DISCLAIMER

Naruto : Masashi Kishimoto

Kako no Himitsu/Rahasia Masa Lalu : Nara Kazuki

.

Happy reading!

...


"Jadi begitu?"

"Ya, Hokage-sama..."

Uchiha Fugaku langsung beranjak dari singgasananya dan menatap pada anak sulungnya yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Sementara, Itachi yang ditatap pun segera menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Aku akan mempersiapkannya, Hokage-sama..." ujar sang pangeran sopan sebelum beranjak dari ruangan Hokage.

Sang Raja Konoha lalu mengalihkan pandangannya pada tiga orang pemuda yang mana salah satunya juga adalah anaknya sendiri. "Kalian bertiga... beristirahatlah..."

Shikamaru, Sasuke, dan Naruto sama-sama menganggukkan kepala mereka.

"Terimakasih, Hokage-sama..."

.

.

.

.

.

Lambaian pelan dari angin sepoi siang hari, membuat beberapa rumput kecil yang tumbuh di sekitar gazebo itu bergerak-gerak mengikuti arah angin. Beberapa helai kelopak sakura yang berasal dari satu-satunya pohon sakura di tempat itu jatuh beterbangan menghiasi sekitar taman. Membuat siang hari di negara Suna benar-benar terasa sejuk dan nyaman.

Seorang pelayan tengah menuangkan segelas teh hangat ke dalam gelas kecil. Ia berusaha menuangkan air tersebut dengan sangat hati-hati dan teliti.

"Temari, kau hutang cerita pada ayah..."

Yondaime Kazekage memulai percakapannya siang itu dengan sang putri sulung. Kelopak matanya yang sudah mulai keriput dimakan usia, menyipit penuh tanda tanya pada anak perempuan satu-satunya itu perihal hilangnya Temari di Kiri. Perlahan, bibirnya menyunggingkan senyuman geli kala melihat raut malu di wajah Temari.

"Kalau kau hanya diam saja seperti itu, bagaimana ayahmu ini bisa percaya dengan cerita sebelumnya?" tanya Raja Suna itu sembari menarik napas dalam.

"Tou-sama mau memulai cerita dari mana?" tanya Temari akhirnya. Penampilannya saat ini terlihat sangat anggun dengan sebuah kimono santai warna putih gading bercorak daun-daun kecil. Rambut pirangnya ia gelung belakang, menyisakan anak-anak rambut di sisi kiri dan kanan wajah cantiknya.

"Semuanya..."

Temari menarik napasnya pelan. Ia menatap sang ayah dengan bibir yang dimanyunkan. "Oh, Yang mulia, Tou-sama... bagaimana aku akan menceritakan semuanya setelah aku menceritakan sebagian besarnya kemarin?" ujarnya tanpa dapat menyembunyikan nada manja dalam suaranya.

"Hahaha, putriku ini masih kecil ternyata..." ujar sang Kage sambil membelai kepala pirang anak sulungnya itu dengan lembut. "Baiklah, jadi apa yang mau kau ceritakan sebenarnya?"

Wajah Temari yang sedang manja itu langsung berubah menjadi serius. Membuat beberapa kerutan keheranan bertambah di dahi sang Raja.

"Ini adalah tentang kisah lima belas tahun yang lalu, Tou-sama..." ujar Temari datar. Mata beriris hijau pekatnya menatap lurus ke depan sembari menghela napas kembali. "Tentang kesalahpahaman antara Konoha dan Suna."

Kazekage Suna hanya menganggukkan kepalanya berkali-kali. Bagaimana pun juga, ia percaya, Putrinya itu akan segera mencari tahu tentang masalah ini. Sekalipun ia sendiri belum berhasil menyelesaikan masalah yang sebenarnya, dan sudah putus asa dari hal itu. Namun, ada sesuatu yang selalu terpikirkan oleh orang nomor satu di Suna itu sejak kemarin hari.

"Baiklah, aku paham dengan itu," ujar Kazekage sambil tersenyum bijak. "Dan aku memang berharap banyak itu darimu," lanjutnya sambil menatap Temari dengan wajah serius.

Temari hanya menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Aku tidak akan membiarkan rakyat berkorban lagi, Tou-sama..." ujarnya dengan penuh tekad. "Kita harus segera menemukan titik terangnya."

"Hn."

Ayah dan anak itu lalu terdiam bersama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga, suara berat dari sang ayah mengintrupsi keduanya. "Temari, putriku..."

"Ya, Tou-sama..."

"Siapakah gerangan pahlawan itu?" tanya Raja sambil mengernyitkan dahi.

Temari yang belum menyadari arah pembicaraan sang ayah pun hanya dapat memberikan tatapan bingungnya. "Maksud Tou-sama...?"

"Tentu saja seseorang yang telah menolong putriku satu-satunya ini..."

Mendengar penjelasan dari ayahnya, tak pelak hal itu membuat rona-rona kemerahan mulai muncul di pipi Temari. Ia lalu memalingkan wajahnya dari sang ayah sambil mengusap-usap bawah hidungnya dengan gugup.

"O-oh, i-itu..."

.

.

.

.

.

Bunyi-bunyi yang berasal dari arah dapur, membuat Shikamaru remaja yang saat itu baru saja pulang dari bermain, langsung melangkahkan kakinya ke dalam dapur. Ia lalu mengambil segelas air yang terletak di atas meja dan langsung menyodorkan gelas itu ke arah mulutnya. Namun, belum sempat air dalam gelas menitik satu tetes ke dalam mulutnya, bagian telinga sebelah kirinya terasa panas sekaligus tubuhnya yang tiba-tiba tertarik ke samping.

"Aaa, K-Kaa-san..."

"Shika, itu minuman ayahmu!" tegur Yoshino, ibu Shikamaru sambil menjewer telinga sang anak.

Shikamaru meringis dan memegang telinganya yang habis dijewer oleh sang ibu. "Ck, merepotkan!" ujarnya sambil berusaha menjauh dari ibunya yang kini tengah mengernyitkan dahi dengan terheran. "Kenapa lagi?" tanyanya dengan raut kesal. "Aku belum meminumnya."

"Mana kalungmu?" tanya Yoshino tiba-tiba dengan mata menyipit curiga pada leher Shikamaru yang kini telah kosong.

"Oh, sudah kukasih ke orang lain," jawab Shikamaru enteng sambil mengambil gelas lain untuk tempat minumnya.

Belum beberapa langkah pemuda berambut kucir satu berjalan, telinganya sudah kembali ditarik oleh sang ibu. "Aaa, apa lagi, Kaa-san? Itu hanya kalung jelek," ungkap Shikamaru jujur.

Namun, Yoshino hanya diam. Matanya menatap nyalang pada sosok anak satu-satunya itu. Jeweran tangannya pada telinga Shikamaru semakin menguat seiring amarahnya yang semakin naik.

"Aaa, Kaa-san, telingaku bisa putus!" ujar Shikamaru antara ragu dan kesakitan. Matanya menatap sang ibu dengan penuh permohonan.

"Ada apa ini?" tanya Shikaku tiba-tiba datang. Kepala keluarga keluarga Nara itu menatap kasian pada putra satu-satunya itu. "Ada apa, Yoshino?" tanyanya lagi sambil berharap jeweran di telinga Shikamaru segera terlepas saat itu juga. Bagaimanapun juga, Shikamaru itu adalah laki-laki, dan laki-laki juga punya hak asasi manusia di dunia ini.

Harapan Shikaku akhirnya terkabul. Yoshino melepaskan jewerannya di telinga Shikamaru sambil menghela napas pasrah dan mengeluarkannya dengan keras.

"Anakmu ini telah membuang kalung keluarga," jelas Yoshino membuang napas.

Mata Shikaku langsung melebar dan ikut menatap nyalang ke arah Shikamaru. "Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk menjaganya?" tanyanya frustasi. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu, saat umurnya masih sebesar sang anak, dan ia pernah melakukan hal sama dengan Shikamaru. 'Apa ini memang sudah karma bagiku, punya anak yang merepotkan?' batin Shikaku miris dengan wajah pias.

Shikamaru terdiam sambil meringis. Ditatapnya kedua orangtuanya dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku tidak membuangnya, aku menyuruh orang lain untuk menjaganya," jelas pemuda itu sambil menunduk. Dalam hati ia tengah bingung, bagaimana bisa, kalung jelek yang tidak pantas untuk dipakai itu bisa membuat kedua orangtuanya sampai marah besar begini. Ingatannya pun kembali pada pembicaraan sebelumnya yang ia lakukan bersama Temari tentang kalung tersebut. 'Apa itu benar-benar kalung berharga?' batinnya tidak percaya.

"Tapi itu tidak bisa diberikan kepada orang sembarangan, Bocah!" gerutu Yoshino yang sudah tidak peduli dengan masakan yang tadi ia kerjakan. Ibu dari Nara Shikamaru itu terduduk sambil memijit kepalanya yang terlihat frustasi. "Kenapa sifatmu sama saja dengan ayahmu?!" teriaknya frustasi.

'Jleb!'

Shikaku menelan ludahnya demi mendengar perkataan Yoshino dan tepat seperti dugaannya, kini mata Shikamaru tengah menatap lurus padanya dengan sejuta kelegaan. Membuat wajah Shikaku semakin pias dan frustasi. Kepala keluarga Nara itu bahkan tidak dapat berbicara apa-apa lagi.

"Kau terancam tidak bisa menikah," ancam Shikaku sambil beranjak dari tempat yang membuat kepalanya pusing itu.

Shikamaru tidak percaya mendengar penuturan sang ayah. Sekilas, kening pemuda yang terkenal sangat jenius seperti ayahnya itu berkerut memikirkan sesuatu dengan cepat. Hingga ia langsung menyadari maksud dari kedua orangtuanya dalam sekali pikir.

"Apa kalung itu ... kalung pernikahan?" tanya Shikamaru tiba-tiba.

"Tentu saja, Bodoh!" Yoshino pun mulai bangkit dari duduknya sembari menghela napas. "Minumlah..." ujarnya lemah sembari menunjuk segelas air yang masih dipegang Shikamaru dan belum diminumnya sedari tadi.

Saat sampai di depan pintu, Shikaku menghentikan langkahnya dan bersandar pada daun pintu sambil berujar, "Jangan menyesal dengan keputusanmu, Bocah!"

"Tentu saja," ujar Shikamaru mantap dengan sebuah seringai yang entah sejak kapan sudah terpeta di wajahnya yang masih kekanakan. "Aku akan menikahinya," lanjut pemuda sembilan tahun itu optimis. Menarik raut penasaran dari kedua orangtuanya.

"Memangnya siapa yang kau suruh untuk menjaga kalungmu?" tanya Yoshino pasrah. Shikaku mau tidak mau sedikit penasaran akan jawaban Shikamaru. Sama halnya dengannya dulu, ia tanpa ragu-ragu menyerahkan kalungnya kepada Yoshino sewaktu masih kecil.

"Temari," jawab Shikamaru singkat.

Satu detik

Dua detik

Ti-

"...T-Temari...?" tanya Yoshino shock dengan mulut mangap-mangap. Begitu pun dengan Shikaku, wajah lelaki paruh baya itu langsung memucat tidak percaya.

Mulut kedua orangtua itu langsung terkatup rapat, saat dengan mantapnya Shikamaru menganggukkan kepala. "Hn."

"T-Temari anak Kazekage?" tanya Yoshino dan Shikaku serentak demi menekankan nama seseorang yang sudah diberi kalung oleh Shikamaru.

Lagi-lagi Shikamaru menganggukkan kepalanya.

"B-bagaimana bisa?" tanya Yoshino kembali dengan wajah benar-benar pasrah saat membayangkan perlakuan tidak affair yang akan menimpa putra satu-satunya itu karena telah lancang memberi kalung pada anak Raja Suna. "T-tidak mungkin!" pekik Yoshino tiba-tiba.

"Mungkin saja," ujar Shikamaru enteng tanpa tahu apa yang tengah dipikirkan sang ibu. "Aku akan ke Suna untuk melamarnya. Yah, walaupun itu sedikit merepotkan," sahut Shikamaru santai, atau bisa dibilang sangat santai dengan segelas air yang kini tengah ia teguk. Secercah semangat terlihat jelas di matanya yang masih kekanakan.

Sementara, wajah Yoshino dan Shikaku semakin pucat seakan baru saja mendengar berita gunung meletus dari tetangga.

.

.

.

.

.

Kuda-kuda kerajaan Konoha yang membawa Hokage dan rombongan bergerak memasuki kawasan Suna. berbeda dari hari-hari sebelumnya, yang mana pertemuan kedua negara itu harus berakhir dengan darah. Namun, kini semuanya tenang dan tidak ada pertempuran.

Hingga sampai saat kedua Kage saling bersalaman.

"Selamat datang, Hokage-sama..." sapa Kazekage sambil tersenyum tipis. Fugaku hanya membalasnya dengan mengangguk sekilas sebelum semuanya memasuki pekarangan istana Suna.

Itachi menyapu pandangannya ke sekitar istana, dan tanpa sengaja, iris onxy-nya langsung berpapasan dengan iris hijau pekat yang juga tangah menatap ke arahnya. Keduanya saling tatap dalam beberapa detik. Hingga tatapan sekilas itu sama-sama teralihkan tanpa arti.

.

.

.

.

.

To be
Continue...


Hehe... bersambung lagi...

Maaf, minaa... saya engga bisa balas review sekarang.

Makasih, kepada yang sudah bersedia membaca, mereview, memfave, dan mengalert cerita saya ini. Makasih banget, ya...