Wordcount: 4,122
Warnings: Slash, light OOC, iklan beberapa hal yang Hana disclaim, AR
Hana's Headnotes: Hana beneran, seriusan, BERTERIMA KASIH buat dukungan kalian semua :,) favs, alerts, terlebih review... itu udah kaya air berlian aja deh. #lebaynyakumat hehe. Enjoy and Happee Reading!

Fourth Page
of —
Action Speaks Louder

IV.

:: Uninvited Guests::
Draco tidak akan mau melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa dibayar, dan Draco akan meminta bayarannya pada Potter dalam... kertas itu.

.

::

.

Sabotase selesai.

Paku-paku sudah dipasang Draco supaya saat berputar, paku akan segera menancap di rodanya. Beberapa paku disebar juga dengan posisi terbalik supaya memperparah kondisi roda, dan mata kelabunya bisa menangkap angin perlahan-lahan meninggalkan ruang di ban roda yang mengempis.

Draco telah berakting baik sekali sebagai pemilik Motor-Punya-Orang-Tolol, sehingga tidak dirasakannya ada tatapan heran atau curiga terarah padanya. Dan dengan gerakan super smart Draco, tidak ada yang menyadari bahwa sedaritadi paku telah berada di sekeliling motor Diggory.

Jika ada orang lewat? Itu perkara mudah. Draco telah mengantisipasinya dengan memindahkan motor Diggory ke pojok lahan parkiran yang tidak mencolok, dan dengan kejeniusan otaknya, Draco terlihat seperti tengah membetulkan si Motor-Punya-Orang-Tolol.

Intinya, sabotase motor Diggory berjalan lancar, membawa rasa manis yang memuaskan ke lidah Draco. Biar Diggory tahu rasa karena telah membuat fans-nya berkhianat.

Ia mengambil tas hitamnya dari jok motor, lalu berjalan menjauhi Motor-Punya-Orang-Tolol.

Kakinya melangkah dengan percaya diri keluar dari lahan parkir, menuju Aula, dengan senyuman menggoda ketika gadis-gadis yang lewat menatapnya dengan pipi merona.

Matanya beredar, dan Draco melihat kepala Potter yang rambutnya seakan tidak pernah mengenal sisir seumur-umur, berdiri tegak bersama pemuda mirip Edward Cullen. Ada beberapa gadis yang mengelilingi Diggory, dan Draco yakin pasti Pansy ada di antara kerumunan itu.

Draco agak kaget saat melihat Daphne berada jauh dari kerumunan, dan ketika bertemu tatap dengan Draco, gadis dengan rambut terurai itu tersenyum manis penuh makna.

"Potter," panggil Draco, dan pemilik namanya berbalik. Sekilas ada pertanyaan, 'kenapa lama sekali?' di iris jernih itu. Draco merogoh sakunya, dan memasang senyuman ramah. Telinganya mendengar helaan meleleh dari para gadis. "Kau lupa kertas tugasmu," Draco menyerahkannya.

Alis Potter mengerut menerima kertas dari Draco. Pasti matanya menangkap tulisan-tulisan (rapi) Draco di baliknya. "Trims," gumam Potter. Biarpun berbisik, ini pertama kalinya Potter berterima kasih.

"Aku senang bisa membantumu," balas Draco.

"Itu kertas apaan?" terdengar suara penuh kecemburuan di antara gerombolan gadis yang mengelilingi mereka.

Draco menoleh dan tersenyum tipis pada Pansy—si sumber kecemburuan. "Daftar tugas, Pansy. Potter meninggalkannya di kelas."

"Kalau begitu," si Edward Cullen angkat bicara, kecurigaan mengalir deras di perkataannya. "Kenapa kau muncul dari arah parkiran, bukan dari gedung sekolah?"

"Tadinya aku mengajak Potter pulang bareng dengan motorku," kata Draco lancar, menghasilkan pekikan tidak terima dari Pansy dan mata Potter juga Diggory yang melebar. "Kalau kalian berpikir kami akan kencan, itu fitnah. Aku dan Potter hanya ingin menyelesaikan tugas, dan daftarnya ada di kertas yang tadi kukembalikan ke Potter."

Draco menatap mata kelabu Diggory dingin, dan batinnya sewot melihat seberapa miripnya mata kelabu sang Draco Lucius Malfoy dengan Edward Cullen gagal itu.

Dari ekor matanya, Draco bisa melihat Potter membuka kertasnya yang tidak lagi kosong, membacanya sebentar sekali, lalu menutup matanya—seakan ingin menelan amarahnya bulat-bulat.

Draco nyengir dalam hati.

"Terserah padamu," kata Diggory lebih dingin, dan ia menatap Potter. "Kau tetap mau pulang bersamaku 'kan?"

Potter membuka matanya, hijau di irisnya terang penuh emosi, tapi garis wajahnya tetap dingin dan terkontrol. "Tidak," tolak Potter, dan benak Draco melompat-lompat seirama lagu LMFAO yang berjudul Party Rock Anthem. Draco bisa shuffling, tapi ia lebih memilih breakdance atau pantomime di pikirannya. "Aku harus pergi bersama Malfoy."

"Kenapa?" suara Diggory berat dengan kekecewaan. Para gadis di sekeliling menggigiti kuku-kuku bercat norak mereka—Pansy menggigiti novel Breaking Dawn-nya (untuk apa gadis itu bawa-bawa novel tebal?) dengan ekspresi patah hati. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

Potter memandang Diggory seakan-akan kepalanya bertambah menjadi tiga. "Aku wajib mengerjakan tugasnya. Kita pergi lainkali," kata Potter bernada final, air wajah tak tersentuh, sangat tenang, lalu menghadap Draco dengan pandangan yang diam-diam membunuh. "Kerjakan di warnet."

Draco menghela nafas. "Aku punya tablet. IPad. Atau laptop. Beserta modemnya."

Potter tidak membalas apa-apa, sama sunyinya dengan gerombolan gadis dan Diggory yang masih murung, juga Pansy yang matanya berkaca-kaca. Sungguh berlebihan, gadis itu.

"Terserah," gumam Potter dingin, lalu menarik lengan Draco dengan kasar. Dari tangan mereka yang bersentuhan, Draco merasakan emosi membuat kulit Potter makin hangat. "Dimana motormu?"

Ini bagian dari akting, otak Draco yang smart menganalisa, dan punggungnya menjadi pendaratan pandangan penuh cemburu para gadis (dan Diggory). "Di seberang motor Cullen," kata Draco.

Mereka mendekati motor Draco yang kelihatan berharga tinggi, dan Potter melepas tangan Draco seakan tangannya menyentuh lahar panas. Tatapan cemburu terhalang pohon yang menutupi mereka. "Bisakah kau memanggilnya dengan normal?" tanya Potter dingin.

Draco mengeluarkan kunci motornya, "Memang panggilanku itu tidak normal?" tanya Draco halus.

Potter memutar matanya, "Jangan menggunakan nada bicara seperti itu kepadaku," Potter pasti ingin menambah kata, 'menjijikkan', tapi Draco telah mendahuluinya.

"Aku tidak menjijikkan, Potter, aku orang yang higienis," sela Draco, masih menggunakan nada lembutnya yang dikritik Potter. Ia meraih helm hitam yang menggantung di kaca spion, lalu mengisyaratkan agar Potter segera naik. "Ayo. Aku punya firasat kalau Cedric-mu itu bisa mengetahui bahwa yang menyabotase motornya itu kita."

Potter mengirimkan sebuah tendangan yang bagus ke knalpotnya, lalu memukul bahu Draco dengan tidak lembut, sebelum menaiki motor Draco. "Aku tinggal bilang yang menyabotase itu Malfoy, bukan aku."

Draco tertawa singkat, dan ia lebih tahu cara apa yang membuat Potter terganggu. "Setidaknya," suaranya merendah, dan Pansy selalu bilang suara rendahnya itu seksi. "Aku bersamamu saat ini. Dan kau tahu? Mendengarmu mengucapkan namaku itu sangat—"

Potter menendang betis Draco dengan kuat, sehingga nyeri membuat Draco mengernyit. "Ribet. Cepat pergi dari sini."

Draco paling tidak suka diperintah. Maka itu, ia menyandarkan punggungnya sampai bertubrukan dengan tubuh Potter di belakangnya, sementara tangannya terulur untuk meraba paha Potter. "Begini lebih nyaman," gumam Draco, menatap wajah Potter dari kaca helmnya, nyengir melihat warna pipi Potter gabungan dari merah dan hijau.

"Kau—" gigi Potter bergemeletuk, tapi bukan karena kedinginan. "Kau orang paling menjijikkan, narsis, dan selalu melakukan hal yang tidak perlu."

Mendadak tubuh Draco terhempas ke depan, nyaris membuat motornya maju menabrak gerobak sampah yang lewat, lalu cepat-cepat menegakkan diri. Selain mendorong tubuh Draco, Potter juga meninju bahunya.

Draco harus lebih cerdas lagi jika ingin menggoda Potter, sepertinya. Ia tidak mungkin terus mendapatkan luka, bukan?

Oleh sebab itu, Draco menyalakan mesin motornya, dan langsung melaju tanpa bilang apa-apa ke Potter yang menumpang. Lengan Potter sesaat memeluk pinggangnya ketika detik pertama Draco mengebut, tapi Potter langsung memindahkan lengannya ke pegangan motor di belakang. Sungguh disayangkan.

"Mau kemana kita?" tanya Draco, pandangan tetap lurus ke depan, menyalip mobil-mobil mewah sampai bajaj di jalanan.

Potter tidak menjawab.

"Hey," Draco meninggikan suara setelah mendorong kaca helm ke atas. "Potter, kau serius mau ke Manor-ku?"

Tidak ada jawaban dari Potter.

Draco menurunkan kaca helmnya, lalu minggir mendekati trotar, dan menarik rem mendadak.

Draco bisa merasakan wajah Potter menubruk punggungnya bersama kacamatanya. Draco tertawa.

"Apa?" desis Potter penuh kegelapan. Potter meninjunya lagi di bahu, tapi lebih pelan.

Draco melepas helm, membiarkan rambut pirangnya menjadi keemasan diterpa cahaya mentari di siang hari. Matanya melirik spion, memandang Potter yang wajahnya terlipat kesal, sambil sesekali melihat sosoknya di cermin cembung itu—selalu sempurna, batinnya narsis.

"Kita mau ke mana?" ulang Draco, melepas tasnya dari punggung, lalu menoleh ke belakang. "Kau kesempitan duduk dengan tasku?"

Potter mendelik ke arahnya, lalu merampas tas Draco dari tangan pucatnya. Tangan Potter saat itu terlihat lebih terang di bawah matahari, dan biarpun kulitnya sedikit lebih cokelat dibanding Draco, kulit Potter terlihat lebih lembut.

"Kalau kau ingin aku membawakan tasmu," kata Potter, matanya dipenuhi keinginan tertawa dan menghina sekaligus, lalu membuang tas Draco ke trotoar. "Silakan bermimpi."

Draco mengabaikan beragam tatapan dari orang-orang di sekeliling mereka, lalu melirik Potter kesal. "Kau menumpang. Kau tidak menyetir. Kau tidak menyabotase," Draco berputar agar bisa menyentil hidung Potter gesit, supaya Potter tidak menampar tangannya. "Kurang murah hati apa, aku ini? Apa aku harus menyerahkan sertifikat Manor agar kau bisa melihat betapa baiknya aku?"

Potter membuang muka, mulutnya melengkung ke bawah, dan ada secercah rasa bersalah di pandangan zamrudnya.

"Potter," Draco memanggilnya lebih lembut, diam-diam senang bisa membuat Potter merasa bersalah. Pasti hanya Draco yang bisa membuatnya begitu. "Ambil, dan please, pegang tasku sampai ke Manor."

Mata Potter bergulir, dan berhenti untuk memberikan tatapan dingin pada Draco, "Cerewet," gumam Potter.

Draco tidak membalas, karena Potter kini mengambil kembali tasnya dengan kaki, lalu memegangnya tanpa kasih sayang. Ia baru saja mau berkomentar saat Potter mendorongnya agar kembali menghadap jalanan,

"Cepat jalan. Fans-mu bisa saja membuntuti," kata Potter.

Draco otomatis melirik spion, tapi ia tidak melihat ada kendaraan pribadi yang dimiliki fans-nya. "Tidak ada siapa-siapa," kata Draco, memasang kembali helmnya. "Seandainya ada, pasti itu si Edward Cullen yang cemburu berat karena aku membawamu pulang."

"Kau menyabotase motornya, ingat?" tanya Potter dengan gelap.

"Itu kita, yang menyabotase motornya," balas Draco tenang. Ia men-starter motornya, lalu mengubah gigi dari netral ke gigi dua. "Apa hubunganmu dengan Diggory?"

"Seperti mimpi kalau aku memberitahumu," gumam Potter datar.

Draco mendengus, lalu kembali meluncur ke jalan raya. Lewat kaca spionnya, dari kaca helmnya yang gelap, mata kelabunya menikmati pemandangan berupa Potter yang kelihatan sekali tidak pernah berpergian menaiki motor.

.

.

"Selamat datang di tempat tinggalku. Manor keluarga Malfoy yang telah diwariskan secara turun-temurun, dan suatu saat akan turun kepadaku," Draco menjelaskan (dengan bangga) setelah memarkir motornya di antara mercedes hitam gloss dan jaguar milik Father. Sekarang, Draco menuntun Potter melewati taman dengan patung raksasa yang dikeliling air mancur berwarna-warni akibat pembiasan matahari pukul satu lewat tiga-puluh siang.

Tadinya Potter minta diturunkan di trotoar, tapi ternyata gerombolan fans Draco, bersama Motor-Punya-Orang-Tolol yang dikendarai Diggory, membuntuti Draco dan Potter. Sehingga... Potter harus rela diseret ke Manor.

"Hm," respon Potter, matanya mengelilingi taman, sampai ke pintu masuk maze dari lengkungan besi yang dililit rangkaian mawar putih di bagian paling timur taman. "Itu maze?"

"Pintunya," koreksi Draco, kepuasan mewarnai tebal suaranya. Ia tahu Manor-nya memang sangat mengagumkan. Apalagi pemiliknya, tambah Draco—narsisnya kumat. "Sebenarnya, itu shortcut untuk ruang-ruang rahasia di Manor."

"...Maksudmu, untuk kegiatan bisnis underworld?"

Senang bicara dengan mahluk yang kecerdasannya setara... "Pamanku mafia. Bibiku kriminal yang sedang disidang karena meledakkan salah satu kota di Israel. Sementara relatif lain sering menggunakan ruangan-ruangan itu untuk meeting sesama pebisnis gelap."

Potter tampak ingin menanyakan hal lain, tapi sampai mereka di depan pintu utama, tidak ada pertanyaan yang keluar.

"Tunggu," kata Potter, menghentikan tangan Draco yang kini memutar kunci emas dengan pola rumit di lubangnya.

"Kenapa?" Draco membiarkan kunci itu menancap.

Potter mengambil kertas dari sakunya—itu kertas yang Draco tulis—meremasnya, dan melempar kertas itu tepat mengenai titik di antara kedua mata Draco.

"Aku tidak akan pergi bersamamu," kata Potter, mengeluarkan tiap katanya bagaikan es yang dipahat setajam pedang.

Draco memungut kertas yang telah diremukkan itu, dan membuka isinya.

Dinner. Saturday night. Alone with me.

"Invitation ini adalah gaji untuk sabotase yang kulakukan pada Motor-Punya-Orang-Tolol," kata Draco kalem, tersenyum tanpa humor.

"Tidak perlu penjelasanmu," kata Potter, menatapnya lebih menusuk dibanding dingin. "Apa maksud tindakan konyolmu?"

"Ini tidak konyol," Draco membela kertas kucel yang dipegangnya. Tulisan indah dari bolpoin hitamnya terlihat mencolok di bidang putih. "Kaulah yang konyol bila menolakku. Mana rasa terima kasihmu?"

Potter memberikan tatapan mematikan. "Memang seberat apa menyabotase Motor-Punya-Orang-Tolol?"

"Aku suka kau memanggil motor punya your Cedric itu dengan nama menghina," komentar Draco. "Oh. Untuk pertanyaanmu; aku harus akting, menjaga tingkat kecurigaan seminimal mungkin, dan mengeluarkan dua-puluh enam paku."

"Kau keberatan dengan harga pakunya?" Potter bertanya dengan tidak percaya.

Draco mencondongkan kepalanya ke arah Potter. "Aku bisa membangun pabrik paku sekarang kalau aku menghendakinya," ucap Draco, senyuman ramah terpeta di bibirnya yang berkedut menghina. Potter sangat keras kepala. "Yang membuatku keberatan adalah jika kau menolak undanganku yang jadi fantasi para gadis."

"Kau pikir aku punya otak burung unta seperti para fans-mu yang cacat mata itu?" suara Potter lebih keras dibandingkan suaranya yang biasa mirip bisikan.

"Mungkin iya, mungkin tidak. Aku tidak melihat otakmu dari sini," balas Draco lembut, kontras dengan perkataannya. "Kenapa kau tidak menerima? Kau tidak akan rugi barang sedikitpun. Sedetikpun."

"Aku tidak peduli pada materi, Malfoy," Potter menyebut namanya penuh penekanan sehingga aksennya membuat nama belakang Draco terdengar asing. "Ini harga diri."

"Aku tidak melakukan pelecehan apapun terhadapmu," kata Draco, menyandar pada daun pintu.

Potter memejamkan matanya sesaat, lalu membuang muka. Lengan melipat di depan dadanya, dan ekspresinya kembali datar. Draco kesal sendiri melihat wajah itu. Padahal tadi ia berhasil mengeluarkan bergaris-garis emosi dari Potter.

"Terserah," kata Potter dingin setelah jeda yang cukup panjang.

Draco mengulum seringai kemenangan. Nah, baru ini yang namanya jerat pesona seorang Draco Malfoy, "Terima kasih banyak," katanya, jaga imej, lalu memutar kunci ke arah timur sampai bunyi 'ding' pelan terdengar. Draco menarik kuncinya keluar dari lubang, dan pintu itu menggeser terbuka tanpa didorong.

Draco masuk, diekori Potter, lalu pintunya menutup dengan gebrakan yang cukup nyaring.

"Mana keluargamu?"

Draco kaget Potter mendadak bertanya dan memulai sebuah topik. Biasanya, Potter hanya akan mengamati dalam diam seperti patung dengan pahatan zamrud di matanya. Ia mengontrol kembali air wajahnya, dan Draco menoleh sedikit untuk membalasnya,

"Mereka semua sibuk di ruangan masing-masing," kata Draco, dan tersenyum pada wajah Potter yang terlihat bingung. "Kau penasaran atau khawatir pada kondisi psikologisku?"

Pipi Potter diwarnai merah muda yang sangat pucat, "Aku tidak menemukan siapapun yang menyambutmu pulang," gumam Potter, lalu memberikannya tatapan tajam. "Jangan GR."

Draco tertawa, dan menyejajarkan langkahnya sehingga ia berjalan berdampingan dengan Potter. "Sambut aku, kalau begitu."

Potter memberikan tatapan datar, "Kau boleh berkhayal."

Draco tertawa lagi, kali ini sambil merangkul bahu Potter. Kaki mereka menapaki anak-anak tangga dari marmer yang bercorak melingkar-lingkar. "Cukup tersenyum, Potter, tidak mahal 'kan?"

Potter memberinya tatapan yang menjanjikan tendangan savate tingkat menengah yang lebih menyakitkan dibanding tendangan sebelumnya.

"Oke, aku akan mengalah," kata Draco, memaksakan senyuman pada pemuda yang masih berusaha melubangi kepalanya dengan tatapan. "Sampai kapan kau mau di Manor-ku?"

Potter mengambil ponselnya dari saku, lalu mengetik dengan cepat di atas keypad. Draco mau mengintip apa isinya, tapi Potter telah kembali menyimpan ponselnya.

"Aku harus memastikan Cedric telah berhenti membuntutiku," gumam Potter, lalu menatap Draco. "Usir fans-mu juga."

"Tidak bisa," tolak Draco, berbelok ke kanan sambil memainkan kuncinya di tangan. "Aku menghargai fans-ku yang setia mengagumiku."

Potter mendengus. "Aku berharap kuman narsismu tidak mengontaminasiku."

Draco tersenyum, berhenti di depan pintu kamarnya yang dilabeli, 'PRINCE'S ROOM' dengan kenop berhias permata. Mata kelabunya berkilau menghadap Potter. "Aku berharap senyumanku mengalihkan duniamu."

Potter memutar matanya, seperti habis melihat roti gandum digoreng bersama kalkun bersaus tiram—menjijikkan.

.

.

"Kau meng-SMS siapa, sih?"

Draco tengah duduk di kasur king-size-nya yang berkelambu di tengah kamarnya, sementara Potter duduk bersimpuh jauh sekali di dekat jendelanya yang besar bertirai hijau pucat.

"Tidak perlu tahu," jawab Potter singkat.

"Judes," komentar Draco, bangkit dari kasurnya ke arah Potter yang duduk bersimpuh. "Kakimu tidak pegal duduk dengan posisi itu?"

Potter tidak mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. "Tidak."

"Setidaknya, hormati pemilik kamar, Potter," gerutu Draco, duduk di kursi yang berada di samping Potter. Draco tidak tahu kenapa Potter malah lebih memilih duduk di lantai.

"Hmmm," kata Potter. "Cedric belum pulang ke apartemennya."

"Lalu?"

Potter tidak menjawab.

Draco tidak kembali bicara. Mata kelabunya terpaku ke bawah, memandang kepala Potter yang agak menunduk ke arah layar ponselnya.

Sekarang agak sore, dan sinar keemasan membanjir dari jendela Draco yang tirainya dibuka. Kacanya tembus-pandang, maka itu Potter yang duduk di dekat jendela menjadi sangat... bercahaya.

Draco menikmati keheningan yang menggantung dan Potter yang tidak sadar bahwa menjadi pusat pandangan Draco, sebelum bunyi bebatuan kecil yang menabrak kaca membuat alis Draco terangkat sebelah sambil bangkit dari bangkunya.

Kerikil itu muncul dari bawah, dan mengenai jendela yang kini Draco pandang. Potter juga berdiri di sebelahnya, tapi wajahnya tidak semarah Draco.

Draco menurunkan pandangannya, dan disitulah sumber pelemparan kerikilnya.

Diggory. Si Edward Cullen gagal. Orang yang membuat fans Draco berkhianat. Cedric-nya Potter.

Draco segera mendorong kaca jendelanya terbuka, tidak melepas pandangan mematikannya pada Diggory yang berada di bawah sana bersama Pansy, Greengrass, dan... mahluk apa itu? Ginny Weasley?

Draco berjanji akan menyuruh pelayannya menggosok, menyabuni, juga membersihkan tempat yang dipijak Weasley dan Diggory itu.

"Heh," bentak Draco galak dari jendela yang dibuka. "Kata siapa kalian boleh berdiri disini?"

Pansy tampak mau menangis di sebelah kanan Diggory, sementara Daphne memasang cengiran polos. Weasley yang ada di sebelah kiri Diggory tidak menatapnya, malah terus memandangi wajah Edward Cullen gagal itu.

Draco tahu dari awal bahwa Daphne-lah alasan utama dua manusia rendahan itu menampakkan diri di area Manor-nya.

"Aku ingin Harry!" balas Diggory, tanpa norma berkomunikasi dengan tuan rumah yang baik dan benar. "Kau menyabotase motorku!"

Draco memberikan death glare, bersiap meneriakkan kata berupa, 'dasar mahluk jelata kotor tak tahu diri!', atau, 'pergi dari Manor-ku, atau kupanggil polisi!', atau, 'kehadiran kalian membuang-buang oksigen saja!'; tapi tertahan akibat Potter yang menarik lengannya sampai bunyi 'kretek-kretek' terdengar. Ouch.

"Aku tidak akan membiarkan kau berkata kotor pada Cedric," gumam Potter dengan keputusannya yang tanpa penolakan. "Kau diam. Biar aku yang bicara."

Draco benci mengiyakan, tapi demi hidupnya supaya tidak punah, Draco mengangguk dingin.

Potter memberikannya tatapan memperingati terakhir, lalu mencondongkan kepalanya keluar jendela.

"Cedric," sahut Potter datar. "Kau pulang ke apartemenmu saja. Miss Eliza punya titipan untukmu."

"Tidak mungkin," mata kelabu Diggory lebih cerah, tapi alis cokelatnya mengerut. "Aku tidak bisa bertaruh meninggalkanmu dengan orang tidak dikenal yang rumahnya berbelit begini. Kau pasti kesulitan kabur."

Draco nyaris mengambil vas bunga di coffee table terdekat dan menimpuknya ke kepala kurang ajar Diggory.

"Jangan menganggapku bocah ingusan," gerutu Potter, angin berhembus makin kencang, membawa helaian hitam Potter berurai di udara. Dari beberapa helaian yang disinari matahari, Draco bisa melihat ada garis-garis warna merah di antara rambut gelapnya. "Pulang, Cedric."

Bukannya Diggory yang membalas, Pansy malah menatap tajam Potter.

"Kau rela mengusir Eddie-ku yang susah payah mengganti ban motor lalu mengejarmu sampai kesini? Potter, you're such a terrible, ugly, silly wanker!"

Draco berdeham di samping Potter, tangan pucatnya melingkar kilat di bahu Potter. Saatnya menjadi pahlawan. "Pansy, tidak ada yang boleh berkata kasar di hadapan tuan rumah."

Pansy menciut seketika, seolah ada penyihir imajinasi yang mengubahnya menjadi kurcaci dengan tubuh mirip bola pingpong.

Daphne tertawa sambil menutup setengah wajahnya dengan kipas hitam polos yang sewarna dengan kuku-kukunya.

"Malfoy, kau tidak berhak bicara pada—"

"Maaf, Weasley," potong Draco membekukan, lengan di bahu Potter mengerat. "Aku tidak bicara pada fanatik Twilight yang cuma ikut-ikutan menyerbu Manor-ku."

Wajah Weasley makin merah, dan gadis itu merapat pada Diggory yang sepertinya hanya memfokuskan perhatiannya pada Potter yang dirangkul Draco.

"Ini menghabiskan waktu," desis Potter, pelan, dan pasti tidak terdengar di telinga empat orang yang mendongak itu.

"Kau mau menggunakan rencana B?" tawar Draco, padahal tidak ada rencana A. Tidak ada rencana apapun sejak awal, lengkapnya.

Potter menoleh sehingga Draco berhadapan dengan mata hijau sepenuhnya. "Apapun. Yang penting Cedric bisa kembali ke apartemennya."

Draco menarik-narik kerah di belakang kepala Potter. Pemuda itu tidak sadar kerahnya dimainkan. "Kau berjanji mau memberitahuku apa alasanmu mengusir Cullen?"

Potter memberikannya tatapan menghina. "Asal kau berjanji tidak memanggilnya macam-macam."

Draco nyengir. Soal begitu sih ringan... karena Draco telah mendapatkan rencana yang akan membuatnya satu langkah lebih dekat untuk menginjak harga diri Potter. "Kau bisa pegang janjiku," kata Draco mantap.

Potter ragu. Kelihatan sekali dari gurat ekspresinya. "Tapi, aku ingin dengar dulu apa bunyi rencanany-ah!"

Draco telah menghadap keempat mahluk di bawahnya itu, bersamaan dengan lengannya yang menggelincir turun sengaja sampai nyaris menyentuh bokong Potter. Draco merasa Potter terlonjak—membuat ucapannya terpotong dengan tarikan nafas tajam—lalu melebarkan seringai yang berselimut senyuman inosen.

"Sebenarnya," Draco merapatkan tubuh mereka, dadanya membentur punggung Potter yang masih didera syoknya, dan bibirnya mencium puncak kepala Potter yang ditumbuhi rambut-rambut liar lembut. "Aku dan Harry masih ada urusan yang belum diselesaikan di kamar pribadiku."

Draco bisa merasakan seringainya melebar dihalangi rambut-rambut Potter, sementara tubuh di pelukannya menegang tanpa suara. Pansy menjerit dengan wajah membiru, Diggory memucat dengan mata membelalak, Daphne tiba-tiba saja sudah memegang camdig-nya yang diambil dari kantung rahasia dalam seragamnya (soal muat atau tidaknya itu ditanyakan pada kaum gadis, karena Draco itu cowok), lalu blitz menjepret berkali-kali ke arah Draco yang masih menempel dengan Potter di lubang jendela.

Draco tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi pada Weasley, karena Weasley muncul secara tiba-tiba, tidak jelas asalnya darimana, dan Draco tidak mempedulikan gadis kampungan sepertinya untuk menjadi fans Draco.

"Aku tidak percaya akhirnya kalian mengakui hubungan kalian! Aku tidak percaya!" seru Daphne dengan wajah sumringah. Mata hijau gelapnya berbinar, bibirnya yang berkilau tersenyum lebar. "Kau tahu, Draco, Potter, aku yakin Klub Jurnalistik akan memberiku honor melimpah kalau foto ini beredar di setiap mading!"

Draco sudah memprediksikan jiwa bigos (biang gosip) Daphne pasti langsung membara, tapi tidak untuk reaksi Potter.

"Mustahil," bisik Potter.

Draco sudah akan menoleh, ketika tamparan luar biasa menyambutnya sampai kepala Draco seakan nyaris copot dari engselnya ke arah kanan, dan tubuhnya terhuyung sampai menabrak dinding tepat di sebelah jendela, sehingga 'tamu' terhormat di bawah sana akan kesulitan melihatnya dan Potter.

Pipinya cenat-cenut, dan Draco bisa membayangkan reaksi Pansy yang pasti langsung histeris, Daphne yang tidak merasa bersalah karena baginya berita itu lebih penting dari makan dan minum, Diggory yang puas Potter berhasil menamparnya dengan dahsyat, sementara Weasley... well, gadis itu tidak penting saat ini.

"Jangan. Pernah. Lakukan. Itu. Lagi. Padaku."

Semuanya penuh penekanan, tiap katanya dingin, tiap jedanya mematikan seperti racun ular, perkataan Potter sangat menusuk sampai rasanya sakit menatap mata hijau yang menyipit dengan sadis itu.

"Aku menyelamatkanmu, idiot," balas Draco, nafasnya kacau. Pipinya panas dan nyeri, tapi Draco tidak membawa tangannya menutup pipinya. "Kau bilang ingin mengusir Diggory—"

"Kau bisa tunggu konfirmasiku dulu," suara Potter naik dua oktaf lebih. Baru kali ini Draco melihat ada kepanikan dan emosi yang memancar keluar dengan berantakan dari mata emerald-nya. "Gadis itu membawa kamera!"

Draco terpana melihat mata hijau Potter mencerah ke beberapa shade yang menimbulkan mata itu jadi mirip lampu; fenomena yang sangat langka, begitu indah. Draco tak bisa melepaskan pandangannya dari mata yang tidak hampa lagi itu.

Potter makin kesal melihat Draco membatu dengan begonya di dinding. "Say something! Aku tidak ingin wajahku terpampang di mading! Dengan fitnah, pula!"

Otak Draco berkerja. Kalorinya disalurkan untuk berpikir keras. Potter masih menatapnya nanar, dan Draco agak heran kenapa Potter sepanik itu... ia seharusnya bangga bisa bersanding dengan manusia sesempurna Draco Malfoy di mading. Ah, akan tetapi, Potter memang mahluk yang penuh kejutan...

"Aku punya rencana back-up," ucap Draco setelah kesunyian melanda, dan telinganya mendengar ribut-ribut di luar jendela. Pasti Pansy berusaha merebut camdig Daphne. "Aku bisa membuai Daphne untuk memberikan camdig-nya."

"Tidak akan berhasil," gumam Potter, mendelik pada Draco. "Kau terlalu besar kepala."

"Dan kau sok meramal. Aku yakin aku bisa meminta foto-foto itu dari Daphne. Apa yang tidak bisa kulakukan?" Draco menyentuh pipinya yang berdenyut sakit. Ia harus memanggil dokter supaya pipinya tidak membengkak... ia tidak mungkin tampil buruk di depan para fans-nya. "Potter. Kalau kau segitu ragunya, mau bertaruh denganku?"

Sebelum Potter menjawab, ada seruan, 'HENTIKAN!' dari arah tamu yang tidak diundang di bawah sana.

Draco mengabaikan seruan itu, karena momen bersama Potter lebih penting.

"Aku tidak bertaruh."

Draco memutar matanya, mengerang pelan ketika tangannya menyentuh bagian yang kena damage paling parah. "Pengecut."

Potter tampak tersinggung. Terlebih, di kondisinya yang mulai lepas kontrol, sepertinya emosi lebih mudah menghancurkan tembok expressionless Potter. "Aku bertaruh kau akan gagal mendapatkan foto itu," bisik Potter.

Draco menyerigai. "Aku akan menang telak," kata Draco percaya diri, menatap Potter seperti elang yang hendak menangkap mangsanya dari kejauhan. "Kalau aku menang—kau harus, wajib, datang ke dinner yang kupersiapkan. Dengan segala peraturannya. Juga semua hal yang kuinginkan."

Potter menatapnya tajam, menghasilkan rasa ribuan tombak menghujam pandangan Draco, menusuknya telak sampai ke belakang kepala. "Kalau kau gagal," tatapan Potter berubah mendadak menjadi sangat dingin. "Ijinkan aku menendangmu sepuasnya di lapangan sekolah. Terutama, menendang wajahmu."

"Silakan," kata Draco santai, melebarkan lengannya dengan ekspresi merendahkan. Seberapa mengintimidasinya Potter, yang namanya permainan, akan dimenangkan oleh Draco seorang. "Aku akan membuatmu merasakan kekalahan."

Sementara Draco dan Harry memulai awal pertaruhan yang menggunakan harga diri sebagai bahan mentahnya, Daphne tengah berseteru hebat sambil memegangi camdig-nya erat-erat dengan Pansy dan Cedric mengenai foto yang masih panas sementara seorang gadis berambut merah diusir karena dianggap tidak punya urusan apapun dengan mereka.

Tinggal tunggu pihak manakah yang menang—Draco? Atau Harry?

.

.

~ TeBeSe ~

Hana's Footnote:: Thanks a bunch for readers and reviewers that still wait for another update! #peyuk Hana tambah bahagia kalo seandainya kalian nulis apa yang kalian pikirin abis baca fic ini. :D and for Ginny... no bashing, really. Sorry! Maaf telatnya sampe berbulan2 gini... Hana ga pede banget dengan chap satu ini, entah napa. Luckily, besok libur, jadi ada waktu buat update.

Say something!

Peyukcium,

-Hana,
Finished: July 29, 2012.