Pernahkah menatap sahabatmu diam-diam?
Seringkah jantungmu berdetak lebih kencang saat menatapnya?
Bagaimanakah perasaanmu jika suatu saat ia mempunyai seorang kekasih?
Bahagiakah kau?
Atau teririskah hatimu?
Nyatakanlah perasaanmu sebelum terlambat.
Nyatakanlah persaanmu sebelum ada seseorang yang berdiri di sampingnya.
Jangan seperti aku, yang sudah jatuh dalam jurang penyesalan.
.
.
.
Ia terbangun dalam kamarnya yang gelap gulita. Tanpa lampu penerangan atau pun sinar bulan. Tak tidur selama seminggu berturut-turut membuat kepalanya serasa ingin meledak. Bukan, ia bukan tak mampu terlelap karena berbagai tugas kuliah semester akhirnya. Tugas-tugas itu bahkan telah ia rampungkan kurang dalam seminggu. Si raja tidur ini tak mampu terlelap hanya karena seorang gadis. seorang gadis dengan rambut emasnya yang selalu digulung menjadi empat bagian sama rata. Entahlah, ia tahu kapan ia mulai menaruh rasa pada sahabatnya sendiri. Sahabat yang seharusnya menjadi teman dikala suka dan duka itu kini telah sedikit tercoreng dengan adanya kata cinta yang bersemayam di hatinya. Hatinya seorang.
Ia tahu, bahwa kini ia sedang tersesat di suatu labirin tanpa jalan keluar. Terus berjalan tanpa arah yang tentu dan hanya berpegang teguh pada insting saat melewati banyak kelokan disana-sini. Berjalan terus, walaupun sebenarnya ia tahu bahwa sebenarnya sedari tadi ia tak pernah berpindah ke mana-mana, hanya terus berputar-putar di tempat yang sama. Tapi itu sudah menjadi pilihannya. Cinta diam-diam. Seperti melangkah tapi tak bergerak, seperti berbicara tanpa kata, seperti mengecap namun hambar.
Andai saja ia punya sedikit keberanian beberapa waktu yang lalu, mungkin saat ini yang sedang bergandengan tangan mesra dengan sahabatnya itu bukan si Uchiha, tapi dirinya. Jika saja malam itu Temari tak keluar dengan Itachi, mungkin saat ini yang akan membukakan pintu setiap kali putri tanpa mahkota itu keluar dari mobil itu bukan Itachi Uchiha, tapi dirinya. Kalau saja waktu itu Itachi tak sengaja menumpahkan cappuccino-nya ke sweater Temari, mungkin musim semi besok Ialah yang menemani Temari melihat bunga-bunga yang sedang bermekaran di bukit Nagawa. Tapi nasi sudah menjadi basi. Wujudnya masih sama. Tapi ada yang terasa berbeda.
Ia ingin ini seperti sebuah film. Ia ingin kembali pada bagian awal cerita, meng-cut beberapa bagian yang ia tak sesuai kehendaknya. Mengubahnya menjadi sedemikian rupa sehingga persis seperti apa yang ia inginkan. Tapi dunia yang bernama realita ini tak mengizinkannya melakukan itu.
"Hah…." Lagi-lagi yang mampu lolos dari pita suaranya hanya helaan napas berat. Ia memandang sekeliling kamarnya. Lalu pandangannya jatuh pada sebuah pigura yang terpajang manis di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Dalam pigura itu Nampak dua anak kecil yang sedang merangkul satu sama lain dalam balutan yukata bewarna serupa. Mulut si anak lelaki itu membentuk huruf O dengan jejak-jejak air mata di ujung matanya. Berbeda sekali dengan anak perempuan di sampingnya yang mengulum senyum bahagia dengan jari telunjuk dan tengahnya yang membentuk huruf V.
Shikamaru bangkit, mengambil pigura itu. dibukanya pigura itu secara perlahan, dan mengambil sebuah kertas lusuh di balik pigura itu. kertas yang dlipat kecil-kecil itu dibuka perlahan. Itu adalah gambarnya. Gambar seorang bocah berumur 5 tahun yang mencoba mendeskripsikan teman perempuannya dalam balutan gaun putih yang panjang dengan kedua tangan mungilnya yang sedang menggenggam sebuket bunga mawar dan dirinya sendiri mengenakan tuxedo hitam di samping gadis kecil itu.
Shikamaru tertawa hambar mengamati gambar itu. Bagaimana dahulu ia berusaha belajar menggambar dengan tekun untuk membuat potret Temari dalam gambar itu benar-benar terasa hidup. Bagaimana dahulu tangannya sering terluka saat meraut pensilnya yang tumpul dan pendek dengan silet kecil yang selalu ia selipkan di ujung penghapusnya. Tapi, walaupun jenius, ia tetaplah anak-anak. Gambar yang ia hasilkan mungkin tak seindah seorang professional, tetapi bagi anak seusianya gambar itu benar-benar, WOW!
Biolehkah ia mengintip akhir film ini? Agar mulai dari sekarang ia dapat menyesuaikan jika akhir film ini tak sesuai dengan apa yang harapkan, tak sejalan dengan putaran-putaran mimpi dalam alam bawah sadarnya.
Bolehkah?
Masih bolehkah ia berharap bahwa akhir film ini akan bahagia dalam sudut pandangnya?
Apa bolehkah ia berdoa agar film ini merubah alur ceritanya?
Entahlah, ia hanya boleh berharap. Berdoa semoga pemegang tahta terbesar di atas sana mendengar permintaannya dan mengabulkan do'anya.
"Yo!" itu dia, si gembul penggila nomor 1 kripik kentang di Konoha, Chouji Akamichi. Ia menepuk bahu Shikamaru sekilas sebelum bergabung duduk di tengah cafeteria yang terlihat lebih lenggang dari biasanya.
"Kau mau ikut kami? Nanti malam ada anak-anak pada mau ke Dream Land?" Chouji memulai pembicaraan. Sedang Shikamaru masih saja menatap Vanilla late-nya yang tinggal setengah cangkir.
"Merepotkan."
"Disana kita bisa naik halilintar."
"Tak menarik."
"Dan di bagian akhir kita bisa melihat kembang api."
"..."
Chouji bangkit dari tempat duduknya, berdiri di hadapan Shikamaru sambil memegang sebuah cermin. raut wajahnya menampakkan kemarahan yang cukup besar. Ia lelah melihat sahabatnya terlarut-larut dalam kesedihan yang tiada akhirnya ini.
"Hei, pemalas! Tatap cermin ini," perintah Chouji. Sebenarnya ia bukanlah orang yang arogan, tapi jika melihat Shikamaru yang berjalan seperti mayat hidup seperti itu rasanya ia ingin melumat sahabatnya itu hiduo-hidup.
Shikamaru mengalihkan pandangannya dari minuman. Menatap ke dalam cermin. ia melihat ada sebentuk wajah dengan rambut yang dijadikan satu pada bagian atas. Wajah orang itu Nampak menyedihkan karena kantung matanya yang sudah sangat menghitam. Rambut hitamnya itu Nampak berantakan, mungkin sebentar lagi jika ia berjalan akan ada lalat kecil yang mengkuti langkahnya.
"Baiklah," jawab Shikamaru. Ia berfikir mungkin jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran sebentar dapat menghilangkan 'kegalauannya'.
"Yosh! Dream Land jam 8 kalau begitu, nanti beberapa teman juga ikut! Dadah!" si gembul tu berjalan keluar cafeteria dengan langkah ringan, membantu Shikamaru bangkit dari keterpurukan cinta adalah prioritas utamanya sekarang.
Dream Land jam 8 itu berada sekarang. Terkurung dalam mantel putih tebal dengan jins belel warna biru dongker yang warnanya sudah mulai memudar di beberapa bagian. Asap kecil beberapa kali mengepul di udara. Bukan, bukan karena ia merasa kedinginan. Menunggu teman-temannya yang terlambat di depan Dream Land membuat matanya kian terasa berat. Ia melirik jam tangan putih pemberian Temari saat hari ulang tahunnya yang menunjukkan sudah pukul 8 lewat 20 menit. Jika dalam 5 menit 'makhluk-makhluk' itu tak menampakkan diri dari tempat persembunyiannya, Shikamaru bersumpah akan mengempeskan tubuh subur Chouji dengan jarum.
"Sumimasen, anooo… sekarang jam berapa?" seorang gadis dengan mahkota indigo mengalihkan perhatiannya. Shikamaru merasakan suara gadis itu sedikit bergetar.
"Jam 20.20," jawab Shikamaru acuh.
"Arigatougozaimasu," ucap gadis itu sebelum melangkahkan kakinya ke arah yang berlawan dari tempat Shikamaru berdiri. Baru beberapa langkah gadis itu kembali lagi ke arah Shikamaru.
"Etooo… bolehkah aku minta-"
"HINATA!"
Gadis itu belum sempat menyelesaikan ucapannya dan langsung bersembnyi di belakang punggung Shikamaru karena sesosok lelaki yang lebih tinggi beberapa centimeter dari dirinya sedang berjalan ke arah mereka berdua dengan raut wajah seolah ingin menelan Shikamaru bersama gadis yang bernama Hinata itu hidup-hidup.
"Siapa kau?" Tanya orang itu dengan pandangan geram. Shikamaru yang notabenenya pemalas hanya menjawab seadaanya.
"Shikamaru."
Kepala gadis itu sedikit menyembul dari belakang punggung Shikamaru dan menjawab pertanyaan laki-laki itu dengan agak gemetar."Dia kekasihku, jadi Nii-san mulai sekarang jangan mengaturku, urusi saja kekasihmu yang masih di dalam sana." Suara gadis itu tampak getir menahan tangis. Sedangkan Shikamaru. Matanya yang sudah terkantuk-kantuk menjadi seperti wajah orang yang perlu dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Bagaimana mungkin gadis secantik dewi-dewi Yunani itu mengaku jadi kekasihnya. Walaupun sedang patah hati Shikamaru masih bisa membedakan mana gadis yang cantik dan cukup cantik. Dan gadis itu masuk dalam kategori pertama.
"Ohhh… jadi kau yang selama ini jadi pacar adikku itu." Si pria maju mendekati Shikamaru dan berhenti tepat di depannya. Shikamaru menelan ludahnya dengan susah payah. Ia berfikir sebentar lagi riwayatnya akan tamat di depan kakak seorang gadis yang baru ia temui di Dream Land belum genap satu jam yang lalu.
"Jaga adikku baik-baik."
Kemudian pria itu kembali masuk ke dalam Dream Land. Meninggalkannya dengan gadis asing yang baru saja menjadi 'pacarnya'.
EH, hanya itu?
"Maafkan aku, sebenarnya hari ini kekasihku tak bisa datang," ujar gadis itu sambil merunduk. Menyembunyikan tangisnya yang bisa meledak kapan saja.
"Ah… bukan masalah." Shikamaru sebenarnya ingin meneriaki gadis itu karena seenaknya mengaku menjadi kekasihnya. Tapi apa boleh buat, gadis itu sudah ingin menangis sebelum Shikamaru memarahinya.
Mereka datang. Setelah terlambat selama 20 menit dengan tampang yang innocent yang sengaja buat-buat.
"Hehe… maaf tadi kami mencari kacamata Shino yang hilang," ucap Kiba dengan cengiran yang dipaksakan.
"Ya sudah, tak apa. Ayo masuk!" kali ini Shikamaru malas berdebat walaupun sebenarnya ia tahu persis bahwa Shino takkan pernah lupa atau kehilangan kacamata hitam antiknya itu.
Hampir saja Shikamaru berjalan masuk sebelum Chouji menepuk pundaknya dan menanyakan siapa gadis manis yang tadi bersembunyi di belakangnya. Shikamaru menyuruh teman-temannya masuk duluan sedang ia kembali berjalan keluar untuk menemui gadis yang bernama Hinata itu.
"Ayo masuk," ucap Shikamaru sambil mengapit tangan kecil gadis itu.
"Ahhh… aku disini saja."
"Kakakmu ada di dalam, bagaimana kalau ia tahu bahwa aku bermain di dalam tapi tak bersama kekasihku, hm?"
Gadis itu diam sejenak sebelum mengiyakan permintaan –perintah- Shikamaru.
"Arigatou-"
"Nara Shikamaru."
"Arigatou Nara-san."
Didalam mereka mecoba berbagai wahana. Dari yang paling kekanakan hingga wahana yang mungkin membuat jantungmu serasa copot. Sepanjang perjalanan mereka berbincang banyak dan mengetahui mereka ada di universitas yang sama namun beda fakultas. Mereka juga sempat bertukar e-mail dan nomor telepon sebelum berpisah.
"Yo!" temari tiba-tiba muncul dari balik pintu rumahnya saat Shikamaru sedang mengemas beberapa potong pakaiannya. Ibunya semalam menelpon mengabarkan bahwa ayahnya terkena serangan jantung karena perusahaan ayahnya terancam gulung tikar. Shikamaru mau tak mau harus menggantikan posisi ayahnya untuk sementara waktu disana.
"Hei, kalau tak ada kau pasti aku kesepian," rengek Temari manja sambil mengapit lengan Shikamaru bagai seorang anak umur 5 tahun yang tak mau melepaskan boneka beruang kesayangannya.
"Bukannya sekarang sudah ada Itachi?" balas Shikamaru sambil menyembunyikan sedikit nada sarkastik dalam suaranya sebelum menarik Temari dalam rengkuhannya.
"Ahhh… Kau benar, sekarang sudah ada Itachi. Kalau begitu kau baik-baik disana ya," ucap Temari sambil mengelus rambut nanas yang tengah memeluknya. Sedangkan Shikamaru menggertak giginya samar. Kini posisinya yang menjadi orang paling penting bagi Temari kini tergeser sudah.
"Aku akan merindukanmu."
"Aku juga." Temari melepaskan pelukan mereka. "Hei! Kau juga carilah kekasih agar ada wanita yang menurusimu. Lihat! Sekarang kantung matamu makin menghitam," ucap Temari. Telunjuknya menelusuri bagian bawah mata sahabatnya yang semakin menghitam, entah apa sebabnya. Sedangkan lawan bicaranya kembali pura-pura sibuk dengan potongan-potongan baju di depannya.
"Hei, kau mendengarkanku?"
"Merepotkan."
Temari hanya mendengus dan kembali membantu Shikamaru mengemas barang-barang bawaannya yang cukup banyak. Ini adalah kali pertama Shikamaru jauh darinya dalam kurun waktu yang cukup lama. Selama dua bulan tak kan ada yang akan ia bangunkan dari alam mimpi. Satu bulan kedepan takkan ada lagi yang selalu menggumam 'merepotkan' seperti yang biasa sahabatnya itu lakukan.
Temari mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. "Ini."
"Kau mengurusi perusahaan sebesar itu, jadi jaga kesehatanmu. Kau mengerti tuan pemalas?"
"Merepotkan. Sebenarnya ada sepupuku yang akan membantu disana. Jadi lebih baik kau memberikan multivitamin itu padanya. Di sana aku akan menghabisakan waktu untuk tidur seharian. Karena di sana tak akan ada orang yang mengomeliku saat tidur."
Temari menjitak kepala nanas itu. "Kau menyebalkan!"
"Kau merepotkan."
Sudah seminggu tanpa kehadiran Shikamaru di sampingnya membuat Temari sedikit kurang bersemangat menjalani aktifitasnya yang cukup padat akhir-akhir ini. Rasanya ada yang ganjil jika pemuda dengan ciri khas rambut yang diikat ke atas itu tak terlelap di sampingnya. Biasanya Itachi selalu pergi keluar kota selama beberapa minggu tiap awal bulan untuk urusan pekerjaan, tetapi Temari merasa baik-baik saja, bahkan ia sering tak merasa rindu pada Itachi seperti pasangan kekasih pada umumnya.
Itachi selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya yang seolah tak kan pernah habis. Bahkan untuk sekedar bertemu untuk makan siang seperti ini sepertinya Itachi tak kan sempat. Temari mulai memikirkan bagaimana keadaan Shikamaru di negara orang. Apakah ia tidur dengan nyenyak? Apakah ia mampu beradaptasi dengan orang-orang disana? Apakah sahabatnya itu makan dengan baik? Demi Kami-sama! Ia lupa bahwa sahabatnya itu alergi mentega. Sedangkan orang-orang disana cenderung mengisi perut kosongnya dengan sepotong roti. Bagaimana kalau Shikamaru lupa akan alerginya? Shikamaru memang jenius, tetapi sahabatnya ini terkadang menjadi orang paling ceroboh yang pernah ia kenal.
Temari merogoh saku celananya. Mengambil handphone flip merah marunnya untuk menghubungi Shikamaru. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ada juga yang mengangkat teeponnya. Temari yakin bahwa Shikamaru pasti baru saja terbangun dari mimpi indahnya.
"Halo." Tunggu, itu bukan suara si pemalas yang ia kenal. Apa mungkin selam seminggu berada di Inggris membuat suara sahabatnya itu menjelma menjadi suara perempuan. Apa ia salah sambung? Setahunya, Shikamaru tak pernah memberikan siapaun menyentuh ponselnya. Kecuali dirinya tentunya. Shikamaru tak pernah menyembunyikan apapun dari dirinya.
"Halo, apa benar itu nomor Shikamaru?" Temari hanya memastikan dirinya salah sambung. Hanya itu. Walaupun kini pikirannya sedang membuat ilusi-ilusi negatif tentang Shikamaru yang sedang bersama seorang wanita nakal dalam sebuah kamar hotel.
"Benar, tapi Shikamaru saat ini sedang ada di kamar mandi," sahut wanita itu dalam bahasa Inggris yang fasih.
"Shion, sudah ku bilang jangan mengangkat teleponku."
Tut
Tut
Tut
TBC
Adakah masih yang nunggu kelanjutan fict ini?
Mohon maaf di chapter sebelumnya saya lupa naruh kata TBCnya. Dan soal tanggal update yang amat-sangat-molor saya minta maaf yang sebesar-besarnya*bow. Alasannya bukan karena saya kena WB atau hiatus tapi saya lupa alamat e-mail saya sendiri. Hah... konyol memang tapi itulah saya. Saat beberapa author lupa passwordnya saya malah lupa alamat e-mail -.-a
EITSSS... jangan ketawa :p
Mungkin untuk kelanjutan fict ini saya bakal update setiap sabtu malam buat nemenin para galauerss yang ga punya pacar ngabisin sabtu malamnya *lho?
Saya punya satu pertanyaan. Ada yang tau nama grup ShikaTema di FB?
Thank's To:
midnight
Chaos Seth
Endah 'pinkupanpu
Sabaku Yuri
CharLene Choi
Cuilan Bakpao
Hello Kitty cute
Reynaras
EMmA ShiKaTeMa
Putri Suna
Naoki
Kagome Sabaku
Min Cha 'ShikaTema
Simba chan
o0 Gui-gui 0o