Halo. Ini fanficku yang pertama, benar-benar pertama. Don't bite me hard, baby please ;) Oh, OOC warning is up there. —Baka
Every Little Thing
Chapter 1.
"When the light falls on your face,
Don't let it change you
When the stars get in your eyes,
Don't let them blind you.
You're beautiful just the way you are
And I love it all every line, and every scar
And I wish that I could make you see
This is where you ought to be, come down to me."
—Saving Jane 'Come Down To Me'
Ia tatap wajahnya di cermin, dahi berkerut.
Jelek.
Berapa kali pun ia basuh wajahnya, noda itu tidak mau hilang.
Kotor.
Ia benci hal itu.
Menundukkan kepala, menjauhkan tatapan dari pantulan diri yang begitu jelas di cermin. Ia tidak takut. Kedua tangan ia gerakkan, menadah air keran yang mengucur deras. Kembali ia basuh wajahnya.
Sekali.
Dua kali.
Ia menghela nafas. Kembali menatap cermin.
Ia benci.
Lagi-lagi hari ini ia memasang kerah seragamnya hingga kancing teratas. Menutupi sebagian besar leher jenjangnya. Sembunyikan. Tidak boleh sampai ada orang lain yang tahu. Walau tidak suka karena mereka pasti akan menanyakan kembali mengapa ia mengenakan jaket seragamnya ketika cuaca Jepang sudah mulai menghangat.
Ia benci hal itu.
Menutup-nutupi. Melarikan diri. Menghindar.
Tetapi tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Hanya hal itu yang harus ia lakukan.
Ia benci hal itu.
Tapi harus ia lakukan.
Sebuah ketukan, "Ichi-nii, sarapan sudah siap." Suara manis seorang remaja perempuan membuat kedua bola mata coklatnya bergerak, menatap ke arah pintu. Tidak ia jawab panggilan yang ditujukan kepada dirinya. Ia hanya mematikan keran, dan mengeringkan tangan dengan menggunakan handuk yang tersemat di samping wastafel. Tidak lagi ia lihat bayangannya di cermin. Sudah cukup. Ia lihat berapa kali pun, tidak akan ada yang berubah.
Kecuali...
"Aku akan ke bawah, Yuzu." Seulas senyum ia berikan pada gadis remaja bersurai coklat pucat yang terlihat ketika ia akhirnya membuka pintu. Walau pun ia sudah menutup pintu kamar mandi, tapi ia tidak juga melangkah menjauh. Karena Yuzu pun masih berdiri diam di tempat. Iris keabuan gadis remaja 13 tahun itu menatap lurus padanya.
Seolah mencari.
"Wajahmu pucat. Kau baik-baik saja, Ichigo?"
Tidak.
Nada keibuan yang sering kali Yuzu keluarkan saat tengah merasa khawatir terhadap salah seorang anggota keluarganya itu, nada tuntutan agar lawan yang ditanyainya menjawab sesuai kenyataan, hanya bisa ia balas dengan belaian ringan di puncak kepala sang gadis sebelum kemudian ia melangkah turun ke lantai satu, masuk ke dalam ruang makan.
Tapi, ia berhenti di ambang pintu selama beberapa detik.
"Ohayou, Ichigo. Tidurmu nyenyak?"
Ia fokuskan perhatian kedua bola matanya kepada wanita yang menggunakan celemek berwarna biru muda yang tengah menyimpan menu terakhir sarapan pagi itu. Helai demi helai surai oranye panjang bergelombang miliknya pagi ini diikat menjadi sebuah kesatuan oleh ikat rambut berwarna merah. Senyum hangat yang dipancarkannya, menarik seulas senyum di wajah Ichigo.
Ichigo membuka mulutnya untuk menjawab...
"Kuharap kau tidak lupa untuk membersihkan tempat tidurmu sendiri, Ichigo. Kurangi pekerjaan rumah ibumu."
... Dan langsung ia tutup lagi.
Bibirnya yang sempat melengkung dalam sebuah senyuman manis, kini hanya tergambarkan sebagai sebuah tarikan garis lurus yang rapat. Kepalanya tertunduk.
"Tidak apa, Sousuke. Ichigo pergi sekolah pagi-pagi, jadi biasanya ia tidak punya waktu lebih untuk membereskan kamarnya terlebih dulu." Sang Ibu tersenyum lembut, mengambil tempat duduk di sebelah seorang pria bersurai coklat dan berkacamata frame tebal. Jika dilihat dari luarnya saja, pria itu terlihat sebagai seseorang yang sangat ramah dan sabar. Wajah tegasnya yang selalu nampak tersenyum ketika berbicara, merupakan tipikal dari 'pria baik-baik'.
Tapi tidak jarang juga, kata-kata yang Sousuke Aizen keluarkan terdengar begitu tajam.
Tegas.
Ramah.
Baik hati.
Tampan.
Wanita mana yang tidak akan tergoda untuk ingin memiliki?
Helaan nafas terdengar, diikuti dengan suara kertas yang bergesekan, "Kalau kau mau membiarkanku menyewa pembantu, aku tidak akan cerewet lagi meminta anak-anak mengurus diri sendiri." Mengambil secangkir teh hangat yang tergeletak di depannya, sang 'Ayah'—Aizen—menyesap teh favoritnya itu dengan perlahan. Menikmati.
Sementara pandangannya tidak lepas dari pemuda bersurai oranye yang kini berjalan mendekat meja makan, mengambil tempat duduk berseberangan dengan dirinya, karena dua tempat duduk lainnya sudah ditempati oleh kedua adik perempuannya. Pria itu bisa melihat kedua iris coklat Ichigo menghindar sebisa mungkin agar tidak bertemu dengannya.
Hal itu membuatnya menyeringai kecil.
Tentu saja tidak ada seorang pun yang berada di meja yang melihat ekspresinya barusan.
Tapi kelihatannya Ichigo merasakannya tanpa perlu melihat, karena sekarang tubuhnya merinding. Dan ia buru-buru menyelesaikan sarapannya. Berharap bisa segera melangkahkan kaki keluar rumah, pergi menuju sekolah.
Lagipula ia akan segera terlambat jika tidak cepat-cepat pergi.
Ia banting pintu di belakangnya, tidak peduli tatapan kesal dari beberapa murid yang juga tengah 'memiliki urusan' di wc sekolah. Oh, ia yakin mereka akan semakin kesal sebentar lagi. Tepat setelah ia naikkan penutup toilet dan berlutut dihadapannya, seluruh isi lambung yang tertahan di kerongkongan keluar bersamaan dengan terbukanya pita suara. Menyuarakan dengan jelas apa yang tengah terjadi di dalam toilet stall paling ujung ruang wc.
Murid lain yang ada di sana mengernyitkan hidung, dan buru-buru menyelesaikan 'urusan' mereka.
Tidak mau lama-lama berada dalam satu ruangan dengan seseorang yang—obviously—tengah muntah-muntah.
Nafas Ichigo tersengal-sengal ketika akhirnya ia bisa merasakan lambungnya mulai tenang. Untuk beberapa waktu, ia hanya terduduk di samping toilet, berusaha mengendalikan nafasnya kembali. Baru ketika ia mendengar suara bel sekolah berbunyilah, ia mulai bergerak. Lebih dulu ia lap mulutnya dengan menggunakan punggung tangan. Hidungnya mengernyit saat menyadari kekacauan yang ia timbulkan di lubang toilet.
Bisa ia lihat dengan jelas nasi yang ia makan sebagai sarapan tadi itu di sana. Berlumuran warna kecoklatan yang ia sama sekali tidak minat untuk mengetahui sebagai apa.
Ia tekan tombol flush toilet.
Entah sampai kapan ia akan begini.
Apa pun yang ia masukkan akan selalu keluar kembali.
Ada yang tidak beres dengan dirinya.
Dan ia tahu betul apa alasannya.
"Ibumu terlihat begitu bahagia, bukan?"
Brengsek.
"Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa tertawa lepas lagi."
Betapa inginnya ia menghancurkan wajah sombong pria yang kini menutupi tubuhnya, di atasnya. Seringai yang terpampang di wajah tampan sang pria membuat perutnya serasa berputar.
Mual.
Ia ingin muntah.
Rintihan terselip keluar dari antara bibirnya yang bergetar. Ingin ia menggeliat. Menjauh. Lari sejauh mungkin dari tempat ini. Dari pria dihadapannya ini. Telapak tangan khas dengan kontur seorang pria dewasa membelai lembut perutnya, perlahan-lahan semakin naik ke atas, membawa serta t-shirt yang dikenakannya. Semakin lama, semakin banyak bagian kulit tubuhnya yang terlihat.
Dan pria itu menyeringai semakin lebar.
Ketika tangan itu berhenti di dadanya, menekan pucuknya, rasanya ia jadi seolah tersedak oleh liurnya sendiri.
Pandangannya buram. Ia hanya terpaku. Mengerti betul kalau sampai ia melakukan perlawanan, maka bukan hanya dirinyalah yang merasakan akibatnya.
Pria itu tahu.
Dan memanfaatkannya dengan baik.
Ia tutup kedua matanya ketika tangan yang sebelum ini membelai dadanya menutup mulutnya. Memblokir berbagai suara yang mungkin akan ia keluarkan.
Bisa ia rasakan rasa panas di tepian kedua matanya. Perlahan turun membasahi wajah, serta seprai tempat tidurnya.
Ia juga mendengar suara tawa kecil.
"Benar. Kau tidak mungkin merebut kebahagiaan ibumu," Salah satu kakinya diangkat, dilebarkan, dibuat bertumpuan pada sesuatu yang solid. Pundak. Dan sesuatu menekan-nekan di pangkal tubuhnya.
Rasanya mual.
Ia ingin muntah.
"—Karena kau anak yang baik, iya 'kan, I-chi-go?"
Yang ia rasakan berikutnya adalah rasa sakit. Rasa sakit yang teramat sangat.
Seperti terbakar.
Untuk pertama kalinya ia menjerit keras, walau pada akhirnya suaranya tidak akan terdengar karena tangan yang menutupnya.
"Yes. You're a very good and loving boy, Ichigo."
"KUROSAKI!"
Mata membelalak. Dengan segera ia tegakkan tubuhnya, menatap ke arah wanita berusia lebih dari 30 tahun yang kini menatap sangat marah ke arahnya dari meja guru di depan kelas.
Shit.
"Kelihatannya mimpimu indah, ne, Kurosaki-san?" jeda, "Keluar dan segarkan kembali kepalamu dengan berlari keliling lapangan sebanyak 10 kali. Sekarang."
Hanya saja Ichigo tidak langsung 'sekarang'.
Ia duduk lebih lama beberapa detik, menatap ke arah sang guru seperti menatap spesies terbaru di bumi. Hingga akhirnya ia menghela nafas, bangkit dari posisinya dan berjalan keluar kelas.
Tapi tidak sebelum pandangannya berbelok ke bagian paling belakang kelas. Di mana duduk seorang pemuda bersurai biru, dengan iris senada namun lebih gelap, menyidik kepadanya. Seulas senyum kecil ia berikan. Namun kerutan dahi sang pemuda menjadi bukti tidak terbantahkan kalau senyumnya barusan itu terlalu dipaksakan. Dan pemuda bersurai biru itu tahu mengenai keterpaksaan tersebut.
Selain itu tidak ada lagi yang Ichigo lakukan sebelum melangkah keluar kelas. Menutup pintu dibelakangnya perlahan, ia dengarkan suara langkah kakinya yang bergema di lorong.
Sepi.
Kentara sekali kalau hanya dirinya yang berada di luar kelas saat ini.
"Tujuh putaran lagi, Kurosaki! Pokoknya, kau harus bisa menyelesaikan putaranmu sebelum jam makan siang!"
Takiyama-sensei terus berteriak dari jendela kelas ke arah salah satu muridnya yang malah tidur di tengah-tengah pembelajarannya.
Grimmjow memutarkan kedua bola matanya.
Memangnya jaman sekarang siapa sih yang tidak ketiduran ketika pelajaran sejarah berlangsung?
Ia tidak menyalahkan Kurosaki.
Karena sebenarnya tadi pun ia tertidur. Hanya saja sang guru menangkap murid bersurai oranyenya yang malang terlebih dulu, dan secara tidak langsung menyelamatkan dirinya dari menjadi korban hukuman sang guru.
Kedua alis pendek Grimmjow berkerut.
Ada yang aneh.
Walau pun sebal untuk mengakui, tapi Ichigo Kurosaki adalah murid yang cukup dipandang di SMA Karakura. Karena walau pun ia sering terlibat perkelahian, tetapi ia selalu berhasil mempertahan prestasinya dalam lingkup tiga besar di satu sekolah. Jadi, para guru juga tidak terlalu banyak komplain kalau ia membuat ulah. Dan Kurosaki sendiri cukup mengerti posisinya. Pemuda itu tidak pernah mencari gara-gara jika tidak dipancing emosinya lebih dulu.
Dan hal itu termasuk dirinya tidur di tengah-tengah jam belajar kelas.
Seorang Kurosaki tidak pernah mau sekali pun melewatkan jam belajarnya di kelas. Tentu saja orang akan beranggapan aneh kalau mendadak ia tertidur seperti tadi begitu saja 'kan?
Karena ini pertama kalinya...
... Kenapa pula ia harus peduli dengan apa yang terjadi pada saingannya?
"Empat putaran lagi!"
Berisik.
Rasanya ia bisa mendengar nada senang dari teriakan Takiyama-sensei. Seolah wanita itu sudah lama menantikan saat-saat seperti ini. Saat di mana ia akan menjadi orang pertama yang memberikan hukuman kepada salah satu murid pandai, teladan, yang ada di sekolah.
Pfft. Menggelikan.
Grimmjow sama sekali tidak menyadari kalau barusan dirinya tertawa kecil, sebelum seorang murid yang duduk tepat di sebelahnya, menyapanya, "Ada sesuatu yang lucu, Grimmy?"
Fucking hell!
Ia benci panggilan itu, maka ia menggeram. "Shut da' fuck up, Gin."
Dan berganti, sekarang Gin yang tertawa kecil.
"OH YA TUHAN!"
Pekikan beberapa gadis yang duduk di dekat jendela menarik perhatian Grimmjow. Mereka nampak begitu panik, membuat Grimmjow penasaran. Tetapi ia terlalu malas untuk bangun dari tempat duduknya.
Lagipula kelihatannya ia tidak perlu beranjak dari tempatnya karena tidak lama kemudian sang guru berteriak kepada salah seorang murid laki-laki di dekatnya (Berteriak dalam jarak dekat? Huhn... Ia jadi merasa kasihan juga pada si murid), "Kau, bawa temanmu yang punya tenaga besar dan bantu aku untuk membawa Kurosaki ke UKS!"
... UKS?
Bukankah itu tempat di mana murid-murid bisa leluasa tidur hanya dengan alasan sakit perut?