Wordcount: 6,185

Hana's Headnote: Hana bahagia banget dengan reviews kemarin! :"] Tanpa kalian, fic ini gak bakal selesai. Ini end-nyaaa! Trishot pertama Hana yg done! #histeris Makasih yah semuaaa #peyukreviewer #bercucuranairmata yep, Hana harap fic ini gak mengecewakan kalian semua yang bakal masuk Surga. ;) Enjoy and Happy Reading! :^)

.

.~.

_.::*~::0::~*::._

:: Part the Third of Enchanted ::

LAST CHAPTER

_.::~*::0::*~::._

.

.~.

.

(3/3)

Harry menatap mata kelabu pemuda itu dengan kosong. Benaknya penuh dengan pertanyaan. Ia harus apa? Harus membalas apa? Harus bagaimana? Dan bagian di otaknya yang lain merasa ketakutan—takut apa reaksi Draco jika ia mengatakan semuanya. Lalu di sudut-sudut lainnya, Harry merasa malu. Ia tidak bisa berani—tidak bisa—di depan Draco. Draco membuat mulutnya terkatup rapat. Harry tidak bisa, tidak mau, ia akan menghancurkan hubungan.. akrabnya yang hangat bersama Draco jika Harry jujur bahwa ia menginginkan hubungan yang lebih. Seperti pacaran—dan itu terdengar sangat menggelikan!

"Harry?" suara Draco berdengung lagi di telinganya, dan Harry memeluk selimut yang dibawanya dengan erat. "Aku menunggu. Dan kau tahu aku."

Oh, tidak. Harry tahu Draco; Draco orangnya tidak sabaran. Ia kesal menunggu—dan Harry ada di posisi yang membuat Draco menunggu.

"A-aku," kata Harry, terdengar sangat gugup dan tenggorokannya kering. Bahkan keringat dingin mulai bermunculan di tengkuknya. "Aku tidak ap—"

"Jangan berbohong, Harry, kau buruk dalam hal itu," potong Draco, dan Harry bisa merasakan tatapan tajam di kepalanya karena Harry menunduk untuk memandangi kaki-kakinya yang tidak beralas.

"Aku—aku memang tidak apa-apa," kata Harry, bersikeras. "Aku tidak apa-apa. Hanya teringat orangtuaku."

Bukannya terlihat melembut atau apa sesuai harapan Harry, ia malah merasakan kepalanya serasa ditusuk tombak dari pandangan Draco. Beruntungnya Harry yang tidak menatap Harry.

"Kau berbohong," kata Draco, dan suaranya bagai membekukan darah yang mengalir di pembuluh Harry. "Harry. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan. Tapi semakin cepat kau jujur kepadaku, semakin cepat masalah ini selesai."

Harry menggigit bibir bawahnya. Ia tidak mau berbohong, terutama pada Draco yang selama ini sudah banyak membantunya, menghiburnya... Harry tidak akan tega menyembunyikan hal ini dari Draco untuk waktu yang lama. Jangan tanya Harry, ia hanya.. tidak bisa. Kehadiran dan perasaan Draco, menjadi salah satu hal yang cukup penting bagi Harry sekarang.

Harry sudah akan membuka mulut, biarpun otaknya masih bimbang ingin mengatakan kebenaran atau kebohongan, bibirnya yang sempat terbuka kembali terkatup ketika jari pucat dan panjang yang tidak asing memegang rahangnya, tapi Harry tidak merasa kepalanya mendongak seperti biasa ketika Draco memegang rahangnya; melainkan kepala Draco yang menunduk untuk menatapnya, dan tatapannya bukan lembut atau hangat seperti yang seharusnya—maksud Harry, biasanya—tapi keras, dengan sedikit kekesalan yang menyirat di irisnya.

"Aku tidak ingin melakukannya," kata Draco, dan Harry merasa samar-samar nafas Draco mengelus hidungnya. "Tapi aku terpaksa. Karena aku harus tahu apa yang mengganggu pikiranmu—apa yang membuatmu terlihat gelisah dan kerepotan begitu. Aku harus tahu apa yang menghalangimu sampai matamu tidak secerah yang seharusnya..."

Suara Draco semakin kecil dan rendah, dan mata Harry melebar mendengarnya. Detak jantungnya makin cepat, dan kelamaan berdetak seperti selesai marathon—apalagi saat wajah Draco mendekat.

Harry menggeleng—entah kenapa. Dirinya tidak mau menerima ciuman yang akan diberikan Draco. Ia tidak mau—kenapa? Harry menjauhkan kepalanya dari genggaman Draco di dagunya, lalu sebuah alasan tiba-tiba muncul dan memukul logisnya.

Diri Harry tidak ingin dicium Draco karena Draco melakukannya untuk mengetahui apa yang ada di benak Harry.

Bukan karena.. keinginan.

"Tunggu!" seru Harry refleks, dan malu sendiri mendengar suaranya nyaris melengking—Harry harus bisa mengontrol pita suaranya agar tidak terdengar memalukan lagi.

Draco sudah tidak lagi mendekat, dan mata kelabunya masih tetap tajam, biarpun terlihat penuh pertanyaan.

"Aku akan memberitahumu," kata Harry. Melihat Draco yang mengangguk dengan senyuman kecil, Harry buru-buru menambahkan, "Tapi tidak sekarang," senyuman Draco lenyap, dan Harry merasa bersalah lagi. "Aku harus berpikir lagi."

"Baiklah," kata Draco, dan Harry lega mendengar suaranya tidak terdengar dingin lagi, biarpun masih ada ketidaksabaran yang menggantung di ujung suaranya. "Kau mau memberitahuku kapan?"

Harry membatu untuk beberapa saat, sebelum otaknya mengusulkan lewat ucapannya, "Besok," kata Harry, dan tidak menyesalinya. "Saat kita.. hang-out."

Draco tampak tidak menerima, tapi pemuda itu mengangguk perlahan. "Besok. Oke, aku pegang kata-katamu, Harry."

Harry mengangguk, dan wajahnya langsung merona merah ketika jaraknya dan wajah Draco masih terlalu dekat untuk obrolan biasa. Harry mundur, mengangguk, tapi maju lagi untuk menyodorkan selimut yang daritadi dipeluknya ke dada Draco.

"Selimutmu," gumam Harry. "Jangan sampai kedinginan lagi."

Tatapan keras yang ada mencair seketika, dan Draco terlihat tidak menakutkan lagi. "Oh, kau masih ingat rupanya."

Pipi Harry merona lagi, padahal ia sudah susah payah menghilangkannya beberapa detik tadi. "Lupa apanya," gerutu Harry, memutar matanya. "Kau sampai minta tidur bersama di kasurku sambil menggigil begitu. Aku mana tega," mendengar Draco terkekeh, Harry menambahkan, "Seharusnya kau melihat bagaimana wajahmu malam itu. Seperti campuran menakutkan, menggelikan, dan aneh."

"Ha," kata Draco, mendorong kening Harry dengan jari manisnya pelan, tersenyum setengah menyeringai. "Kau juga harusnya melihat wajahmu saat kau mengigau malam itu."

Darah menyusut dari wajahnya, meninggalkan putih pucat di pipinya. "Mengigau?" ulang Harry.

"Mengigau," kata Draco, nyengir. "Dan kau menyebut namaku."

Darah yang semula turun, langsung berlomba-lomba untuk mengisi wajah Harry. Dengan kesal Harry meninju bahu Draco, "Kau pasti bohong. Aku tidak pernah mengigau!" elak Harry.

"Memang bohong. Siapa bilang itu fakta?" Draco menghindar dari tamparan Harry.

"Dih," gerutu Harry.

Draco terkekeh, "Kau seperti anak kecil," komentarnya, lalu mencium selimut yang dipegangnya. "Beruntungnya aku. Mungkin karena tadi kau memeluk selimut ini, aromamu menempel di selimutnya."

Wajah Harry makin merah, dan ia mengusap wajah saking malunya melihat Draco terus-terusan menghirup selimut itu. "Kau selalu berlebihan." kata Harry, setengah serius.

Draco menjauhkan wajahnya dari lipatan selimut, "Setidaknya hanya kau saja yang tahu bahwa aku berlebihan." kata Draco.

Harry mengedikkan bahu, dan tidak percaya dengan atmosfir antara dirinya dan Draco. Tadi mereka kesal pada satu sama lain; Harry yang berbohong dan Draco yang menatapnya dingin. Tapi sekarang—seolah tidak ada yang Harry sembunyikan. Seakan Draco tidak memandangnya tanpa ampun. Tidak ada argumen, tidak ada pandangan membekukan Draco, tidak ada Harry yang berbohong. Situasinya sangat normal, dan Harry menyukai situasi itu setiap detiknya.

Harry memejamkan matanya tanpa sadar.

"Harry, kau mengantuk?" tanya Draco tiba-tiba, dan ada bagian dalam hati Harry yang menyukai suara bariton itu, yang penuh dengan perhatian. "Mungkin lebih baik kau cepat tidur. Aku belum percaya demam dan teman-temannya benar-benar menjauh darimu."

Harry tidak bisa menahan senyuman yang merekah di bibirnya, dan ia menggeleng, tapi mulutnya menguap tanpa aba-aba, membuat Harry membuka mata dan menutup mulutnya dengan pipi bersemburat merah.

"Oke, aku ngantuk," kata Harry cepat-cepat, sebelum Draco bisa berkomentar.

Draco mendengus, "Tidur sana." kata Draco.

"Cerewet," gumam Harry, membiarkan seuntai senyuman membentuk bibirnya.

"Mau kucium selamat malam supaya kau tidak mimpi buruk lagi?" tawar Draco sambil menyeringai.

"Mimpi buruk apaan," dengus Harry, lalu menatap Draco setengah malu-malu. "J-jangan di bibir."

Draco tertawa singkat, "Sudah kubilang, kau pasti ketagihan, sehebat apapun kau menyangkal," kata Draco, dan Harry memutar mata. Lengan pucatnya merangkul bahu Harry, lalu mendekatkan tubuhnya pada pemuda yang lebih pendek, lalu mengecup singkat puncak kepala berambut hitam. "Apa kau mau lagi?"

"Hipokrit. Itu, sih, kau yang ketagihan," kata Harry, lalu mendorong Draco menjauh dengan senyuman lelah. "G'nite, Draco."

Draco memandangnya cukup lama, tanpa senyuman, sampai Harry merasa tangan Draco meraih tangannya, lalu meremas sesaat sebelum melepaskannya dengan lembut. "G'nite, Harry."

Harry memberikan senyuman lagi, lalu menutup pintunya, dan naik ke atas kasur. Ia menyamankan posisinya di bantal, memeluk guling, dan memejamkan mata.

Harry baru bisa tertidur setelah satu jam berguling-guling dengan mata ogah tertutup di atas kasurnya.

.~.

Harry terbangun, dan ingatannya akan janjinya pada Draco langsung muncul di benaknya. Harry mengerang, membawa wajahnya pada telapak tangan yang terbuka, lalu mengacak rambutnya. Ia terdiam sebentar, dan sadar bahwa hanya dengan diam membisu saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Harry bangkit dari kasur hangatnya, dan segera mandi.

Setelah mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian, Harry ragu-ragu keluar kamar, mematung sesaat seperti idiot di depan kenop pintu, sebelum turun ke lantai bawah. Ia melihat Draco duduk di tengah sofa, dan di depannya televisi menyala.

"G'mornin," sapa Harry, suaranya terdengar mirip dengan orang yang tenggelam—tidak jelas. Kumur-kumur, tepatnya.

Draco menoleh, dan tersenyum hangat. Senyumannya tidak tahan lama, tapinya. "Good morning, Harry," balas Draco, dan ada seringai di bibirnya. "Kau bangunnya siang juga, ya."

Harry melirik jam di dinding, lalu memerah sedikit melihat jarumnya yang menunjuk pukul setengah sembilan. "Ini hari Sabtu," Ia memutuskan untuk tidak meneruskan ucapan Draco. "Kau sudah sarapan?" tanya Harry.

"Belum," jawab Draco. "Aku tidak akan mau sarapan dengan makanan yang bukan masakanmu."

Harry memutar matanya. "Kalau aku harus pergi ke Rusia?"

"Aku akan ikut denganmu," kata Draco percaya diri, dan Harry memberikan tatapan 'aku serius!' yang dibalas senyuman setengah seringai Draco. "Aku akan memintamu cepat pulang secara terus menerus,"

"Pakai apaan menghubungiku?" tanya Harry dengan alis terangkat.

"Hand-phone," jawab Draco, dan Harry menatapnya dengan wajah memang-aku-punya-apa. "Harry, aku akan membelikannya hari ini."

Harry sudah akan mengelak, tapi ingat bagaimana akhirnya saat kemarin mereka cek-cok. "Terserahlah," gumam Harry. "Yang penting itu aku tidak meminta."

Tiba-tiba Draco meminta Harry mendekat, dengan jarinya dan tatapan mata yang berucap. Harry melangkah tanpa pikir panjang, agak bingung mendekati sofa Draco, lalu tangannya diambil tangan yang lebih pucat darinya.

Draco mengusap punggung tangannya dengan ibu jari, lalu meletakkan ciuman singkat di sana. "Kau lupa ciuman selamat pagi dariku," kata Draco.

Wajah Harry merona, lalu menarik tangannya lagi perlahan. "Kau bilang aku yang ketagihan, tapi kau sendiri yang selalu menciumku," kata Harry, dan berjalan ke arah dapur untuk mengambil apron dan menyiapkan sarapan. "Mau sarapan apa?"

Draco berjalan mendekati Harry, dan sekarang berdiri di belakang Harry, dengan rahang yang berisitirahat di bahu Harry. "Apapun. Aku tidak akan bisa menolak masakanmu."

Harry mengambil sejumput rambut pirang Draco, dan menjambaknya. "Menjauh, Draco. Aku tidak mau memasak sesuatu yang hasilnya tidak dimakan," desis Harry.

"Ow," Draco menjauh, tapi masih berdiri di belakang Harry. "Kau jadi masak apa? Pancake 'kan?"

"Tuh, kau tahu," gumam Harry sambil menyiapkan bahan-bahan untuk pancake.

"Oke, aku suka pancake," kata Draco, lalu berjalan keluar dapur. "Aku menunggu pancake buatanmu, Harry. Aku yakin rasanya pasti empat kali lipat lebih enak dari buatan ibuku."

Harry tersenyum sendiri, dan menghela nafas. Draco memang agak menyebalkan, tapi Harry terlanjur terlalu.. apa kata untuk mendeskripsikannya? Sayang? Yeah, Harry mengaku terlanjur sayang— pada manusia arogan itu.

Sayang pada manusia arogan?

Cinta memang buta.

.~.

"Ah, Harry, kau membuatku makan dua kali lebih banyak," kata Draco sambil membalikkan sendok dan garpu di atas piring kosongnya.

"'Kan kau sendiri yang minta tambah. Kok aku yang disalahkan?" dengus Harry, dan meminum teh chamomile-nya yang masih beruap panas.

"Kau salah karena masak terlalu enak," kata Draco sambil tertawa, lalu memandang teh yang ada di gelas Harry. "Aku benci teh."

Alis Harry terangkat sebelah. "Kenapa?"

"Lebih suka kopi," jawab Draco, lalu berdiri dari kursinya, untuk mengambil piringnya dan piring Harry.

Harry melirik piringnya yang diambil, menyesap tehnya, lalu berkata, "Tumben kau mau cuci piring." sambil tersenyum.

"Kata siapa?" dengus Draco. "Aku hanya menaruhnya. Orang sepertiku tidak cocok cuci piring."

Senyuman Harry hilang, dan ia menyesap tehnya lagi, melotot pada sosok Draco yang kembali dengan tangan yang kering.

"Karena sekarang masih pagi," Draco memulai. "Mau keluar sebentar?"

Harry merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Kemana?" tanya Harry pelan, menaruh cangkir tehnya di atas tatakan, takut memecahkannya ketika ia kaget—Draco suka memberi kejutan, dan Harry kurang menyukai hal itu.

"Ke hatimu," jawab Draco, dan Harry beruntung sekali ia sudah menelan teh di mulutnya. Kalau tidak, ia pasti muntah-muntah sekarang.

"Tidak ada jalan ke hatiku," balas Harry, dan beranjak ke wastafel di dapur untuk menaruh cangkir dan mencuci piring.

"Oh, aku akan membuatnya," kata Draco. "Dan aku akan menjadi orang pertama yang bisa meraih hatimu. Kau beruntung orang pertama yang menyentuh hatimu adalah orang sepertiku—seorang Malfoy."

"Aku tidak keberatan pada siapapun yang ingin mengambil hatiku, asal aku memperbolehkannya," kata Harry, dan ia tidak peduli pada suara ketusnya. Harry mengambil spons, dan mulai menyabuni piringnya. "Aku juga tidak peduli apa profesinya. Entah gelandangan, tukang pulung, atau pengemis, kalau memang kucintai, akan kuberi jalan."

Harry tidak mendengar ada balasan dari Draco, dan meremas sponsnya kuat. Mungkin kata-katanya terlalu ketus, tapi Draco seharusnya tidak—

"Kau marah padaku?"

Piring di tangan Harry meluncur mulus ke wastafel, tapi tidak pecah. Draco ada di belakangnya, menyentuh punggungnya dengan dadanya yang hangat, dan lengannya meremas bahu Harry. Suaranya terlalu dekat—nafasnya berhembus di daun telinga Harry yang sensitif, dan Harry menggigit bibir bawahnya.

"Tidak," jawab Harry pelan, bersyukur suaranya tidak bergetar, dan mengambil piring yang sempat meluncur dari tangannya untuk kembali dibersihkan.

Draco menghela nafas, dan Harry bergidik ketika udara yang dihembuskan Draco lebih banyak ke telinganya. "Aku minta maaf," kata Draco. "Aku seharusnya tidak mengatakan hal itu padamu."

Harry mengangguk, sementara tangannya sibuk menyabuni piring. "Aku tahu," kata Harry. "Pergi sana. Kau menggangguku dan piring-piring ini."

Tanpa aba-aba, Draco mencuri sebuah ciuman di keningnya, dan Harry terlonjak, nyaris membanting piringnya. Ia sudah akan berteriak ketika mulutnya terhalangi sesuatu yang hangat—dan Harry sadar itu bibir Draco. Ia dicium. Dicium Draco—di bibir. Di depan wastafel, dan Harry berimajinasi ada sabun colek di lidahnya.

Harry tidak bisa bergerak. Ia menatap kosong mata kelabu yang tertawa, dan tidak bisa melakukan apa-apa ketika mulutnya terbuka, dan tangan Draco menutup mulutnya dengan mengangkat rahangnya kembali.

"Kemarin malam, aku memikirkanmu. Kenapa kau gelisah, dan apa yang kau sembunyikan. Aku sadar saat aku akan menciummu, kau menjauh. Aku tahu penyebabnya," kata Draco, mengusap rambut Harry dari ubun-ubun hingga berakhir di pipinya. "Dan tadi, aku menciummu—untuk menunjukkan bahwa aku juga ingin melakukannya. Memang, aku juga ingin tahu apa masalahmu, tapi keinginanku untuk menciummu lebih besar, Harry."

Harry pasti terlihat sangat tolol dengan tatapan kosong dan tangan bersabun.

"Oke, kau selesaikan cucianmu, ganti baju, dan kita akan berangkat," kata Draco, menjauh dari Harry, tapi masih terlalu dekat. "Aku akan memperlihatkan keahlianku selain mengemudi mobil... dan aku akan menunjukkanmu bahwa aku juga bisa hidup sederhana untukmu."

Dengan ciuman terakhir di kening Harry, Draco meninggalkannya sendiri di dapur.

Harry menunduk, tidak tahu harus berbuat apa, dan heran sendiri tidak ada rona merah yang membandel di pipinya. Ia menoleh ke arah cucian yang tinggal sedikit lagi, lalu mulai mencuci lagi. Setidaknya, ada cucian piring yang menemani Harry.

"Harry?"

Harry tidak terlonjak kali ini, karena suara Draco berasal dari ruang tengah.

"Sebenarnya, kau sudah mencuci ulang piring yang sama sebanyak empat kali," kata Draco, dan Harry berhenti menggosok piring yang dipegangnya dengan spons. "Dan itu piringku."

Harry mencari piring Draco, dan menemukannya di tangannya sendiri. Jadi... Harry sudah menggosok piring ini—piring Draco yang dipegangnya—sebanyak empat kali? Sialan, batin Harry sambil memelototi piring di tangannya. Sialan, kenapa Draco tahu segala, sih?

Dengan hati dongkol, Harry menaruh piring itu di rak pengering.

.~.

Harry mengambil kunci di sebelah akuariumnya yang tidak berisi apa-apa karena ikan kokinya sudah mati semua dan Harry selalu lupa untuk membeli ikan yang baru.

Ia telah mengganti bajunya, sesuai permintaan Draco, dengan t-shirt hijau dan jeans yang tidak merepotkan. Ketika Harry keluar dari rumahnya, dan mengunci pintu dengan baik dan benar, Harry terhenti seketika dengan wajah dungu melihat pemandangan yang ada di depannya.

Draco—naik—sepeda—berwarnamerah muda—yang ada—keranjangnya.

Harry tertawa tak terkontrol sambil berjalan terhuyung-huyung ke arah pemandangan yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Demi apapun, Harry tidak pernah tahu Draco punya selera imut seperti sepeda merah muda.

"Puas tertawanya, Harry?" dengusan Draco membuat Harry menggeleng.

"Belum puas," kata Harry di antara tawanya. "Draco, aku tidak pernah membayangkan kau dengan sepeda pink. Membayangkanmu menggunakan piyama bunga-bunga saja tidak pernah—" tawanya meledak lagi.

"Kau boleh tertawa, Harry, silakan saja," kata Draco ringan, dan Harry berusaha mengecilkan volume tertawanya. "Hanya untukmu, kau tahu, aku rela meminjam sepeda pinky ini."

Tawa Harry berhenti seketika. "Meminjam?" tanya Harry.

Draco mengangguk, lalu menunjuk rumah yang ada di sebelah Harry dengan kepalanya. "Aku pinjam sepeda sepupunya."

"Kau memaksa?" tanya Harry, setengah menuduh.

"Tidak, sayang," jawab Draco, lalu nyengir. "Dia tampak terpesona padaku, dan terus menatapku dengan mulut nyaris menganga."

"Oh," kata Harry, lalu melipat lengannya. Ia kurang suka mendengar hal itu.

Draco memandangnya, lalu terkekeh. "Aku tahu kau cemburu," kata Draco. Harry sudah siap akan membalas tapi tangan Draco menarik lengannya, dan membuat Harry berakhir di pelukan pemuda pirang itu. "Kau tidak perlu cemburu, tahu. Tidak akan ada orang manapun yang bisa membuatku berpikir bahwa mereka lebih cantik darimu."

Harry menggembungkan pipinya, merasa kesal sendiri, sebelum membalas pelukan itu dengan wajah memerah. "Kau jangan terlalu sering meramal," gumam Harry di bahu Draco.

"Aku tidak meramal. Itu insting," kata Draco, lalu melepaskan Harry setelah mengecup singkat samping kepala Harry. "Ayo, naik di belakangku."

Mata Harry membulat. "Apa? Naik sepeda pink begini? Ogah," tolak Harry, lalu melihat sekeliling. Perutnya serasa jatuh melihat tidak ada sepeda lain untuk dinaikinya. Harry tidak mengeluarkan sepeda karena sepedanya sudah terlalu tua dan berkarat. "Oh, tidak. Aku tidak mau naik sepeda cewek begini, Draco."

Draco memberikan tatapan yang berbunyi, 'cepat-naik-aku-tidak-suka-menunggu'.

Harry memutar matanya. "Aku masih ragu—"

"Harry," potong Draco. "Kau naik bersamaku. Aku memboncengmu. Kau tidak perlu memikirkan apa kata orang-orang—mereka bukan orangtua kita. Lagipula, bukan hanya kau saja yang menderita."

Harry menghela nafas, melihat sekeliling yang tampak tidak memperhatikan mereka, lalu menaiki sepeda, duduk di boncengan. Harry bingung ingin memegangi apa supaya tidak jatuh, dan suara Draco terdengar lagi,

"Kau bisa memelukku supaya tidak terjatuh," kata Draco, terdengar serius tapi ada nada jahil juga di sana.

"Genit. Mesum. Tukang grepe—hobi pegang-pegang," gerutu Harry sangat pelan, tapi mendadak Draco tertawa.

"Biarpun begitu, kau tidak pernah serius ingin membunuhku," balas Draco, dan mulai mengayuh sepeda. "Kau bisa menyandarkan kepalamu di punggungku, Harry. Aku tidak keberatan."

Harry terpaksa memeluk pinggang Draco karena memalukan sekali kalau ia terjatuh dari boncengan sepeda pink. Ia melihat sekeliling, berusaha mengabaikan rasa hangat yang menguar di punggung Draco, tapi sangat sulit karena hati Harry sendiri lebih ingin mendekat pada punggung Draco, dan merasakan kehangatan yang hanya dimiliki Draco.

"Hey," kata Draco tiba-tiba, dan Harry merasa telapak tangannya yang berada di perut Draco merasakan genggaman yang tidak asing dan menenangkan. Tangan Draco. "Insting-ku mengatakan bahwa kau sedang memikirkan sesuatu. Kau memikirkan apa, Harry?"

Wajahnya memerah, dan Harry, untuk sesaat, merasa galau karena harus berbohong atau jujur saja. Kalau jujur, Harry akan merasa malu karena mengatakan bahwa Harry menolak hatinya untuk menerima kehangatan yang Draco tawarkan di punggungnya. Kalau Harry berbohong, ia tidak akan malu, tapi rasa bersalahnya pada Draco, yang telah melakukan banyak hal untuknya, akan semakin besar—dan Harry tidak mau memikirkan perasaan bersalah lagi karena cukup malam itu ia berbohong.

"Err," kata Harry, lalu menghela nafas. Ayolah, lebih cepat lebih baik. "."

Draco mengerem sepedanya, dan menoleh ke belakang untuk menatap Harry yang, menurut telinganya, tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar.

"M-maksudku," wajah Harry terbakar. Ia tidak percaya tadi yang dikatakannya itu terdengar seperti rap berbahasa Rusia! Brilian! Teman-temannya di Rusia pasti akan senang mendengar rap asal Harry tadi. "Tadi..." Harry menelan ludah, dan berusaha untuk tidak menundukkan kepala lagi. Ia menggigit bibir bawahnya, dan menatap kening Draco—ia tidak bisa menatap mata Draco, mata kelabu itu selalu bisa membuat Harry ingin mengeluarkan semua rahasianya, yang otomatis mengatakan perasaan Harry yang sebenarnya pada Draco.

"Harry," suara Draco terdengar lembut. Selalu melembut ketika ia melihat Harry sedang bingung atau kesal. "Aku akan mendengarkan semuanya. Kau bisa percaya padaku."

Percaya. Yeah, percaya pada Draco. Dan hati Harry pasti selalu ingin mengikuti setiap perkataan Draco. Serius, kenapa hatinya dan diri Harry bisa tidak searah begini?

"Err," kata Harry, mata hijaunya tidak menatap satu titik. Berbohong? Tidak. Bohong? Tidak. Bohong? Tidak. Bohong? Tidak. Oke, oke, Harry tidak akan berbohong lagi. "S-saat kau bilang tubuhmu hangat," Harry memulai, dan Draco mengangguk. "Hatiku bilang supaya terima saja kehangatan itu dengan memeluk punggungmu. Tapi, aku tidak.. mau. Aku tidak mau memelukmu."

"Kenapa?" tanya Draco, dan ada sedikit kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan suaranya.

"A—" Harry tidak ingin menatap Draco. "A-aku tidak tahu. Maksudku—" Harry menarik nafas, "Kita tidak pacaran, 'kan? Bagiku, tidak ada alasan untuk memelukmu dengan posisi.. mesra begitu."

Draco menatapnya. Lama, lurus, sekeras baja. Harry bisa merasakan tatapan itu menusuknya, karena ia menatap taman mungil yang sepi dari bahu Draco, menghindarinya. Apa Harry mengatakan sesuatu yang salah? Harry sudah mencoba untuk jujur dan tidak membohongi Draco lagi seperti kemarin malam. Apa pilihannya tidak benar? Apa Harry harus berbohong lagi agar semuanya tetap hangat dan nyaman—seperti hari-hari dimana Harry tidak memikirkan perasaannya pada Draco dan cukup menyembunyikan pengakuan itu rapat-rapat di hatinya?

Harry harus apa? Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuat hubungan—akrab dengan Draco menjadi terputus. Harry tidak tahu mengapa perasaannya jadi begini. Dari awal ia kurang menyukai Draco—agak membencinya, malah—tapi sekarang, saat berhari-hari menghabiskan waktu nyaris bersama Draco, Harry tidak pernah bisa memprediksi perasaannya yang bisa berubah secepat itu. Harry tidak pernah merasakan perasaan ini, karena ia tidak pernah punya pacar—ia tidak sempat memikirkan pacar karena semuanya lebih baik menjadi sahabat selamanya.

Draco turun dari sepeda pinjamannya, dan menyandarkannya pada pohon setelah Harry ikut turun.

"Harry," suara bariton Draco yang kini lebih rendah, lebih pelan, lebih membuai, terdengar; membuat Harry secara otomatis memandang mata kelabunya. Harry tidak bisa membaca emosi apa yang ada di manik-manik sewarna merkuri itu. Unreadable. "Kau beri nama apa pada hubungan kita sekarang?"

Harry menggeleng. Itu juga masalah yang dihadapi Harry. Tapi Harry mengatasinya dengan menyebut hubungan antara dirinya dan Draco itu: hubungan akrab. Harry tidak akan memberitahu Draco, karena terdengar sangat konyol, nyaris tidak masuk logika, dan.. tidak cocok.

"Lalu," Draco kembali berbicara. "Bagaimana dengan ciuman-ciuman yang kuberikan padamu? Waktu kita bersama—saat menginap di rumahmu? Aku yang selalu menjemputmu pulang dari minggu lalu, entah di kampusmu atau Cup-of-Weasley, aku yang merawatmu... itu semua kau sebut apa, Harry?"

Harry membisu. Giginya terus menggigit bibir bawahnya, dan ia menggeleng. Harry tak pernah menyangka bahwa suatu saat—hari ini, sial—Draco akan menanyakan hal itu. Tentang hubungan mereka. Apa nama hubungan mereka...

"Apa yang akan kita lakukan?" suaranya sendiri berbisik, bertanya entah pada siapa; udara kosong atau Draco, atau bahkan dirinya sendiri. Harry tidak pernah menghadapi masalah yang berhubungan dengan.. cinta, perasaan, kasih sayang, atau apalah sebutan yang ada tentang seseorang yang katanya merasakan 'surga di bumi' yang berarti cinta.

Tangan kanan Draco terulur, dan berakhir menyentuh tangan Harry, mengisi jarak di antara jemarinya dengan jari yang lebih pucat dan panjang, memeluk jemarinya dengan jemari.

Hangat, selalu begitu, dan kegelisahannya hilang untuk beberapa saat. Harry tidak pernah tahu Draco—sentuhan dan keberadaannya—akan sangat mempengaruhi hati, perasaan, dan kehidupan Harry.

"Kita cukup tenang," kata Draco, suaranya membuai, selembut beludru, membuat Harry memejamkan matanya. Ia merasa tangan Draco yang lain menariknya mendekat, dan Harry berhadapan dengan tubuh Draco yang menguarkan aroma sama; wangi parfum mahal. "Kau tenang. Jangan gelisah, jangan memikirkan apapun yang negatif, karena aku yakin semuanya punya jalan takdir yang sudah diatur. Aku minta, Harry, berhenti berpura-pura mengatakan 'aku baik-baik saja' di depanku, karena aku benci dibohongi. Aku bukan orang bodoh."

Harry mengangguk pelan, hidungnya menggesek bahu Draco, dan tangan Draco menggenggam tangannya makin erat, sementara lengannya memeluk pinggang Harry. Draco mencium ujung kepalanya, dan Harry ingin melihat bagaimana ekspresinya saat menciumnya.

"Maaf, Draco," gumam Harry sungguh-sungguh, lalu membawa tangannya yang tidak menyatu dengan telapak tangan Draco untuk menyentuh bahu Draco. "Aku tidak pernah berniat membuatmu kesal. Atau marah. Aku hanya—aku takut dengan reaksimu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan saat aku berbohong padamu, mungkin rasanya lebih buruk dibanding harus memakan masakan temanku di Rusia yang rasanya sangat tidak enak."

Draco mendengus tertahan, dan menjauhkan tubuh mereka sampai ia bisa menatap mata zamrud Harry. "Siapa namanya?" tanya Draco, yang sepertinya sudah penasaran dari awal Harry menyebut 'teman dari Rusia'nya.

Harry tersenyum mengingatnya. "Revan Nikolaev," kata Harry. "Dia lebih bodoh dariku, tapi selalu lebih cerdik."

"Kau pernah punya hubungan khusus dengannya?" tanya Draco, dan suaranya terdengar sedikit lebih dingin.

"Punya," jawab Harry, dan berkedip ketika melihat pandangan Draco makin membekukan. "Maksudku, sebatas sahabat."

"Ada teman Rusia-mu yang lain?"

"Ada. Tidak banyak, tapinya," jawab Harry, lalu merasa agak kesal. Ia menghargai waktunya di Rusia. "Kenapa aku merasa seperti diinterogasi?"

Pandangan beku Draco mencair, dan tawa singkat berdentum dari mulutnya. "Aku takut ada yang mengincarmu saat kau pergi ke Rusia, dan aku tidak bisa ikut untuk menjagamu," kata Draco. Sebelum Harry sempat berkomentar, pemuda itu menarik Harry ke taman yang Harry lihat dari bahu Draco tadi. "Ayo, mungkin lebih baik kita bicara di taman daripada pinggir jalan."

Harry melihat sekeliling karena ia benci orang yang pengen tahu, tapi jalanan sepi. Ah, biarpun mau protes, kaki Harry sudah berjalan bersama langkah-langkah Draco.

Draco membawanya ke bagian taman (yang ternyata cukup luas) dengan fountain—air mancur—berdiameter sekitar tujuh meter yang dikelilingi pepohonan rimbun dan semak-semak berbunga. Udara di tempat itu sangat nyaman dan menyegarkan paru-parunya. Harry tidak tahu ada taman umum seindah ini di sekitar daerah rumahnya—biarpun baru tinggal selama seminggu lebih, harusnya Harry, setidaknya, tahu ada taman umum di di daerah rumahnya.

"Tempat yang kupilih bagus 'kan?" kata Draco, penyakit sombongnya kambuh lagi. Harry mendengus.

"Siapa dulu yang milih rumah di daerah sini," balas Harry setengah meremehkan pada Draco yang tertawa kecil.

"Balasan yang bagus," komentar Draco, lalu mendekati pinggiran air mancur. Harry menyukai bunyi gemeresik airnya yang meluncur dari pancuran dan mendarat ke genangan air di bawahnya. Itu membuat tubuhnya rileks. "Ayo, duduk di sebelahku." Draco menepuk tempat di sebelahnya, setelah duduk di pinggiran air mancur.

Harry nyaris tidak memiliki keinginan untuk menolak lagi, dan ia mengikuti kata hatinya untuk berjalan mendekati pemuda pirang itu, lalu duduk di sebelahnya. Lengan Draco langsung merangkulnya, dan membuat Harry menyandarkan kepalanya ke bahu Draco. Ia tidak ingin berbohong lagi. Tidak ada penyangkalan, tidak ada beban lagi di hatinya.

"Suka tempat ini?"

Harry mengangguk. "Sangat," kata Harry, dan menghela nafas nyaman. Ia bisa tertidur di tempat ini kapan saja. Soal aman atau tidaknya, ia bisa percaya pada Draco.

Wajah Draco menoleh untuk memandang wajahnya, dan Harry merasa ada sesuatu yang jatuh di atas kelopak matanya.

"Kau kelihatan mengantuk," kata Draco, lalu mengambil benda yang jatuh tadi dari atas kelopak mata Harry. "Hanya daun," kata Draco lagi, seolah bisa membaca pikiran Harry yang baru saja ingin bertanya.

"Untung bukan tai burung atau bangkai tupai," gumam Harry sambil memejamkan mata, menggaruk pelan matanya sebentar—karena Draco sudah menjauhkan tangan Harry dari matanya.

"Ucapanmu ada benarnya," dengus Draco, dan mengusap pipi Harry dengan ibu jarinya. "Bulu matamu panjang. Lentik lagi."

"Apa?" mata Harry terbuka. Baru kali ini Draco berkata begitu. "Jangan bilang aku pakai mascara atau apalah itu yang hitam-hitam. Atau pemanjang bulu mata."

"Tahulah," dengus Draco.

"Eh, Draco," kata Harry, memandang rerumputan yang diinjak converse-nya. "Kau punya profesi apa? Aku ingin bertanya daridulu, tapi lupa terus."

"Kau nenek-nenek dong, pelupa," goda Draco.

"Ap—? Kakek-kakeklah! Memang aku cewek?" protes Harry.

Draco tertawa, "Tuh, kau ngaku sudah tua," katanya.

Harry menggeplak lengan Draco, "Jangan bercanda."

"Iya, iya," kata Draco, memainkan rambut Harry. "Aku lulus tahun lalu dari Harvard, Harry. Hanya terkadang mengambil pembelajaran tambahan tentang beberapa hal supaya bisa meneruskan bisnis Father di.. banyak bidang. Seperti cokelat, kopi, sampai elektronik."

"Oh," kata Harry. "Tapi aku tidak pernah melihat barang-barang elektronik yang ada nama Malfoy-nya."

"Maaf kalau aku bicara begini, Harry; tapi sepertinya kau sangat buta dengan teknologi, mengingat ketidaktahuanmu akan Android dan penolakanmu pada penawaran pembelian iPad baru sebagai pengganti laptop tuamu."

Harry memutar matanya. Memang apa salahnya sih, dengan buta teknologi? Yang penting hidup masih bisa jalan dan Harry tidak mengais makanan di bak sampah.

"Laptop-ku sudah terlalu berpengalaman. Sudah bersamaku sangat lama," bela Harry.

"Itu sebabnya kau tidak melihat produk keluargaku," kata Draco, menyentuh hidung Harry dengan ujung telunjuknya. "Karena kau sudah bertanya, giliran aku yang bertanya."

Harry mengangguk, menunggu.

"Apa yang kau sembunyikan dariku malam itu?" tanya Draco, dan aliran darah Harry berhenti sesaat, biarpun tidak sekaget sebelumnya. "Apa yang kau pikirkan selama ini—sampai wajahmu sering berkerut gelisah?"

Harry merasa dirinya siap memberikan jawaban—karena Harry telah berjanji—tapi tidak terlalu percaya diri. Maka, ia menarik nafas, membuangnya perlahan, dan berusaha tetap kalem.

"Umm, tapi," kata Harry, sedikit mendongak untuk menatap Draco dari posisinya menyandar pada bahu pemuda itu. "Janji, ya, jangan menjauhiku atau.. membuat hubungan kita jadi renggang."

Draco tersenyum, tipis tapi lembut, membuat lidah Harry bagai dibanjiri lelehan karamel. "Kau bisa pegang janjiku," kata Draco, lalu mengangkat kelingkingnya, "Janji kelingking."

Harry mendengus, tapi yang keluar dari mulutnya adalah tawa kecil, membuat rasa gugupnya sedikit berkurang. Ia menatap kelingking itu, sebelum mengangkat kelingkingnya, dan melihat bagaimana jari Draco mendekat dan menautkan kelingking mereka erat. Kalau bersentuhan begini, kulitnya terlihat sangat gelap dibanding kulit Draco yang pucat.

"Oke, kau bisa bicara lagi," kata Draco, mencium puncak kepalanya sesaat. Apa gestur seperti itu masih ada di batas 'akrab', seperti yang diungkapkan Harry?

"Aku memikirkan... hubungan kita, Draco. Hubungan yang aku sebut akrab, tapi kurasa masih salah untuk menyebutnya begitu," Harry memulai. Hatinya membuang kegugupan yang menahan tenggorokannya. "Aku bingung menyebut hubungan kita itu apa. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi hubungan kita—cukup mendiamkannya atau merubahnya. Aku ingin merubahnya; tapi aku takut pada reaksimu. Aku tidak mau kau menjauh setelah mendengar pernyataanku, apalagi membuat hubungan kita hanya jadi kenangan. Aku nyaman dengan hubungan ini," jeda. "Dan aku tidak pernah memiliki orang sepertimu di kehidupanku, Draco. Ron atau Hermione tidak menciumku seperti bagaimana kau menciumku. Mereka tidak pernah menginap di rumahku sampai tiga hari sepertimu. Mereka tidak pernah mengatakan hal-hal—err—gombal sepertimu padaku. Itu berbeda. Kehadiranmu juga terasa.. lebih menyenangkan. Bukannya teman-temanku membosankan. Kau yang berbeda. D-dan aku—aku—menginginkan lebih darimu."

Harry menunduk, menatap sandal Draco yang hitam, simple, tapi terlihat mahal. Harry tidak mau memikirkan seberapa merah pipinya, seberapa kering tenggorokannya, seberapa malu dirinya, bagaimana.. Harry mengatakan semua itu berdasarkan arah hatinya.

Draco terdiam, dan Harry menggigit lidahnya. Ketika udara di sekitarnya serasa cukup mencekik, mulut Harry sudah akan terbuka, mengatakan sesuatu yang bahkan ia tidak tahu apa, tapi suara Draco di sebelahnya memotong.

"Harry."

Dan mendadak Harry sudah berputar, tidak melihat hijaunya rumput atau sendal Draco lagi, tapi wajah pucat yang runcing di pandangannya. Genggaman Draco mengerat di bahunya—entah kapan Draco menaruhnya di situ, Harry tidak tahu—dan wajah itu mendekat, tapi tidak sampai nafas mereka bercampur.

Draco memandangnya. Lama, lama, terus memandangnya lama sekali, sampai Harry harus berkedip karena ada debu yang terbang ke matanya. Tangannya otomatis terangkat untuk mengucek, tapi tangan Draco menahannya.

"Jangan dikucek," kata Draco, dan suasana yang tadi keren karena saling pandang ke mata masing-masing langsung jadi memalukan karena berakhir dengan Harry yang kelilipan. "Rasanya aku sudah mengatakan hal ini lebih dari dua kali, ya."

Harry mendengus menyembunyikan rasa malunya, "Memang."

Draco memberi senyuman yang menular, lalu menatap Harry dengan serius lagi. "Harry, dengar," kata Draco, mengusap lengan kiri Harry dengan telapaknya yang agak kasar. "Apapun yang kau katakan tadi—apapun yang kau beritahu aku—tolong, jangan menyesal. Jangan menyesal karena kau merasakan hal-hal seperti itu di sisiku. Jangan menyesal karena kau berpikir aku berbeda dari teman-temanmu. Aku senang bisa membuatmu merasa senang, tertawa, tapi jangan gelisah atau kesal. Aku lebih menyukai wajahmu ketika tersenyum."

Harry terdiam. Ia berharap mulutnya tidak terbuka menganga seperti idiot.

"Aku juga merasakan hal yang serupa denganmu, Harry," jemari pucat itu berpindah ke telapak tangannya, sebelum mengangkatnya dan mencium puncaknya. Mata kelabu itu terpaku ke permata zamrud di depannya. "Aku tidak bosan selalu berada di dekatmu. Menginap, sarapan, makan malam, sampai hari ini, ketika kita bersama, bahkan aku tidak menemukan kata 'selamanya' cukup untukku. Tidak ada hitungan waktu yang bisa menyamai keinginanku untuk bersamamu."

Wajah Harry merona merah muda. Ia tidak percaya—ia tidak percaya—telinganya pasti salah dengar—Draco tidak—ia tidak mungkin—Harry—

"Dilihat dari ekspresimu," ucapan Draco membelah kalimat yang teruntai secara tidak jelas di benak Harry. "Sepertinya kau tidak percaya dengan perkataanku yang panjang-lebar ini."

Harry setengah melotot setengah malu-malu (Harry tidak tahu matanya berbentuk apa) memandang ke arah Draco. Harry sungguh merasa ada yang salah dengan pendengarannya, karena tidak mungkin keinginannya yang konyol dan tolol itu terk—

"Mulutku lelah bicara terus," kata Draco, dan tiba-tiba mengecup keningnya, sangat lama, dan bahkan terasa lebih lembut dibanding kecupan ringan lainnya yang selama ini diberi pemuda Malfoy itu. "Kuberi bukti, oke?"

Tangan Draco di bahunya turun, menjelajah lengannya dan berhenti di pergelangan tangannya—membawa kedua tangan Harry menyatu di pangkuannya sendiri. Pemuda berkacamata itu agak bingung dengan kedua tangan Draco yang menggenggam tangannya di pangkuan Harry, dan baru setelah akan bertanya, mulutnya menutup kembali seketika, dan warna merah memenuhi pipinya.

Draco sedang berlutut, memegangi tangan Harry yang ada di pangkuannya, mendongak menatap Harry, dan pandangan dari iris kelabu itu penuh kesungguhan, kehangatan, kasih sayang, dan...

...cinta.

"Harry," kata Draco, dan baritonnya mengalir ke sendi-sendi tulang Harry. "Aku tidak pernah main-main kalau menyangkut dirimu, dan aku tidak akan bercanda mengatakan ini," jeda, dan telinga Harry dipenuhi bunyi detak jantungnya yang tidak karuan. "Aku menyangka pertemuan kita di depan kafé Cup-of-Weasley hanya akan menjadi memori yang samar-samar teringat dan mudah terlupakan—tapi aku salah besar. Sejak aku selesai mengantarmu pulang, matamu adalah hal pertama yang kubayangkan ketika aku bangun tidur. Sejak Fred dan George mengatakan bahwa mereka menjagamu dari tanganku yang mereka anggap 'nakal', aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa yang pernah menyentuhmu sebelum aku bertemu denganmu, Harry. Saat Fred dan George menanyakan wallpaper Android-ku, Harry, aku sempat kehilangan kendali dengan mengatakan bahwa kita pacaran."

Mata Harry melebar mendengarnya. Pantas saja Hermione, yang sangat brilian, bisa mempercayai gosip itu... dan Harry tidak tahu bahwa Fred dan George serius ingin menjaganya dari orang-orang aneh yang tidak diinginkannya.. Harry harus berterima kasih pada kembar Weasley itu secepatnya. Tangan Draco meremas tangannya, dan Harry kembali menatap mata pucat Draco di depannya. Ia jadi merasa bersalah pada Draco karena membuat pemuda itu berlutut cukup lama.. pasti kesemutan.

"Kau tahu, Harry?"

Harry menggeleng, menggigit bibir bawahnya.

"Sebenarnya," Draco tersenyum mengejek, tapi senyuman itu tidak ditujukan pada Harry. "Fred dan George sedang menawarkan gadis-gadis yang mungkin menarik perhatianku karena aku mengatakan pada mereka aku membutuhkan seseorang untuk menjadi pacar palsu supaya bisa kutunjukkan pada Father—bahwa aku sudah berpasangan dan tidak perlu dipaksa menikah. Tapi karena gadis yang diminta si kembar tidak bisa datang dan aku terlanjur datang ke tempat yang direncanakan—kafé itu—aku malah bertemu denganmu, Harry Potter," kata Draco, dan senyuman itu berubah menjadi hangat dan terasa manis di ujung lidah Harry. "Dan malam itu, aku tidak menyesal bertemu dengan malaikat. Aku bersyukur, malah, bisa mengenalmu lebih baik, Harry."

Harry tersenyum lemah. Sebagian nyawanya melayang-layang di langit ketujuh. Ia tidak pernah merasa bahagia sampai lututnya lemas dan merasa tubuhnya ingin merosot ke tanah selama ini. Harry tidak menyangka Draco... bisa menerima pernyataan Harry. Dan membalasnya. Harry menjilat bibir bawahnya, dan ada gula di sana—gula imajinasi. Right, otaknya mulai tidak beres, dan ini terjadi hanya karena Draco membalas perasaannya.

Betapa lebaynya Harry sekarang setelah beberapa hari bersama Draco. Ia merasa seperti gadis baru puber di sekolah junior, baru merasakan cinta, sambil memegangi pipinya dan hati deg-degan. Batin Harry mual seketika—apa batin bisa mual?

"Tapi, Draco," biarpun ia merasa ingin menjadi cairan saja saking bahagianya, Harry masih penasaran dengan celah di perkataan Draco. "Siapa yang kau jadikan.. pacar palsu untuk kau tunjukkan pada orangtuamu?"

Sebuah senyuman yang setengah menyeringai mengembang di bibir Draco. "Tidak ada. Belum, pastinya," katanya, dan Harry menaikkan sebelah alis. "Aku minta tambahan waktu."

"Tambahan waktu? Untuk apa?" tanya Harry. Draco bisa dengan mudah mencari orang yang mau berpura-pura menjadi pacarnya, 'kan?

"Untuk tidak membawa pacar palsu dan membawa pacar yang asli, tulus, dan nyata," jawab Draco, dan ada sesuatu di cara memandang Draco yang membuat Harry bergidik. "Dan aku telah menemukan calonnya."

Sebelum Harry sempat mengatakan sesuatu dengan pipinya yang semerah tomat dan sepanas rebusan air, Draco sudah mengunci mulutnya dengan bibir yang biasanya mengecup kening, pipi, atau puncak kepalanya. Draco memang pernah menciumnya di bibir, tapi rasanya kali ini nyaris membuatnya pingsan karena terlalu panas, terlalu menghanyutkan, sangat memabukkan... adiktif...

Draco mengakhiri ciumannya yang tidak terdeskripsikan, lalu menatap Harry dengan seringai yang tulus tapi penuh rencana.

"Menyukai ciumanku, Harry?" tanya Draco, nada suara di baritonnya penuh kemenangan. Harry butuh sentuhan lagi dari Draco. Entah hanya kontak fisik atau ciuman—apapun. Dan Draco tampak mengetahuinya. "Kalau kau ingin kucium lagi, penuhi syarat yang kukatakan."

"Apa?" tanya Harry, dan ia berpegangan pada kerah pakaian Draco, takutnya ia kehilangan kesadaran dan tercebur ke air mancur di belakangnya.

"Katakan bahwa kau mencintaiku."

Harry mengerang. Dasar pirang bodoh. Mengaku keturunan aristokrat kok bebal, sih? "Kau menyebalkan, Draco," kata Harry, dan menarik kerah pemuda yang tadi menjauh kembali mendekat, lalu berbisik, "Aku mencintaimu."

Dan untuk pertama kalinya, Harry-lah orang yang memulai ciumannya dengan Draco Malfoy yang besar kepala, pintar bicara, congkak, tapi tetap saja memiliki hati Harry sepenuhnya. Benar kata orangtua-orangtua itu; cinta memang buta. Mereka bertemu di depan pintu kafé, dan Harry marah sekali padanya di pertemuan pertama itu. Tapi pada akhirnya—saat ini, mereka malah berbagi ciuman, berbagi perasaan, tulus masing-masing, di pinggir air mancur yang untungnya, sepi sekali.

"Dan aku mencintaimu juga," kata Draco, ketika ciuman mereka berhenti, dan mendorong Harry sehingga tubuhnya tertarik gravitasi, dan berakhir tercebur di fountain yang ada di belakangnya. Draco ikut menceburkan diri di dekatnya, lalu meraih pinggang Harry untuk dipeluk. Harry baru saja akan menarik nafas karena sempat tenggelam, tapi mulut Draco sudah kembali menyambung, menciumnya sampai bibirnya terasa sakit, kacamata menekan hidungnya, dan gigi mereka bertabrakan.

Rasanya seperti ada orang yang menaruh gula-gula di mulutnya, karena mulutnya penuh dengan air, manis, dan lidah Draco yang panas dan pandangan Harry menggelap sesaat, ia buta untuk beberapa detik, karena hatinya seakan ingin meledak akan indahnya cinta di kelima indranya. Harry meraih wajah Draco, dan kembali membalas luapan perasaannya melalui ciuman mereka.

Awal yang pahit, terasa semanis madu di akhirnya. Draco Malfoy bukan hanya arogan dan menyebalkan, tapi pemuda yang berhasil membangun sebuah jembatan menuju hati Harry.

.

.~.

~ Enchanted: END ~

.~.

.

Hana's Footnote::

Yep, tamat. GIMANA PENDAPAT KALIAN, PEMBACA? Memuaskan? Kurang nendang? Gajebo? PENGEN LAGIII? *ditendang karena kepslok yang keinjek* Hana bener2 ngucapin jutaan makasih pada siapapun yang bersedia ngikutin fic ini sampai akhir! *tarik ingus* Hana gak tau harus ngapain kalau gak ada reviewer. *nangis di mobil mercedes Draco* :,) oke, review kalian sangat ditunggu karena review kalian itu berharga banget!

Btw, Hana pengen buat epilog ato side-story buat Enchanted ini... siapa yang setuju? Kalau ada banyak, mau Hana publish. :3

Special Thankies to: Vangelaire (yang jadi half-beta sampai E2), Zaidarjunior (thanks a lot, kakak!), Shizuharakuro89 (makasih banyak, Shizu-san!), Lalicra (makasih buat waktunya negbaca, kak, moga ga keliyengan lagi -?-), Jus reader (thanks!), keira pompong (kakak trisam tercinta), Miss Soy Bar (thankies!), Goey Green/Miss Dawn (makasih, Uci! Maaf aku ga bisa sms. Hape aku rusaaak) I Am (salam kenal juga!), dedalu (makasih banyak!), xharry-malfoyx (thanks again!), ChaaChulie247 (makasih, kak!), Tidus arrain gizamaluke grotto (makasih banyak! Namanya panjang kali, Dus *digetok*), .lover (makasih kak!), Artemisaish (moga fic-nya pantes di fave list kakak yaaah), Aishire (thanks!), monyetgelantungan (makaseeehhh! *ikut gelantungan*), bela (moga ngehibur ya kak hehe), Hikaru no Haru (makasih banyak kak! Hana ga tau style Hana berubah, hehe), Magenta gillian (thanks a bunch!), Cie Maknae AdmrHyukkie (thanks, Hyukkie-san), iztha dark neko (moga ga penasaran lagi yaaah), Kishu Mars (makasih segunung!), anon (thanks!), ELLE HANA (yey, Hana-nya ada dua! Makasih!), meiliane erctaza (moga ngehibur yaaah), Arshley (makasih banyak kak!), Za666 (makasih banget kak!), artandbomb (makasih! Jadi inget Deidara -?-), lupa psswd (wawh thanks! Kesini lagi yaah hehehe), CCloveRuki (makasih kak!), mireira (*ciumcium*), androidnya draco (makasih! Mau juga dong jadi android-nya Draco -?-), peppermint (thanksalot!), Cloudhy (makasih kakak!), crossalf (makasih banget kak Alf! Hana terharuuu!), linaaput (makasih banyak!), Kaito Mine (thanks, kakak cantik! Hehe), anonim (makasih juga!), eff-the-drarry-shipper (*tebar cium* makasih ya kakakkuh!), Adartinedrarry (makasih! Ntar Hana review yah), Phantomhive Black Lupin (sabar, Muth! Makasih yah mau tetep kemari~), Nee-kun (makasih Nee! Kangen banget!)

Hana ga bisa jelasin makasih Hana pake kalimat, yang penting keberadaan kalian berharga banget! Biarpun mata pedih, Hana tetep seneng! Untuk silent reader juga, makasih kalo emang kalian baca ini sampe sini. Tapi Hana berharap kalian bisa review login supaya Hana bisa berterima kasih ke kalian TwT #peyukerat maaf yang namanya ga kesebut, ga di-bold ato salah tulis.

Penuh rasa terimakasih,

-Hana.
Finished: 1 June 2012.