kuroko no basuke © fujimaki tadatoshi

.


.

"Bagaimana kakimu?"

"Eh? Baik-baik saja, kok. Oh ya, masih capek ga? One-on-one bentar, yuk."

.

.

.

Bodoh.

Kiyoshi Teppei itu bodoh. Terlalu bodoh karena selalu memaksakan diri, seakan dia satu-satunya tumpuan yang dimiliki. Terlalu bodoh untuk memikirkan kondisi, dan mungkin tidak pernah memikirkan konsekuensinya nanti. Terlalu bodoh untuk tidak bertindak setidaknya sedikit egois demi kebaikannya sendiri. Terlalu bodoh untuk tidak membuat orang lain khawatir.

Terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia tidak sendiri.

.

"—berhenti memaksakan diri, d'aho."

Adalah kalimat yang sering diucapkannya pada sang pemuda bersurai coklat. Dikibaskan begitu saja dengan seulas kurva di wajah dan kata-kata yang diulang seperti kaset rusak tanpa mengerti kalau mereka mengkhawatirkannya. Dia mengkhawatirkannya. Sulitnya memasukkan satu fakta itu ke dalam pikirannya yang bebal—satu fakta sederhana yang, anehnya, tidak bisa diterima olehnya.

Sebodoh itukah dirinya?

.

"Jangan kebanyakan cemberut, nanti keriput."

Senyuman dan tawa, seakan kekhawatirannya adalah hal biasa. Seakan masalahnya adalah hal biasa. Hati Besi, memang julukannya. Tapi ada jurang besar yang membedakan antara keteguhan hati dan keras kepala—dan sejujurnya, Hyuuga tidak tahu di sisi mana Kiyoshi berada.

Dia terlalu bodoh untuk bisa dibaca dengan mudah.

.

"Aku serius, Teppei, berhenti bersikap seolah kau baik-baik saja."

Karena dia tidak baik-baik saja.

Punggung itu menyimpan terlalu banyak beban, dengan asumsi bahwa hanya dialah yang sanggup menanggungnya. Tidak peduli sekeras apapun besi itu melindunginya, dia tidak bisa menahan begitu banyak luka. Dan di saat itu terjadi, pelindungnya tidak akan lebih dari sebuah kaca retak—satu dorongan akan membuatnya pecah menjadi serpihan tajam tiada guna.

Di saat itu terjadi, apa yang bisa dia lakukan?

.

"Tapi aku baik-baik saja, kok."

Dia tidak mengerti konsep itu—oh ya, tidak mungkin dia mengerti. Entah dia memang murni bodoh atau dia hanya tidak mau mengakuinya—bahwa dia tidak cukup kuat untuk menjadi tumpuan kini, bahwa mereka telah bertambah kuat dan tidak memerlukannya untuk membawa semua beban itu seorang diri, bahwa dia terlalu takut untuk membiarkan semua itu terjadi—terlalu takut untuk meninggalkannya dan membiarkan mereka jatuh tanpa dirinya.

Paranoia bodoh.

.

"Bisa tidak sih kebodohanmu diminimalisir sedikit?"

Bibir bertemu singkat, tapi cukup untuk membuat deru napas memburu dan degup jantung berpacu. Satu-satunya cara untuk membuat Kiyoshi mengerti maksud kata-katanya—apa yang berusaha dia sampaikan. Kalau dia masih tidak mengerti juga, persetan dengan kata-kata. Hyuuga bisa melakukannya lagi, berkali-kali, hanya agar si bodoh itu mengerti.

Dan dia tertawa—suara bariton rendah yang menggema. Kurva itu masih ada, tapi matanya mengungkapkan banyak hal yang tidak disampaikan dengan kata-kata. Hyuuga akhirnya mengerti—dengan jarak sedekat ini, membaca orang bodoh itu perkara mudah.

.

"Kalau aku harus jadi bodoh dulu supaya dicium olehmu—

"—yep, aku mau jadi bodoh selamanya."

.


.

Ini perasaan awalnya humor kok jadi angst gagal yak.

And yes, ini cerita yang bertele-tele. Ga bakat di angst emang uhuhu /terusngapainbikin

Iyap, thanks for reading. ' '/