Zipper celana kulit ditarik sampai ke belakang leher. Sarung tangan hitam dipakai sebagai penutup sidik jari. Rambut pirang disemprot pewarna temporer, merah jingga. Ditutup topi hitam.
"Sudah tahu lokasinya?"
Pilot helicopter memberinya perangkat tab. Titik merah dan biru dilayar berada disetiap garis-garis peta.
"CCTV mereka banyak sekali. Kau yakin masuk sendirian?" dibalik masker hitam pilot itu bicara.
"Ah, lebih cepat lebih baik. Iruka akan menangani bagian luar dan jaringan cctv. Satu jam sudah cukup,"
Iris biru ditutup kacamata hitam. Tab masuk ke dalam tas kecil dipunggung. Ia menangkap gurat keraguan diwajah pelayan tuan muda.
"Kau tidak akan berhenti di sini, Iruka,"
Lelaki yang memutuskan mengikutinya itu membuka laptop dan memasang alat komunikasi ditelinganya. Kedip merah di leher tuan muda menandai keberadaan. Sejauh apapun, dimanapun remaja itu berada, Iruka akan mengetahuinya. Selama benda yang melingkari leher Naruto tetap di sana atau ia kehilangan kepalanya.
"Shino, sudah kabari Sora titik penjemputan?"
Lelaki itu mengangguk. Benda besar yang dikemudikannya mendekati titik lokasi. Naruto mengencangkan ikat pinggang dengan dua pistol dan botol gas air mata. Tali dipasang dipinggang, ia melongok ke bawah. Atap gedung pencakar langit tempatnya turun nanti.
"Jika aku tidak kembali dalam satu jam, jalankan rencana c. Putuskan komunikasi setelah sepuluh menit aku di dalam, nyalakan lagi dimenit lima puluh lima."
"Iruka,"
Ia tak mendengar jawaban dari laki-laki yang diberinya tugas mengatur pergerakannya.
"Kyuubi, aku tidak memerlukan perintahmu untuk keselamatan Naruto."
Dinginnya ucapan itu membuat Kyuubi tersenyum. Sedetik kemudian ia menjatuhkan diri dari helicopter. Bunyi benturan tubuh dengan beton teredam bantalan udara yang mengempis kemudian. Kyuubi melepas mengaman itu dari tubuhnya, melepas tali yang terhubung dengan helicopter. Tidak ada cctv di atas gedung jadi ia bisa sedikit leluasa.
Kyuubi bergerak ke ujung, melihat beberapa jendela di bawah. Ia menghitung sesuai dengan petunjuk yang diberikan Iruka dari wireless ditelinganya. Sarung tangannya cukup kuat untuk bergelantungan di atas kaca. Ia membuat lubang melingkar besarnya cukup untuk dimasuki. Gudang data tepat di depab mata. Terlalu mudah jikaon hanya seperti ini.
Kyuubi berjongkok di sisi rak paling pojok, melihat petanya. Cctv ruangan berukuran sepuluh kali lima meter itu banyak sekali. Setiap rak dan data cpu dimonitor satu cctv, artinya dua puluh lima perangkat cctv harus dilewati.
'Aku akan mematikan lima cctv sebelah kiri,'
Kyuubi mengetuk benda ditelinganya, tanda tanpa banyak suara. Gedung perkantoran yang ia masuki hanya kedok dari apa yang sebenarnya tersimpan di dalam. Ia merangkak dalam diam, memulai pencariannya.
Sudah berapa menit ia di dalam, Kyuubi menghitung dengan perkiraan. Tidak ada jam dan peralatan lain. Benda elektronik di tubuhnya mati setelah sepuluh menit. Ia menyalin beberapa data, bergerak sunyi bersembunyi dari cctv. Salinan data terakhir membutuhkan waktu lebih lama sampai pintu ruangan itu terbuka.
Tubuh merunduk, suara langkah kaki mendekat dari jaraknya sekitar dua meter. Langkah itu berhenti, Kyuubi melirik salinan data yang sudah mencapai sembilan puluh persen. Ia bernapas sepelan mungkin agar orang yang berada dalam ruangan bersamanya tak merasakan kehadiaran lain.
Kyuubi mencabut salinan data. Mengendap kebagian paling ujung saat cctv kembali dimatikan Iruka. Saat itu juga ia menyadari orang yang berada di ruangan itu tak bergerak sedikitpun, tidak ada langkah kaki meskipun ia yakin orang itu masih berada di dalam.
'Shit –'
Tubuhnya menggulung menjauh sebelum sebuah pisau menusuk punggungnya. Kyuubi tak punya cukup waktu untuk berpikir selain menghindar dari serangan selanjutnya dengan berlari. Orang yang sejak tadi tak bersuara menyerangnya dari atas. Satu-satunya cara ialah keluar dari di sini. Kabur lebih baik dari pada melakukan perlawanan merepotkan.
Orang itu menyerang dengan tangan kanan, mengincar leher dengan pisau. Kyuubi menahan tangan itu, menendang perut. Ia mengerut alis saat orang itu tak bergerak sedikitpun setelah mendapat tendangan keras. Kakinya ditangkap, dicengkeram keras. Orang ini bukan petarung biasa.
Tubuh Kyuubi dibanting menabrak rak data. Punggungnya sakit sekali. Alarm gedung menyala memekakkan telinga. Ia mengumpat, masuk diam-diamnya gagal total.
'Kyuubi, pergi dari sana!'
Alat komunikasinya kembali menyala. Ia tak perlu menjawab dengan bisingnya suara alarm. Iruka akan paham tindakan selanjutnya. Hanya saja ia sendiri harus berurusan dengan yang satu ini sebelum masuk rencana selanjutnya.
Tangan Kyuubi berpegang pada rak besi. Berdiri tertatih, ia melirik kaca yang sudah dibolongi. Orang itu akan menyerangnya dengan mudah karena tahu tujuan Kyuubi.
Seringai tampak diwajah yang sebagian tertutupi kacamata hitam. Siapa bilang Kyuubi akan keluar dari jalannya masuk.
Pistol diambil dari pinggang. Kyuubi berlari ke belakang, orang itu mengejarnya dengan lemparan pisau. Bahu tergores, Kyuubi menembak kaca besar tiga kali.
Bang! Bang! Bang!
Kaca itu retak sampai tubuh Kyuubi menubruk dan memecahkannya. Ia melayang tubuhnya jatuh terbawa gravitasi. Topi hitam terbawa angin menampakan rambut jingga kemerahan. Pisau melayang cepat kearahnya. Diudara ia tak bisa bergetak bebas, pisau itu menancap dibahu.
Manik biru menatap orang yang melukainya berdiri diantara kaca yang pecah. Sayang sekali jika mengharapkan kematian Kyuubi itu masih jauh sekali.
Sesuatu melayang kearahnya, seseorang bergelantungan diatas tangga tali yang terhubung dengan helicopter. Ia mengulurkan tangannya saat laki-laki yang siap mengoceh padanya setelah ini berusaha menangkap tubuhnya yang melayang jatuh.
"Apa kau gila!?"
Kyuubi menutup sebelah telinga. Rasa sakit dibahunya sudah cukup menyusahkan. "Khh -Kau akan mencabut ini atau terus meninggikan suaramu dan mengoceh?"
Iruka meredam amarah. Tangan mempersiapkan alkohol dan mencabut pisau yang tertancap dibahu remaja itu. Ia mengerat gigi, tubuh kecil itu kembali terluka karena kepribadiannya. Tidak ada keyakinan lagi bagi Iruka dengan rencana Uzumaki Mito untuk menyatukan kepribadian Naruto. Ia terlalu membenci Kyuubi dengan apa yang dilakukannya pada tubuh Naruto.
Luka cukup merembeskan darah diperban yang menekannya agar tak semakin banyak yang keluar. Iruka memanaskan jarum besi dengan pemantik, menyiramnya dengan alkohol. Menjait luka Kyuubi.
"Shino, kita bertemu Sora -Fuck! Iruka, cepat jahit ini! "
Kyuubi menahan sakitnya dengan meremas lutut. Membuka ikat pinggang dimana data curian hasil dari luka dibahunya ini. Kyuubi bersandar memejam mata, ia beruntung pisau yang melukainya tidak dilumuri racun.
"Bagaimana dengan Gaara?"
"Tidak ada yang bisa dia lakukan dengan tubuh seperti itu,"
"Kau ingin tahu apa yang terjadi pada Sasuke, tanyakan pada ayahmu,"
Itachi berhadapan langsung dengan laki-laki berstatus ayah kandung. Ucapan dari asistennya sndiri disampailan langsung. Tak mencoba duduk tenang dan bicara, ia kembali kekediaman Uchiha untuk tujuan jelas. Sesibuk apapun ayahnya saat ini, tetap harus mendengarkan Itachi. Ruang tengah diisi beberapa orang kenalan, termasuk kepala keluarga Namikaze yang pakaiannya dipenuhi debu kotor. Itachi menahan diri untuk terlibat hal lain, ia lebih butuh penjelasan mengenai keadaan Sasuke. Kebenaran Uchiha yang tak diketahuinya.
"Itachi, kita bicarakan ini nanti,"
"Tidak ada nanti, ayah. Aku tahu kalian sedang sibuk. Aku minta maaf karena mengganggu urusanmu dan Namikaze-sama, tapi saat ini kau harus mengatakan apa yang ingin kuketahui,"
Pandangan datar ayahnya seolah menguji kesabaran Itachi. Ia bukan orang berdarah panas, biasanya ia lebih tenang menanggapi situasi. Tetapi berbeda hal jika itu menyangkut dirinya yang Itachi sendiri tidak mengetahui. Ia harus membuat ayahnya bicara.
"Apa kondisi Sasuke saat ini tidak mengganggumu?"
"Itachi...,"
"Apa kalian sedang mencoba terhubung dengan Jinchuuriki?"
Itachi menginjak di ladang terlarang. Bukan ayahnya yang terpicu perkataannya. Namikaze Minato menepuk pundah ayahnya, tersenyum seolah memaklumi keadaan. Sayang Itachi terlalu banyak tahu bagaimana seseorang memasang topeng disetiap situasi. Senyum Minato sangat mengancam.
"Fugaku, apa kita bisa libatkan anakmu?"
"Dia belum siap,"
Itachi mencoba mengikuti pembicaraan dua orang di hadapannya. Setiap gerakan, setiap kata yang mengandung arti lain. Ayahnya yang selalu mengekangnya dalam segala arti. Ia harua mengambil risiko untuk membuat kedua orang itu mau tidak mau harus membiarkannya terlibat.
"Orochimaru,"
Lirikan Minato mengubah atmosfer ruangan. Kepala keluarga Namikaze melepas tangan dari bahu Fugaku. Uchiha muda cukup berani setelah mendengar peringatan.
Itachi tidak punya rasa takut pada Minato. Tidak pun pada kemungkinan membuat Namikaze itu murka.
"Jinchuuriki sedang mengejar Orochimaru, Naruto menghilang dalam perjalanan kembali ke markas. Yang akan kukatakan padamu ayah, Sasuke dicurigai sebagai bawahan Orochimaru."
Tak ada lagi yang harus ditutup-tutupi dari Kitsune. Itachi meyakini bahwa Minato sudah mengetahui jika anaknya terlibat dunia bawah.
"Dimana Uchiha Sasuke, Itachi-kun?"
"Kakashi membawanya pada Kakek,"
Raut wajah Fugaku berubah tak sampai sedetik. Itachi menangkap hal itu.
"Ayah, apa yang dilakukan Kakek pada Sasuke?" bukan orang bodoh. Itachi tahu sesuatu telah terjadi selama Sasuke berada dalam pengawasan kakeknya. Belasan tahun cukup apapun bisa terjadi pada Sasuke.
"Dengar Itachi, terlalu dini untukmu mengetahuinya." Fugaku membalik badan, tidak lagi mendengar ucapan anak tertua.
"Itachi-kun, apa kau ingin ikut dalam penyelidikanku?"
Namikaze Minato berucap. Sebelum pertanyaannya mendapat jawaban dari pemuda di hadapannya, seseorang datang dengan satu box penuh kertas dan map. Mengintrupsi pembicaraan.
"Minato, aku membawa yang aku bisa..."
Nara Shikaku berdiri melihat dua orang saling berhadapan. Ia menghela napas, sepertinya pekerjaan tidak resminya akan bertambah lagi.
Kyuubi membuka mata, tubuhnya berat untuk digerakan. Ia melirik laki-laki yang menjadikannya bantal. Tidur nyenyak memeluk dirinya. Mata bergulir kearah lain, duduk dipojok Iruka berkutat dengan tiga laptop. Lelaki itu sedang menganalisis data yang Kyuubi dapat.
"Jam berapa?" ibu jari dan telunjuk memijat kening. Bahunya kebas setelah diberi penahan rasa sakit.
"Tiga pagi, tidur lagi. Aku memberimu obat tidur agar kau tidak banyak bergerak. Jangan paksakan tubuhmu,"
Seringai Kyuubi nampak, tangannya mengelus punggung dibalik selimut. Menyentuh belahan bokong laki-laki yang mendekapnya.
"Ngh..."
Bunyi ketikan Iruka berhenti.
"Ini tubuhku," jari Kyuubi masuk lingkar otot ketat. Membangunkan orang yang menjadikannya bantal.
"Kyuubi -stop... nggh..."
Manik biru menatapnya kesal.
"Pagi, Sora,"
"Apa sapaan pagimu harus dengan menusuk bokongku?"
Sora bangun menyingkap selimut yang menutup tubuh bugil. Ia menguap dan mengeluarkan jari Kyuubi dari anusnya. Menyernyit saat cairan sperma di dalamnya keluar.
"Aku mau mandi,"
Meninggalkan sofa tanpa menutup tubuh polosnya. Sora membiarkan sperma yang keluar dari belah bokongnya mengalir dipaha. Menyapa Iruka seakan lelaki itu tak bisa melihat tubuh telanjangnya.
"Kau tidak lagi bicara?"
Ketikan Iruka berlanjut. Ia menghela napas perlahan. Pikirannya harus terfokus pada apa yang dikerjakannya. Kyuubi tidak akan menunggu untuk menghancurkan Naruto jika ia bertindak gegabah. Ia menahan rasa marah yang membuat dadanya panas.
"Tidak asik,"
Dua tangan dijadikan bantal. Kyuubi menatap kipas di atas kepalanya. "Kau sudah mencari tahu dimana dia dirawat?"
"Rumah sakit kepolisian. Kau bilang Gaara akan keluar dalam rencana ini,"
Kyuubi tersenyum, "Perubahan rencana, ternyata Gaara punya anjing setia di kepolisian. Aku tidak suka,"
Tubuh Iruka berbalik, Kyuubi tengah bersenandung menatap langit-langit ruangan. "Kau akan meninggalkan Gaara dalam rencana ini,"
Biru langit melirik pada Iruka, "Gaara akan ikut,"
Iruka menyerah untuk berdebat. Sekarang ia harus memikirkan lebih dari satu orang. Jika Gaara ikut serta maka pemuda itu harus sama utamanya dengan Naruto. Ia tidak akan membiarkan satu-satunya orang yang menganggap Naruto sebagai teman setelah apa yang dilakukan padanya.
Hanya pagi ini Karin menginginkan bangunndari tempat tidurnya untuk membuka jendela kamar. Melihat bagaimana embun pagi dingin udara menyapa kulitnya. Berangkat kerja setelah kegiatan paginya dijalani dengan tenang. Suigetsu yang bertengkar dengannya.
Pagi yang bukan dimulai dengan melihat bagaimana kesakitannya seorang laki-laki di dalam tabung berisi cairan biru menggelepar mencakari kaca yang menahannya untuk keluar. Karin tidak ingin menangis mendengar teriakan kesakitan. Bagaimana tubuh itu menubruk kaca melihatnya dengan wajah dipenuhi urat tegang.
Karin menutup matanya. Ia meremas bekapan pada mulutnya. Tidak ingin mengeluarkan sedikitpun suara yang membuatnya dikeluarkan dari ruangan. Tidak ingin membuat orang paling berkuasa, penguasa atas laki-laki di dalam tabung mengusirnya.
Meskipun tak ada yang bisa ia lakukan, Karin tidak ingin meninggalkan Sasuke dalam kesakitan sendirian. Dua jam mendapat penyiksaan dalam tabung membuat tubuhnya membengkak hingga kulit mengelupas dibeberapa bagian.
Batinnya sudah menjerit untuk menghentikan. Bagaimana bisa seorang yang berstatus kakek kandung memperlakukan cucunya seperti itu.
Tongkat kayu diketuk bunyinya menghentikan seseorang yang memberi kendali pada kondisi tabung. Rambut putih panjang mengingatkan bagaimana orang itu sudah dimakan usia. Kaki melangkah pelan mendekati tabung kaca. Melihat bagaimana cucu kedua tak sadarkan diri dengan mata yang masih terbuka. Kosong tak punya jiwa.
"Sasuke, kau akan menyadari posisimu setelah ini," Uchiha Madara menjauhi tabung, dua orang berpakaian putih mengawalnya keluar dari ruangan.
Karin bergegas menghampiri Sasuke. Ia menggigit bibir, mencoba membuat tubuhnya berhenti gemetaran. Ia membuka tabung kaca tanpa menunggu cairan di dalamnya surut dengan sendirinya. Menarik Sasuke yang tampak diam tak merespon.
"Sasuke!"
Ia tak bisa menemukan kesadaran Sasuke dari tatapan kosongnya. Tubuh polos ditutupi jubah putih milik Karin. Ia menggenggam tangan Sasuke, dingin namun gemetaran di bawah kulit. Pembengkakan tubuhnya sudah melebihi batas. Sasuke seperti jasad mati yang mengalami pembengkakan. Ia mencoba menenangkan diri, bukan saatnya terlarut dalam emosi. Ia harus menormalkan kembali Sasuke secepatnya.
"Sasuke, aku akan mengutukmu jika kau mati jelek seperti ini!"