Shikigami Twins

.

.

Disclaimer: I do not own Vocaloid.

Rating: T

Genre: Romance, Supernatural, Tragedy, Friendship, Action

Warning: AU, OOT, typos, misstypos, etc.

Summary:
Tanpa Rin ketahui, Len adalah seorang onmyouji seperti dirinya. Di saat mereka mulai menyadari bahwa ada rasa di antara mereka, mereka harus melepasnya begitu saja. Hilang, tak bersisa. / "Kertas-kertas itu sangatlah berarti bagiku. Tapi ada yang jauh lebih berarti daripada kertas-kertas itu. Apakah itu?"

.

.

A/N

Gomen minna untuk telat update-nya owo

Oke, jadi ini chapter terakhir, ya? ._.

Enjoy reading


Rin POV


Aku menatap ke depan dengan pandangan menerawang. Aku adalah adik kembar Len yang menghilang. Dan itu membuatku sakit.

Kenapa aku terus mengharapkannya? Bahkan ketika ia tidak bisa berada di sampingku untuk selamanya? Kenapa aku terus menunggunya? Walaupun nantinya ia akan menikah, memiliki anak, dan hidup bahagia bersama orang lain?

Kenapa hatiku hanya tergerak untuknya? Kenapa orang lain tak bisa menarik hatiku? Kenapa hanya Len saja yang mampu membuatku jatuh cinta padanya?

Jawabannya hanya satu. Karena dia adalah Len. Aku mencintai Len apa adanya dan aku menyayanginya. Aku tidak bisa membutakan perasaanku semata-mata hanya karena kami merupakan adik dan kakak kandung yang memiliki perasaan terlarang.

Mungkin aku berdosa karena aku memiliki perasaan terlarang terhadap laki-laki yang tak ditakdirkan untukku, begitu juga dengan Len. Kami tak bisa menjalani hubungan kami ini. Semuanya akan berubah dan hilang begitu saja.

Aku akan tumbuh dewasa dan menikah bersama laki-laki lain, memiliki anak dan hidup bahagia. Begitu juga dengan Len, ia akan tumbuh dewasa, menikah dengan perempuan lain, memiliki anak, dan hidup bahagia.

Aku tak bisa menjalani hidup ini. Aku tak mau berpisah dengan Len. Aku tidak mau menjalani hidup dengan laki-laki lain dan hidup dengan bahagia. Dan aku... tidak akan senang jika melihat Len bersama dengan perempuan lain.

Takdir yang telah membawa kita dan kita tak dapat melawannya, aku tahu itu. Kita hanya terseret oleh arus kehidupan yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita hanya perlu menjalani dan semua itu akan baik-baik saja.

Tapi apakah benar begitu?

Krek.

Kepalaku berputar sembilan puluh derajat ke arah pintu ketika mendengar suara gesekan antara pintu dengan lantai keramik yang dingin. Dan aku melihat sosok pemuda tersembul dari baliknya.

"Len," aku menyambutnya dengan menyebut namanya dan memberikan seulas senyum lemah.

Len membalas senyumku dan menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang lebih berisik lagi.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Len sambil berjalan mendekatiku dan berakhir duduk di kursi yang biasa ia duduki ketika menemaniku, tepatnya kursi yang berada di samping ranjang tempat tidur yang kutiduri ini.

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban pada Len. Terus terang saja, kita benar-benar perlu membereskan masalah ini. Kita tidak bisa membiarkan perasaan suka ini terus melekat di hati, walaupun sangat sulit untuk disingkirkan juga. Ya Tuhan, kenapa hidupku seperti ini?

"Kita harus menyelesaikan masalah ini," ujar Len pelan sebelum aku sempat membuka mulut.

'Baru saja aku akan mengatakan itu,' gumamku dalam hati.

"Ma-maaf, Rin. Aku tidak tahu kalau kau itu adik kembarku. Aku mencintaimu padahal kita tidak ditakdirkan bersama. Seharusnya dari awal aku tahu kalau hal ini akan menyakitimu. Harusnya aku tidak menembakmu pada saat-"

"Kau menyesal telah membuat hubungan denganku?" Aku memotong ucapannya dengan pelan dan menahan rasa sakit yang berada di dadaku. Apa dia sebenarnya tidak ingin membuat hubungan denganku? Kenapa ia telah membuatku begitu berharap?

"Bu-bukan begitu maksudku!" Aku dapat melihat Len dengan cepat-cepat mengoreksi perkataannya.

Aku menghela napas sejenak. Kehidupan memang pahit. Aku tidak bisa bersama dengan Len. Aku tak bisa berada di sisinya terus menerus. Aku tak bisa selalu bergantung padanya.

"Aku... sepertinya ini bukan takdir kita, ya. Kita tidak ditakdirkan bersama oleh-Nya. Kita memang harus hidup sendiri-sendiri. Kita tidak ditakdirkan untuk selalu bersama sehidup semati. Kita tidak ditakdirkan untuk saling mencintai satu sama lain," ujarku getir sambil menunduk dan menatap selembar selimut putih yang menutupi kakiku.

Len menatapku dengan pandangan terperangah ketika sebutir air mata meluncur dari mataku hingga jatuh membasahi selimut putih itu. Ia tidak memelukku dan menenangkanku, juga menghapus air mataku. Ia membiarkan aku menangis sesenggukan sementara ia sibuk berpikir-pikir. Sudah berubahkah perasaannya terhadapku?

"Jangan buat takdir yang menentukan hidupmu. Buatlah kau yang menentukan takdir. Jangan ikut terseret dalam takdir, karena belum tentu itu akan membuatmu bahagia," ujar Len pelan.

Aku menoleh ke arahnya dengan mata yang basah karena cairan hangat yang tak dapat kuhentikan.

"Aku... tidak akan mengikuti takdir. Aku akan menentukan jalan hidupku sendiri," katanya lagi. Aku dapat melihat Len mengepalkan kedua tangannya dan meletakkannya di atas paha. Aku terdiam.

"Hidup itu antara pilihan dan takdir. Takdir sudah menentukan, sisanya kau memilih," ralatku.

Len menoleh ke arahku dan tertawa getir. Sepertinya tidak ada yang bisa kita lakukan lagi untuk mencari solusi dari masalah yang menyakitkan ini.

"Aku... tidak sanggup jika aku harus seperti ini," kataku lagi. Aku kemudian mengarahkan pandangku dari selimut putih itu ke arah Len sambil tersenyum lemah. Apakah ini terakhir kalinya aku melihatmu?

"A-apa-" Len tergagap, tidak menyangka aku berbicara seperti ini.

Aku menahan air mataku yang sudah ingin keluar, aku membendungnya dahulu, sementara aku masih harus meneruskan ucapanku padanya.

"Aku mungkin akan bunuh diri. Aku tidak bisa hidup dengan laki-laki lain dan aku tidak bisa melihatmu dengan perempuan lain. Dengan itu semua akan selesai. Aku akan mengalami reinkarnasi dan begitu juga dengan kau, kita akan hidup bersama lagi. Nanti," ujarku sambil tersenyum padanya. Walau kurasa air mataku sudah mulai menetes-netes.

"Hei, kau bodoh, ya?!"

"Ng?" Aku mengusap mataku pelan, mencoba menghilangkan air mata yang masih berada di daerah sekitar mataku.

"Aku juga tidak melihatmu dengan laki-laki lain, aku tidak dapat hidup dengan perempuan lain! Aku hanya mencintaimu! Dan aku tidak dapat melihatmu bunuh diri begitu saja. Aku akan melindungimu dengan yang lainnya!" seru Len tegas sambil menatapku dalam-dalam. Aku mendapat perasaan marah dari perkataannya.

Aku tersenyum lemah lalu menunduk, mencoba untuk menghindari pandang darinya. "Apa kau bisa hidup seperti ini? Merasakan sakit terus menerus karena kau tidak bersama dengan orang yang kau cintai? Hidupmu seperti terkurung dalam gelap, tidak dapat melakukan apa-apa dan tidak tahu harus melakukan apa. Hidup ini menjadi tak bermakna."

Len mengatupkan gerahangnya. Ia memutar tubuhku dan aku menoleh dengan kaget. Pada detik itu juga bibirnya sudah melekat pada bibirku. Aku hanya terdiam, merasakan hangat yang dialirkan darinya.

Beberapa detik kemudian ia melepaskan ciuman tiba-tiba itu. Ia membuang muka dengan wajah memerah.

"Aku... tidak akan menyerah. Biarkan saja aku akan mengalami hidup sebagaimana buruknya, apakah aku akan masuk neraka nanti, atau aku memiliki dosa terbesar, aku tidak akan peduli. Aku akan terus bersamamu. Selamanya."

Wajahku memerah mendengar pernyataan itu.

"Cinta sejati tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun juga. Aku tidak ingin mengikuti takdir yang sudah ditentukan dan aku akan terus melindungimu, berada bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Dan jika aku memiliki kesempatan untuk hidup bersama orang lain, aku hanya akan memilihmu."

Perkataannya kini membuat wajahku lebih memerah. Apa yang dipikirkannya? Sejak kapan Len menjadi seperti ini? Bukannya aku tidak suka, tapi- aku merasa ia begitu berbeda. Ini bukan Len yang dulu.

"Kau... bukan Len yang dulu," keluhku setengah berbisik.

"Apa? Aku bukan aku yang dulu?" Len mengerutkan kening.

"E-eh?! L-lupakan saja!" seruku cepat. Aku pikir ia tak akan mendengar bisikanku yang cukup kecil itu. Ugh, bagaimana kalau ia salah sangka terhadap ucapanku?

"Aku... berubah?" Len menyimpulkan dengan suara kecil. Mau tak mau, aku hanya memberinya jawaban, yaitu dengan anggukan pelan.

"Kenapa kau berubah? Aku menyukai dirimu yang dulu. Bukannya aku tak suka denganmu yang sekarang," balasku berbisik. Len tampak mencerna omonganku.

"Karena aku semakin sayang padamu. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku mabuk karena cinta ini. Aku... ingin melindungimu," jawab Len dengan nada yang semakin pelan.

Aku tertawa kecil mendengar penuturannya yang diulang-ulang olehnya sejak tadi. Aku tahu, karena aku memiliki perasaan yang sama denganmu. Namun kita tak bisa seperti ini terus, Len.

"Aku mengerti. Tapi sayang saja, kita harus tetap mengikuti takdir dan tidak mengikuti kemauan sendiri. Aku tahu ini berat, tapi... percayalah, apa yang diberikan-Nya merupakan hal terbaik untukmu." Aku tersenyum sambil menatap Len yang menunduk dengan perasaan kacau.

Aku tahu ia tak dapat memperjuangkan cinta ini lagi. Karena semuanya sudah berubah, baik diriku dan dirinya, juga keadaan dan kenyataan pahit yang tak kuharapkan.

"Nanti pada saat kita mengalami reinkarnasi, selagi kita tidak lagi menjadi saudara, aku akan mencintaimu lagi dan aku akan hidup bersamamu. Aku akan hidup kembali dan menjalani hidup bersamamu. Aku tidak peduli perbedaan jauh yang berada di antara kita, aku mencintaimu karena kau adalah Len," lanjutku.

Kedengaran basi, memang. Menurutku kata "aku mencintaimu" sudah bukan lagi kata-kata yang romantis untuk diucapkan. Sudah banyak sekali orang yang mengucapkan hal tersebut. Dan itu tidak istimewa.

Tapi aku dan Len beda. Kami mengucapkan kedua kata ini dengan perasaan mendalam. Perasaan seakan kami tidak ingin melepaskan satu sama lain. Perasaan yang tersembunyi di balik hati kami.

"Aku akan menunggu saat itu tiba. Dan aku akan menjemputmu. Ingat janjimu padaku, ya? Kita akan hidup bersama dan juga bahagia," ujar Len sambil tersenyum padaku.

Aku tertawa kecil dengan wajah yang memerah. Sampai kapan pun aku masih belum dapat mengalahkan senyum Len yang menggoda itu. Senyuman yang selalu membuat wajahku memerah dan salah tingkat.


Len POV


Hidup bersama dan bahagia. Akankah harapanku terkabul?

.

.

~Tiga bulan kemudian~

.

.

Aku berlari-lari kecil menyusuri jembatan yang berhujankan bunga sakura pink yang berguguran. Indah memang, tapi aku tak memiliki waktu untuk melihat pemandangan yang jarang itu.

Lagipula untuk apa aku melihatnya? Aku tidak memiliki siapa-siapa saat ini. Aku sudah berpisah dengan Rin sejak hari itu, untuk menghindari sakit hati yang terus menggerogoti kami.

Sebaiknya aku menunggu saat yang tepat untuk bertemu dengannya. Tapi berpisah dengannya membuatku makin sakit. Aku tak bisa lagi melihat senyumannya dan juga tawanya, aku tak bisa lagi berada di sampingnya.

Aku terus berlari hingga aku mencapai sebuah rumah yang familiar. Apa lagi kalau bukan rumahku?

Aku membuka pintu bangunan itu yang sudah tua dan melangkah ke dalam. Aku juga sudah tidak tinggal dengan Rin lagi, oke?

Tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak begitu besar membuatku kesepian. Aku tidak memiliki teman untuk diajak bicara. Aku tidak memiliki teman untuk diajak melakukan kegiatan-kegiatan bersama-sama. Aku harus melakukan semua itu sendirian.

Kakiku membawa tubuhku menuju kamar tidur yang tidak begitu besar. Tanganku menarik laci yang berada di dalamnya. Kertas putih kecil yang tipis langsung tampak begitu aku membuka laci tersebut.

Tanpa ragu-ragu aku mengambilnya. Membaca isinya, dan itu membuatku seakan kembali pada masa lalu.


Untuk Len,

Aku memutuskan agar kita tidak berhubungan dulu untuk beberapa waktu ini. Aku yakin kau membutuhkan waktu untuk memulihkanmu terhadap kenyataan ini, begitu juga dengan aku. Dan pada saat ini kita harus menjaga diri kita masing-masing.

Apa kau ingat saat pertama kali kau menyatakan perasaan padaku? Aku sungguh senang akan itu dan aku tentu saja tak akan pernah melupakannya! Apa saat nanti kita memulai kehidupan baru, aku akan mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu?

Untuk berpisah denganmu, rasanya sungguh berat dariku dengan apa yang kita lakukan selama ini. Tapi... kita harus melakukan ini, bukan? Demi kebaikanmu dan kebaikanku juga.

Aku hanya bisa berdoa. Semoga kau bahagia di sisa-sisa hidupmu ini sampai kita hidup kembali nanti. Teruslah tersenyum! Jangan putus asa! Kalau aku tidak melihatmu tersenyum, rasanya berat sekali sampai aku tidak ingin hidup di dunia ini lagi. Berlebihan, ya? Hehe ini karena aku sayang padamu!

Semoga kau menjadi onmyouji yang lebih baik lagi. Dan apa kau ingat? Jika kita anak kembar, kita tentu memiliki shikigami jati diri yang sama! Alangkah senangnya, bukan? Hal itu dapat mempersatukan kita! Shikigami kembar!

Hanya itu saja yang ingin kusampaikan. Aku rindu, aku mengaku.

Aku mencintaimu, sekarang dan selalu.

Salam sayang,

Rin

.

.

End


A/N

Woah, fic ini makin lama makin hancur. Entah malah jadi makin AU haha -_-

Mungkin untuk fic selanjutnya, saya bakal buat one-shot dengan pairing bukan RinLen, atau ngelanjutin tiga fic yang masih nunggak. Mari kita lihat keadaan dulu .w.

Last but not least, arigatou buat yang udah mau review! Jadi saya bisa melanjutkan fic ini sampai chapter terakhir. Arigatou! Semoga kalian berpikiran juga untuk review di chapter ini, ya :3 /slap