Disclaimer : Mashashi Kishimoto
Genre: Romance, Hurt/ Comfort
Pairing : GaaIno Slight: NaruSaku, SasuHina, ShikaTema, KibaHana
Rating : T
Warning: OOC! Abal, Typo(s), MissTypo, And the other
You're Mine, Ino. Always Mine.
.
.
.
Konoha High School, Tokyo, Japan.
12.30 PM
"Kau lihat ini!" ujar Sakura dengan nada dingin sambil melemparkan sebuah majalah ke arah Ino yang menatapnya penuh dengan tanda tanya. Dengan cepat, tangan kurus Ino meraih majalah tersebut dan membolak-balikkan halamannya.
Ino mengerutkan keningnya ketika tidak berhasil menemukan sesuatu hal yang membuat sahabatnya itu bertingkah seperti orang mau mati. "Tidak ada apa-apa."
Alis tipis Sakura langsung naik, menghiasi setengah dahi lebarnya itu. Dengan cepat, tangannya merebut majalah yang tadi ia lempar ke arah Ino, lalu membuka halaman yang ia maksud dan kembali melemparnya ke arah Ino.
"Mereka menciptakan barang baru lagi!" Jerit Sakura dengan suara kecil, mengingat mereka berada di dalam kelas. "Perusahaan menyebalkan itu sudah menerbitkan 3 barang aneh minggu ini dan tidak ada satupun yang kubeli!"
Ino kembali meraih majalah tersebut dan menelusuri halaman yang telah dibuka oleh Sakura. Terlihat gambar jam berwarna hitam yang terlihat biasa saja. Namun dari penjelasan di samping gambar, diketahui kemampuan jam tersebut sangatlah tidak biasa. Jam tersebut dapat berubah fungsi menjadi alat komunikasi dan petunjuk arah. Jam hebat itu dapat menampilkan peta dalam bentuk 3 dimensi untuk mengetahui lokasi orang yang kita tuju.
Ino hanya menatapnya dengan malas karena ia sudah mempunyainya dirumah. Bukan bermaksud untuk sombong. Hanya saja jam antik itu memang dikirim untuknya –bahkan keluarganya- secara cuma-cuma dari perusahaan yang menciptakan jam tersebut. Tunggu dulu. Jangankan jam itu, setiap barang aneh pengeluaran perusaahan tersebut, pasti langsung dikirim ke keluarganya.
Bukan berarti perusahaan tersebut milik keluarga Ino. Hanya saja keluarga pemilik perusaahn tersebut merupakan teman baik ayahnya, Inoichi, yang merupakan salah satu pemilik saham yang dinaungi perusahaan kaya tersebut. Dan entah kenapa mereka selalu saja mengirimkan barang-barang aneh ciptaan mereka secara gratis.
Dua hari yang lalu mereka mengirimkan sebuah headset merangkap pemutar lagu dengan layar touchscreen dan memori beratus Giga Byte. Ino lumayan senang dengan penemuan mereka yang ini, karena kebetulan Ino sangat menyukai musik.
4 hari yang lalu mereka memasangkan sebuah lemari modern dikamarnya. Lemari tersebut dapat mengeluarkan baju yang cocok dengan keinginannya atau kemauannya hanya dengan menempelkan telapak tangannya di layar deteksi mereka. Layar tersebut berguna untuk membaca pikiran dan mencocokan dengan baju yang pantas kita pakai.
Masih banyak alat mengerikan yang dikirimi perusahaan tersebut kerumah Ino dan Ino tidak akan pernah mau menghabiskan waktunya hanya untuk menyebutkan barang tersebut satu persatu.
"Ino!" Panggil Sakura dengan suara agak kencang, membuat Ino membuyarkan lamunannya. "Apa?"
Sakura mendecak kesal. "Kau sudah dikirimi barang itu, kan? Kalau kau tidak suka, bisakah untukku? Sayang sekali kalau tidak kau gunakan." Ucap Sakura yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai permintaan.
Ino mengangkat bahunya sedikit. Ia memang tidak suka menggunakan barang-barang aneh seperti itu. "Nanti kubawa untukmu. Aku saja malas melihatnya." Ungkap Ino jujur.
Seketika Ino mendapat pelukan erat dari friendenemy-nya ini. "Ino! Aku mencintaimu! Kau memang baik!" Jerit Sakura dengan bangga. Pundak Ino sedikit diguncang-guncangkan Sakura saking senangnya.
Ino hanya menyengir mendengarnya. "Memang."
.
.
Gaara's House. Tokyo, Japan.
06.45 PM
Gaara menatap ke arah depan dengan horror. Iris jade kelam miliknya tak pernah ia alihkan dari orang tuanya yang ikut menatapnya dengan tajam. Namun tak lama akhirnya Gaara mendengus kesal sembari menatap orang tuanya dengan putus asa.
"Tou-san, ini tidak benar, kan?"
Tou-sannya hanya menatapnya diam. Tidak terlihat sedikitpun niat untuk menjawab pertanyaan Gaara. Gaara mengalihkan pandangannya ke arah Kaa-sannya yang masih tersenyum ramah ke arahnya. Namun tak salah lagi kalau kaa-sannya juga memojokkan dirinya. Terlihat sekali dari sorot mata wanita paruh baya itu.
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan Kankurou?" ucap Gaara dengan nada putus asa. Ia memang tidak pernah memanggil kakaknya itu dengan embel-embel 'nii' atau apalah itu.
"Kankurou sudah tidak mungkin." Jawab Tou-sannya dengan suara berat. Gaara hanya menatap ayahnya dengan tatapan memelas. Kankurou memang lebih suka menekuni bidangnya yang membuat boneka-boneka berbentuk manusia untuk berperang. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana nasib perusahaan bila diberikan kepada lelaki keras kepala itu.
Kaa-san ikut menimpali, "Gaara… Kau memiliki kemampuan untuk mengurus perusahaan ayahmu. Ayahmu sudah mulai masuk usia senja, jadi setidaknya kau bisa menggantikan ayahmu."
Gaara memijat keningnya yang terasa pening. Ia memang tertarik dengan perusahaan ayahnnya yang sangat besar dan kaya. Terlalu besar, malah. Perusahaan ayahnya itu sudah menguasai 45% dari saham-saham besar didunia. Perusahaan ini mencakup banyak bidang. Dari teknologi, medis, intelligent, bahkan sampai perhotel-anpun ada. Sudah beberapa ide barang-barang ajaib yang dipublish di perusahaan Sabaku Corp itu adalah barang buatannya. Dan ia sangat senang akan hal itu.
Namun untuk menjadi pemilik perusahaan ayahnya yang keterlaluan besar itu tidak pernah ada dipikirannya sedikitpun. Apalagi diusianya yang bahkan baru saja menginjak umur 20 tahun. Apa sih yang dipikirkan orang tuanya ini?
"Gaara…" desak kaa-san. "Ayolah. Pikirkan juga orang tuamu ini…"
Gaara menghela nafas berat. Dia pasti sudah gila. "Baiklah." Ujarnya pada akhirnya yang segera di sambut oleh senyuman sumigrah Tou-sannya dan pelukan hangat dari kaa-sannya.
"Gaara, pelantikanmu memang terlaksana 6 bulan lagi, setelah kau menyelesaikan kuliahmu semester ini. Jadi latihlah dirimu dan biasakan dirimu di kantor Tou-san dan pelajari berkas-berkas yang ada." Jelas Tou-sannya yang hanya ditanggapi dengan anggukan kecil dari Gaara.
"Ah! Satu lagi!" Jeri Kaa-sannya yang membuat Gaara mengeritkan dahinya, heran.
"Kau akan dijodohkan dengan anak sahabat ayahmu. Kalian akan bertunangan minggu depan, dan menikah sebelum pelantikan."
"APA?"
.
.
Ino's House. Tokyo, Japan.
07.00 PM
"APA?"
Ino menatap kedua orang tuanya dengan tidak percaya. Ia memang sudah menduga hal mengerikan ini akan terjadi bila melihat persahabatan ayahnya dengan pemilik perusahaan itu yang terlalu dekat. Ino pernah membaca slogan yang entah ia baca dimana, "Bila sepasang rekan bisnis bersatu, perjodohanpun terjadi." Jadi ia yakin pada akhirnya ia akan dijodohkan dengan anak perusahaan laknat itu.
Tapi tidak untuk sekarang ini!
"Tou-san! Aku bahkan belum ujian kelulusan!" teriak Ino frustasi, seakan kehidupannya baru saja direngut paksa oleh seseorang. Namun memang itulah kenyataanya.
Tou-sannya hanya menggeleng-geleng melihat tingkah laku anak gadisnya yang merengek dilantai dengan menyedihkan. Sebenarnya ia juga tidak ingin memaksa gadis kecilnya itu untuk menjalin hubungan dengan lelaki yang bahkan belum pernah ditemuinya. Namun entah kenapa, ia merasa bahwa gadis itu akan baik-baik saja bersama anak rekan kerjanya itu. Naluri ayah, mungkin?
"Kaa-san… Aku belum siap…" ucap Ino lirih sembari berlutut didepan Kaa-san.
Namun Ibunya hanya tersenyum lembut dan mengelus kepala Ino dengan penuh kasih. Ia mengecup puncak kepala Ino dengan singka. "Kau akan bahagia bersamanya, kok. Kaa-san jamin itu."
Ino mengangkat kepalanya ke atas untuk menatap wajah Ibunya, memastikan kalau wanita separu baya yang sedang mengelus kepalanya ini memang orang yang melahirkannya. Dan memang itu Ibunya.
Tapi kenapa Ibunya tega menjerumuskan dirinya di perjodohan yang menjijikan ini? Memikirkannya saja sudah membuatnya mual-mual.
"Sudahlah, terima saja, Ino. Kalau ia tidak membuatmu bahagia, kau boleh meninggalkannya." Ujar Ayahnya enteng membuat Ino mengerucutkan bibirnya jengkel.
Ino akhirnya menghela nafas berat. "Tou-san dan Kaa-san harus bersyukur. Kalau anak kalian bukan aku, mungkin mereka akan menolak mentah-mentah perjodohan ini dan kabur meninggalkan Tous-san dan Kaa-san." Ucap Ino dengan sinis, namun disambut dengan senyuman gembira dari orang tuanya.
"Jadi kau setuju?" tanya Kaa-san hati-hati, namun tetap memancarkan kebahagiaan disetiap kata yang diucapkannya.
Ino mengangguk kecil. Ia pasti sudah gila karena telah menyetujui perjodohan menggelikan ini.
Ibunya tersenyum dan memeluk Ino dengan erat lalu mencium dahi anak gadisnya ini dengan bangga. Lalu beberapa lama kemudian ia melepaskan pelukannya itu dan menyerahkan selembar kertas.
"Ini biodata calon tunanganmu. Kaa-san sengaja tidak mengambil fotonya agar kau terpesonanya nanti saja saat kalian bertemu." Ujar Kaa-san dengan sedikit menggoda. Ino mengembungkan pipinya.
"Ah, Ino." Panggil Tou-san, membuat Ino dan Kaa-sannya menoleh ke arahnya dengan bersamaan.
"Pertunanganmu akan diadakan minggu depan."
Rasanya Ino mau mati.
.
.
's Café, Sabaku's Mall Center. Tokyo, Japan.
11.00 AM
Ino menyirup Choco Forest miliknya dengan wajah menyedihkan. Terlihat dengan jelas lingkaran hitam yang mengelilingi matanya yang membuat semua orang yang melihatnya tahu kalau ia bergadang semalaman.
"Baru pertama kali aku bersyukur didalam hidupku. Untung saja aku bukan kau. Karena tidak peduli orang itu kaya atau tidak, aku pasti akan kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan itu, Ino. Perjodohan tidak ada yang menyenangkan, kau tahu."
Ino menidurkan kepalanya di atas meja bundar kecil yang berada dihadapannya. "Aku tahu, Forehead. Tapi aku tidak bisa menolak pinta orang tuaku. Aku sangat menyayangi mereka." Ucap Ino frustasi.
Sakura hanya menggelengkan kepalanya, ikut merasakan bagaimana merananya Ino semalam tadi.
"Tapi kau tidak terlalu rugi, kok. Setahuku wajah anak lelaki dari pemilik perusahaan tersebut tampan sekali. Kulitnya putih susu, dan mata bermanik hijau miliknya yang tajam itu dapat membuat gadis langsung terpikat. Mungkin saja kau langsung jatuh cinta padanya, Ino." Hibur Sakura sekenanya. Ia memang tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Ino mengerjapkan matanya lalu menghela nafas berat lagi. Ia tegakkan tubuhnya yang terasa kaku itu dan memaksakan diri untuk berdiri.
"Lebih baik aku ke toko CD." Putus Ino. Setidaknya ia ingin mendinginkan kepalanya dengan mendengar lagu baru atau menonton film baru dan menghilangkan hal tentang perjodohan biadab itu sejenak.
Sakura ikut bangkit berdiri. Namun tangan Ino yang terangkat untuk menahannya membuatnya kembali duduk. "Aku sendiri saja. Kau," Ino mengalihkan pandangannya ke arah Sakura. "pergi saja ke toko buku. Itu awal rencanamu untuk kesini, kan?"
.
.
Gaara menatap ke sekeliling mall ini dengan tatapan tak percaya yang berhasil ditutupi dengan wajah dinginnya. Ya, tidak percaya bahwa salah satu mall besar milik ayahnya ini akan berada didalam pengawasannya 6 bulan lagi. Ia juga tidak percaya bahwa ia akan melakukan tugas-tugas merepotkan yang hanya akan menumpukan lebih banyak uang di Bank dan membiarkannya membusuk disana.
Gaara memasang headset touchscreen itu ke telinganya. Tangannya sedikit memegang headset sebelah kanan dan membiarkan tangannya sedikit menggesek di sana untuk menyalakan lagu. Setelah lagu sudah mengalir, iapun memasukan tangannya ke saku jaket hitam miliknya lalu kembali melangkah tanpa arah.
Headset yang sedang ia kenakan ini memang merupakan salah satu barang gila ciptaannya. Ia berusaha merancang headset ini selama 2 bulan dan berakhir dengan kesuksesan. Penjualan melonjak tinggi dan membuat perusahaan ayahnya untung besar. Dan sebagai pencipta barang tersebut, Gaarapun mendapatankan uang hasil jerih payahnya itu.
"G-Gaara-nii…"
Gaara menolehkan wajahnya ke arah gadis berambut indigo yang menarik-narik ujung kupluk jaketnya.
"Hmm?" gumam Gaara sambil terus berjalan dengan langkah lebar. Gadis itu berusaha menyamakan langkah kecilnya dengan Gaara, dan itu sangat sulit.
Gadis bernama Hinata itu mengeratkan jaket yang ia kenakan. Hari itu musim gugur, dan hari itu sangat dingin. Ia berusaha berbicara, walau suaranya terdengar bergetar. "A-aku ke lantai 3, y-ya? " tanyanya dengan ragu-ragu."Aku janjian d-dengan teman." Lanjutnya.
Gaara menghentikan langkahnya dan menatap ke arah adik angkatnya itu dengan senyuman kecil. Adik angkatnya ini merupakan anak dari adik ayahnya. Orang tua dan adiknya meninggal saat kecelakaan. Dan ia sangat menyayangi gadis ini seperti adik kandungnya sendiri.
"Hubungi aku kalau kau sudah selesai."
.
.
Gaara mendorong pintu kaca yang berada didepannya, membuatnya dapat masuk ke dalam toko CD tersebut. Kakinya langsung melangkah menuju lemari kecil yang menempel di dinding, tempat album-album berada. Matanya menatap ke arah album-album tersebut, namun otaknya tak focus disana. Didalam benaknya masih terekam jelas pembicaraannya dengan orangtuanya kemarin.
"Kenapa harus menikah segala, Tou-san?Aku bisa mengurusi diriku sendiri!"
Tou-sannya hanya menatap Kaa-san dalam diam, seakan meminta kaa-sannya itu yang menjelaskan.
"Karena kaa-san yakin kau harus membutuhkan seorang perempuan dalam mengurusimu. Dan sebagai pemilik perusahaan Sabaku Corp, memang sudah peraturannya untuk menikah sebelum menduduki bangku pimpinan itu. Kaa-san yakin, kau pasti langsung jatuh cinta padanya pada pandangan pertama." Jelas Kaa-san sembari tersenyum kecil sambil menyodorkan kertas ke arah Gaara.
Gaara mengeritkan dahinya saat melihat selembar kertas berisikan biodata seseorang itu. Namun tidak ada foto yang tertampang disana.
"Kaa-san pikir sebaiknya kau tidak perlu melihat fotonya dulu." Ujar Kaa-sannya masih dengan senyum hangat yang tercetak diwajahnya. "Lebih baik kau terpesona dengan wajahnya saat kalian bertemu nanti saja." Lanjut Kaa-sannya dengan nada sedikit mengoda.
"Tapi apa ini tidak terlalu cepat?" tanya Gaara.
Terlihat Tou-sannya menegakkan tubuhnya. "Cepat atau lambat, pada ujungnya kalian pasti akan tetap dijodohkan. Bila kita bisa melaksanakannya dengan cepat, untuk apa menundanya lagi?"
Gaara kembali mengencangkan volume lagu yang sedang berputar tersebut. Sedangkan tangan kirinya kembali memijat keningnya yang terasa ingin meledak.
Ayah dan Ibunya tidak mengerti. Bukannya ia tidak mau menikah dan berbahagia. Hanya saja ia tidak bisa berdekatan dengan gadis manapun. Sudah banyak gadis yang ia kencani untuk menaklukan kebenciannya terhadap wanita, namun pada akhirnya ia tidak bisa menyentuh gadis itu sama sekali dan mengusirnya.
Entah berapa gadis yang telah melemparkan dirinya untuk Gaara sebagai teman kencannya. Tidak ada satupun gadis yang menolak ajakannya, karena memang pesona Gaara sulit untuk ditolak. Dan Gaara tetap tidak dapat menemukan kenyamanan dari gadis-gadis menyedihkan itu. Hanya Kaa-san, Temari –kakak kandungnya-, dan Hinata –adik angkatnya- yang dapat membuatnya merasa manusiawi. Dan ia tidak mungkin menikahi salah satu dari mereka.
Pikiran Gaara seketika membuyar ketika merasakan sebuah tarikan kecil dari ujung jaketnya. Gaara menunduk untuk melihat siapa yang menarik jaketnya itu dari bawah. Terlihat disana sosok gadis berambut blonde panjang yang sedang berusaha menarik tali sepatunya yang entah kenapa sudah berada dibawah injakan sepatu kets Gaara.
"Maaf, kau menginjak tali sepatuku." Ucap Gadis itu tanpa menolehkan kepalanya sama sekali ke arah Gaara.
Dengan cepat, Gaara mengangkat sepatunya dan bergumam. "Maaf."
Setelah tali sepatunya itu terlepas dari injakan Gaara, gadis itu langsung mengikat tali sepatunya dengan cekatan. Setelah semua rapi, iapun langsung berdiri dihadapan Gaara yang masih terus menatapnya.
"Terima ka–"
Gadis itu diam terpaku saat menatap wajah Gaara, begitupun juga Gaara. Entah kenapa Gaara merasa lidahnya kelu. Jantungnya terasa berdentum dengan cepat dan sangat menyakitkan seakan jantung tersebut akan mati sebentar lagi. Darahnya berdesir dengan cepat akibat paru-parunya yang tiba-tiba bekerja dengan ekstra. Ada sesuatu didalam rongga perutnya yang menggelitikinya, seakan beribu kupu-kupu memaksa keluar serentak.
Mereka berdua terus bertatapan tanpa menghiraukan pelanggan lain yang menatap mereka berdua dengan aneh. Mereka sadar apa yang mereka lakukan, namun tidak ada satupun diantara mereka berdua yang berniat untuk melepaskan pandangan mereka masing-masing.
Mata Gaara menatap gadis itu dengan tatapan kagum, dicampur terpesona, dicampur heran. Kagum akan dirinya yang bisa menatap seorang gadis selama ini. Baru pertama kali ia menatap gadis dalam jangka waktu lama. Karena biasanya ia akan mual bila menatap mahkluk spesies itu terlalu lama.
Ia merasa terpesona karena memang gadis itu terlihat sangat mempesona. Wajahnya terlihat sangat dewasa, polos, dan kekanak-kanakan dalam waktu yang bersamaan. Kulit putih salju milik gadis itu membuatnya mati-matian untuk tidak mengelusnya. Sedangkan iris Aquamarine gadis itu terlihat menenangkan.
Ia juga merasa heran. Heran karena sepertinya ia pernah mengenal gadis ini sebelumnya. Bukan. Bukan didunia ini. Tetapi disuatu dimensi lain. Seakan di dimensi itu ia memang terikat dengan gadis didepannya ini dan akhirnya bertemu di bumi setelah lama benang merah itu terputus.
"–sih." Gadis itu melanjutkan kata yang sempat terputus, membuat Gaara akhirnya terbangun dari kegiatan menatap gadis itu.
"Hn." Gumam Gaara dengan singkat. Pikirannya masih belum terfokus setelah menatap gadis ini dalam jangka waktu yang menurutnya hanya sebentar ini.
Entah kenapa Gaara mengutuk dirinya sendiri. Ia tahu apa itu jatuh cinta walau sebenarnya ia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dan ia yakin, ia sudah jatuh cinta kepada gadis itu langsung pada pandangan pertama. Tapi apakah semudah itu jatuh cinta?
Gaara menggelengkan kepalanya kuat, berusaha menyingkirkan pikirannya yang sudah kacau ini hanya karena gadis didepannya. Namun entah kenapa didalam lubuk hatinya ia menyesal mati-matian karena telah menyetujui perjodohan sialan itu. Entah kenapa ia berpikir bahwa ia hanya bahagia bila menikah dengan gadis dihadapannya ini. Walau mereka baru bertemu beberapa detik yang lalu.
Sementara itu,
Ino kembali mengerjap-ngerjapkan pandangannya, kembali menatap lelaki bersurai merah darah tersebut. Matanya terus menelusuri sosok lelaki tampan didepannya itu seakan matanya memang diciptakan hanya untuk menatap lelaki tersebut.
Iris Jade teduh milik lelaki itu terasa sangat nyaman untuknya sekalipun mata itu memancarkan ketajaman melebihi pisau. Kulit putih susu lelaki itu membuat Ino harus menggigit bibir untuk tidak menyentuhnya. Sedangkan wajahnya terlihat sangat kejam dan lembut dalam waktu bersamaan. Headset yang digunakan lelaki itu sama seperti yang dimiliki Ino dirumah, headset dari perusahaan Sabaku Corp. Dan entah kenapa lelaki ini terlihat benar-benar keren saat menggunakannya.
Ino menggeleng kepalanya kuat, berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari lelaki menawan itu. Ia sudah dijodohkan, jadi ia tidak boleh jatuh cinta kepada lelaki ini. Tapi sepertinya semua itu sia-sia. Ia memang sudah jatuh cinta kepada lelaki yang baru ia temui ini detik lalu. Dan ia tidak menyangka bahwa ia telah memecahkan rekor jatuh cinta tercepat yang pernah ia alami seumur hidupnya.
"Gaa-chan!"
Ino sedikit terhentak kaget ketika melihat seorang gadis dewasa dengan kuncir empat yang merangkul –atau mencekik, lebih tepatnya- leher lelaki yang berada didepannya. Dan entah kenapa disaat itu juga, ia merasakan sesuatu yang menusuk jantungnya telak. Ino menggeleng cepat.
Tidak mungkin ia cemburu! Tidak!
"Ayo cari Hina-chan dan pulang! Urusanku sudah selesai, dan aku tidak mau berlama-lama satu gedung dengan lelaki itu." Desis gadis itu kesal sembari menguatkan cekikannya ke arah lelaki berambut darah itu.
Lelaki itu melepaskan melepaskan rangkulan gadis yang lebih tinggi darinya beberapa cm itu dengan kuat. "Temari-nee, kau hampir membunuhku!" keluhnya dengan suara serak.
Gadis itu kakaknya, batin Ino. Dan tanpa sadar ia menghela nafas lega dengan terang-terangan, membuat dua mahluk yang berada dihadapannya ini menatapnya heran.
Ino sedikit mengerutkan dahinya ketika melihat gadis yang bernama Temari ini menatapnya dengan tatapan terkejut. Terlihat dengan jelas ia membulatkan matanya karena terlalu kaget. Namun yang membuat Ino heran, tatapan kaget dari kakak lelaki ini berubah menjadi tatapan menggoda.
"Wah, wah! Benang merah yang terlalu kuat dari kalian menakutkanku." Ucap Temari dengan nada antara mengejek dan menggoda. Sedangkan Ino dan lelaki itu hanya menatapnya dengan kening yang berkerut berkali-lipat.
"Baiklah! Kami pergi dulu." Ujar Temari dengan ramah seakan sudah mengenali Ino sejak dulu. Dan tak lama kemudian ia langsung menyeret Lelaki itu keluar dari toko CD.
Ino terpaku. Wajahnya terasa panas ketika wajah lelaki itu kembali terbayang di benaknya. Tangannya yang memegang beberapa album terasa basah karena keringat. Ino memejamkan matanya sejenak lalu menarik nafas perlahan.
Kalau ia bisa mengulang waktu. Mungkin ia akan menolak mentah-mentah perjodohan kemarin. Dan ini semua hanya karena lelaki itu. Lelaki mengerikan.
.
.
Saga's Book store, Sabaku's Mall Center. Tokyo, Japan.
01.00 PM
Sakura menenteng 10 komik yang akan dibelinya itu dengan susah payah. Matanya terus mencari tas kecil yang biasanya di sediakan toko buku untuk memudahkan pelanggan membawa buku-buku yang ingin dibeli.
Namun tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan ketika tubuhnya ditabrak dengan kasar oleh seseorang lelaki berambut blonde jabrik yang juga membawa komik bejibun ditangannya.
"Uhh.." ringis Sakura sembari mengelus pantatnya yang perih akibat terhempas kelantai dengan tidak berperi kemanusiaan. Semua komik yang tadi berada ditangannya sudah berserakan di lantai bersama komik-komik lelaki itu.
Lelaki itu menggaruk tengkuknya dengan cengiran rasa bersalah. "Maaf, ya…"
Sakura mendengus kesal lalu segera berlutut untuk mengambil komik-komiknya. Lelaki itu juga dengan cekatan mengambil semua komik miliknya. Namun tak lama kemudian Sakura sedikit tertegun ketika melihat komik-komik yang berserakan dilantai tersebut. Entah hanya perasaannya atau memang kenyataan.
Kenapa komik yang lelaki ini beli SAMA SEMUA dengan komik yang Sakura beli?
Tangan lelaki itu yang terulur untuk mengambil komiknya terhenti sejenak dan menatap Sakura dengan tatapan tidak percaya. Mungkin ia juga baru saja menyadari tentang komik-komik mereka.
Sakura mendehem pelan. "Ambil punyamu. Biar aku mengambil sisanya." Ucap Sakura sembari menatap lelaki tersebut dan dibalas anggukan kecil dari lelaki tersebut.
Sakura menatap lelaki yang sedang mengambil komik-komiknya. Entah kenapa Sakura baru menyadari bahwa wajah lelaki maskulin didepannya ini cukup tampan. Kulit tan lelaki tersebut terlihat sangat halus dimata Sakura. Bahunya yang bidang dan tubuhnya yang tegap membuat Sakura terpana.
Sakura menarik nafas dengan susah payah, berusaha menenangkan jantungnya yang mulai bergemuruh. Wajahnya terasa panas dan kakinya yang masih dalam posisi berlutut seperti mati rasa. Sakura masih terus menatap lelaki tersebut ketika melihat lelaki itu tiba-tiba mendongkakan kepalanya dan membuat mata mereka bertemu.
Ah, jangan lupa dengan iris Sapphire itu! Manik biru jernih itu sangat menyejukkan hati Sakura saat melihatnya.
Lelaki itu tersenyum kecil dengan tatapan heran. Mungkin ia heran karena pandangan Sakura yang tiak pernah lepas darinya.
Sakura menggigit bibirnya keras-keras, menahan diri untuk tidak membuka mulutnya dan bertanya biodata lengkap lelaki tersebut. Entah kenapa tiba-tiba ia sangat ingin mengenal lelaki yang baru saja menabraknya itu.
"Namamu Sakura, ya?"
Seketika tubuh Sakura menegang saat suara lelaki itu terdengar. Sakura hampir saja menjerit senang ketika lelaki itu membuka pembicaraan. Ia bersumpah bahwa ia tidak akan pernah melupakan suara lelaki ini. Suaranya terdengar sangat merdu ditelinganya.
Namun tiba-tiba kening Sakura berkerut ketika mengingat pertanyaan lelaki tersebut. "Tahu darimana namaku Sakura?"
Lelaki itu terkekeh pelan, membuat Sakura hampir meleleh.
"Rambutmu. Rambutmu sama seperti kelopak bunga Sakura. Lembut, halus, dan menentramkan hati." Ucap Lelaki itu sembari bangkit berdiri, mengangkat semua komik-komik miliknya.
Lelaki itu kembali menggaruk kepalanya yang Sakura yakin sebenarnya tidak gatal. Matanya menatap Sakura dengan lembut. "Kurasa kita berjodoh. Jadi sejauh apapun aku pergi, pasti kita akan bertemu lagi."
Sakura membelakkan matanya. Berjodoh? Dia? Bersama lelaki ini? Dia pakai rumus apa sampai PD sekali mengatakan bahwa mereka jodoh?
"Kau gila." Ucap Sakura singkat. Namun entah didalam hatinya ia ingin sekali hal yang dikatakan pria itu benar. Bahwa mereka errr… berjodoh.
Lelaki itu kembali tertawa ringan lalu menundukkan kepalanya, agar dapat melihat lebih dekat Sakura yang masih terduduk dilantai itu. "Baiklah aku pergi dulu. Sampai jumpa,"
Sakura terdiam sejenak ketika melihat lelaki itu sudah jalan membelakanginya. Sakura mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak bertanya nama lelaki yang membuat sakura merasa jatuh cinta kepadanya dalam waktu semenit saja. Ia terlalu gengsi untuk bertanya. Tapi ternyata gengsinya malah menipis.
Sakura bangkit berdiri dengan cepat dan berniat untuk menahan lelaki yang sudah berada 5 meter didepannya.
"Tungg–"
Sakura menghentikan katanya ketika melihat lelaki itu kembali menolehkan kepalanya kebelakang, mengunci langusng tatapan Sakura di manik Sapphirenya.
"Uzumaki Naruto. Mahasiswa Konoha University. Mantan siswa KHS, kalau kau mau tahu." Ujar lelaki itu lalu kembali memutar badannya lagi meninggalkan Sakura yang berdiri terpaku.
Sakura tersenyum kecil sebelum akhirnya ia membalas kalimat perkenalan lelaki itu.
"Aku tidak pernah mau tahu namamu, bodoh."
.
.
Starbuck Café, Sabaku's Mall Center. Tokyo, Japan.
01.30 PM
Hinata duduk dengan gelisah dikursinya. Tangannya yang berpangku di kedua pahanya terlihat sangat gemetar. Iris bening miliknya tidak dapat menolak tatapan tajam dari lelaki dengan Onyx mengerikan yang dimilik lelaki itu.
"Hina… kalau kau tidak bicara juga, aku akan pergi."
Hinata membulatkan matanya saat mendengar suara lelaki itu yang akhirnya terdengar semenjak mereka berada disini setengah jam yang lalu.
Hinata menarik nafas dengan susah payah. Berbicara hal yang sejujurnya kepada lelaki yang ia sayangi setengah mati itu sangat sulit. Ia yakin bila ia mengatakan hal ini, sudah pasti pertemuan ini merupakan hal yang terakhir untuk mereka. Namun bila Hinata tidak mengatakannya sekarang, ia tidak yakin bahwa ia kuat menyembunyikan rahasia besar itu sendirian.
"A-aku…"
Hinata berusaha menatap lelaki tersebut dengan tatapan berani, namun tidak berhasil. Yang ada hanyalah ia semakin takut untuk berbicara hal ini kepada lelaki yang menyandang status sebagai kekasihnya sekaligus agen intellegensi Sabaku Corporation ini.
"Hina… Kau tahu aku tak suka menunggu."
Hinata menelan ludahnya. Lelaki itu memang tidak pernah suka menunggu, tetapi bila untuknya, lelaki itu akan setia menunggu. Hanya ancaman saja yang akan keluar dari lelaki itu. Tapi pada akhirnya lelaki itu akan menunggu berapa haripun untuknya.
Kata-kata lelaki ini malah membuatnya mengingat kalau lelaki ini mencintainya, dan begitupun sebaliknya. Dan membuatnya semakin berat untuk mengatakan hal itu.
"Hina–"
"Kita putus." potong Hinata cepat.
Sasuke membelakkan matanya, terkejut. Namun dengan cepat, ia menarik nafas banyak lalu kembali menatap Hinata tajam. Ia tidak pernah menyangka bahwa gadis yang cintai itu tiba-tiba memutuskannya.
"Beri aku penjelasan," Ucap Sasuke dengan suara serak, namun ia tetap berusaha terlihat tenang. "Alasan yang masuk akal." Lanjutnya dengan penekanan dikata terakhir.
Hinata menggigit bibirnya kuat-kuat. Jantungnya terasa berdetak sangat cepat, membuatnya kesulitan mengambil nafas. Pikirannya berputar-putar, berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskannya.
"Aku hanya…" Hinata kembali menarik nafas. "… hanya tidak bisa…"
"Apa?" tanya Sasuke sengit.
Hinata menahan liquid bening yang hampir mengalir dari iris beningnya. "…tidak bisa menjalin hubungan bersama lelaki yang membunuh keluargaku." jelas Hinata dengan sangat cepat.
Sasuke meremas telapak tangannya ketika mendengar alasan Hinata. Entah kenapa ia merasa sesuatu menghantamnya. Menghantamnya tepat di hatinya.
Sasuke mengubah tatapannya menjadi sendu. "Kau…"
"Ya," balas Hinata. "Aku melihat semuanya dari CCTV Sabaku Corp." Hinata menarik nafasnya berat, lalu mengengadahkan kepalanya, membalas tatapan putus asa dari Sasuke.
"Berbulan-bulan aku menyelidiki kematian kedua orang tuaku dan adikku. Dan aku baru mengetahui bahwa semua CCTV yang tersebar di jalan-jalan dinegara ini semuanya dibawah kendali Sabaku Corp dan dibawahi Presiden. Atas ijin ayah dan presiden, aku meminta rekaman CCTV pada hari kecelakaan itu,"
Hinata menghentikan penjelasannya sejenak. Nafasnya mulai terputus-putus akibat tersedak tangisannya sendiri. Mengingat jalannya alur cerita kecelakaan orang tuanya itu membuat dadanya sesak.
"Aku melihatnya sangat jelas, Sasu." Suara serak Hinata kembali terdengar. "Aku melihat di CCTV saaat truk besar milik S-sabaku Corp yang kau bawa menabrak m-mobil ayahku sampai terguling. K-kau keluar dari truk hanya sebentar, l-lalu kembali masuk ke dalam trukmu itu, meninggalkan mobil A-ayahku yang akhirnya meledak itu."
Sasuke terdiam sejenak. Ia memang ingat sekali kejadian itu. Saat itu ia sedang membawa truk berisikan uang yang sangat banyak yang saat itu dilarikan perampok NE dari Bank Sabaku. Ia menyelamatkan uang itu dari Ne dan membawanya kembali ke bank. Karena terlalu ngebut, akhirnya ia menabrak mobil everest di persimpangan jalan. Karena ia merasa pekerjaannya lebih penting, iapun meninggalkan mobil tersebut dalam keadaan menggenaskan. Ia tidak menyangka kalau itu adalah mobil keluarga kekasihnya setelah ia datang ke pemakaman beberapa hari setelahnya.
"Hinata…" panggil Sasuke dengan suara tercekat. "maaf."
Dan saat itu juga, Sasuke mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia hanya mengatakan satu kata seperti itu setelah mengambil nyawa tiga orang yang sangat disayangi Hinata?
Hinata mengulurkan tangannya yang bergetar ke arah tangan Sasuke yang masih terkepal di atas meja. Ia rasakan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya ketika ia menyentuh kulit dingin milik lelaki tersebut.
"Aku sudah memaafkanmu…" Hinata menarik nafas kembali. "Tetapi kita tetap berakhir, Sasu."
.
.
Parking Area, Aragawa's Restourant. Tokyo, Japan.
07.45 PM
Ino menghela nafas berat sembari menyandarkan dirinya dengan kasar di bangku mobil. Ia baru saja selesai memakirkan mobil Terios miliknya di sebuah restoran mewah yang berada di Jepang. Malam ini ia akan dipertemukan dengan lelaki yang akan bertunangan dengannya minggu depan. Seharusnya ia berangkat ke tempat ini bersama orang tuanya, namun ia berhasil memaksa orang tuanya untuk berangkat duluan, karena ia ingin sendirian.
Ino sedikit memijat keningnya. Entah kenapa sejak siang tadi, benaknya terisi dengan lelaki berambut merah darah yang baru ia temui tadi di tempat CD. Ino sudah berusaha melakukan hal apapun setidaknya untuk menyingkirkan lelaki itu dari benaknya sebentar saja. Dan ia tidak pernah berhasil.
Ino melepaskan seatbelt-nya dan membuka pintu mobil setelah mencabut kunci mobil dari tempatnya. Setelah ia berhasil keluar dari sana, ia sedikit menepuk-nepuk dress ungu miliknya lalu memencet tombol untuk mengunci pintu mobil.
"Aku berubah pikiran. AKu tidak mau dijodohkan dengan gadis bernama Ino Yamanaka itu."
Seketika Ino membekukan dirinya yang hampir melangkah pergi dari parkiran itu ketika mendengar suara tersebut. Suara tersebut terdengar dari seberang mobil yang parker di sisi mobil Ino.
"Kau gila? Kalau kau tidak mau, seharusnya kau mengatakannya kemarin, bodoh!" Balas suara lain yang Ino yakini sebagai suara perempuan. Entah kenapa, Ino merasa ia pernah mendengar suara perempuan ini. Ingin sekali Ino melihatnya, namun kakinya tidak dapat bergerak sekarang.
"Kurasa aku tidak akan bahagia bersamanya. Lagipula aku menyukai gadis lain." Suara lelaki itu kembali terdengar. Ino menelan ludahnya dengan susah payah. Jangan bila suara lelaki ini, suara lelaki yang ingin dijodohkan dengannya?
"Jangan bilang kau menyukai–"
"Ya. Yang tadi siang. Tidak perlu dibahas." Potong suara lelaki tersebut dengan cepat. "Pokoknya aku akan menemukan gadis itu. Kalau perlu, aku akan mencarinya dengan seluruh bodyguard ayah dan anggota intel Sabaku Corp. Bila aku sudah menemukannya, aku akan segera menikahinya." Lanjut Lelaki tersebut.
Terdengar suara geli dari perempuan itu. "Terserah kau sajalah. Tapi apa yang akan kau lakukan dengan Yamanaka? Ia sudah menyetujui perjodohan ini, kan?"
Terdengar desahan nafas berat. " Aku akan berusaha membuatnya membenciku dan membatalkan pertunangan ini."
Ino menringis kesal ketika mendengar suara lelaki itu. Ia yakin sekali kalau lelaki yang berbicara itu adalah Anak perusahaan Sabaku Corp yang dijodohkan dengannya.
Dengan hati kesal, iapun berjalan meninggalkan tempatnya berdiri sebelumnya. Ia terlalu malas untuk melihat ke arah lelaki tersebut dan mendengar kelanjutan pembicaraan itu. Ia sudah jengkel duluan bila mengingat perkataan lelaki tersebut.
Membuat Ino benci kepada lelaki itu, dan membiarkan Ino membatalkan tunangan mereka? Cih, dasar lelaki menyebalkan. Baiklah kalau begitu. Ia akan benar-benar membenci lelaki sialan itu seperti keinginannya. Lelaki itu pikir hanya ada satu pria di dunia ini, sehingga ia tidak bisa membencinya?
Salah besar! Karena masih ada lelaki tampan berambut darah itu di dunia ini. Lelaki tampan dan misterius yang sepertinya lebih sempurna berkali-kali lipat daripada lelaki sombong itu. Lihat saja nanti.
.
.
Aragawa's Restourant. Tokyo, Japan.
08.00 PM
Ino duduk terdiam dikursinya. Matanya tak pernah ia lepaskan dari sepasang suami istri yang duduk di seberangnya. Detak jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Ia memang baru pertama kali bertemu langsung dengan sosok pemilik hampir setengah dunia ini. Sepasang suami istri Sabaku.
Lelaki separuh baya yang Ino yakini sebagai Tuan Sabaku itu terlihat sangat tampan namun agak menakutkan. Matanya sangat tajam dan rahangnya tegas. Bahunya bidang dan kekar. Sosok yang terlihat sangat berwibawa degan tatapan yang menyeramkan. Namun yang membuat Ino sedikit melongo adalah warna rambutnya. Merah darah! Warna rambut yang sangat persis dengan rambut lelaki di toko CD itu.
Wanita disebelahnya terlihat ramah. Ia selalu tersenyum dan wajahnya sangat muda. Mungkin bagi orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira bahwa wanita itu belum bersuami. Surainya berwarna pirang keemasan yang terlihat sangat indah ketika terkena sinar. Dan irisnya, berwarna hijau permata seperti Jade.
Tunggu dulu! Entah kenapa Ino merasa ada sesuatu yang aneh. Kedua orang ini bila digabungkan, rambut merahnya, iris Jadenya dan tatapan tajam, bahu yang bidang dan kekar, akan menjadi Lelaki di toko CD itu!
Jangan bilang ia akan dijodohkan oleh lelaki yang disukainya pada pandangan pertama itu? Ah, Lucky! Tapi kalau itu benar-benar lelaki yang ditemuinya tadi, berarti…
" Aku akan berusaha membuatnya membenciku dan membatalkan pertunangan ini."
Ino menggeleng kuat. Tidak! Jangan! Kumohon, jangan lelaki berambut darah itu! Jerit Ino didalam hati.
"Gaara, kau sudah datang!"
Ino mengangkat kepalanya yang menunduk itu. Aquamarine miliknya langsung menangkap sosok lelaki tampan berambut merah darah yang sudah berdiri di seberangnya bersama seorang gadis yang lebih dewasa dengan kuncir empatnya. Mata jade miliknya menatap Ino dengan membelak.
Lelaki itu benar-benar lelaki yang berada di toko CD.
Lelaki itu mulai duduk di hadapan Ino. Iris Jadenya terus menatap Ino tajam seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sedangkan Ino yang merasa risih hanya dapat tersenyum kaku.
Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Ino, "Gaara."
Dengan cepat tangan Ino membalas uluran tangan Gaara. "Ino."
Suara Gaara tadi tidak serak seperti di Toko CD itu, namun wajahnya benar-benar sama persis dengan lelaki itu. Sayangnya, suara ini sama dengan suara lelaki yang tadi berniat untuk membatalkan perjodohan mereka.
Ino menarik nafasnya dengan susah payah. Kalau Tuhan ijinkan, ia ingin ditelan bumi. Sekarang juga..
.
.
Gaara masih terus menatap Ino yang duduk di hadapannya. Entah kenapa lidahnya terasa kelu dan jantungnya berdentum dengan kecepatan tinggi. Ino sama persis dengan gadis yang ia temui di toko CD tadi. Tidak, bukan sama persis, melainkan orang yang sama.
Ia tidak pernah menyangka kalau mereka akan dipertemukan lagi dalam jangka waktu yang sangat cepat. Bahkan mereka sudah dipastikan akan hidup berdampingan selama-lamanya. Gaara merutuki dirinya sendiri, bagaimana mungkin tadi ia dengan bodohnya berniat untuk membuat Ino membencinya hanya untuk gadis yang ia cintai yang merupakan Ino juga?
Gaara terus menatap Ino yang mulai bertingkah aneh. Gaara yakin, gadis itu pasti merasakan kebetulan yang merngerikan ini yang membuat mereka berdua kembali bertemu. Namun entah kenapa gelagat Ino semakin aneh. Daritadi gadis itu menatap ke arah orang tua mereka sembari tertawa terpaksa ketika mendengar salah satu dari orang tua mereka melucu dengan jayusnya. Dan tiba-tiba saja gadis itu bengong beberapa menit. Lalu setelah sadar dari acara lamunannya, dia langsung menatap Gaara dengan sinis.
Gaara hanya menaikkan salah satu alisnya ketika melihat tatapan itu dari Ino. Ia tahu bahwa dibalik tatapan sinis Ino, terlihat dengan jelas sekali kalau gadis itu hanya pura-pura. Tapi kenapa?
Entah kenapa setiap tatapan mereka bertemu, hanya sekian detik, Ino langsung memalingkan pandangannya. Hanya saja, Gaara tidak bisa seperti Ino. Sekali saja ia melihat Ino, matanya langsung terkunci rapat untuk melihat yang lain. Yang hanya bisa ia lihat hanyalah gadis itu. Gadis yang berhasil memenuhi pikirannya semenjak tadi siang.
Gaara sedikit terhentak ketika merasakan tepukan di pundaknya dari Temari.
Temari sedikit membungkukkan tubuhnya yang memang sedang berdiri itu, lalu berbisik kecil tepat ditelinga Gaara.
"Kau masih berniat untuk membatalkannya, Gaa-chan?"
.
.
Temari tersenyum puas ketika melihat adik lelakinya itu yang sedang berduaan dengan Ino sekarang. Keluarga mereka memang sengaja pergi meninggalkan mereka berdua agar mereka lebih dekat. Dan Gaara pasti akan menarik kata-katanya tadi di parkiran. Temari yakin akan hal itu.
Sebelumnya Temari memang sudah pernah melihat foto gadis itu dari Ibunya. Dan gadis itu memang sangat cocok untuk Gaara, jadi Temari tidak akan pernah menyesal untuk merestui hubungan mereka.
Yah jujur saja, Temari juga agak kaget ketika melihat Gaara dan Ino bertemu di mall tadi. Temari yakin mereka berdua pasti langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, terlihat seklai dari kedua mata mereka yang tak berhenti saling menatap. Makanya Temari sedikit geli melihat tingkah kekanak-kanakan adiknya yang berniat untuk menolak perjodohan ini. Menolak Ino hanya untuk Ino. Aneh kan?
Temari menghampiri mobilnya yang terparkir tidak jauh dari restoran tersebut. Ia sudah terlalu letih untuk mengikuti acara jodoh-jodohan ini yang sebenarnya tidak memerlukannya. Jadi, ia memutuskan untuk pulang saja.
Tangannya hampir saja membuka pintu mobil ketika pergelangan tangannya dicekal oleh seseorang dari samping. Dengan cekatan, Temari menolehkan kepalanya. Matanya langsung membelak ketika melihat sosok di sisinya.
Temari menganga. "Shika?"
Shikamaru hanya mendengus. Tangannya merebut kunci mobil Temari dan menyeret Temari ke arah pintu penumpang. Setelah berhasil memaksa Temari masuk ke dalam mobil, iapun berlari kecil ke arah pintu mengemudi dan masuk ke sana.
"Hei! Apa-apaan kau? Ini mobilku!" teriak Temari jengkel ketika melihat Shikamaru dengan seenaknya menyalakan mobilnya dan memasukkan gigi.
Shikamaru tidak merespon bentakan Temari, ia terus menjalankan kegiatan mengeluarkan mobil ini dari parkiran.
Temari menghela nafas berat, nyerah. "Kau mau membawaku kemana, Tuan Nara?"
Shikamaru tetap menatap kedepan.
"Ke tempat kita bisa menyelesaikan masalah kita, Gadis merepotkan."
.
.
"Dengar, ya! Kita tidak perlu menyelesaikan apapun karena kita memang sudah selesai, Shika."
"Kau pikir kau bisa dengan mudahnya membuangku setelah kesalahpahaman merepotkan ini?"
"Kesalahpahaman? Kesalahpahaman dimana? Kau menciumnya didepanku, Shika. Apa lagi yang salah? Ooh, jangan bilang ia bukan selingkuhanmu, tetapi istrimu? Jadi kau diam-diam bertunangan denganku padahal kau sudah punya istri?"
Shikamaru mengerang tertahan lalu menepikan mobil Temari. Mata intensnya langsung menatap Temari dengan tajam ketika mobil sudah berhasil berhenti. Gadis yang merupakan tunangan sekaligus anak atasan nya ini memang sangat keras kepala.
"Shika, lebih baik sekarang kau kembali ke laboratoriummu bersama serum-serum berharga milikmu dan gadis bernama, siapa itu? Konan? Apalah itu, yang penting jangan pernah menggangguku lagi, Shika."
Temari mulai menarik pembuka pintu mobil, namun pergelangannya kembali di cengkram Shikamaru dan membuatnya meringis kesakitan karena kekuatan cengkraman Shikamaru. "Mau kemana kau?" Tahan Shikamaru.
Temari menghempaskan tangan Shikamaru dengan kasar. "Pulang naik taksi. Jangan tahan aku."
"Tapi ini mobilmu, Bodoh!" Ujar Shikamaru dengan sedikit jengkel, gadis ini benar-benar merepotkan.
Kaki Temari sudah berhasil menapak di luar mobil dan dengan cepat ia menutup pintunya bersamaan dengan jendela mobil yang dibuka oleh Shikamaru.
"Bawa saja. Aku bisa membeli mobil yang lain. Pokoknya, jangan pernah ganggu aku lagi, Shika." Ucap Temari dengan tegas sebelum akhirnya ia pergi menghentikan taksi dan menaikinya.
Shikamaru menghela nafas berat sembari menyandarkan punggunnya ke sandaran kursi dengan kasar. Rambutnya ia acak saking frustasinya.
Apa semua gadis seperti Temari? Benar-benar merepotkan.
.
.
Kiba's House. Tokyo, Japan.
08.00 PM
Kiba menghempaskan tubuhnya ke atas Sofa. Seragam sekolah KHS miliknya masih ia kenakan karena terlalu malas untuk menghampiri kamarnya sekedar untuk mengganti pakaiannya. Kakinya meraih remote tv dan mulai memencet tombol-tombolnya dengan jari-jari kaki. Dasi berwarna biru gelap dengan garis-garis orange ia biarkan terletak dilantai.
"Hei, Kiba!"
Kiba tak perlu repot-repot mengangkat kepalanya hanya untuk melihat tamu tak diundangnya itu, karena hanya lewat suaranya saja Kiba langsung tahu siapa orang yang datang ke rumahnya malam-malam seperti ini.
"Hei." Sahut Kiba malas.
"Ada makanan, nggak? Daritadi belum makan, nih."
"Lihat saja di meja! Aku belum lihat, Hanabi masak atau tidak." Balas Kiba dengan suara semakin tidak bersemangat.
"Gak ada."
"Ya sudah. Berarti tidak ada." Ujar Kiba tanpa berniat menggerakkan tubuhnya sama sekali. Matanya masih tetap menatap malas layar televisi yang channelnya terus berganti.
"Hoi, Kiba! Geser!" Perintah suara lelaki tersebut setelah menendang pantat Kiba keras, membuat Kiba meringis kesakitan dan terpaksa mendudukkan dirinya untuk berbagi tempat.
"Sudah numpang makan, ngerepotin lagi. Kau benar-benar menyebalkan, Naruto." Ucap Kiba jengkel sambil melempar bantal kecil yang mengenai wajah Naruto telak.
Naruto hanya terkekeh geli dan mendudukkan dirinya di sofa. "Mana Hanabi?"
"Gak tau." Jawab Kiba singkat dan dibalas helaan nafas berat dari Naruto.
Hanabi merupakan teman serumah Kiba. Mereka berdua sudah tinggal berdua selama setahun. Sebenarnya mereka bukanlah saudara. Hanabi merupakan korban kecelakan mobil. Ia terlempar keluar dari mobil yang berisikan empat orang tersebut ketika mobil itu terbalik. Dan akhirnya perawatan medis Hanabi ditanggani oleh ayah Kiba.
Sebenarnya saat itu Kiba sedikit bingung dengan Hanabi. Saat gadis itu masih dirawat, ia memaksa para suster untuk membawanya kembali ke keluarganya. Namun ketika dibawa ke rumahnya, ia malah meminta kembali ke rumah sakit dan memohon kepada ayah Kiba untuk menjadikannya pembantu atau apapun asal diberikan tempat tinggal. Tentu saja ayah Kiba tidak mungkin melakukan hal itu. Yang ada malah Hanabi diangkat menjadi anaknya.
Kiba berkali-kali bertanya kepada ayahnya kenapa tiba-tiba mengangkat Hanabi sebagai anaknya. Dan ayahnya hanya menyuruhnya untuk bertanya langsung kepada Hanabi.
Akhirnya Kiba mengetahui alasannya ketika bertanya kepada Hanabi baru-baru ini. Hanabi merupakan salah satu dari keluarga Hyuuga, keluarga yang sangat berada dan merupakan sanak saudara dari keluarga Sabaku. Saat hari kecelakaan itu, ia bersama ayah dan ibunya sedang dalam perjalanan ke sekolah Hinata untuk menghadiri acara kelulusan Hinata. Kebetulan Hinata ditunjuk sebagai wakil sekolah untuk berpidato. Dalam perjalanan, ayahnya sempat menyerempet seorang gadis kecil yang kebetulan sedang menyebrang dan membuatnya terluka cukup parah. Merekapun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dulu untuk mengobati gadis kecil. Dan ketika mereka mengubah rute perjalanan ke rumah sakit, tak lama kemudian merekapun tertabrak truk.
Hanya Hanabi yang selamat. Namun melihat orang tua dan gadis kecil itu meledak bersama mobilnya dengan matanya sendiri bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Ia sempat melihat seorang lelaki berambut dongker yang keluar dari tempat mengemudi truk itu, namunlelaki itu langsung kembali masuk ke truknya dan pergi dari sana. Hanabi tak sadarkan diri seharian. Namun setelah sadar, ia langsung pergi ke kediamannya. Dan ternyata ia melihat ada tiga jenasah disana. Ia yakin, kakaknya pasti berpikir kalau ia sudah meninggal. Ketika ia berniat menghampiri kakaknya, ia melihat kakaknya sedang menangis jerit dan dipeluk oleh seseorang berambut biru dongker. Pertamanya Hanabi merasa sangsi, namun akhirnya iapun yakin. Laki-laki berambut dongker itu yang menabrak mereka.
Hanabi memutuskan untuk kembali kerumah sakit. Entah kenapa ia merasakan ketakutan yang berlebih ketika melihat lelaki berambut dongker itu. Apalagi akhirnya ia tahu kalau lelaki itu juga merupakan kekasih kakaknya sendiri.
Sejak saat itu, Hanabipun tinggal bersama keluarga Inuzuka. Ketika keluarga Inuzuka berencana pindah ke Osaka untuk sementara karena ada pekerjaan yang harus dikerjakan disana, Hanabi tinggal bersama Kiba berdua karena mereka harus menyelesaikan sekolah mereka. Kiba setengah tahun lagi, sedangkan Hanabi satu setengah tahun lagi.
Tinggal bersama Hanabi membuat Kiba merasakan sesuatu yang Kiba sadari sebagai jatuh cinta. Ia tidak mempermasalahkan tentang Hanabi yang notabene adalah adiknya. Toh cuma adik angkat. Hanya saja sejak tahu kakak Hanabi diangkat oleh omnya yang pemilik Sabaku Corp, Hanabi jadi sering pergi bersama lelaki berambut hitam jabrik yang bekerja di bagian intellegensi Sabaku's Corp hanya untuk mengetahui kabar kakaknya itu. Dan Kiba merasa kedekatan Hanabi dan lelaki itu semakin menjadi, membuatnya merasa kalau mereka mempunyai hubungan khusus.
"Kau sudah mengatakan perasaanmu?" Tanya Naruto tiba-tiba, seakan bisa menerobos pikiran Kiba.
"Gak akan."
Naruto mengerutkan dahinya, namun matanya tak teralih dari layar. "Kenapa?"
"Dia suka sama lelaki yang bekerja di Sabaku Corp itu."
Naruto semakin menaikkan alisnya. " Sai? Tapi emangnya dia bilang kayak gitu?"
Kiba menghela nafas berat. Sebenarnya ia malas berbicara tentang hal ini kepada tetangga tukang nebeng makan itu.
"Dia gak bilang. Tapi sepertinya memang benar. Tiap hari kerjaannya pergi kencan terus."
Naruto tertawa terbahak, ia tahu kalau Kiba cemburu dengan kedekatan Hanabi dan Sai. Namun apakah ia tidak sadar? Jarak umur antara Hanabi dan Sai hampir 5 tahun, dan jelas seklai kalau gadis kecil itu tidak suka dengan yang tua-tua.
"Aku pulang."
Kiba dan Naruto serentak melayangkan pandangannya ke arah pintu masuk rumah tersebut dan langsung mendapatkan sosok Hanabi yang masih menggunakan seragam KHS. Terlihat, Hanabi langsung menerobos masuk dan berjalan menuju dapur yang lumayan dekat dengan pintu masuk.
"Hanabi, kau mau langsung masak?" Tanya Naruto dengan sedikit kagum. Ia dapat melihat dengan jelas wajah Hanabi yang kecapaian. Seharusnya gadis itu langsung masuk kamar dan beristirahat.
Hanabi menjawab dari arah dapur. "Aku tidak mungkin membiarkan anak-anak menyedihkan seperti kalian mati kelaparan hanya karena aku tidak memasak."
Naruto mengubah tatapan kagumnya dengan tatapan gondok. Gadis ini ucapannya memang tidak pernah diayak.
Setelah beberapa lama terdengar bunyi kresek-kresek dari dapur dan bau harum yang membuat Kiba dan Naruto tidak tentram menonton saking laparnya, akhirnya Hanabi membawa masakannya kea rah meja makan yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat Kiba dan Naruto menonton.
Dengan gerakan yang cekatan, Kiba dan Naruto segera menghampiri meja makan dan duduk manis disana. Mereka memang sudah kelaparan sedari tadi. Hanabi terlihat dengan lihai merapikan meja makan dan meletakkan masakannya dengan rapi. Setelah semua selesai, Hanabipun duduk didepan kedua lelaki itu dan menyendokkan makanan mereka.
"Kiba," panggil Hanabi disaat mereka bertiga sedang asik menyantap makanan mereka masing-masing.
"Apa?" Tanya Kiba acuh sambil meraih minumannya dan meneguknya. Ia yakin pembicaraan Hanabi menyangkut kakaknya lagi. Kiba sudah terlalu bosan mendengarnya.
"Sai menyatakan perasaannya kepadaku."
Brussst!
Naruto berteriak jengkel, "Bisakah kau tidak memuncratkan minumanmu ke arahku terus?"
.
.
1 day later
Konoha High School. Tokyo, Japan
16.00 PM
Tanpa sadar Ino menjerit senang ketika mendengar bell pulang berbunyi. Dengan cekatan tangan Ino langsung memasukkan barang-barang yang berada di atas mejanya ke dalam tas selempang miliknya. Entah kenapa bell tadi seperti bunyi lonceng surge bagi Ino.
"Hei, Pig! Buru-buru amat. Kau mau kemana, sih?" tanya Sakura setelah berhasil mengejar langkah Ino yang lebar menyusuri koridor sekolah. Ino tak menjawab. Pikirannya sedang melayang ke tempat lain.
Tadi malam Gaara bilang kepadanya kalau ia salah paham. Gaara memang ingin sekali membatalkan perjodohan mereka, namun itu rencananya sebelum ia bertemu Ino. Ia tidak menyangka kalau gadis yang ingin dijodohkan dengannya itu merupakan gadis yang ia temui siang itu. Jangankan Gaara, Ino saja tidak menyangka bahwa Gaara merupakan lelaki di toko CD itu.
Namun yang membuat Ino kesal adalah Gaara dengan seenaknya meminta orang tua mereka untuk memajukan hari pertunangan mereka! Apa lelaki itu gila? Dia pikir ia bisa dengan mudahnya mengatur seperti itu tanpa persetujuannya?
Gaara memang bukanlah lelaki romantis. Ia tidak suka melakukan acara lamar-melamar yang membuat perutnya terkocok saking gelinya. Inopun seperti itu, ia benci dengan sifat romantis yang lebay. Tapi bukan berarti Gaara boleh bertindak tidak romantis sama sekali dengan menarik Ino langsung menuju orang tua mereka menunggu kemarin dan meminta memajukan hari pertunangan serta pernikahan dengan seenaknya. Itu benar-benar tidak berperikemanusiaan sama sekali.
"Ino!" panggil Sakura lagi, kini lebih keras.
Ino menghentikan langkahnya dan menatap Sakura dengan tatapan bingung. "Hah?"
Sakura mendecak sebal melihat sahabat satunya ini. "Kau itu mau kemana Ino? Kenapa harus buru-buru, sih?"
"Aku mau pulang. Kepalaku sakit, badanku rasanya mau patah." Jawab Ino dengan polos. Ia memang benar-benar letih apalagi bila memikirkan kemarin. Bayangkan, ia baru bertemu dengan lelaki itu kemarin dan acara pertunangannya akan diadakan 3 HARI LAGI! Memikirkannya saja sudah membuat Ino pening.
Ino terus melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti ketika melihat sebuah mobil Ferrari bewarna hitam legam denggan besi roda berwarna merah darah yang terparkir manis persis didepan pagarnya. Tidak hanya itu, pemiliknyapun berada disana sembari bersandar di pintu mobilnya.
Ino membelakkan matanya kaget. Belum reda kekagetannya, lelaki berambut merah pemilik mobil tersebut langsung menarik Ino ke dalam mobilnya. Ino mendengar jeritan Sakura yang Ino yakini sebagai jeritan kagum, bukan jeritan kaget karena sahabatnya ditarik paksa oleh lelaki aneh bin menyebalkan ini.
"Kau mau menculikku kemana, Bodoh?" bentak Ino kesal setelah mereka berdua telah masuk didalam mobil.
Gaara memakai seatbelt dan langsung men-stater mobil miliknya.
"Ke Kantor ayahku. Kita harus mengurusi pertunangan kita, bukan?"
.
.
Ino menghela nafas lega selega-leganya ketika mereka sampai di parkiran mobil perusahaan Sabaku. Gaara memang gila. Ia menyetir dalam kecepatan 180 km/jam. Kecepatan yang benar-benar mengerikan! Ino bahkan merasa bersyukur karena masih dibiarkan hidup setelah beberapa menit pencobaan di jalanan tadi.
"Ikut aku." Perintah Gaara singkat dan langsung melangkah menuju pintu yang tidak jauh dari tempat mobilnya diparkir. Tanpa berkata apa-apa, Ino langsung mengikuti langkah Gaara dari belakangnya. Sebenarnya ia agak risih karena seragam sekolahnya yang sepertinya tidak cocok untuk dikenakan dihadapan pemilik Sabaku Corporation itu.
"Tenang saja, kau tetap terlihat cantik dengan seragam itu." Ucap Gaara degan cepat, membuat Ino harus menajamkan telinganya lagi.
"Kau bilang apa?" tanya Ino.
Gaara hanya terdiam lalu langsung masuk ke dalam lift yang berada didepan mereka yang kebetulan terbuka. Gaara bersyukur lift ini terbuka pada saat yang tepat. Ia tidak mau mengulang kalimatnya tadi. Memikirkannya saja sudah membuatnya heran. Bagaimana mungkin ia berhasil mengatakan hal itu kepada seorang gadis?
Lift sudah sampai ke lantai yang mereka tuju. Dengan langkah yang lebar, Gaara langsung keluar dari lift tersebut, menghampiri sebuah pintu yang terbuat dari kaca yang sangat jernih itu dan membukanya, diikuti Ino dari belakang.
Saat Gaara masuk, terlihat semua orang yang berada didalam ruangan tersebut langsung menundukkan kepala mereka, menunjukkan kehormatan mereka kepada Gaara. Ino yang melihatnya hanya salah tingkah.
Gaara menghampiri sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang lelaki bertubuh kekar disetiap sisi pintu. Sekilas Ino dapat melihat nametag mereka. Akamichi dan Hoshigaki.
"Maaf, Tuan Gaara?"
Gaara menolehkan pandangannya ke arah samping. Sekertaris perusahaan Sabaku itu sedikit memundurkan langkahnya ketika melihat tatapan Gaarayang tiba-tiba.
"Ada apa, Matsuri?"
Matsuri menundukkan kepalanya. "Tuan Sabaku bilang untuk menunggunya disini. Ia akan keluar beberapa menit lagi." Ucap Matsuri dan dibalas anggukan kecil dari Gaara.
Namun tak sampai satu menit, pintu yang dijaga oleh dua orang itu terbuka. Ino dapat melihat langsung sosok ayah Gaara lagi ketika keluar dari ruangan tersebut. Serentak, semua orang berdiri dan menundukkan kepalanya.
Ino hampir saja ikut menunduk ketika melihat Gaara tiba-tiba saja berlari ke arah ayahnya dan berteriak dengan nada panik. "TOU-SAN!"
Ino yang mendengar teriakan Gaara langsung menegakkan tubuhnya dan menatap kearah ayah Gaar dengan horror. Wajah pemilik perusahaan Sabaku Corp itu sangat pucat dan kaku. Terlihat sekali dari gerakan tubuhnya menandakan bahwa ia kesulitan untuk bergerak.
Kaki Ino bergetar hebat ketika melihat ayah Gaara ambruk persis didepan Gaara. Terlihat Gaara sangat panik sambil terus menggoncang-goncangkan tubuh ayahnya yang seperti mulai lemas itu. Ino menarik nafas susah payah dan memutuskan untuk berlari menuju tempat Tuan Sabaku dan Gaara berada. Ino yakin, pikiran Gaara pasti sedang kacau sehingga Gaara bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
Dengan cekatan Ino memegang pergelangan tangan Ayah Gaara dan sedikit menekannya untuk merasakan nadi. Merasa tidak puas dengan apa yang tidak ia dapatkan di pergelangan tangan, iapun pindah ke leher tuan Sabaku. Tangannya terus mencari detak nadi dari ayah Gaara.
Ino mendudukkan dirinya dilantai lemas dan putus asa karena tidak mendapatkan apapun. Gaara yang melihatnya hanya menggemertakkan giginya. Semua orang yang berada disana hanya menganga lebar saking tidak percayanya.
Pemilik Sabaku Corporation meninggal dunia. Tepat didepan mata mereka.
.
.
To Be Continue.
Hai, maaf saya kembali lagi dengan cerita pasaran bin membosankan bin kepanjangan ini. Saya benar benar tidak bermaksud untuk menyampah di sini, tetapi saya benar-benar ingn sekali mempublish cerita ini dan meminta para reader untuk mengcomentnya.
Cerita ini terinspirasi dari sebuah cerita yang saya lupa judulnya. Tapi tenang saja, cerita ini benar-benar beda jauh parah daripada cerita inspirasi tersebut. Saya terinspirasi dari cerita tersebut hanya dari segi bunuh-bunuhan doang. Yang lain asli dari nguras otak.
Saya juga mau meminta maaf kepada segenap pembaca yang merasa kesal dengan cerita "'m Your Bodyguard" yang gak ngelanjut sampe sekarang. Dan saya malah membuat cerita lain gak sepertinya tidak beda jauh dari cerita tersebut. Yah, namanya juga ide. Mumpung ngalir, mendingan langsung share kan? Kalau dibiarin adanya malah langsung lupa dan belum tentu bakal muncul lagi.
Kalau ada bagian cerita yang tidak dimengerti, kalian boleh langsung tanya, kok^^ SKSD aja! Aku orangnya selow parah Aku akan bales reviewnya khusus langsung bagi yang gak ngerti ceritaku.
Mungkin cukup segini saja bacotnya. Maklum saya memang bawel :D.
So, please Review