Maaf kan aku baru update sekarang... hehe, maklum, fanfic terlalu banyak yang numpuk

Ok, silahkan dinikmati


Definisi adalah sebuah arti yang digunakan manusia untuk mengidentifikasi sesuatu. Kedengarannya sulit, tapi sebenarnya cukup sederhana. Seperti, wanita adalah manusia yang memiliki kromosom XX di gennya. Jadi, agar seseorang bisa disebut wanita, maka kromosomnya harus XX. Bukan XY, XXY atau XO.

Tapi sayangnya, mendefinisikan sesuatu terkadang tidak semudah kedengarannya.

Seperti cinta.

Cinta adalah...

Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi.

Cinta adalah suatu perasaan yang positif dan diberikan pada manusia atau benda lainnya.

Cinta adalah...

Berarti banyak hal.

Karena cinta adalah sebuah emosi, maka cinta sangatlah subjektif. Rasanya akan berbeda-beda untuk setiap orang, sehingga sangat sulit mendefinisikan cinta.

Memang kenapa kalau sulit mendefiniskan cinta? Ada masalah?

Tentu ada, karena akan sulit juga bagi seseorang untuk mengetahui apakah ia jatuh cinta atau tidak.

Apakah ini cinta, obsesi atau... sister complex?

Pikiran rumit yang mirip dengan tesis ilmiah itu yang akhir-akhir ini berputar di kepala Kagamine Len. Remaja umur 16 tahun yang jago basket yang punya cap 'sister complex' kepada saudari kembarnya, Kagamine Rin.

Ia tidak suka disebut sister complex, ia merasa perasaannya pada Rin, rasa protektif, rasa sayang dan rasa-rasa yang lain itu semuanya wajar-wajar saja.

Yah, memang sih, ia tidak berlaku seperti saudara laki-laki pada umumnya. Ia mungkin sedikit kelewat sayang pada Rin. Ditambah dengan kenyataan bahwa ia belum pernah tertarik dengan gadis manapun menambah rasa curiga orang-orang di sekitarnya.

Ia dibilang sister complex, sedikit di luar batas normal tapi setidaknya hanya sedikit.

Tapi... ini benar-benar cuma sister complex kan?

"Kumohon, Len. Kenalkan aku pada Rin-chan!"

Len memandang masam pada Lio, teman seklub basketnya, sepupu Lily, si senior dengan body aduhai saingan berat Luka.

Siapa dia berani-beraninya memanggil saudarinya dengan "Rin-chan"?

"Kau kan bisa kenalan sendiri," jawab Len ketus tak mau menanggapi.

"Yah... soalnya dia kayaknya gak tertarik sama cowok gitu sih... makanya, kenalkan aku padanya ya, ya!" pinta Lio dengan semangat.

Len memandangnya dengan mata menajam. Bukan pertama kali ada teman laki-laki yang memintanya dikenalkan pada Rin. Mungkin Rin tidak memiliki body aduhai (tapi, kakinya ramping sangat putih, dadanya meski kecil sangat empuk- ok, berhenti di situ) tapi wajahnya sangat manis dengan kepribadian ceria dan supel. Semua orang mudah terpincut oleh senyuman manis dan ceria Rin.

Tapi, sedikit orang yang berani meminta Len mengenalkannya pada Rin. Tentu saja, Len terkenal sebagai sister complex. Ia pernah menghajar laki-laki yang berani menyibak rok Rin. Dan orang yang menaruh hati pada Rin pastinya akan langsung tidak disukai Len.

Mungkin, Lio cuma terlalu idiot untuk meminta Len mengenalkannya pada Rin.

"Tidak, kalau mau kenalan sendiri sana," omel Len dengan keras. Lio terdiam dan Len pun berlalu.

Saudara laki-laki yang normal mungkin tak akan keberatan mengenalkan satu-dua orang temannya pada saudari perempuannya.

Mungkin ada sebagian yang merasa kesal dan was-was.

Namun, mungkin seharusnya rasa cemburu itu tak ada.

Ia tidak merasa cemburu, Rin tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Saudari Len tersayang itu masih suci belum terjamah laki-laki manapun...

Namun, kalau bukan cemburu, kenapa Len begitu kesal?

IoI

"Mikuo, aku ingin bertanya sesuatu padamu."

Mikuo memandang Len, temannya yang tiba-tiba datang berkunjung ke rumahnya. Bukannya harusnya Len ada klub sepulang sekolah? Ia bukan murid "sekolah-pulang-sekolah-pulang" macam Mikuo. Namun, pemuda berambut teal itu hanya diam dan mempersilahkan Len masuk ke kamarnya.

"Soal Rin lagi?"

Len tidak menjawab, namun wajahnya mengatakan segalanya. Mikuo menyodorkan sekaleng jus pada Len yang segera diterima dan diteguk hingga habis.

"Aku ingin kita berhenti bersikap 'pura-pura tidak tahu'. Aku ingin bertanya jujur padamu."

Len berbicara dengan wajah serius yang ditanggapi dengan wajah tanpa ekspresi dari Mikuo.

"Perasaanmu pada Hatsune-san sebenarnya bagaimana?"

Mikuo mengedipkan mata sekali, lalu dua kali, hanya itu tanda bahwa ia kaget. Ia kemudian meneguk jusnya sendiri sambil memperhatikan ekspresi Len.

"Kau pikir aku akan langsung menjawabnya? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Mikuo. Ia tidak merasa marah, tapi ia tidak akan menjawab begitu saja pertanyaan yang begitu pribadi tanpa tahu alasan dibalik pertanyaan itu.

Len mendesah, sikapnya yang awalnya tegang sekarang mulai mengendur. "Entah aku... akhir-akhir ini aku tidak yakin dengan apa yang kurasakan... aku tidak mengerti," jawabnya.

Lalu Len menceritakan bagaimana Lio bicara padanya tadi. Mikuo hanya mengangguk sambil berpikir bahwa sepupu Lily itu pasti tidak punya otak. Masih untung ia tidak kena bogem dari Len, memang temannya itu tidak brutal tapi bisa di luar dugaan kalau sudah menyangkut kembarannya.

"Jadi, kau ingin tahu sebenarnya kau ini sister complex atau jatuh cinta?"

Wajah Len memerah, 'mencintai' Rin, kalau ia bicara hal itu kepada orang lain, mungkin ia akan menjadi sampah masyarakat. Namun, Mikuo orang yang sangat netral, dan lagi... ia merasa bahwa kondisi Mikuo tak jauh beda dengannya.

"Makanya aku ingin tahu, perasaanmu pada Hatsune-san itu seperti apa? Atau mungkin aku yang selama ini salah tanggap?" tanya Len.

Mikuo mendesah. Ia kemudian memandang ke luar jendela.

"Aku cinta padanya."

Len tertegun.

"Entah sebagai saudara atau lebih."

"Eh?" Len kebingungan, Mikuo hanya mendengus kemudian menyeringai.

"Jangan salah sangka. Aku tidak serta merta berubah pikiran begitu bangun tidur, menyadari kalau dia adalah gadis yang manis, ia tetap seorang kakak bagiku. Tidak berubah. Ia adalah Hatsune Miku. Kakakku yang pandai menyanyi, cengeng dan polos. Dari dulu sampai sekarang, perasaaanku tetap sama," kata Mikuo.

"Jadi?" Len tidak mengerti penjelasan Mikuo yang sepertinya tidak menjelaskan apapun.

Mikuo memutar matanya. "Maksudku, Miku adalah seorang gadis dan seorang kakak. Aku mencintainya, mencintai Miku. Yang kuncita bukanlah sisi 'kakak'nya atau sisi 'gadis'nya saja. Aku mencintainya kurasa... sebagai seorang adik, juga sebagai seorang laki-laki," jawab Mikuo.

Len hanya terdiam. Di drama pasaran soal hubungan cinta terlarang kata-kata "aku mencintaimu, bukan sebagai saudara" itu sangat umum. Karena itu, ia sedikit terkejut mendengar penjelasan dari Mikuo. Apa itu mungkin? Mencintai Miku sebagai seorang kakak dan gadis bersamaan?

"Bagaimana kau tahu... kau jatuh cinta padanya? Bukan hanya sekedar sister complex?" tanya Len.

Mikuo menyeruput jusnya lagi. "Entahlah... aku rasa aku sudah mencintainya sejak dulu, tapi pertama kali aku sadar mungkin...," Mikuo terdiam sejenak. Len menantikan jawabannya dengan was-was.

"Saat Miku pertama kali jatuh cinta kurasa," jawab Mikuo. Len termenung.

"Saat itu aku sadar, ia tidak akan selamanya di sisiku. Lalu aku sadar bahwa aku ingin ia selamanya ada di sisiku," lanjut Mikuo.

Len memandang jus kalengnya.

Selamanya... di sisinya?

"Tapi, perasaan cinta bagi tiap orang itu berbeda. Namun, pada saat yang sama hanya kau sendiri yang bisa menentukan bahwa kau ini jatuh cinta atau tidak," tukas Mikuo.

Len tertegun lalu kemudian mengepalkan tangannya. "Aku masih tidak mengerti...," jawabnya lirih.

"Kau akan tahu jawabannya dengan sendirinya nanti," jawab Mikuo, menghabiskan jus di kalengnya. Len hanya mendesah.

Ia berharap ia akan mendapatkan jawaban itu segera.

IoI

Berpulang dari rumah Mikuo, cuaca terlihat mendung menyamakan dengan suasana hati Len yang tidak menentu. Meksi begitu, ia sama sekali tak berharap hujan turun.

Sudah bisa ditebak, Len kehujanan.

Ia lari dari stasiun menuju rumahnya. Hari sudah menjelang malam, ia bisa saja memilih berteduh namun tak tega membayangkan Rin di rumah sendiri dengan hujan lebat begini.

Apalagi, sayup-sayup dari radio yang ia dengarkan di stasiun, sepertinya malam ini akan ada badai topan. Ia harus cepat pulang.

"Len!"

Suara yang sangat familiar, meski di tengah deru hujan dan angin Len bisa mengenalinya. Ia berbalik dan melihat saudari kembarnya dengan payung yang tampak percuma dengan sekeranjang belanjaan.

"Rin?"

Ia segera menghampiri Rin, meski pada payung, gadis itu basah kuyup.

"Kau baru pulang? Aku baru saja pulang belanja, lupa kalau kulkas hampir kosong," kata Rin, menjelaskan kenapa ia belanja di sore hari begini, bukannya setelah pulang sekolah.

"Ayo cepat pulang, kayaknya akan ada badai sebentar lagi," kata Len. Rin segera mengangguk. Sang pemuda mengambil alih payung dan mereka berjalan berdua menerpa hujan lebat.

Untuk apa pakai payung... yah, daripada tidak ada...

"Uwaah... basah kuyup...," kata Rin begitu mereka sampai di rumah, terlindung dari hujan.

Len mengagguk, ia segera melemparkan tasnya yang basah ke lantai. Matanya memandang ke segala arah kecuali pada Rin. Tak mampu rasanya ia menatap kembarannya dengan baju basah yang mencetak bentuk tubuhnya dengan jelas.

"Len mau mandi duluan? Aku mau beresin belanjaan ini dulu," kata Rin.

"Sudah, kau yang mandi duluan, nanti masuk angin," tolak Len, segera mengambil alih keranjang belanjaan Rin. Sebenarnya buku-buku di dalam tasnya lebih penting untuk diselamatkan, tapi kalau tidak segera membereskan belanjaan ini, Rin tidak akan mandi duluan.

"Kalau mandi bersama bagaimana?"

Wajah Len kontan memerah. "Jangan bercanda, sudah sana, nanti kau sakit," kata Len yang akal sehatnya bekerja dengan cepat kemudian mendorong Rin ke arah kamar mandi.

"Iya, aku akan mandi cepat, keringkan badanmu dengan handuk dulu ya," kata Rin sambil tersenyum jahil.

Setelah sosok Rin tersembunyi di balik pintu kamar mandi, Len hanya mendesah. Yang benar saja, mandi bersama? Len menepuk-nepuk wajahnya sendiri, tak ingin pikirannya dihantui sosok saudara kembarnya tanpa busana.

Selagi menunggu Rin selesai mandi, Len mengeringkan tubuhnya dengan handuk, ganti baju kemudian membereskan belanjaan. Ia tersenyum tipis melihat belanjaan Rin, mungkin lagi-lagi kembarannya yang manis itu hendak memasak makan malam untuk mereka berdua. Dari bahan yang dibelinya, mungkin sup miso dengan sayuran.

Daripada masakan Rin, masakan Len jauh lebih enak. Ia yang terbiasa memasak sejak SD semenjak orang tua mereka terlalu sibuk bekerja. Jiwa kewanitaan Rin baru bangkit beberapa bulan ini, sehingga kemampuannya memasak masih di bawah Len. Tapi, Len jauh lebih suka masakan Rin.

Rasanya lebih...

"Len, mandi sana, aku sudah selesai."

Len terkejut dan segera berbalik. "Oh, ok...," sebelum matanya membelalak menatap saudarinya yang hanya berbalut handuk.

Sebelum mulut Len bisa mengatakan hal lain, Rin hanya berlalu seakaan bertelanjang di rumah dengan sebalut handuk di depan saudara laki-lakinya adalah hal paling wajar di dunia.

Ah, sepertinya ia melakukan hal itu karena lupa bawa pakaian ganti ke kamar mandi, sudah jangan pikir yang aneh-aneh, Len menampar wajahnya sendiri.

"KYAAAAA!"

Len terkejut, pikiran anehnya segera terbang entah kemana dan dengan panik ia menghampiri Rin.

"Rin, kenapa!?" tanyanya.

Sedikit hal yang bisa membuat Rin teriak, biasanya cuma karena terluka saja karena kembarannya itu sangat pemberani.

Len memasuki kamar mereka berdua dan dengan segera paham kenapa Rin berteriak.

"Ya ampun Len! Atapnya bocor!" keluh Rin dengan kesal.

Ya, kamar mereka yang ada di lantai dua sekarang tergenang air dan kondisi paling parah adalah bagian Rin dimana kasurnya sudah basah oleh rembesan air hujan.

Len mendesah kemudian segera melempar pandangannya ke arah lain begitu sadar bahwa Rin masih hanya dibalut handuk mandi.

"Sudah, kau pakai baju dulu, aku juga mandi dulu, kita beresin ini nanti," kata Len, segera berbalik dengan wajah merah. Rin mendengus kesal namun setuju dengannya.

Hah, ada apa sih hari ini?

IoI

Membereskan kamar yang banjir terkena bocoran atap bukan perkara terlalu sulit, hanya merepotkan. Setelah menggulung kasur, mengepel lantai, menadahi semua bagian yang bocor dengan ember, pekerjaan selesai.

Tapi, masalahnya masih ada.

"Aku tidur dimana?" rengek Rin, jelas-jelas kesal karena tempat tidur kesayangannya sekarang tak bisa dipakai.

"Kau tidur di tempat tidurku, biar aku tidur di sofa ruang tamu," kata Len singkat, ia memandang atap bocor. Ia harus memanggil tukang besok, sekarang tak ada yang bisa ia lakukan.

"Aku tidur sendiri dong! Nggak mau!" tolak Rin.

Len ingin menepuk jidatnya. Iya ya, itulah alasan kenapa mereka meski sudah 16 tahun masih tidur sekamar, hanya terpisah tempat tidur saja.

"Cuma malam ini saja kok, aku mau sih tidur di lantai tapi kalau sampai banjir lagi nanti futonnya basah," kata Len berusaha membujuk saudarinya itu.

"Nggak mau! Apalagi malam ini ada topan, aku nggak mau tidur sendiri!" keluh Rin. Alasan ia tak mau tidur sendiri bukan karena takut, hanya karena ia tak terbiasa tidur sendiri. Ia tak bisa tidur tanpa ada orang di dekatnya.

Len mendesah. Tak mungkin tempat tidurnya yang single bed bisa menampung mereka berdua, dan lagi ia tak mampu membayangkan bagaimana mereka berdua bisa tidur di tempat tidur single bed.

"Oh, kita tidur di kamar Kaa-san dan Tou-san saja!" kata Rin dengan mata berbinar, merasa itu ide yang sangat cemerlang.

Ah, ya... kamar yang tak pernah ditempati itu. Karena orang tua mereka bekerja di luar negeri, kamar itu tak pernah dipakai.

"Kan tempat tidurnya gede, jadi kita bisa tidur bareng di sana!" kata Rin riang.

Memang sih... eits tunggu dulu!

"Di satu tempat tidur!?" pekik Len.

"Iya lah, memangnya kenapa?" tanya Rin bingung.

Len ingin menampar wajahnya sendiri, pipinya sudah jelas sangat merah sekarang. "Tidak, tidak ada apa-apa," katanya bohong.

Setempat tidur dengan Rin? Dulu saat kecil mungkin tak apa tapi sekarang...

Len ingin menjedukkan kepalanya ke dinding sekarang.

IoI

Len memandang jendela dimana hujan mengguyur dengan sangat deras dan angin bertiup kencang. Singkatnya, badai topan. Tidak terlalu parah, hanya saja pasti semua kendaraan tak ada yang beroperasi di cuaca buruk begini. Semoga listrik tidak padam...

"Len, tidur yuk!"

Ukh, Len lebih ingin hujan-hujanan diterpa topan di luar sana dibanding terjebak di situasi seperti ini.

Len memandang Rin hati-hati, begitu terlihat sekilas ia segera melempar pandanganya ke tempat lain.

Uuuuhh... kenapa Rin tak bisa pakai piyama dengan celana panjang sih? Kenapa harus camisol dress yang pendek hanya sampai sepaha itu? Belum lagi warnanya oranye, warna kesukaannya dan Rin. Iya sih, Rin semenjak masuk SMA jadi lebih feminin dan suka pakai camisol untuk tidur, tapi karena tempat tidurnya beda, Len bisa mengalihkan pandangannya menatap dinding.

Tapi kalau setempat tidur seperti ini...?

"Kamu nggak dingin pakai itu?" tanya Len, tidak mau memandang ke arah Rin. Wajahnya sudah jelas terbakar sampai ke telinga segala.

"Kan nanti pakai selimut," kata Rin dengan enteng. Ia segera menyusul Len, menaiki tempat tidur.

Len, jangan berpikir yang aneh-aneh, pikirkan hal lain, yang lain! Len komat kamit dalam hati.

Rin segera membaringkan diri di samping Len, cukup dekat namun masih memberi Len ruang untuk bernapas. Hanya, dengan jarak segitu, ia bisa mencium wangi citrus yang lekat dengan Rin. Len hanya menutup matanya. Ia rela tidur di futon yang basah atau membetulkan atap di tengah badai topan daripada harus tidur bersama dengan Rin seperti ini!

"Len, kamu nggak apa-apa?"

Len tak mampu menampik suara Rin terdengar lebih manis dari biasanya. Sial!

"Tidak apa-apa, cepat tidur. Besok sekolah," kata Len, segera membalikkan badannya agar menatap dinding.

"Uhm... iya...," kata Rin, terdengar sedikit kecewa. Mungkin Rin ingin mengobrol dengan Len lebih lama, ritual yang terbiasa mereka lakukan sebelum tidur. Mereka akan bercakap-cakap di tempat tidur masing-masing sampai salah satunya terlelap.

Namun, untuk kali ini, Len tak sanggup melakukannya. Ia sebenarnya sama sekali tidak mengantuk, ia yakin semalaman ini ia tidak akan tidur tapi ia tidak bisa menatap Rin, tak bisa terus menghirup aroma tubuh Rin, makanya...

...

Uh...

Apa cuma dirinya saja yang memikirkan hal seperti ini? Cuma dirinya yang kikuk dan malu setempat tidur dengan kembarannya? Apa Rin tidak merasa malu? Apa ia tidak merasakan hal yang sama?

Memikirkannya, entah kenapa ia merasa sedikit kecewa.

Mungkin, perasaan Rin tak sama dengannya.

Tapi, sebenarnya apa yang Len rasakan pun, ia tak tahu.

Sister complex atau... cinta?

IoI

Ah rasanya nada musik ini familiar... ia sering mendengarnya entah dimana...

Len memandang ke sekelilingnya. Orang-orang duduk berderet di sebuah gedung putih. Deretan orang itu terbagi dua oleh sebuah karpet merah, di ujung karpet merah itu terdapat dua orang yang Len tak bisa melihatnya dengan jelas.

Lalu kemudian seseorang muncul di sampingnya.

Rin?

Tangan Rin dengan kasualnya dikalungkan ke lengannya, senyumnya tampak menawan. Tapi, pakaian yang ia kenakan membuat Rin 100 kali lipat lebih menawan dari biasanya. Gaun putih yang tampak berkialuan, sebuah tudung putih yang menghias kepalanya dan sebuah buket bunga canti di tangannya.

Seperti malaikat...

Len begitu terpesona, jantungnya berdegup kencang. Kadang sulit ia percaya bahwa gadis semanis ini adalah saudarinya sendiri.

Tunggu dulu..

Suasana ini...

"Ayo, Len, kita jalan," omel Rin pelan. Len terkejut dan segera melangkah.

Musik mengayun ini, ruangan ini, pakaian Rin...

Ia tahu ini apa... ia tahu, sial! Ia tahu ini... ini... ini...

Saat mereka tiba di ujung karpet merah, dimana lengan Rin yang terkalung di lengannya terlepas dan tangan Rin disambut oleh pria lain, Len segera sadar.

Rin menikah dengan pria lain.

Ia berusaha meraih kembali tangan Rin yang terlepas itu namun kembarannya itu berbalik dengan senyuman hangat dan tulus.

"Terima kasih Len," katanya.

Kemudian ia menoleh dan tersenyum pada pasangannya.

Len hanya tertegun.

Oh ya, bodohnya. Tentu saja.

Tentu saja, ini adalah sesuatu yang akan terjadi cepat atau lambat.

Meskipun ia terlahir bersama Rin, meski ia yang selalu bersama Rin hingga saat ini. Namun, mulai saat ini Rin tidak akan ada di sisinya lagi.

Tempat Len akan digantikan oleh pria lain yang akan menerima cinta kasih Rin, yang akan menggandeng tangan itu, yang akan menerima senyuman manis itu, yang bisa menyentuh Rin dengan cara yang tak akan bisa dilakukan oleh Len.

Ia tahu kalau Rin akan pergi meninggalkannya, cepat atau lambat.

Ia tahu, sebagai saudara kembarnya, ia harus melepaskan Rin kepada pria lain.

Tapi, tidak... tidak... ia tidak mau. Tidak mau!

TIDAK MAU!

RIIINNN!

Deg!

Mata Len terbuka dan ia mengerjap, berusaha memproses apa yang ada di otaknya dengan keadaan sekitarnya. Kamar... gelap... ah, mimpi? Hanya mimpi?

Tubuhnya yang tadinya tegang perlahan menjadi rileks, ia mengerjapkan matanya lagi, berusaha untuk bangun dan melihat lebih jelas.

Hanya mimpi kan? Mimpi...

Len mendesah, ia menutup wajahnya dengan tangannya.

Itu cuma mimpi buruk. Cuma mimpi buruk saja...

Gerakan lembut yang ada di sampingnya membuat Len menoleh, ia melihat Rin tertidur lelap di sampingnya, menghadap ke arahnya.

Itu cuma mimpi buruk, Rin masih ada di sini.

Tidak apa-apa.

...

Ah, siapa yang ia bohongi?

Mimpi buruk itu suatu saat akan jadi kenyataan. Mungkin, 10 tahun lagi...

Yah, seharusnya ayahnya yang akan menggandeng Rin dan menyerahkannya kepada pasangannya di pelaminan, bukan Len. Tapi, kalau ayahnya tak ada, maka Len yang akan melakukannya.

Tetap saja...

Ia tak mau membayangkan, ia selalu berusaha untuk tidak memikirkannya selama ini.

Ia tidak pernah mau membayangkan Rin pergi.

Ia tidak mau membayangkan Rin akan berdampingan dengan orang lain.

Kenapa mereka tak bisa selamanya seperti ini? Terus bersama, hidup bersama, ia bisa melihat senyuman Rin setiap harinya, tertawa bersama, berduka bersama...

Mereka lahir bersama, tumbuh bersama, bukankah seharusnya mereka terus bersama hingga mati bersama?

Ia ingin bersama dengan Rin selamanya...

...

Ah...

Begitu rupanya...

Len tersenyum tipis, ternyata... begini jawabannya.

Ia bukannya ingin menyentuh Rin sebagai seorang laki-laki, ia bukannya tiba-tiba ingin menjadi pacar Rin dan bercumbu dengannya. Ia tidak keberatan tetap menjadi saudara Rin, tapi ia juga ingin menyentuh Rin lebih sebagai saudara. Tapi yang jelas yang ia inginkan hanya satu.

Bukan Rin sebagai pacar, bukan Rin sebagai kakaknya.

Tapi, bersama dengan Rin selamanya.

Ia jatuh cinta.

Ya, cinta.

Ia mencintai Rin.

Itulah jawabannya.

Sesederhana itu.

Len tersenyum getir.

Lalu, perasaan ini harus ia apakan?

Beritahu Rin atau...?

Terbesit mimpi tadi di benak Len membuat sang pemuda bergidik.

Ia lebih baik mati daripada harus berpisah dengan Rin.

Ia ingin bersama dengan saudara kembarnya selamanya... selamanya...

Dan Len kembali terlelap dengan tangannya menggenggam tangan Rin.

Saat pagi nanti, ia harus menemukan cara agar ia bisa bisa bersama dengan Rin, selamanya...

Tbc


Ah, padahal niatnya mau kutamatin ternyata... masih bersambung! *plak

Tapi janji, buat chapter depan bakal tamat! Semoga updatenya bisa cepet! *plak

Well, review! Review!