langit dan arak-arakan awan kecil yang tampak mengiringi perjalanannya. Ia hanya tersenyum, tahu bahwa meski tak didampingi teman-temannya sesungguhnya ia tak sendirian. Tak pernah sendirian. Sebagaimana langit tak akan mungkin menghilang di atasnya. Bahwa Zack selalu berada di sisinya. Sejak dulu sampai kapan pun.

Dan mungkin juga nanti, di dunia sana sekalipun.

Ia telah selangkah lebih dekat.


"Kau masih takut pada langit?"

"Jika kau bersamaku, aku tak akan takut."

"Yeah, aku akan pergi bersamamu. Janji."

(Crisis Core Chapter 13: Dua Puluh Tiga Permohonan Kecil)


Canon Note:

[1] Crisis Core: Jawaban Zack saat Aerith bertanya, "Bagaimana pendapatmu mengenai sektor lima ini?" Dialog ini ada di Aerith DMW Scene.

[2] Crisis Core: Zack sempat mampir ke Gongaga saat kabur bersama Cloud, tapi ia tidak jadi mengunjungi ortunya karena Turks telah mengawasi tempat itu. Di sana ia bertemu Cissnei. Dan Cissnei bilang kalau ia sempat mengobrol dengan ortu Zack bahkan sampai dikira pacarnya.

[3] Dalam FFVII 10th Ultimania Book, disebutkan bahwa pertemuan Aerith dengan Zack adalah takdir sementara pertemuan Aerith dengan Cloud adalah kecelakaan.

[4] Crisis Core: Tidak ada dialog spesifiknya. Tapi Zack berkata kepada seorang pembeli bunga, bahwa memenuhi Midgar dengan bunga adalah impiannya bersama Aerith. Adegan ini hanya ada kalau kamu kembali ke gereja untuk membuatkan gerobak kedua.

[5] Original Game: Kalimat ini aslinya ada di dalam mimpi Cloud. Adegan itu ngingetin banget dgn adegan Zack mengacak-acak rambut Cloud sebelum bertempur. Dua-duanya terjadi saat kondisi Cloud sedang tidak sadar penuh. Feel-nya itu sama. Seseorang yang justru ga akan pernah kembali lagi T^T.

Oya, aku ga tau timeline kapan reaktor Gongaga meledak, apakah Zack masih di situ atau sudah ke Midgar. Soalnya kalau Zack masih di Gongaga, reaktor meledak gitu harusnya bikin dia ga pengen bergabung dengan Shin-Ra. Aku jg ga tau Cloud pingsan berapa hari,

Ngomong-ngomong aku punya quote yg cocok buat Zack dan Aerith, tercetus habis nulis chapter ini hehe: "He's like an air and the sky who gives breath to the people. She's like a water and the plant who gives life to the planet. He's a hero ahd she's his heroine."