Yoo Minna! Saya sengaja nambah fic baru nih. wkwkwkwwk habisnya saya bosen banget ngeliat fic saya sendiri. Jadi saya pengen tambah aja biar laen kali bisa nambah inspirasi.
Semoga gak ngebosenin ya... hehehe
Cerita ini baru aja kepikiran setelah saya sembuh dari sakit kemarin. Hehehehe... kayaknya saya pengen aja bikin cerita tentang dokter gitu.
DISCLAIMER : TITE KUBO
RATE : T
WARNING : OOC, AU, GAJE, MISSTYPO, Cerita pasaran dan mudah ketebak. Segala sesuatu yang ada dalam fic ini sama sekali tidak ada yang benar. semuanya hanya fiksi belaka dengan imajinasi indah saya.
ATTENTION : Fic ini adalah fiksi belaka. apabila ada kesamaan atau kemiripan di dalam fic atau cerita lain dalam bentuk apapun itu adalah tidak disengaja sama sekali.
.
.
.
"Bawakan tabung oksigen segera!"
"Denyut jantungnya melemah Dok!"
"Tekan terus sampai jantungnya tetap stabil. Jika lebih parah lagi, bawakan alat pacu jantung!"
"Baik Dok! Tapi, dia…"
Perawat bernama Kiyone itu agak terdiam melihat seseorang yang begitu keras berjuang di dekat kasur pasien itu. Sejak setengah jam yang lalu, akhirnya tim evakuasi berhasil membawa keluar sisa korban kebakaran itu. Untunglah tidak ada yang meninggal karena kebakaran ini. Tapi beberapa pasien banyak mengalami syok dan trauma.
Beruntungnya lagi, gedung yang terbakar hanya gedung ruangan pasien. Beberapa gedung lain masih sempat diselamatkan sehingga bisa membantu untuk memindahkan dan mengevakuasi korban lain untuk segera ditangani.
Ulquiorra selaku dokter yang menangani pasien darurat ini tertegun sejenak tak jauh dari deretan kasur pasien darurat ini. Sebagian dokter sudah menangani pasien yang terluka ringan. Sebagian lagi menolong beberapa pasien yang masih trauma dan syok. Dan kini, Ulquiorra tak yakin apa yang harus dia lakukan.
"Ayolah! Kau bisa Rukia! Bangunlah! Kembali padaku!"
Dokter Kurosaki itu terus memompa jantung gadis mungil itu. Berkali-kali memberinya nafas buatan dari mulut ke mulut.
Tim evakuasi menemukan mereka berada di ruang rawat Rukia. Nyaris saja beberapa kayu penyangga jendela dan pintu itu ambruk menimpa mereka. Meski pada akhirnya memang ada kayu yang hangus terbakar dan menimpa lengan Ichigo yang berusaha melindungi Rukia dalam pelukannya. Ichigo juga terkena beberapa luka bakar ringan di lengannya. Mungkin itu dia dapat saat menerobos masuk ke dalam gedung ini.
Rukia yang berada di gendongannya dan tidak mau dia lepaskan, mendadak tidak bisa bernafas. Dari pemeriksaan awal, sepertinya Rukia cukup lama berada di dalam asap kebakaran itu hingga dia terhisap asapnya. Kini, jantung Kuchiki cantik itu semakin melemah. Setelah dipasang alat bantu oksigen, masih juga tidak berfungsi dengan baik. Apa mungkin… Rukia sudah…
"Kurosaki…"
"Tidak! Aku yakin Rukia masih hidup! Dia masih hidup! Aku akan membawanya kembali hidup!" jerit Ichigo ketika alat detak jantung itu menunjukkan tanda-tanda aneh.
"Aku akan menggantikanmu sebentar, kau harus urus lukamu dulu," pinta Ulquiorra.
"Lukaku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rukia! Aku harus―"
"Kurosaki!"
Ichigo tertegun saat mendengar suara bentakan itu. Itu bukan suara Ulquiorra. Ichigo mengenal suara itu. Di saat hiruk pikuk keadaan rumah sakit ini, Ishida datang dan muncul dari arah pintu masuk. Rupanya di ada Orihime juga yang terlihat sangat cemas dan khawatir. Wajahnya terlihat panik juga. Seperti akan terjadi hari kiamat di wajahnya itu.
"Kurosaki-kun…" lirih Orihime.
"Lihat, Kuchiki-san sudah kembali stabil. Kau terlalu panik sampai tidak menyadarinya. Sebentar lagi jantungnya akan kembali stabil. Sekarang kau urus dulu lukamu dengan Inoue-san. Masih banyak pasien lain yang memerlukan pertolongan kita. Kau dokter bukan? Aku sudah bilang, pasien-mu itu, bukan hanya Kuchiki-san seorang. Apalagi di saat seperti ini. Pikirkan itu, Kurosaki!"
Ichigo menunduk diam saat Ishida menceramahinya begitu. Sepertinya juga itu bukan ceramah karena kata-kata Ishida terlalu tajam. Beberapa saat mereka saling terdiam, tapi kemudian, Ichigo melirik sendu ke arah Rukia yang masih terbaring tak sadarkan diri.
"Ishida benar, kau harus diobati juga Kurosaki. Nanti lukamu bisa infeksi dan bisa lebih parah. Aku akan berjaga di sini dan memberitahumu kalau ada perkembangan mengenai Kuchiki," sela Ulquiorra.
Ichigo masih diam tak menjawab dan tetap melirik ke arah Rukia.
"Tunggu apa lagi Inoue-san? Bawa Kurosaki segera. Sebelum dia berubah pikiran!" sindir Ishida.
"K-kalau begitu, ayo… Kurosaki-kun."
Sedikit tak rela, wajah Ichigo masih terlihat sendu memandangi Rukia. Walau akhirnya, Ichigo ikut juga dengan Orihime untuk mengobati luka bakar di lengannya. Beberapa bagian wajahnya juga menghitam karena asap, sama seperti Rukia di sana.
Dan akhirnya, Ichigo benar-benar menghilang dari ruangan ini.
"Astaga! Aku yakin sebentar lagi Kurosaki pasti jadi gila!" keluh Ishida.
"Menurutku… apa yang dilakukannya itu sudah semestinya. Pasti Kurosaki tidak mau kehilangan Kuchiki untuk kedua kalinya," sambung Ulquiorra.
"Yah, kalau aku jadi dia mungkin juga seperti ini. Tapi, dia sudah benar-benar…"
"Tidak apa-apa Ishida. Mungkin nanti, Kurosaki akan lebih baik lagi."
"Kuharap seperti itu. Nah, pasien mana lagi yang perlu tangan kita?"
.
.
*KIN*
.
.
Orihime tidak tahu harus mengatakan apa. Mereka berdua berada di ruangan Ulquiorra. Tadi Ishida sempat bilang kalau Ichigo dibawa ke sini saja untuk membuatnya tenang sebentar. Orihime begitu telaten sebagai seorang perawat untuk mengobati luka bakar itu. Biasa, pasien yang diberi beberapa obat oles atau cairan antiseptik akan meringis sakit karena terkena luka bakarnya. Tapi Ichigo tetap diam tanpa ekspresi. Diam-diam Orihime terus memperhatikan dokter tampan ini. Orihime sempat berpikir, mungkin jika kali ini Rukia benar-benar meninggal, pasti Ichigo tanpa ragu akan ikut Rukia juga.
Begitu banyak pengorbanan yang mereka lakukan. Ichigo juga begitu setia menunggu kekasih sejatinya. Selama ini, memang Ichigo tak pernah membuka hatinya untuk siapapun. Termasuk Orihime sendiri. Selama ini, Orihime-lah yang berpikir bahwa mungkin Ichigo bisa perlahan-lahan menerimanya. Dengan sedikit paksaan tentunya. Tapi akhirnya, ternyata dia salah.
Keteguhan hatinya jauh lebih kuat dari apa yang dibayangkan oleh Orihime. Yah, sekali saja Ichigo sudah bertekad, semua tekad itu akan terus dibawanya sampai mati. Tidak akan pernah goyah walau badai sebesar apapun datang menerjangnya. Ditambah lagi sekarang… Ichigo dihadapkan pada situasi seperti ini.
Rukia hilang ingatan dan mungkin tidak ada kemungkinan bagi Rukia untuk mengingat kembali dimana cintanya.
"Kurosaki, apa… masih sakit?" tanya Orihime dengan suara lirih setelah perban terakhir berhasil dia ikatkan di lengan yang terbakar itu. Lukanya lumayan parah. Sepertinya Ichigo nyaris membakar tangannya sendiri tadi.
"… ya…" gumam Ichigo seraya menatap kosong pada lantai ruangan ini.
Beberapa saat kemudian, Ichigo menggenggam baju depannya sendiri. Mencengkeramnya begitu kuat hingga kusut. Tatapannya masih begitu sendu dan pedih. Belum pernah Orihime melihat Ichigo sesengsara ini. Terakhir kali Orihime melihat wajah seperti ini saat Ichigo mengetahui mengenai kematian Rukia. Orihime pikir setelah enam tahun, tidak akan pernah lagi melihat wajah Ichigo seperti ini.
"Masih terasa sakit di sini. Benar-benar… sakit…" lirihnya sambil menekan dadanya begitu kencang.
Orihime langsung memeluk leher Kurosaki tampan itu dari belakang. Merangkulkan kedua lengannya di sekitar leher Ichigo. Dokter tampan ini tampak tak menolaknya. Walau harus Orihime akui, Ichigo mungkin sama sekali tidak sadar dengan apa yang dilakukan oleh Orihime. Yah, Orihime ingin sekali, meski hanya satu kali, untuk menenangkan dokter orange ini. Hanya satu kali. Tidak apa-apa kan?
"Aku mengerti rasa sakit yang kau alami. Keluarkan semuanya Kurosaki-kun. Aku akan menemanimu sampai… perasaanmu lebih baik. Kalau kau ingin menangis, menangis saja. Kalau kau ingin berteriak, berteriak saja. Lakukan apa saja yang bisa membuatmu lega. Termasuk… termasuk… memanggil Kuchiki-san…" lirih Orihime.
Yah. Di dalam hatinya, Orihime berjanji. Ini adalah terakhir kalinya dia berbuat seperti ini. Ini adalah terakhir kalinya dia memeluk Ichigo seperti ini. Karena mungkin… setelah ini, Orihime tidak akan pernah lagi muncul di antara dua orang ini. Orihime tidak akan pernah menaruh harapan apapun lagi pada dokter Kurosaki ini. Meski sekecil apapun. Tidak akan pernah lagi.
Karena Orihime tahu… seberapa kerasnya Orihime berusaha, dia tidak akan pernah bisa menandingi bayangan gadis itu.
"Rukia… Rukia…" bisik Ichigo berulang kali meski Orihime masih memeluknya seperti itu.
.
.
*KIN*
.
.
Orihime baru meninggalkan Ichigo sebentar karena dia ingin minta dibawakan air minum. Tapi begitu kembali ke ruangan Ulquiorra, pria berambut orange itu sudah tak ada lagi di sana. Tentu saja Orihime panik bukan main. Tapi, dalam hati, Orihime yakin Ichigo tak pergi jauh. Dia pasti ada di sana.
Segera saja Orihime pergi dan menemukan dokter berbakat itu sudah duduk di sisi ranjang pasien dan membelakangi pintu masuk ruangan dimana terakhir kali dia berada. Tak lama kemudian, Ichigo menunduk dan meletakkan kepalanya di sisi tempat tidur itu sambil menggenggam tangan seseorang.
"Biarkan saja, Inoue-san. Kurasa, itulah yang bisa membuatnya tenang sekarang."
Orihime berhenti ketika ada yang menahan lajunya tadi.
"Dokter… Ulquiorra…"
"Setelah menangani beberapa pasien yang membutuhkan bantuan, Ishida sudah pulang. Dia memintaku untuk menemanimu di sini. Dan mengantarmu kalau kau ingin pulang. Semua pasien sudah kembali aman. Lagipula ini sudah lewat dini hari. Kalau kau lelah, aku bisa mengantarmu pulang," jelas Ulquiorra.
"Oh begitu… tapi… Kurosaki-kun…"
"Kurosaki tidak mungkin beranjak dari sana meski kau paksa sekali pun. Lagipula, tidak apa-apa membiarkannya di sana. Dia juga butuh istirahat. Kalau kita mengganggunya, yang ada kita malah membuat keributan padahal pasien lain juga butuh istirahat."
Ichigo tidak akan beranjak dari sana meski dipaksa.
Sekarang Orihime paham.
"Mungkin aku di sini saja. Siapa tahu ada pasien yang butuh bantuanku. Kalau Dokter mau pulang, tidak apa-apa. Aku bisa sendiri di sini."
"Kau tidak mau pulang? Kau mengkhawatirkan Kurosaki?"
"Ahh bukan begitu. Walau sebenarnya aku khawatir… tapi aku hanya ingin di sini saja. Kembali pulang juga, aku tidak melakukan apapun. Sebaiknya aku di sini saja. Pasti butuh banyak bantuan di sini. Tidak apa-apa kan?"
"Kalau kau memaksa… yah sebenarnya kami memang butuh bantuan. Tenang saja, aku bertugas malam ini. Jadi aku tidak mungkin pulang hari ini. Ngomong-ngomong… bagaimana kalau kita patroli sekitar sini?"
"Dengan senang hati."
Detik ini, Orihime berjanji dengan segenap hatinya. Apapun yang terjadi kelak, Orihime tidak akan memaksakan kehendaknya lagi. Dia akan belajar untuk tidak egois. Walau perasaannya kali ini tetap tidak terbalas, tapi kelak, pasti ada perasaan lain yang bisa membalasnya. Pasti kelak… ada seseorang yang akan menerimanya. Menerima dirinya dan menerima hidupnya.
Pasti ada.
.
.
*KIN*
.
.
Ungu kelabu itu mengerjap pelan.
Seingatnya dia… bertemu dengan kekasihnya semalam. Rukia merasa… dia bertemu dengan kekasihnya. Tapi… entah kenapa kekasihnya tidak membawanya pergi. Kenapa kekasihnya hanya melihatnya dan tersenyum tanpa berkata apa-apa. Padahal Rukia yakin kalau dia… sudah benar-benar mati.
Selama enam tahun ini, ingatannya memang hilang. Dia tidak ingat siapa keluarganya. Dia tidak ingat bagaimana kehidupannya selama ini. Dan dia tidak ingat apa yang terjadi padanya selama ini. Yang dia ingat secara perlahan adalah… bahwa kekasih yang amat dia cintai mati meninggalkannya. Rukia sudah berusaha berkali-kali untuk bunuh diri. Tapi tetap tidak pernah berhasil. Dan sekarang, kesempatan itu sudah datang. Rukia sengaja tidak keluar dari kamarnya meski asap kebakaran itu sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia hanya berlindung di bawah ranjangnya sambil memeluk boneka kelincinya. Berharap ada yang menimpanya dan membuatnya mati seketika.
"Kau sudah sadar?"
Rukia terperanjat kaget saat seseorang bersuara di dekatnya. Dia… masih hidup?
"Kau benar-benar sudah bangun? Syukurlah… syukurlah kau tetap hidup, Rukia…"
Rukia masih hidup? Artinya dia… tidak berhasil menyusul kekasihnya?
Dan di dekatnya kini ada seorang pria berambut orange yang saat ini tidak dikenalnya sama sekali. Wajahnya terlihat berbinar cerah dan penuh haru. Saat tangan pria asing itu bergerak untuk mendarat di dahinya, Rukia langsung menghindar. Tatapan matanya berubah terkejut.
"Rukia…"
"Siapa kau? Siapa kau ini?!" bentak Rukia. Entah kenapa dirinya ketakutan sekarang.
"Rukia… ini aku Ichigo. Aku… Ichigo…" katanya bersungguh-sungguh.
"Ichigo siapa?! Pergi dariku!" pekik Rukia.
Kontan saja teriakan Rukia jadi perhatian dari beberapa penghuni lain di dalam kamar itu.
"Rukia, ada apa denganmu? Ini aku. Aku―"
Rukia bangkit dari tempat tidurnya dan menjambak rambutnya kesal.
"Kenapa aku masih hidup! Kenapa aku masih hidup! Aku mau mati! Kenapa kau biarkan aku hidup!" jerit Rukia sekencangnya. Suaranya bahkan terdengar parau.
"Kau ini bicara apa Rukia?" kali ini Ichigo yang ikut panik. Dia terus memegangi tangan Rukia yang mulai bergerak tidak terkendali. Ichigo berusaha membuat Rukia tenang. Tapi tetap tidak berhasil. Kenapa dia begini lagi?
"Aku tidak mengenalmu! Pergi dariku! Aku mau mati! Biarkan aku mati! Aku harus mati! Aku mau menemui kekasihku!"
Ichigo tertegun. Jadi… selama ini… Rukia tetap tidak mengenalnya.
Rukia tetap tidak bisa mengenalinya. Ternyata ingatan Rukia tetap tidak pernah kembali. Ichigo masih jadi orang asing untuk Rukia. Dalam memori Rukia yang sekarang, tidak ada tempat untuk Ichigo di dalam kenangannya. Bagi Rukia sekarang, Ichigo tetap masih meninggal.
"Rukia…" panggil Ichigo lelah. Ichigo tak tahu cara apalagi yang harus dilakukannya sekarang.
"Kau tidak dengar aku?! Lepaskan aku! Aku harus mati! Aku mau mati sekarang! Aku tidak mau hidup lagi! Aku tidak mau sendirian seperti ini! Kekasihku menungguku!" pekiknya semakin kencang.
"RUKIA!" kali ini suara Ichigo cukup tinggi dengan bentakannya.
Dan itu cukup membuat Rukia terdiam dan berhenti meronta-ronta. Ungu kelabunya membelalak lebar, masih terpancar ketakutan yang luar biasa. Mungkin suara Ichigo tadi terlalu tinggi hingga membuat Rukia terkejut luar biasa. Tubuh mungil itu mendadak kaku dan tak bergerak dalam pegangan Ichigo.
Ichigo masih memegangi lengan kurus Rukia untuk membuat gadis mungil ini berhenti bergerak. Tiba-tiba terdengar isakan tangis dari gadis-nya.
"Tolong… biarkan aku mati… aku harus… menyusul kekasihku… dia… dia sudah berjanji untuk selalu di sampingku… tolong aku…" mohon Rukia.
Ichigo benar-benar tak tega melihat gadis-nya menangis seperti ini.
"Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Jadi kumohon… lepaskan aku. Biarkan aku mati… aku sudah lelah hidup seperti ini. Aku… aku…"
"Meski sekarang kau tidak mengenalku atau malah selamanya kau tidak mengenalku, aku tidak akan pernah membiarkanmu mati," ujar Ichigo lembut.
Rukia kembali terasa kaku. Mata besarnya terus mengawasi Ichigo dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Kalaupun kau harus mati, kali ini… aku akan mati bersamamu. Aku akan ikut kemanapun kau ingin. Bahkan jika aku harus ke neraka untuk bersamamu, aku akan bersedia. Karena itu… karena itu… tolong berhentilah mengatakan kalau kau ingin mati."
Mata cantik itu masih mengeluarkan cairan beningnya bertubi-tubi. Sekarang tetesan air itu tampak seperti hujan. Turun begitu deras.
"Kenapa kau… mengatakan hal itu… aku tidak mengenalmu. Aku tidak ingat padamu…" lirih Rukia.
"Tidak apa-apa. Kalau kau tidak mengenalku, aku yang mengenalmu. Kalau kau tidak ingat aku, aku yang mengingatmu. Jangan bebankan perasaanmu lagi. Aku pasti… akan mengembalikan semua memori dan kenanganmu."
"Kenapa kau… melakukan hal ini untukku? Kenapa orang asing sepertimu… mengatakan hal ini?"
"Bagimu mungkin aku terlihat seperti orang asing. Tapi bagiku… kau adalah seseorang yang sangat berarti untukku."
Lama mereka saling bertatapan. Ichigo tak yakin apakah Rukia mengerti kata-kata. Tapi sekarang, Ichigo akan terus berusaha membuat gadis pilihan hatinya ini mengerti semua kata-katanya. Dia akan membuat gadis ini menerima hatinya kembali.
"Apa… kau juga akan mengembalikan… kekasihku?"
"Aku pasti akan… mengembalikannya padamu…"
.
.
*KIN*
.
.
Kepastian yang kau inginkan… aku mencintaimu…
Bisa. Kau pasti bisa sembuh. Karena aku akan selalu mendampingimu.
Aku bersedia menyerahkan seluruh hidupku padamu, asal kau… bisa sembuh.
Menemanimu seumur hidupku, kurasa itu adalah pilihanku. Bukan permintaanmu.
Entah bagaimana caranya, Rukia sekarang bisa mengingat beberapa kilas masa lalunya. Kata-kata sang kekasih yang masih terngiang di pikirannya. Suara kekasihnya yang begitu dirindukannya. Suara kekasihnya yang begitu indah ketika memanggil namanya.
"Rukia."
Yah. Seperti itulah suaranya. Suara yang paling indah di dalam hidupnya selama ini. Suara yang sangat dirindukannya. Berapa tahun sudah Rukia tidak mendengar suara indah itu. Berapa lama waktu yang ditunggu Rukia hingga akhirnya suara itu kembali terdengar di telinganya. Butuh waktu yang tidak sebentar.
"Rukia?"
Oh, suara itu kian mendekatinya. Terdengar begitu lembut di telinganya. Rukia memejamkan matanya sejenak. Masih berharap suara itu terus terdengar sampai ke dalam hatinya. Suara yang begitu menenangkan. Di dunia ini, mungkin suara itulah yang paling indah untuknya. Karena setiap kali suara itu memanggil namanya, Rukia seakan bisa mengenalinya sekecil apapun suara itu nanti. Tidak. Rukia tidak ingin suara itu mengecil. Dia ingin suara itu terus terdengar untuknya. Sudah begitu lama dia menantikan saat seperti ini. Sudah begitu banyak waktu yang terlewatkan tanpa suara ini. Rukia tak ingin kembali ke masa itu lagi. Di mana Rukia kehilangan suara ini.
"Kau tidur?"
Beberapa saat kemudian, Rukia perlahan-lahan membuka pelan kelopak mata cantiknya. Ungu kelabu itu agak silau begitu melihat cahaya yang tiba-tiba menyeruak ke dalam penglihatannya.
"Hei, apa kau mengantuk?"
Pria berambut orange yang kini selalu ada di dekatnya.
Sejak peristiwa kebakaran itu, hingga kini sudah berlalu enam bulan. Pria itu memutuskan tinggal di Seireitei. Dia juga sudah mengurus semuanya untuk kemudian pindah kemari. Beberapa temannya yang sempat datang kemari saat peristiwa kebakaran itu, mereka satu persatu sudah pergi dari sini. Kini semua pasien dari rumah sakit Seireitei pindah ke rumah sakit lain sambil menunggu renovasi perbaikan gedung yang terbakar itu.
Katanya, pria ini adalah seorang dokter.
Dia juga sering merawat pasien lain di sini. Dan sudah enam bulan ini, dokter tampan ini merawat Rukia. Sungguh, awalnya juga Rukia menolak kehadiran dokter ini. Rukia tidak mau dokter yang bukan dokter biasa yang merawatnya. Dalam hal ini, Rukia hanya ingin Ulquiorra saja. Tapi kemudian, entah kenapa, setiap kali dokter tampan ini memanggil namanya, rasanya Rukia jadi berubah aneh. Setiap kali dokter ini memanggilnya, Rukia seakan terhipnotis olehnya.
"Cuacanya memang cerah hari ini. Tapi udaranya sudah mulai menghangat. Kau mau masuk ke dalam?" tawarnya kemudian.
Dokter berambut orange ini lalu berlutut di depan Rukia yang masih duduk di kursi roda.
Awalnya juga, pagi ini Rukia biasa dibawa keluar untuk jalan-jalan. Meskipun selama enam bulan ini akhirnya Rukia bersedia pergi dengan dokter baru ini. Walau Rukia belum begitu mengenal baik dokter ini. Tapi entah kenapa, dokter ini mengenal baik tentang Rukia. Apa yang Rukia tak suka dan apa yang Rukia sukai. Intensitas bicara Rukia juga masih seperti dulu. Rukia tak banyak bicara. Dia terkesan sangat pendiam dan selalu merespon apa yang ditanyakan padanya dengan isyarat.
"Baiklah, jam pemeriksaanmu sudah tiba. Kita masuk sekarang?"
Rukia kemudian menunduk dalam ketika dokter itu beranjak dari tempatnya lalu beralih menuju belakang kursi Rukia. dengan gerak pelan, dokter tampan ini mendorong kursi roda Rukia masuk ke dalam gedung.
Ichigo masih terus bersabar hingga kini.
Selama enam bulan, Ichigo terus menemani Rukia. Ulquiorra sekarang sering bepergian untuk tugasnya. Jadi otomatis Rukia selalu ditinggal. Ichigo juga mulai belajar untuk mendekati Rukia. Meski sangat sulit. Rukia belum begitu menerimanya. Apalagi, fakta sekarang, Rukia tetap tidak bisa mengingatnya. Tapi akhir-akhir ini, Rukia perlahan-lahan mau dirawatnya.
Enam bulan lalu, Ichigo segera mengambil tindakan. Dia kemudian berusaha mati-matian agar bisa ditempatkan di Seireitei. Ishida sudah angkat tangan mengenainya. Bagi Ichigo itu bukan masalah. Dia bahkan sudah melupakan mengenai studi-nya. Ichigo sudah cukup puas hanya dengan dirinya sekarang. Karena dirinya yang sekarang… dia sudah kembali bertemu dengan cintanya. Bertemu Rukia kembali tidak bisa ditandingi dengan apapun. Walau pun Rukia tidak mengingatnya. Walau Rukia tidak bisa mengenalinya. Itu bukan masalah. Kenangan bukan berarti segalanya. Dia bisa membuat kembali kenangan itu. Asal ada Rukia-nya. Itu sudah cukup.
Keadaan Rukia memang cukup terkendali sekarang. Frekuensi kambuhnya sudah berkurang sedikit demi sedikit. Sepertinya gadis ini juga diam-diam tengah melatih dirinya sendiri. Rukia memang tidak mau bicara. Tapi Ichigo tahu gadis-nya tengah berusaha untuk sembuh. Sempat Ulquiorra melihat perkembangan Rukia dari enam tahun yang lalu. Sejak bersama Ichigo, sedikit demi sedikit Rukia mau terbuka. Mungkin, apa yang dilakukan Ichigo pada Rukia adalah naluri masa lalunya. Karena secara tidak langsung, meski otaknya tidak mampu mengingat masa lalunya, tapi sebagian diri Rukia masih ingat. Mungkin itulah yang membuat Rukia mau menerima Ichigo meski dia tidak ingat siapa Ichigo sebenarnya.
"Nah, di dalam ada terapis-mu. Hari ini aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Aku ada janji dengan pasien lain, sampai jumpa Rukia," ujar Ichigo setelah mendorong kursi roda Rukia sampai di depan pintu ruang terapi-nya.
Awalnya Rukia menunduk saja sedari tadi. Tapi kemudian, ketika mendengar suara dokter itu berkata kalau dia ingin pergi darinya, Rukia jadi mengangkat kepalanya. Dokter berambut terang itu tersenyum lembut pada Rukia sesaat sebelum dia pergi.
Tapi tiba-tiba―entah gerakan apa, namun Rukia sendiri tidak yakin―tangan mungilnya terjulur perlahan dan berhasil menggapai ujung jas putih khas dokter itu. Sebenarnya tangan Rukia yang menggenggam ujung jas putih itu gemetar. Karena gemetar itu, Rukia semakin mengeratkan genggamannya.
Tentu saja Ichigo terkejut bukan main saat langkahnya terhenti karena ujung jas-nya tertarik ke belakang. Awalnya, Ichigo masih diam di tempat. Dia terlalu takut untuk berpikir macam-macam. Terutama apa yang diduganya.
Perlahan-lahan kepala Dokter Kurosaki ini berbalik ke belakang. Entah ekspresi apa yang harusnya Ichigo berikan sekarang. Dia terlalu senang hingga rasanya melompat kegirangan seperti anak kecil yang mendapat hadiah natal itu tidaklah cukup. Sudah sekian lama Ichigo merindukan tatapan mata cantik itu memandang ke arahnya. Selama enam bulan ini, Rukia tidak pernah menatapnya seperti ini. Rukia hanya menunduk saja setiap berhadapan dengannya. Dan kini, entah ada keajaiban apa, Rukia menatapnya.
"Kau… akan kembali?"
Ichigo yakin sekarang matanya sudah amat basah karena diterjang air bah. Suara Rukia tidak sama seperti dulu. Suaranya terdengar berat dan serak serta parau bersamaan. Mungkin itu efek karena Rukia jarang bersuara. Baru mengatakan sekian kata itu, Rukia sudah batuk. Ichigo berbalik, melepaskan genggaman Rukia dan berbalik menggenggam tangannya. Keajaiban lainnya, Rukia tidak menjerit dan ketakutan lagi. Ichigo berlutut di depan Rukia sambil tersenyum hangat.
"Aku akan kembali sesegera mungkin. Jangan memaksakan diri untuk bicara kalau kau merasa tidak enak. Semua akan baik-baik saja."
Karena Ichigo menatapnya terlalu lama, Rukia akhirnya kembali menunduk dan mulai melihat-lihat sekelilingnya. Sepertinya dia tidak fokus lagi.
Sesaat kemudian, petugas terapis membuka pintu ruangan di depan mereka.
"Ahh Kuchiki di sini rupanya. Ayo kita mulai terapi-nya. Waktunya sudah tiba."
Petugas terapi itu mengambil alih kursi roda Rukia dan mengucapkan beberapa sapaan pada Ichigo. Ketika Rukia akan dibawa masuk, gadis cantik itu sempat menoleh ke belakang sesaat.
Ichigo yakin… Rukia-nya pasti kembali.
.
.
*KIN*
.
.
Cinta pertama. Apa itu cinta pertama?
Kenapa begitu berkesan di dalam hidupmu? Kenapa cinta pertama begitu indah?
Meski dilalui dengan pahit dan manis. Kenapa cinta pertama begitu berbekas?
Jawabannya sederhana.
Itu adalah saat dimana kau pertama mengenal sebentuk kebahagiaan tanpa syarat.
Cinta pertama begitu sederhana. Tapi cinta pertama adalah hadiah dari surga yang tak bisa digantikan dengan apapun. Hadiah yang tak ternilai harganya. Dan ketika seseorang bertanya padamu, apa arti cinta pertama itu…
Mungkin yang bisa dikatakan adalah…
Hadiah yang dikirim dari surga untukmu.
One years later…
Tak terasa sudah setahun berlalu. Kini Ishida sudah memiliki dua orang anak dari pernikahannya dulu. Untuk membuat Ichigo kesal, pria sialan itu mengirim foto mesra keluarga kecil Ishida untuknya. Alasannya sih karena foto itu untuk diperlihatkan kepada ayah Ichigo. Tapi Ichigo tahu itu hanya kedok untuk membuatnya kesal saja.
Orihime sekarang sudah menjadi asisten kepala perawat. Memang jabatannya sudah sedikit lebih tinggi dan mungkin beberapa tahun lagi dia bisa jadi kepala perawat.
Adakah yang menduga bagaimana kisah cinta perawat cantik ini?
Setelah patah hati dari cinta pertamanya, ternyata dokter berkulit pucat itu sering menghubunginya. Awalnya hanya berdiskusi masalah kedokteran saja. Tapi akhir-akhir ini mereka sering terlihat pergi bersama―atau kencan?
Ketika Orihime menjenguk Rukia di Seireitei, wanita seksi itu selalu terlihat bersama Ulquiorra. Seperti hari ini.
"Apa kabar Kurosaki-kun?"
"Oh, Inoue. Aku baik. Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja baik. Kau terlihat bahagia sekali ya?"
Ichigo hanya tersenyum tipis.
"Hei, Ishida benar. Kau terlihat mengerikan kalau bahagia," sela Ulquiorra.
"Sialan itu! Ah ya, kalian terlihat semakin… dekat? Apa sudah lebih dekat?" goda Ichigo.
Orihime hanya tertunduk menyembunyikan wajah memerahnya. Ichigo yakin mereka memang dekat. Benar kan?
"Sebenarnya… kami ingin memberikan ini," ujar Ulquiorra seraya menyerahkan sebuah amplop ukuran postcard pada Ichigo.
"Apa ini?" tanya Ichigo setelah menerima amplop itu.
"Buka saja," balas Ulquiorra.
Agak bingung, Ichigo membuka amplop putih itu.
Setelah membaca keseluruhannya dengan gerak cepat. Ichigo ternganga lebar. Rasanya rahangnya bisa jatuh kapan saja. Dia tak menduga, sebenarnya Ichigo memang menduganya, tapi tidak secepat ini.
"Kalian… menikah?" kata Ichigo tak percaya.
"Maaf Kurosaki-kun, kalau kami terlalu cepat mengambil keputusan. Tapi… saat aku mengunjungi orangtua Ulquiorra di Swiss―"
"Apa?! Kalian sudah bertemu orangtua?!" ok. Ini reaksi berlebihan Kurosaki!
"Orangtuaku ingin kami segera menikah. Lagipula, untuk apa menunda terlalu lama. Usia kita kan sudah di atas 30 tahun. Lagipula… kami saling mencintai. Apa itu salah? Kau tidak pernah dengar kata orangtua kalau menunda sesuatu yang baik itu tidak boleh?"
"Hh, kau benar. Kalau begitu selamat ya…"
"Terima kasih, Kurosaki-kun…"
"Terima kasih. Ahh ya, kudengar keadaan Kuchiki sudah lebih baik?"
"Ya. Rukia sudah sangat baik. Mungkin tak lama lagi, dia bisa hidup normal. Meski… dia masih butuh pengawasan dan pendamping."
"Kalau dia bisa… kami akan sangat bahagia jika dia datang ke hari bahagia kami."
Ichigo tersenyum menjawab tawaran mereka.
Mereka tidak bisa lama-lama di Seireitei. Karena ada hal penting terkait pernikahan mereka yang tinggal 10 hari lagi itu. Mereka juga cuma menitipkan salam pada Rukia. Mereka… memang terlihat sangat bahagia bersama satu sama lain. Ulquiorra bisa melengkapi Orihime dan Orihime yang bisa menerima Ulquiorra apa adanya. Sesaat Ichigo sempat merasa bersalah pernah membuat gadis itu begitu terpuruk. Tapi, Ichigo yakin, jika Orihime bisa melalui semuanya dengan baik. Tidak seperti… dirinya.
Setelah meletakkan undangan pernikahan yang akan dihelat di Tokyo itu di atas meja kerjanya, Ichigo berhenti sejenak. Lalu membuka laci mejanya.
Sebuah kotak merah beludru kecil berada di sana.
Sudah tujuh setengah tahun Ichigo menyimpan benda ini kemanapun dia pergi. Awalnya, ini adalah kotak yang akan dipersembahkannya saat melamar Rukia pertama kali. Saat itu, Ichigo tak pernah berpikir kalau kebahagiaannya waktu itu akan segera sirna. Rasanya memang… tidak adil. Ichigo mengambil kotak merah itu dan membukanya pelan. Sebuah cincin dengan desain bulan sabit yang terbuat dari berlian. Bulan sabitnya memang kecil. Karena desainnya sebuah lingkaran penuh dan bulan sabit di dalamnya. Sedangkan sisa lingkaran itu tertutup dengan berlian kecil berwarna hitam.
Walaupun satu tahun setengah ini Rukia benar-benar mau menerimanya dan sering mendengarkan Ichigo bicara. Kadang Rukia sendiri yang ingin mendengarkan suara Ichigo walau hanya berkata-kata saja.
Meski tetap saja… Rukia tidak mengingat siapa Ichigo.
Bagi Rukia, Ichigo hanyalah dokter yang bertanggungjawab untuk menanganinya saja. Tidak lebih dari itu.
Ichigo bergegas menuju ruang terapi Rukia. tapi kata petugas di sana, Rukia sudah pergi ke taman rumah sakit dengan diantar petugas lain. Katanya Rukia mau melihat suasana sore hari. Gadis itu masih tetap suka berada di taman rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia lihat. Rukia senang sekali berada di dekat sebuah bangku taman yang berada di bawah pohon maple itu. Sesekali dia akan menangkap daun yang berguguran kalau ada yang tidak sengaja melayang ke arahnya. Dan kegiatan itu selalu dilakukannya setiap kali berada di taman ini.
Tidak perlu waktu lama karena Ichigo hafal benar dimana posisi Rukia sekarang.
Petugas rumah sakit ada di belakang kursi roda Rukia sambil menunggui gadis berparas mungil ini menikmati angin yang berhembus di musim gugur ini.
Ichigo menegur petugas rumah sakit itu dan memintanya untuk menyerahkan Rukia padanya saja. Tentu saja petugas itu setuju saja dan meninggalkan mereka berdua.
Ichigo melihat Rukia tampak menangkap sebuah daun maple berwarna merah kecokelatan yang tidak sengaja melayang ke arahnya itu.
Seketika itu pula suasana terkesan begitu dingin. Memandangi punggung Rukia dari belakangnya.
Baru akan menangkap satu daun lagi, tangan Rukia tak sampai meraih daun yang melayang itu hingga daun maple itu jatuh ke tanah. Cepat-cepat Ichigo mengambil daun itu dan berlutut di sebelah kursi roda Rukia seraya memberikan daun maple itu.
"Terima… kasih…" lirih Rukia. Suaranya nyaris tidak terdengar. Rukia memang masih tidak mau bicara banyak. Tapi paling tidak, apa yang ditanyakan padanya, sudah bisa direspon Rukia dengan suara.
"Rukia… kau mau ingat kekasihmu itu?" tanya Ichigo.
Rukia langsung berwajah bingung dan menatap Ichigo dengan mata besarnya seolah bertanya apa maksudnya. Tapi kemudian, Rukia menganggukkan kepalanya perlahan.
"Ada sesuatu yang tidak kau ketahui selama ini. Tujuh setengah tahun lalu, kau mengira kekasihmu sudah meninggal. Sebenarnya, kekasihmu tidak meninggal. Dia masih hidup sampai sekarang. Dia terus mencarimu selama ini. Tapi, setelah dia bertemu denganmu, kau tidak bisa mengingatnya. Itu karena kau… hilang ingatan.
"Kau tidak bisa mengingat masa lalumu dengan baik. Kau tidak bisa mengingat siapa dirimu. Saat kekasihmu tahu kenyataan tentangmu, dia sangat terpukul. Dia sangat sedih. Dia bahkan marah pada takdir karena membuat takdirnya tidak adil begini. Kenapa semua orang bisa bahagia, kenapa dia tidak. Kekasihmu… sangat sedih.
"Setelah bertemu denganmu, kekasihmu… sudah mengambil keputusan besar. Dia meninggalkan studi-nya. Dia meninggalkan keluarganya. Dia meninggalkan pekerjaannya. Dia meninggalkan teman-temannya. Dan dia… meninggalkan semuanya hanya untuk kembali kepadamu. Berusaha membuatmu ingat kembali padanya. Meski dia tahu itu sulit.
"Kekasihmu berusaha begitu keras supaya kau bisa mengingatnya kembali. Tapi setiap kali kau melihat kekasihmu, kau seperti melihat orang asing. Kau bahkan menolak bertemu dengannya. Kekasihmu paham kalau kau mengalami sakit yang begitu parah. karenanya, dia berusaha bersabar sebanyak mungkin. Dia terus menunggu sampai kau bisa mengingatnya kembali. Melakukan segala cara agar kau bisa mengingatnya. Dia terus berada di dekatmu. Menjadi orang yang bertanggungjawab atas dirimu. Terus mendampingimu selama satu setengah tahun ini. Dia lakukan apa saja, untuk bisa mendapatkanmu kembali."
Ichigo menghentikan cerita panjang lebarnya karena menyadari mimik gadis mungil ini berubah perlahan-lahan di setiap kalimat Ichigo. Tangannya yang menggenggam daun rapuh itu bergetar dan membuat daun maple itu hancur karena digenggamnya cukup kuat.
Ichigo kemudian melanjutkan lagi ceritanya.
"Kekasihmu… sempat ingin bunuh diri karena kehilanganmu. Sama seperti yang kau lakukan tujuh setengah tahun lalu ketika mendengar kekasihmu sudah meninggal. Dan sekarang, setelah bertemu denganmu, dia tidak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi. Janjinya tujuh setengah tahun yang lalu akan tetap berlaku.
"Janjinya akan menyerahkan seluruh hidupnya padamu. Janjinya akan terus mendampingimu. Janjinya akan tetap mencintaimu apapun yang terjadi padamu. Janjinya yang akan bersamamu bahkan sampai maut menjemput. Semua janji itu akan tetap berlaku selamanya untukmu. Karena dia… tak akan pernah mencintai gadis selain dirimu."
"Siapa… kau?" lirih Rukia akhirnya. Ungu kelabunya terus memandangi pria di depanya ini. Rukia merasa apa yang dikatakannya benar. Apa yang dikatakannya seolah-olah itu terjadi langsung padanya. Perasaan-perasaan yang sepertinya pernah hilang itu kembali perlahan-lahan.
"Naa Rukia. Dengarkan ini baik-baik. Dan pikirkan baik-baik. Aku… Kurosaki Ichigo. Kurosaki… Ichigo. Kekasihmu…"
Segera saja ungu kelabu Rukia terbelalak. Berkat latihan pengendalian dirinya selama ini, Rukia tidak histeris dan berteriak. Meski seluruh raganya gemetar, tapi tiba-tiba kenangan masa lalunya muncul dalam bentuk kilas-kilasan.
Kurosaki… Ichigo…
"Ichi… go?" ulang Rukia.
"Benar. Aku Ichigo. Kekasihmu. Ini aku Rukia. Aku belum mati. Aku sudah lama menunggumu. Dan aku tidak mau kehilangan dirimu lagi. Kali ini… kumohon ingatlah aku. Jangan tolak aku lagi…"
Mata cantik itu terbuka lebar. Dan kemudian setitik butiran bening membasahi pipi pucatnya itu.
"Ichi… go?" panggil Rukia lagi.
"Jangan memaksakan dirimu. Kau bisa mengingatku perlahan-lahan nanti. Karena mulai sekarang, kau tidak perlu mengingat hal yang tidak bisa kau ingat. Semua hal yang tidak bisa kau ingat, akan kugantikan dengan hal yang akan terus kita ingat selama sisa hidup kita."
Ichigo berpindah posisi. Kini dia berlutut di depan kursi roda Rukia dengan satu kakinya. Satu tangannya bergerak ke arah kantong jas putihnya dan mengeluarkan kotak beludru merah itu. Membukanya dan menunjukkannya di hadapan Rukia.
"Kuchiki Rukia, aku Kurosaki Ichigo seorang pria biasa yang sangat mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?"
Rukia tetap diam seperti sebuah robot yang kaku. Dia tak membalas ataupun menjawab Ichigo. Dia masih tidak mengingat apapun. Tapi Rukia yakin… perasaannya pada pria ini pun… tidak salah.
Ichigo mengambil satu tangan Rukia yang masih gemetar itu. menggenggamnya pelan lalu menyelipkan cincin bulat sabit yang sudah disimpannya selama tujuh setengah tahun ini.
"Cincin ini sudah ada sejak aku melamarmu pertama kali di rumahku tujuh setengah tahun lalu. Setelah aku melamarmu saat itu, sebenarnya aku ingin segera menemui kakakmu dan memperlihatkan cincin ini padanya agar dia menyetujui kita. Tapi tidak apa. Meski berlalu bertahun-tahun, cincin ini tetap milikmu, naa Kuchiki Rukia."
Kali ini airmatanya benar-benar banjir.
"Aku… memang tidak bisa mengingat siapa dirimu. Aku bahkan lupa… seperti apa sosok kekasihku di masa lalu itu. Aku juga menunggu sekian lama agar kekasihku bisa menjemputku. Apa kau berjanji… akan memenuhi semua janji kekasihku di masa lalu untukku?" suara Rukia masih terdengar berat, parau dan serak. Tapi itu bukan masalah untuk Ichigo.
"Ya. Aku berjanji."
Ini pertama kalinya, pertama kalinya Rukia turun sendiri dari kursi rodanya. Kakinya yang masih terasa lemah itu dipaksanya berjalan. Sejak jatuh dari lantai tiga rumah sakit tujuh setengah tahun lalu, kaki Rukia memang tidak bisa berjalan dengan benar lagi. Makanya selama ini dia terus duduk di kursi roda.
Rukia memeluk leher Ichigo begitu kuat ketika dia berhasil jatuh ke pelukan pria yang pernah dicintainya ini. Ichigo sampai terduduk di rumput yang penuh dengan daun-daun maple yang berguguran itu.
"Maaf… jika aku pernah melupakanmu dan membuatmu sedih. Maafkan aku… aku… akan berusaha mengingatmu… Ichigo…" bisik Rukia dalam pelukannya.
Dan suasana itu berakhir dengan kecupan pelan di dahi Rukia.
.
.
*KIN*
.
.
Hei, Rukia… kau masih mau pergi ke kebun binatang itu?
Kebun binatang? Kita bisa ke sana lagi?
Iya. Jadi sembuhlah dengan cepat. Aku janji setelah kau keluar dari sini, aku akan membawamu ke sana lagi.
.
.
.
FIN
22 January 2013
Akhirnya… selesai sudah fic ini… syukur banget bisa diselesaikan dengan lebai-nya wkwwkwkwkw… yap… kritik dan saran segera ditampung… saya menantikan kesan-kesan senpai pada fic ini. Gak papa kok, semua kesan positif negatif, yin dan yang bakal saya terima karena itu adalah pembelajaran untuk saya ke depannya ehehehe…
Bales review dulu…
Izumi Kagawa : makasih udah review Izumi… wah beneran banjir ya? Aduh… iyaa ini udah terakhir, gimana? Agak lebai? Saya kira beneran lebai sih ehehhe
Guest : makasih udah review senpai… karakternya sama mungkin itu adalah gaya saya menulis sih, sebenernya agak bingung memang kalo tiap tokoh mesti lain karakter di lain fic. Saya pikir karakter yang sama itu kan gaya khas penulis. Jadi cerita kita ada khas-nya. Kalo pun mesti berlainan mungkin ada alasannya. Jujur aja, saya ini payah kalo soal karakter, jadi kadang, karakter fic saya itu kebanyakan saya observasi dari manganya sendiri dan sedikit diubah, atau banyak. Tapi yang jelas, saya berusaha yang terbaik. Yang saya tekanin sih ceritanya, bukan karakternya. Karena cerita bisa membangun karakter. Tapi kalo senpai tidak puas dengan fic saya, saya mohon maaf. Saya memang tidak hebat dalam menulis, tapi saya usahakan yang terbaik. Terima kasih.
Naruzhea AiChi : makasih udah review Eva… maaf ya kamu jadi lama menunggu. Tapi inilah chapternya heehehe yang terakhir. Semoga gak pesimis lagi yaaa
Ika chan : makasih udah review senpai… iyaa ini udah lanjut
Kim Na Na Princess Aegyo : makasih udah review senpai… iyaa ini udah lanjut ehehehe chap terakhir
Wintersia : makasih udah review senpai… salam kenal juga, ehh bukan senpai, Kin aja gak papa kok ehehe yaa ini endingnya. Bisa ditebak kan? Eheheeh
Uzumaki kuchiki : makasih udah review senpai… ehehehe iyaa ini chap terakhir. Gimana? Ketebak kah? Ehehehe
Lya : makasih udah review senpai… iyaa ini udah update ehehehe
Darries : makasih udah review senpai… iyaa ini udah tamat gimana? Ketebak? Ehehehe
Krabby patty : makasih udah review senpai… salam kenal juga lagi eheheh panggil aja saya Kin, makasih ya udah review ehehehe makasih lagi karena udah suka cerita saya ehehe jadi malu.
Rizuki Aquafanz : makasih udah review Rizu… iyaa gak papa kok ehehe hmm apa ketebak? Ini chap terakhir eheheheheh
Hendrik widyawati : makasih udah review senpai… ehehe ini terakhirnya gimana? Wah, mau banget berapa harganya? Ehehehe
Nana the GreenSparkle : makasih udah review senpai… iyaa gak papa kok ehehe saya ngerti. Iyaa ni endingnya gimana?
Chappy : makasih udah review senpai… wah maaf ya jadi lama banget tapi ini terakhir. Jangan senpai yaa Kin aja ehehehe
Sookyung06 : makasih udah review senpai… iyaa ini udah ending. Maaf gak terbaik. Tapi saya udah berusaha eheheh makasih yaa
Gui gu : makasih udah review kakak… ahaha saya juga hampir mau buat Ichi yang super depresi seperti itu. tapi akhirnya gak tega ama muka gantengnya kalo sampe dibuat semerana itu hihihi gak nambah kok Kak, ini yang terakhir, saya juga udah gak tega lagi nyiksa mereka hihihi
Anda7 : makasih udah review senpai… ehehehe makasih yaaa
Narutolelakiromantis : makasih udah review senpai… eheheh iyaa ini endingnya. Gimana? Eheheh
Ichigo : makasih udah review senpai… iyaa ini chap terakhir eheheh
Ichiki : makasih udah review senpai… iyaa maaf ya kalo lama, ini udah update ehehehe
Akhirnya selesai… sampai jumpa di fic saya yang lainnya ehehehe… semoga gak bosen liat fic saya yaa…
Sayonara…