Title: Action Speaks Louder
Rated: T
Genres: Romance, Humour, Drama
Wordcount: 2,966
Pairing: DMHP/Drarry
Warnings: Slash, light OOC, AR
Setting: AU/elseworld
Hana's Headnotes: Hullo, Hana disini! Makasih udah mau kesini! Kali ini setting-nya school, dengan Draco yang kelebihan ganteng dan karisma. Tadinya mau gak se-OOC ini, tapi OOC dibutuhkan untuk cerita.. 'kay, Enjoy and Happy Reading! =)

Summary:: Draco Malfoy adalah pemuda nyaris sempurna yang memiliki banyak penggemar. Seluruh gadis –bahkan lelaki- akan takluk padanya. Kalau begitu, kenapa Potter bisa menahan pesonanya dan malah menolak perhatian Draco yang diinginkan banyak orang? Sepertinya Draco harus memperlakukan Potter dengan—'istimewa'. AU. RnR is lurve! 8D

.

.

~o~o-o-o~o~

Harry Potter by J.K. Rowling

Action Speaks Louder by HanariaBlack

~o~o-o-o~o~

.

I

.

"Love means to commit oneself without guarantee, to give oneself completely in the hope that our love will produce love in the loved person. Love is an act of faith, and whoever is of little faith is also of little love."
Erich Fromm

I.

:: p r o l o g u e ::

Draco Malfoy menguap bosan sambil menutup buku sejarah berbahasa Yunani yang dipesannya langsung dari Athena.

Hari ini adalah hari biasa. Hari normal. Hari yang akan berjalan tanpa rintangan, semulus aspal, dengan posisi Draco (tetap) sebagai murid dengan jumlah penggemar terbanyak di Akademi Slytherin.

Sekarang masih tujuh kurang lima, dan kelas masuk pada pukul setengah delapan. Kenapa Draco datang sepagi itu? Sederhana saja. Karena Draco cukup menikmati waktu duduk santai sendirian di kelas dibanding Manor-nya yang berdebu dan terasa terlalu familiar. Tidak terlalu berbeda, sebenarnya, tapi Draco sering merasa terhibur ketika melihat wajah murid-murid di kelasnya yang masih kusut karena bangun pagi-pagi lalu berusaha terlihat menarik di depan Draco.

"Drakiiiiieee~,"

Nah, murid pertama datang. Suara melengking milik gadis berambut cokelat di ambang pintu itu nama pemiliknya Pansy Parkinson. Pansy adalah gadis yang berisik dan berkedudukan sebagai 'The First Fan of Draco Malfoy', membuat Pansy memimpin klub tanpa nama yang dipenuhi orang-orang penggemar Draco, dan Pansy adalah tipe gadis yang terlalu fanatik pada Draco—sehingga mudah saja membuat Pansy melakukan apapun perintah yang Draco berikan.

"Pansy," balas Draco dengan nada setengah menyapa setengah menggerutu. Selain sisi negatif dekat-dekat Pansy seperti terganggu, ada sisi positifnya juga. Pansy tahan bergosip selama berjam-jam—entah lewat jejaring sosial atau langsung face-to-face—dan 80% gosipnya bisa memengaruhi sebuah nama baik seseorang. Jadi, kalau Draco baik-baik pada Pansy, Pansy otomatis akan ber-gosip-ria tentangnya dan nama baik Draco Malfoy akan tetap terjaga.

"Apa kabar, pacarku yang tampan, bangsawan, dan brilian?" tanya Pansy, menaruh tas tenteng hijau limaunya di atas meja di sebelah meja Draco, lalu mengambil bangku di samping Draco tanpa ba-bi-bu. "Tidur nyenyak kemarin malam?"

Draco membalas senyuman lebar Pansy dengan senyuman pendek. "Aku baik, terima kasih," jawab Draco singkat.

"Aku tahu, aku tahu!" Pansy mendadak menggeserkan bangkunya dekat sekali, dan memeluk Draco erat. "Pacarku memang selalu dalam kondisi prima! Aku bangga memiliki pacar se-perfect Draco!"

Draco memejamkan matanya, perlahan melepaskan pegangan Pansy dari tubuhnya. "Aku masih single, Pansy," kata Draco tenang.

Pansy tetap tersenyum, dan dari dekat Draco bisa melihat tebalnya lapisan lip-gloss di bibir gadis itu. "Kalau begitu, kita jadian yuk, Drakie? Aku yakin banyak orang—"

"Aku menolak," kilah Draco, berusaha terdengar lembut, tapi hasilnya hanya setengah berhasil. Draco bosan mengoreksi panggilan 'Drakie' yang aneh dari Pansy, makanya ia mengabaikan panggilan itu. "Aku harus tetap fokus menekuni pelajaran agar aku bisa pergi belajar ke—"

"Aaaah, Dracooo," potong Pansy dengan bibir manyun. Draco nyaris memutar mata saking enegnya. "Aku tidak mau melihatmu pergi ke Inggris, atau Amerika, atau Jerman, hanya untuk belajar! Bukankah aku lebih berharga dibanding semua waktu belajarmu itu?"

Kebalikannya. Waktu membaca—ingat, membaca, bukan belajar, karena semua materi tahun ini sudah kupelajari semuanya—jelas lebih berharga dibanding gadis benalu ini, batin Draco. Tapi, demi masa depan nama baiknya, Draco memasang senyuman gentleman untuk dipamerkannya pada Pansy. "Maaf, Pansy, tapi sepertinya aku lebih menyukai berhadapan dengan buku dibanding bertemu denganmu."

Entah karena senyuman keramatnya memberi efek membisukan atau Pansy memang sudah terbiasa menerima ucapan tajam berbalut senyum Draco, gadis itu malah terlihat seperti sedang bermimpi dengan cengiran bodoh.

"Apapun yang kau katakan, Drakie," bisik Pansy, dan dengan ajaibnya kembali menjauh dari Draco, masih nyengir-nyengir.

Draco menatap singkat Pansy dengan dahi mengerut, sebelum mengangkat bahu tanda tidak peduli dan membuka buku sejarah Yunani-nya kembali.

Belum saja lima menit membaca dan telinga Draco beristirahat dari pekikan lebay Pansy—

Bencana baru datang.

Sesuai prediksinya, serangan penggemar Draco yang lainnya.

"Dracoooooo!"

Nah, murid kedua. Gadis bermata hijau gelap, berpakaian stylish, dengan nama lengkap Daphne Greengrass. Untungnya, biarpun Daphne termasuk penggemarnya, tingkat kefanatikan Daphne masih jauh di bawah Pansy. Dengan suara yang tidak melengking. Juga memanggil Draco tanpa panggilan alay.

"Daphne," balas Draco, tersenyum tipis pada sosok gadis jangkung yang kini mendekati meja Draco. "Ada berita apa?"

Daphne bisa digunakan sebagai informan pribadi Draco. Gadis itu cerdas, pintar mendapatkan informasi, dan cukup cantik.

"Jangan tatap aku begitu," kata Daphne tiba-tiba sambil duduk di atas meja Draco. Kukunya yang dicat hitam menunjuk batang hidung Draco. "Aku mau mengatakan bahwa aku keluar secara resmi dari kumpulan penggemarmu itu."

Draco tidak kaget mendengarnya. Daphne memang bukan tipe yang loyal, tidak seperti Pansy yang fanatik berlebihan pada Draco. Tapi kenapa tadi Daphne memanggilnya dengan intonasi mirip para penggemar Draco? "Aku sudah memprediksikannya," balas Draco.

"Oke," kata Daphne, dan mulai menempelkan sidik jari-jemarinya dengan sidik jemari lainnya. Itu gaya khas yang menandakan pemberitahuan informasi pada Draco. "Aku ada berita hangat."

"Ceritakan," kata Draco.

"Tunggu. Saat aku menjadi bagian kumpulan penggemarmu itu, aku memang tidak minta bayaran," kata Daphne, dan mengedipkan matanya pada Draco. "Tapi sekarang, aku minta bayaran."

Bayaran? Uang, maksud gadis itu? Urusan gampang, pikir Draco merendahkan. "Terserah. Beritahu aku."

Daphne nyengir, "Dengar," katanya, sambil meniup kuku jarinya. "Akan ada murid pindahan. Asal tempatnya belum aku ketahui, tapi aku yakin pindahan itu dari luar Inggris."

Draco "Nama?"

Daphne tampak tidak yakin; terlihat dari alisnya yang mengerut. "Sesuatu yang berhubungan dengan Potter. Dan nama kecilnya... Henry atau apalah itu. Henry Potter, mungkin."

Draco mengangguk, "Lalu?"

"Aku tahu kau suka tantangan," kata Daphne, dan wajahnya mendekat. "Henry Potter ini punya otak yang mungkin sama briliannya sepertimu. Kudengar, Henry Potter memiliki medali emas olimpiade di beberapa bidang, dan berbakat dalam sepak bola. Beberapa orang bilang Potter pernah bertanding di luar Eropa."

Menarik, pikir Draco. Ia sering mengikuti olimpiade, dan tidak mengingat setiap nama peserta karena malas. "Apa kau yakin Potter bisa merebut posisiku sebagai murid terjenius di Slytherin?" tanya Draco, menopangkan dagunya di atas tangan, mata kelabunya menyinari ketertarikan.

"Err," Daphne melipat lengannya di depan dada. "Kurasa iya, kurasa tidak. Tapi aku yakin dia imbang kepintarannya denganmu."

Draco mengangguk lagi. Daphne biasanya memberi informasi yang akurat, dan mendengar Potter bisa menyaingi kejeniusannya adalah hal yang langka. Mungkin Draco bisa memiliki sedikit kesenangan yang berbeda di kehidupan datarnya ini?

"Oke," Draco tersenyum, dan ia bisa melihat pipi Daphne merona perlahan. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."

Daphne mengangguk, tersenyum lemah dengan pipi makin merah, dan mengambil tempat duduknya yang berada dua bangku di kiri dari meja Draco.

Dan sesuai prediksinya, pasti Pansy akan protes kenapa Draco mau bicara lama-lama dengan Daphne.

"Drakiiiiiieee!" pekikan Pansy sudah dihalau Draco dengan memasang headphone hitam yang segera ia sambungkan ke MP3 perak di sakunya. "Apa yang kau bicarakan dengan Greengraaaaass? Kok aku tidak diajaaaak?"

Oh, betapa bencinya Draco pada tipe gadis yang menarik-narik huruf vokal sehingga nada bicara mereka sangat melambai, manja, dan menjijikkan (3M).

"Berisik, Parkinson!" dari sela-sela lagu yang didengar Draco, suara Daphne menyuruh Pansy untuk diam. "Suaramu yang hancur membuat telingaku sakit!"

Tipikal Daphne. Draco beruntung memiliki informan semacam Daphne yang tidak kampungan seperti Pansy.

Draco mematikan MP3-nya setelah memastikan Daphne dan Pansy tidak lagi saling meneriakkan hinaan, lalu melirik Ron Weasley yang masuk ke kelas bersama dengan Neville Longbottom.

Wajah Weasley terlihat lemas, karena pacarnya, Hermione Granger, pindah sekolah ke Akademi Ravenclaw di Irlandia. Draco malah berbahagia, tentunya, karena Granger termasuk gadis yang cukup cerdas, dan tipe gadis yang cerewetnya sangat parah. Ketika Granger menjadi Ketua Kelas, telinga Draco pasti tersiksa karena Granger selalu berlebihan menjaga peraturan tetap di tempat.

"...Kau dengar kata Susan?" suara Weasley. Draco bisa menangkap suaranya karena Weasley duduk di belakangnya. "Katanya, nanti ada murid baru pindah kesini."

"Ya. Namanya Henry Potter, benar?" balas Longbottom, suaranya sedikit lebih kecil dari Weasley. Draco yakin Longbottom sedang duduk bersebelahan dengan Weasley.

Bagus, dua idiot di belakangnya, batin Draco sarkastis.

"Namanya Harry Porter, tahu," kata Weasley. "Menurutmu orang seperti apa anak baru itu?"

"Terserah. Aku tidak bisa memikirkan orang seperti apa Henry itu. Aku 'kan belum melihat wajahnya."

"Hmm. Benar juga."

Dasar mahluk tanpa otak, batin Draco. Menilai orang dari wajah? Yang benar saja. Tidak semua orang bermuka polos itu polos dalamnya 'kan?

Draco memutuskan untuk kembali membaca buku Yunani-nya, karena mendengarkan pembicaraan antara Weasley dan Longbottom itu sama seperti mendengar lenguhan sapi yang bersahut-sahutan. Weasley dan Longbottom bukan orang yang se-level dengan Draco.

"Draco?"

Draco menyimpan bukunya karena jam dinding di depan kelas telah menunjukkan tujuh lewat sepuluh, dan merasa jenuh juga membaca buku yang sama sejak dua hari yang lalu, kemudian mendongak.

Wajah Theodore Nott menyambutnya, dan Draco tahu apa alasan Nott menyapanya dengan buku tulis di tangan, dan wajah memohon.

Draco menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda bahwa ia mendengarkan.

"Tolong bantu aku mengerjakan tugas Matematika ini," kata Nott, terlihat malu dan ingin cepat-cepat pergi, tapi selalu saja meminta bantuan pada Draco.

Draco sedang merasa tidak berbaik hati hari ini. "Kau bisa memberiku apa?" tanya Draco, seringai perlahan membentuk sudut bibirnya.

Tatapan Nott yang memohon berubah menjadi agak keras. "Apa katamu?"

Draco merasa tidak bersalah. "Nott, aku merasa membantumu mengerjakan PR tidak memberiku keuntungan sedikitpun," kata Draco.

Nott tampak tersinggung mendengar ucapan Draco, lalu pemuda itu pergi setelah memberikan tatapan tajam pada manik Draco.

Draco membalas tatapan itu dengan inosen, lalu mendengus ketika Nott beralih ke meja Daphne. Nott, Nott, batin Draco dengan seringai. Orang yang cukup bodoh. Kau pikir selama ini aku rela membantumu mengerjakan PR?

Draco melepas headphone-nya, dan merasa bodoh sendiri. Kenapa ia tidak mengusir Nott dengan cara pura-pura mendengarkan lagu?

Detik jam berjalan, dan perlahan-lahan kelas mulai dipenuhi murid-murid. Ada Zabini, Crabbe, Goyle, Rosier, dan beberapa anak bodoh yang tidak akan berpengaruh kehadirannya, juga penggemar-penggemarnya yang datang sambil merona dan senyum-senyum ke arah Draco seperti Lavender Brown, Hannah Abbott, dan Astoria Greengrass—sepupu Daphne.

Bel berdering, dan murid terakhir—Susan Bones—masuk. Beberapa menit dengan murid-murid di sekitar Draco mengobrol dengan ramainya, lalu Severus Snape masuk, dengan tampang masam dan kemejanya yang sangat gelap. Kelas mendadak sunyi. Draco bisa mendengar beberapa gadis membisikkan hinaan pada Severus tentang rambutnya yang berminyak, dan Draco memutar matanya.

Ck. Apa karena rambut Severus terlihat seperti itu, mereka tidak bisa melihat seberapa jenius Godfather-nya?

"Selamat untuk kalian yang telah datang ke kelas ini setelah belajar semalam, karena hari ini akan ada tes lisan mengenai studi yang telah diberikan dua minggu lalu."

Draco menyeringai, sementara murid-murid di sekitarnya berseru putus asa.

Severus mengangkat tangannya rendah, dan serentak kelas menjadi hening lagi.

"Sebelumnya, ada murid baru di kelas kita," jeda, dan Draco mengarahkan matanya ke pintu yang setengah terbuka. "Masuk," perintah Severus.

Pintu tidak bergeser, dan seorang pemuda agak kurus, berambut hitam berantakan dengan kacamata, muncul di depan pintu. Beberapa menertawakan kacamata bulatnya, beberapa menafsirkan arti dari rambut berantakannya, dan beberapa terdiam, seperti Draco.

Draco terhenyak di bangkunya. Banyak kalimat berkelebat di benaknya.

Apa ada mata sehijau itu? Benarkah itu Potter yang diberitakan Daphne?

Anak baru itu berjalan ke tengah kelas dengan agak gugup, dan Severus menepuk bahunya ketika anak itu telah berdiri di sampingnya.

"Harry Potter," kata Severus memperkenalkan, dan ada tekanan tidak suka ketika pria itu menyebutkan nama keluarganya. "Pindahan dari Akademi Gryffindor cabang Prancis," jeda, dan seluruh mata murid-murid terarah pada Potter. "Siapa yang bersedia membagi bangkunya untuk Mr Potter?"

Draco tahu hanya bangkunyalah dan bangku Weasley yang kosong—karena Granger pindah sekolah. Oleh sebab itu, ketika mata Potter mengitari seisi ruang kelasnya, Draco menatap intens manik hijau itu, dan pandangan Potter membeku ke arahnya. Perlahan, masih memegang erat tatapan Potter, Draco berdiri, dan berkata,

"Saya bersedia duduk sebangku dengan Potter, sir."

Seluruh mata langsung membelalak menatap ke arah postur Draco yang berdiri tegak, dan gadis-gadis di kelas mengeluarkan suara tidak percaya.

"Draco!" bisikan Pansy terdengar histeris di sebelahnya. "Kenapa kau mau—lakukan—itu?"

Dengan bijak Draco mengabaikan bisikan kecemburuan Pansy, dan membalas tatapan Severus yang datar menembus matanya dengan tenang.

"Mr Potter," suara Severus membuat beberapa pasang mata beralih dari Draco. "Kau bisa duduk di sebelah Mr Malfoy. Dan Mr Malfoy," pasang biji hitam itu kembali menatapnya, "Kau bisa duduk kembali."

Draco mengangguk, melirik Potter yang berjalan agak gugup ke arahnya, lalu tersenyum sopan pada Godfather-nya. "Terima kasih, Mr Snape."

Severus hanya kembali ke mejanya yang dipelitur, dan pelajaran dimulai setelah Potter duduk di sebelahnya.

Sepanjang pelajaran, tidak ada yang bicara selain seringai kemenangan Draco yang hadir tanpa suara.

.

.

Bel istirahat berdering.

Draco memasukkan buku Kimia-nya, dan segera memutar bangkunya untuk menghadap pemuda berambut gelap yang kini masih menulis di notes-nya. Draco memperhatikan bagaimana Potter menulis dengan agak berantakan tapi tetap terbaca, poni berantakannya yang mencuat dan sebagian menutup keningnya, dan...

Bagaimana Potter menggigit bibirnya dengan mata terfokus pada tulisannya.

Tidak buruk juga, pikir Draco. Potter memiliki wajah yang sedikit manis, dan zamrud adalah perhiasan yang diharga mahal oleh Draco.

Terlebih, Potter, sesuai berita Daphne, memiliki otak seencer dirinya.

Apakah Draco pernah menemukan orang yang nyaris bisa memiliki kualitas tinggi seperti Potter? Granger, mungkin, tapi gadis itu memiliki wajah yang tidak menarik, dan giginya terlalu besar.

Sementara pemuda yang duduk di sebelahnya ini—nyaris memiliki dua pertiga tipe yang Draco incar.

Ketika mata hijau cemerlang yang sejak awal menarik perhatiannya bergulir untuk menatapnya dari dekat—Draco bisa melihat garis keemasan samar di sekitar pupilnya—suara asing yang sangat pelan terdengar dari gerakan bibir yang sedari tadi digigit gigi seri.

"Maaf," kata Potter, aksen Prancis-nya cukup kental, tatapannya tajam dan bingung bersamaan. "Ada yang bisa kubantu?"

Draco tersenyum di bibirnya, dan tertawa dalam hati. Sesuai rencananya. Draco akan membuat Potter berada di bawahnya, sehingga Draco akan tetap menjadi orang paling brilian dan paling populer di Akademi Slytherin.

"Tidak, kurasa," Draco memangku dagunya dengan siku di atas meja, mata kelabunya menatap lurus Potter. "Tapi, aku ingin bertanya."

Potter tampak tidak nyaman dengan tatapan yang diberikan Draco. Pemuda itu menutup notes-nya, dan menaruh buku-bukunya di loker yang tersedia di bawah meja. "Silakan bertanya."

Draco memasang senyuman yang paling bisa melelehkan hati para gadis, dan pasti bisa membawa rona merah ke pipi Potter, "Kenapa kau bisa indah sekali?" tanya Draco dengan nada menggoda.

"..." hening. Potter menatapnya seolah Draco hanyalah orang yang tidak penting. "...Bisa kau ulang?"

Draco ternganga dalam hati. Kenapa pipi Potter tidak merah? Kenapa Potter tidak tampak malu? Kenapa Potter malah menatapnya dengan tatapan datar? "Kau indah. Kau orang yang cantik bagaikan pahatan berlian di tengah lautan bebatuan." kata Draco, sengaja menambahkan kalimat yang berlebihan.

Tatapan Potter tidak berubah, tetap datar.

Draco menatap manik-manik hijau itu dengan mata agak membesar. Dalam seumur hidupnya, tak satupun orang yang tak bisa menahan rona merah di pipi akibat serangan senyuman (plus kalimat terakhir tadi) sejuta watt-nya. Tidak pernah.

Dan Potter adalah orang pertama yang bisa menahan pesonanya. Mustahil.

"Maaf, Malfoy, tapi, kurasa perkataanmu itu tidak berguna," kata Potter tenang, dan senyuman malu-malu atau tatapan penuh kekaguman tak muncul barang sedikitpun. Draco merasa terhina. "Apa ada yang kau ingin bicarakan lagi? Aku harus pergi."

Draco tertegun sejenak, sebelum menyinggungkan senyuman yang bisa menutupi gemuruh gunung meletus dalam benaknya. "Tidak," jawab Draco, memalsukan nada bicaranya agar tetap terdengar senang. "Terima kasih banyak atas perhatiannya, Potter."

Potter bangkit berdiri setelah membuat mejanya lebih rapi. Ia mengangguk, tidak menatap ke arah Draco, lalu meninggalkan mejanya dengan langkah agak lambat, membuat beberapa pasang mata yang masih bertahan di kelas menatap ke arahnya.

Draco melirik pensil yang masih di atas mejanya, lalu meraih batangnya.

Dalam hati, Draco benar-benar gondok akan perlakuan Potter yang tidak menghargai orang seberharga, setinggi derajatnya, setampan, dan semenarik Draco.

Apa yang bisa membuat Potter tahan akan pesonanya? Kenapa Potter malah tidak tertarik? Kenapa Potter malah tidak peduli? Potter meremehkannya. Potter mengganggap Draco bagaikan murid biasa saja.

Potter orang yang arogan.

Pensil di tangan Draco patah akibat genggamannya yang terlalu keras.

Draco Malfoy bukan orang yang bisa dianggap remeh.

Draco menatap titik dimana Potter terakhir terlihat—di ambang pintu—lalu ke arah bangku tempat duduknya di sebelah Draco. Potter telah mendapatkan banyak kehormatan—diminta duduk sebangku, disapa, diberi senyuman, diajak bicara, sampai dipuji dengan senyuman terbaiknya yang paling bisa meluluhkan hati orang manapun.

Dan Potter menganggapnya orang yang tidak patut diperhitungkan, dengan menatapnya datar, pergi, tanpa memandang ke arah Draco.

Draco memejamkan matanya, menenangkan mental-nya yang sempat rusak akibat penolakan Potter, lalu membuka mata bersamaan hela nafas yang panjang. Rileks, Draco.

"Draaaaakiiiiiiee!"

Indah sekali. Pansy dengan panggilan aneh dan suaranya yang memekakkan telinga. Apakah hari ini dirancang khusus untuk membuat Draco naik darah?

"Draco, Draco, Draco, Draco!" seruan beruntun Pansy sampai di sebelahnya. "Kenapa kau membiarkan Potter duduk di sebelahmu? Kenapa? Sejak dulu aku menginginkan duduk di sebelahmu tapi kau memberikan tempat untuk Potter dengan—"

"Berisik, Pansy," desis Draco, memotong curhatan Pansy yang disertai air mata buaya. Ia berpikir sejenak, menjernihkan otaknya, dan akhirnya mendapatkan sebuah ide yang mungkin bisa meredakan kegondokannya terhadap Potter.

Sebuah seringai melekuk di bibirnya, dan Draco mengubahnya menjadi senyuman tampan untuk Pansy.

Protes demi protes Pansy memudar, dan sekarang gadis itu membalas senyumannya dengan senyuman gigi cemerlang.

"Pansy," Draco menyebutkan nama gadis itu dengan lembut, "Maukah kau membantuku mengurus murid baru itu?"

.

.

~ te be se ~

Hana's Footnote:: WAAAA multichap baru! *menghindar dari timpukan bambu runcing* Tercipta dari plotbunny yang dengan parahnya minta ditulis terus. Gimana, gimana? Ancur? Aneh? Silakan tuangkan komentar pembaca sekalian di kotak review :D btw, Hana udah nulis second page-nya, tinggal tunggu respon reviewer #bow

Reviews always keep my typing on!

Peyukcium,

-Hana,

Finished: July 7, 2012.