because i love you, that's why © black paperplane (2012)

axis powers hetalia © hidekaz himaruya

romance drabbles/oneshots


scotuk/why did i fall in love with you - tohoshinki


Lima belas tahun lalu, Sekolah Dasar.

"Alis Tebal, Alis Tebal!" anak-anak kecil tersebut mengerumuni seseorang dan menertawainya.

"Hentikan!" teriak yang dikerumuni, seorang anak kecil blonde bermata hijau.

"Alismu itu jelek, tahu!" teriak seorang lagi dari kerumunan. Matanya biru cemerlang, sehelai rambutnya mencuat. "Sini biar kucukur!"

Si blonde, Arthur kecil, cemberut. Bibirnya yang manyun bergetar, hendak menangis.

"Sudah alisnya tebal, cengeng pula!" si mata biru kembali berteriak, mengundang tawa anak-anak lain.

Air mata Arthur mulai turun, deras. Tawa anak-anak sialan itu bukannya mereda malah makin menggelegar.

Datang seorang anak lain dari pojok ruangan, yang sedari tadi memisahkan diri dari kerumunan, dengan tampang kesal. Mata hijaunya senada dengan Arthur, walau notabene tidak berhubungan darah. Poninya yang acak-acakan menutupi matanya sedikit.

"Sudah cukup tertawanya!" raungnya kesal. "Kalian tidak tahu diri ya, tertawa sampai sebegitu keras!"

"Diam saja kau, kepala tomat!" si mata biru—er, Alfred—menyahuti raungan tersebut. Kontan saja George, si anak dari pojokan tadi, mendatanginya dna memelototi Alfred, membuat anak yang lebih kecil tersebut ketakutan. Anak-anak lain mundur.

George melirik Arthur yang masih sesenggukan.

"Hei, kau, jangan menangis. Sudah berakhir kok." Gumamnya.

"Berakhir my ass!" balas Arthur (kata-kata yang terlalu tidak pantas untuk seorang anak sepuluh tahun, memang). "Besok mereka akan datang lagi dan meledekku."

George menatapnya remeh dan berbalik menghadapi kerumunan anak-anak sembari menyibak poninya, menunjukkan—

"Kalau begitu, mulai sekarang, jangan katai dia 'Alis Tebal'. Kalau kalian ingin mengejek seseorang, ejek saja aku. Alisku lebih tebal daripada si pirang itu."

—ya.

Seisi ruangan hening.

Si rambut merah menoleh menatap Arthur sambil nyengir lebar.

"Jadi kalau ada yang meledekmu lagi, hadapkan saja mereka kepadaku, ya?" George berkata penuh kemenangan, membuat Arthur terpana—dan mengangguk sambil menghapus airmatanya.


Sembilan tahun lalu, Sekolah Menengah Atas.

Hari Valentine. Tentu semua tahu hari apa itu. Coklat, coklat, truffle, cokelat, tart, coklat, coklat… yah.

"Kau terlihat capek," seorang lelaki Prancis (yang, err, bernama Francis) menyodok perut Arthur di kelas.

"Yeah, aku berlatih membuat truffle beberapa malam terakhir." Jawab si pemuda Inggris. "…jangan tanya untuk siapa, oke."

"Aku memang sudah tahu, nak." Gumam Francis. "Al, kan?" direndahkannya suaranya.

Arthur menonjoknya.

"Bagaimana kau tahu?" mukanya memerah.

Francis tergelak.

"Aku ini pakar."

Sepulang sekolah, di bawah pohon rindang di halaman belakang, Arthur sudah berdiri di hadapan Alfred. Teman-teman si bocah Amerika mengawasi dari belakangnya. Wajah Arthur merona, tatapannya berpindah-pindah. Kakinya tak dapat berhenti bergerak.

"Ya, Artie?" kata Alfred, agak menuntut—nadanya congkak.

"Aku…" Arthur bergumam. "A-aku—"

Ia terdiam, Alfred mendehem.

"Ah, maaf," kata Arthur pelan. "y-yah, ka-karena ini Valentine, kupikir—kupikir aku mungkin bisa membuatkanmu truffle coklat dan—dan—kuharap—kuharap kau menyukainya."

Ia mengulurkan sebuah kotak merah berisikan tiga buah camilan manis tersebut. Agak ragu, Alfred mendekat dan memasukkan satu ke dalam mulutnya.

Jantung Arthur berdetak keras.

"…erm, anu…" Alfred terbatuk. "Aku… cokelat buatan Matt lebih baik, kupikir."

Asal tahu saja, reputasi Matthew—lelaki invis asal Kanada—hanya sedikit, sedikit lebih baik daripada Arthur. …yah, karena kepandaian Matthew dalam membuat pancake. Sisanya, dapat disetarakan.

Arthur terpana.

"Ah… begitu," gumamnya lirih. "…maaf."

Dan ia mundur, pergi meninggalkan Alfred dan kawan-kawannya yang kini tertawa—dia kah objeknya?—penjatuhan harga diri habis-habisan.

Ia bergerak dengan kepala tertunduk dan kotak tadi di kantongnya, pergi menuju atap sekolah yang kosong. Mencari perlindungan—

"Hei."

—yang sesungguhnya tak perlu dicari.

Arthur menoleh untuk mendapati perlindungan tersebut menepuk pundaknya. Lelaki berambut merah itu, lelaki beralis tebal itu, lelaki bermata zamrud cemerlang itu...

"…kau, George."

Ekspresi datar si lelaki Skotlandia tak berubah melihat air muka kusut Arthur. Tangannya kembali ke dalam sakunya.

"Ada apa? Bagaimana dengan truffle-mu—ah." Ia menghentikan kalimatnya sendiri melihat reaksi Arthur. Ia berkata lirih, "Maaf."

"Jangan salah paham, bloody frog," gumamnya kasar, menyambar kerah George. "aku-aku-aku tidak sedih."

George mengangkat alis.

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapian, bocah sialan! Aku tidak selemah itu, memikirkan hal sepele seperti itu sampai mau menangis—"

"Arthur—"

"Diam!" teriak Arthur. "Berani bertaruh, kau akan menertawakanku seperti teman-temannya, kan, dan kau akan-akan—"

"Arthur." George memotong ucapan Arthur dengan suaranya yang dalam, dan Arthur terdiam. "Aku tidak menyinggung hal itu."

Arthur melepaskan cengkeramannya dari kerah George dan jatuh terduduk, tertawa miris.

"Aku memang idiot, ya." Gumamnya lirih sambil mengeluarkan kotak tadi dari sakunya, membukanya. "Pasti rasanya menjijikkan, ya,"

Ditelannya sebuah, tanpa ekspresi sebelum dan sesudahnya. George menatapnya dalam diam.

Arthur menatap kawannya tadi dan mengulurkan satu truffle.

"Kau berani coba?" gumamnya. "Ah tidak, tidak usah. Ini memang—memang—"

"Sini." Sahut George sambil ikut duduk di lantai atap, menyambar truffle tadi dari tangan Arthur.

"H-hei, idiot—!"

George nyengir setelah terbatuk ketika menelannya.

"Lumayan. Tidak buruk. Gurih tapi manis." Ia mengacungkan jempol. "Aku suka."

Arthur terpana untuk kesekian kalinya.


Tiga tahun lalu

Keduanya—Arthur dan George—bersantai di pinggir Golden Gate Bridge. Dengan rokok di tangannya, George menatap ke arah air yang mengalir sekian meter dibawah.

"Long time no see." Gumam Arthur sambil meliriknya, suaranya menyiratkan keraguan.

"Yeah…" jawab George.

Hening sampai George membuka mulut tanpa merubah posisinya.

"Arthur."

"Ya?"

"Aku menyayangimu—sejak dulu, sebenarnya."

Pemuda pirang disebelahnya terlonjak, matanya melebar, mulutnya terbuka. Syok.

"Nikahi aku, Arthur." George berkata lagi.

"Ma-maaf?"

"You heard me," seringai si redhead. "Jadi?"

Arthur menatapnya sedih, emosi bergejolak di hatinya.

"Kau bodoh, tolol, idot, segalanya." Ujar Arthur dengan suara bergetar. "Kau orang terpayah yang pernah kutemui seumur hidupku… aku yakin aku takkan pernah menemui orang yang sepayah dirimu, George."

George hanya menggumam sebagai balasan, tapi kemudian ia menoleh dan menatap Arthur—mempertemukan kedua mata mereka yang nyaris identik.

"Bagaimana…?"

Arthur tersenyum. Mengherankan, memang—wajah yang biasanya cemberut atau marah atau datar itu tersenyum lembut seperti ini.

"George, aku kemari bukannya tanpa alasan." Ia bergumam lirih sambil menyenderkan kepalanya pada dada George.

"…ya."

"Aku… aku… aku mengundangmu untuk menghadiri pernikahanku dengan Alfred."

Kini

Ia tersenyum di hadapan Alfred dan Arthur. Yang lebih dulu disebut berdiri bangga, yang selanjutnya menunduk tak berani menatap George.

"Selamat, ya, kalian berdua." Senyum George. "Jaga bocah ini baik-baik, Al."

"Ya, George." Al mengangguk dan menjabat tangan George. "Terima kasih."

"Aku boleh mengobrol berdua dengannya?" George mengedikkan kepala kepada Arthur.

"Silakan, aku juga ada urusan dengan Matt dan Gil." Si mata biru mengangguk dan mendorong Arthur ke arahnya. "Nanti datangi aku, ya, dear."

Kini mereka berdua. George tersenyum bangga menatap Arthur—yang memandangnya sedih.

"Jangan menatapku seperti itu, bodoh." Ia menjitak Arthur. "Berbahagia ya, dengan dia."

Arthur tidak menjawab—melainkan mendorongnya ke dinding dan menciumnya singkat.

"Maafkan aku."

"Akan kumaafkan kalau kau menikmati sisa hidupmu dengan dia."

"Tapi—"

George mengusap kepalanya.

"Aku senang kalau kau senang, oke?"

Arthur mengangguk, terpaksa.

Dilihatnya George melangkah keluar gereja, melambaikan tangannya.


Kini

Arthur menatap album fotonya. Foto ketika ia masih SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, foto pernikahannya…

Mencari mata hijau itu. Yang menatapnya penuh sayang. Yang pernah mencerminkan kesedihan mendalam tapi disembunyikannya dan ditampakkan perasaan menerima.

"Maaf," gumamnya. "maaf. Maaf. Maaf."

Ia merindukan George.

Sejak saat George menghadiri pernikahannya, sejak saat George membalas ciumannya dengan penuh perasaan, sejak saat ia melambaikan tangannya dari gereja, Arthur tak pernah melihat lelaki itu lagi.


A/N: Masa nonaktif saya tidak termanfaatkan dengan baik. Ini oneshot terpanjang di judul BILYTW, tembus 1000 words di Ms. Word. #menghelanapas Ini lebih nyasar ke PV daripada lirik lagunya, sebenernya. Adegan foto gaada di PV. Itu inspirasi dari Photograph-nya Nickelback yang nongol di shuffled playlist ketika saya ngetik bagian 'Kini'. #digeplak Oke, request dengan ini RESMI DITUTUP! Yang request pairing sebelum chapter ini dipublish, tenang saja, saya bakal bikin! Ngomong-ngomong, ini request dari imgonnaeatyo, dan Agnes! Selamat menikmati :'3 #apanya