Why?
Main Cast : Wu Yi Fan/Kris and Huang Zi Tao
Genre : Angst...masihkurangyakin
Rating : PG/T
Warning : Typo, failed, amburadul, kata-kata ganyambung.
Author : Widie
A/N :
Hy y'all! Widi is back!
FF ini terinspirasi oleh komik Ougi Yuzuha, Abiru Junjou3
Widi boleh minta tolong?
Tolong promote-in ff ini ke taorishipper yang lain dong :D widi minta toloooong banget~ nanti kalo yang baca banyak widi janji bakal lanjutin ffnya!
Maaf banget kalo ffnya jelek, gamemuaskan~ soalnya buatnya ngaret banget haha xDD
Silahkan dibaca~
"Tao? Kau tidak apa-apa?"
Aku menengadahkan kepalaku ke Kris yang sedang menatapku dengan tatapan dingin—namun tampan—nya seperti biasa. Aku mengangguk pelan lalu bangkit dari posisi baringku.
"Lihatlah, kau demam." Kris menunjukkan sebuah Thermometer dengan tatapan malas. Ah, 37…
"Kau mau aku bawa kau ke rumah sakit?" aku terbelalak kaget.
"NOOOOOOOOOOOOO!" teriakku dengan sangat keras membuat Kris menutup telinganya yang malang. "YHA!" pekik Kris.
Aku memalingkan wajahku sambil mendengus sebal, aku tidak akan mau tidur di ruangan serba putih dan bau obat seperti itu. Aku benci rumah sakit. Coba saja aku menuruti perkataannya untuk pulang cepat dan jangan hujan-hujanan. Mungkin aku tidak akan demam seperti ini. Tapi, aku hujan-hujanan juga karena ada sebabnya! Jangan kalian kira aku ini seorang anak kecil yang tidak pernah merasakan basah-basahan di saat hujan.
Kalian tau sebabnya apa?
Aku…melihat Kris mencium bibir namja yang ia sukai di depan mataku.
"Ge, aku mau mandi.." gumamku dengan lirih tanpa melihat Kris yang masih senantiasa di belakangku.
"Kalau begitu mandilah." Aku menatapnya tak percaya. Pernyataan macam apa itu!
"Kan aku lagi sakit!" pekikku sambil menatapnya sebal. Ia hanya mendengus pelan lalu menatapku dengan tatapan dinginnya..lagi.
"Kalau begitu tidak usah mandi.." ucapnya sambil beranjak berdiri lalu meninggalkanku menuju dapur.
"Gegeeeee~~~~" rengekku akhirnya sambil memeluk kakinya yang tinggi layaknya tiang. Ia menatapku dengan sebal lalu menghela nafas pada akhirnya. Menyerah?
"Baiklah, aku akan membantumu.." aku tertawa dengan girang lalu mengangkat kedua tanganku ke hadapannya.
"Bantu aku berdiri~" pintaku dengan suara se-imut mungkin. Ia kembali menghela nafas dengan sebal lalu meraih tanganku dan membantuku berdiri. Hangat.
"Wajahnya aja yang sangar, tau-taunya sifatnya kekanak-kanakan.."
"SONGSAENGNIM!"
Halo semua. Namaku Huang Zi Tao. Aku adalah namja keturunan China yang kebetulan tinggal di Seoul, Korea Selatan. Umurku 15 tahun dan aku masih menyandang status pelajar, haha~
Dan seorang namja yang sedang membantuku menggosokkan punggungku dengan sebuah handuk kecil adalah Kris Songsaengnim. Ia adalah guru matematika di sekolahku, ia juga home tutorku. Pasti kalian bingung mengapa ia berada di rumahku, kan? Well, kami sebenarnya tetanggaan dan kami sangat dekat. Makanya aku memanggilnya dengan sebutan 'gege'. Bukan Songsaengnim—kalau aku sedang kesal dengannya baru aku memanggilnya dengan Songsaengnim. Oh iya! Umur guru menyebalkan ini…24 tahun.
Sekarang, aku dan Kris sedang berada di kamar mandi. Kalian jangan berfikiran yang aneh dulu, Kris sedang membantuku menggosok punggungku yang basah sehabis mandi—tentu saja aku sudah memakai pakaian untuk menutupi alat kelaminku!
"Terima kasih ge.." ucapku sambil tersenyum padanya, ia hanya tersenyum tipis lalu meninggalkanku.
"Cepatlah ganti baju, sehabis itu makan dan tidur.."
Bam!
Pintu yang tertutup dengan keras mengagetkanku, membuatku keluar dari kamar mandi dengan boxer yang masih basah lalu melihat pintu depan. Ah, dia pergi.
Matahari muncul dengan gagah setelah sedikit berdebat dengan awan tebal, ia memancarkan cahaya-nya dengan tenang sambil menyuruhku untuk bangun dari alam mimpi dan mataku sukses terbuka saat cahaya-nya muncul dari celah jendelaku. Aku bangun dari posisi baringku lalu…rasa sakit itu kembali muncul.
"Another headache~" gumamku sambil bersing-song ria, lalu mataku menoleh ke jam yang berada di sampingku. Jam 9 pagi….tumben sekali.
Tunggu…9 PAGI?!
"KRIS SONGSAENGNIM!" Kenapa aku tidak dibangunkan! Argh!
Kris itu..mentang-mentang aku sakit, ia tidak membangunkanku. Apa ia tidak tau betapa membosankannya sendirian di rumah itu? Dan sekarang….apa yang harus kulakukan?
Aku menghela nafasku malas, kenapa aku harus sakit? Betapa bodohnya aku menyakiti diriku sendiri hanya untuk….melihat moment yang paling ku benci seumur hidup. Melihat Kris mencium bibir namja yang ia sukai dengan paksa, lalu melihat namja yang ia sukai itu berontak dan menampar pipi tirus Kris dengan keras, dan tanpa menyerah Kris tetap menciumnya dengan paksaan. Di depanku. Didepan mataku.
Tidak, aku tidak benci namja itu karena ia menampar Kris dengan sangat keras. Aku tidak membenci namja itu karena ia membuat Kris cinta padanya. Aku tidak akan pernah membenci sosok baik layaknya malaikat itu.
Yang ku benci itu hanya satu. Kris.
Karena ia terus mengharapkan cinta dari sosok Lay—namja yang ia suka—yang aku yakin tidak akan pernah membalas cintanya. Terus menyakitinya sendiri hanya untuk sosok Lay. Rela melakukan apa saja untuk Lay yang tidak akan pernah dibalas apapun oleh sosok itu.
Padahal ia tahu, kalau Lay itu sudah punya seseorang. Dan seseorang itu adalah partner-nya di tempat kerjanya. Ya, di sekolahku.
Aku menghela nafas berat. Aku jadi ingat pertama kali aku bertemu dengan Kris.
.
.
.
.
Saat itu, dimana aku telah lulus dari sekolah menengah pertama-ku. Ketika acara pelepasan murid yang lulus, nenek ku yang selama ini menjagaku dan merawatku masuk rumah sakit karena demam tinggi—padahal sebelumnya nenek tidak pernah mengalami demam tinggi—dan otomatis aku tinggal sendiri. Pada saat itu, seorang namja tampan layaknya pemain film yang baru saja pindah disebelahku sedang berciuman dengan seorang namja.
Saat hari pertama masuk sekolah sudah tiba…
Aku shock bukan main, aku malah bertemu namja yang baru pindah itu di sekolah. wajahnya yang tampan itu tak pantas sekali menjadi seorang guru…matematika. Dan ketika itulah aku tau namanya.
Kau tau, saat itu aku sudah merasakan cinta pada pandangan pertama.
Setelah tahu namanya, aku berusaha dengan keras untuk bisa dekat dengannya. Dan salah satu caranya adalah…mengancamnya dengan menyebutnya 'A Homo Teacher'. Setiap kali ia menangkapku sedang menempalkan tulisan demi tulisan di depan pintunya dengan tulisan "Beware of the pervert!" "A homo is in here!" "Don't ever you try to close to him!" ia akan selalu menarikku ke apartmentnya—tak lupa juga merobek tulisanku lalu membuangnya—lalu mulai mengoceh sana-sini. Saat ia mengoceh itulah, aku diam-diam memperhatikan setiap lekuk wajahnya untuk bisa ku gambar di buku sketsaku. Pernah saat itu aku tertangkap basah.
"Kau sedang apa?" tanyanya dengan penuh emosi karena tingkahku yang lagi-lagi membuatnya malu. Dengan wajah yang memanas aku membalas pertanyaannya dan mengatakan maksudku selama ini.
"Jadi model…untuk lukisanmu?"
"Jika kau mau menjadi modelku setiap hari, aku tidak akan menceritakan kepada semua orang tentang hubungan sesamamu! Aku janji!" pekikku dengan mantap sambil menatapnya dengan serius. Ia menatapku dengan malas lalu mendengus.
"You've gotta be kidding me. Why do I have to hang around kids even after my job is done.."
"Everyone in the neighborhood! There's a homo teacher in room—hmmpph!"
"Berikan buku sketsamu dulu!" potongnya sambil melepaskan tangannya dari mulutku yang berusaha menutup perkataan-perkataanku tadi. Ketika aku memberi buku sketsaku dan Kris melihatnya dengan baik-baik, aku mulai mengeluarkan suaraku.
"Nenek-ku yang selama ini mengajariku menggambar, dia bilang aku harus mencoba untuk menggambar seseorang.." ketika aku mengatakan hal itu, aku teringat dengan perkataan nenek dulu :
"Tao, saat kamu menggambar. Kamu harus merasakan jatuh cinta. Mau itu pemandangan bukit, sebuah sayur ataupun buah-buahan kamu harus merasakan cinta pada objeknya dulu lalu menggambarnya."
Tapi setiap kali nenek bilang begitu aku selalu mengelak. Tanpa cinta aku masih bisa menggambar. Lagipula, masa' aku harus jatuh cinta pada kotak tissue juga saat aku menggambarnya.
"Baiklah" Ia bersedia menjadi modelku! Tentu saja dengan ancaman demi ancaman yang aku berikan kepadanya.
Semenjak itu kami menjadi dekat dengan satu sama lain.
.
.
.
.
Angka jarum jam sudah menunjukkan jam 3 sore. Itu artinya Kris sudah pulang dari sekolah. dengan gerakan cepat aku mengambil buku sketsa serta pensil dan penghapusku lalu keluar dari apartment lalu mengunci pintunya. Saat itulah aku melihat Kris sedang mengeluarkan kunci apartment dari saku bajunya lalu aktifitasnya terhenti saat matanya sedang menatapku.
"Orang demam tidak boleh keluar dari kamarnya.." ucapnya sambil membuka pintu lalu menutupnya, namun dengan cepat aku masuk ke apartmentnya dengan berlari. "YHA!"
"Aku sudah baikan!" seruku sambil mendekati sofa rumah Kris yang empuk lalu duduk disana. "Ah! Aku sangat suka sekali dengan sofa ini! Empuuukk~" seruku dengan girang sambil berguling ria di sofa berwarna putih ini. Kris menatapku dengan ekspresi yang seakan berkata kau-anak-aneh lalu melepaskan tasnya dan duduk disampingku yang sudah duduk di lantai—tidak lagi duduk di sofa karena death glare Kris.
Ia menghela nafasnya berat sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya lalu menguap. Aku menatapnya sambil memperhatikan pipinya yang tirus. Oh tidak, aku terhipnotis lagi dengan wajahnya yang tampan.
"Apa yang kau lakukan? Cepat gambar!" serunya yang membuatku kaget lalu menatapnya dengan kesal.
"Lepaskan dulu kacamata itu! Kalau kacamata itu masih ada di matamu aku susah menggambarnya!" ia mendengus dengan sebal lalu melepaskan kacamatanya.
"What the hell? Hurry up and draw!" aku terdiam saat ia melepaskan kacamatanya. Bentuk matanya, tajam layaknya elang.
Setelah tersadar dari lamunanku, aku mulai menggambarkan dirinya yang sedang sibuk dengan laptop dan rokok di tangan kanannya. Ia terus saja menghadap laptop. Membuat sebuah keheningan antara aku dan Kris.
"Ge.."
"Eum?" ia menoleh ke arahku sambil menatapku dengan tatapannya. Aku terdiam sejenak lalu menghentikan kegiatanku sebentar.
"Mendapat pekerjaan menjadi seorang actor film terkenal itu lebih cocok untukmu, kenapa gege malah bekerja menjadi seorang guru?" ia terdiam. Lalu menghela nafasnya.
"Itu adalah permintaan terakhir kakek-ku sebelum meninggal." Aku mengangguk-angguk mengerti lalu kembali menggambarnya.
"And that person? What happened to that person you were kissing?" tanyaku sambil terus menggambarnya. Entah kenapa lama-lama rasa kantukku semakin menjadi-jadi. Aku menatapnya yang sedang menatapku dengan tatapan terkejut, lalu ia menoleh ke arah lain lalu saat itulah rasa kantukku semakin berat dan membuatku tertidur di lantai.
"Hey! Kalau mau tidur di rumahmu sana!" ucapnya sambil berusaha membangunkanku yang masih—sedikit—terjaga. Aku menatapnya dengan rasa kantuk yang semakin menjadi-jadi.
"Maafkan aku, aku sangat mengantuk sekali hari ini.." aku bangkit dari posisi baringku lalu mengucek mataku dengan tangan kananku. "I'll go sleep. See ya tomorrow.."
Aku berdiri lalu mengambil buku sketsaku, saat aku melangkahkan kakiku. Sebuah pertanyaan besar muncul di otakku, membuatku menoleh ke arahnya yang berada di belakangku.
"Bolehkah aku bertanya satu pertanyaan lagi ge?"
"Ya ampun…apa itu?" aku menunduk dengan wajah yang memanas dan rasa kantuk yang entah kemana perginya, lalu menatapnya sambil tersenyum tipis.
"Kalau seseorang yang gege cium kemarin itu adalah seorang murid, apakah gege akan menciumnya dengan lembut tidak seperti saat gege mencium namja itu?" ia terkejut saat aku menanyakan pertanyaan yang…entah kenapa sedikit bodoh dan...
Apakah pertanyaanku tadi semacam…..mengatakan perasaan? Ah aku tidak tau!
"Ha….hahahahahahaha" sebuah tawa lepas yang terpaksa keluar dari bibir Kris, lalu ia menatapku dengan pandangan serius.
"Kids have a fast metabolism and they stink of carbohydrate. I've got no interest in them..."
Keesokan harinya..
"YA AMPUN BAU SEKALI!" pekik Kris saat menuju ke sekolah bersamaku, ia menatapku dengan tajam sambil menutup hidungnya. Aku menatapnya dengan malas sambil terus berjalan. Dia bilang tadi malam kalau anak-anak macam aku ini bau karbohidrat—semacam bau badan—dan sekarang ia menutupi hidungnya padahal aku sudah memakai parfum.
Tunggu…apakah parfumnya berlebihan?
Aku menguap dengan sangat lebar sambil menopang badanku dengan kedua tanganku. Aku tidak tidur dengan nyenyak tadi malam, aku sangat lelaah~
Aku menengadahkan kepalaku ke atas sambil menatap jernihnya langit biru, sambil memikirkan nenek-ku yang masih koma di rumah sakit karena penyakit jantungnya.
Nenek…sepertinya cinta itu mustahil bagiku. Setiap kali aku menggambar—tanpa ada cintapun—hasilnya tetap bagus dan memuaskan. Tetapi saat mencoba menggambar sosok Kris….hasilnya tidak bagus. Tidak memuaskan. Padahal aku sudah menggambarnya dengan perasaan cinta.
Apakah perasaan cinta ini belum cukup? Atau…karena cinta ini tak terbalaskan? Atau…perasaan cinta ini..salah?
"Ha-halo?" aku terkaget saat seseorang mendekatiku lalu menyapaku. Dengan cepat aku mengambil kotak makanku dan buku sketsaku lalu pergi dari sini. Aku tidak mau berurusan dengan siapapun saat ini—bahkan pada orang yang terus menganggapku seorang pembunuh.
"Tunggu! A-aku tidak.." aku menoleh ke belakang saat tangan namja manis di belakangku memegang bahuku. Ia menatapku dengan terkejut saat aku menoleh ke arahnya lalu cepat-cepat melepaskan tangannya dari bahuku.
"Emm…anu…na-namaku…"
"Kau mau mengataiku seorang pembunuh seperti mereka? Mau mencaci makiku lalu menendangku seenaknya seperti mereka?" potongku sambil menatap namja manis yang lebih pendek daripada aku dengan tatapan tajamku. Ia terkejut dan seketika air mata turun dari matanya.
Selama ini, di sekolah ini. Aku tidak punya teman sama sekali. Ada sih, tapi mereka pergi meninggalkanku saat home tutorku—sebelum Kris—meninggal karena jatuh dari lantai 4—tepat didepan pintu apartmentku—semua orang menganggapku kalau akulah dalang dari meninggalnya home tutorku yang lama itu. Bahkan sampai fans-fans home tutor—yang juga seorang guru disini—ku terus saja membullyku diam-diam. Dari sepatuku diberi kotoran, memasukkan barang-barang yang entah apa itu ke tasku sampai yang lebih parahnya…..aku tidak ingin melanjutkannya.
"A-aku tidak bermaksud seperti itu..aku tidak seperti mereka.." ia menangis sambil menunduk membuat rasa bersalah muncul. Aku mencoba menenangkannya lalu meminta maaf padanya. Setelah tangisnya terhenti ia menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Jadi apa maumu?" ia menatapku lalu kembali menunduk.
"A-aku hanya ingin berteman denganmu. Karena aku…mempunyai nasib yang sama denganmu" aku terdiam sambil menatapnya yang tersenyum padaku dengan gampangnya. Padahal aku baru saja membentaknya. Matanya menyipit saat ia tersenyum dengan lebar dan air matanya sedikit mengalir dari matanya yang menyipit.
"Namaku Xi Luhan.."
"Namaku…Huang Zi Tao"
Setelah mengalami hari..yang entah kenapa menyenangkan—apa mungkin karena aku sudah mempunyai teman?— aku datang ke apartment Kris seperti biasa lalu mulai menggambarnya saat malam hari. Aku sedang berada di kamarnya, Kris sejak tadi bersender pada kasur dan menghembuskan nafasnya berat. Sepertinya ia kecapekan.
Saat aku terus menggambarnya dari sisi samping, lagi-lagi perkataan nenek terlintas di kepalaku : "When you're in love, every line you draw is unbearably precious"
Aku menatapnya dengan tatapan takut. Aku…ingin sekali melihatnya dari sisi yang sangat dekat. Apakah ia sedang tidur?
Dengan perlahan, aku mendekatinya sambil terus menatap matanya. Takut ia tiba-tiba bangun dan mengataiku yang tidak-tidak. lalu setelah kurasa cukup, aku menatap pipinya. Rahangnya sangat tegas. Lalu aku memperhatikan matanya. Ia mempunya alis mata yang tebal dan berwarna blonde—seperti rambutnya—lalu aku menatap bibirnya. Bibirnya…
Entah kenapa, aku…menyukai bibir ini.
"I told you, I have no interest in kids."
"Kau selalu makan sendirian?" aku menoleh ke sumber suara yang mengagetkanku. Lalu wajah tampan Kris muncul di hadapanku dan mataku seakan tersihir. Namun, mengingat kejadian tadi malam aku tidak membalas pertanyaannya dan memilih melanjutkan makanku. Aku menghembuskan nafasnya berat sambil duduk disampingku.
"Soal tadi malam..aku minta maaf karena perkataanku yang kasar." Aku menoleh ke Kris yang sekarang sedang menatapku, tanpa senyuman. Namun, tidak ada tatapan tajam seperti biasanya.
"Kamu dan aku adalah guru dan murid. Jadi sangat berbahaya jika kamu melakukan sesuatu seperti tadi malam." Aku menunduk dengan senyum tipis menghiasi bibirku, aku sudah menduganya. Perkataannya tadi malam benar-benar bukan sebuah lelucon.
Ia tidak tertarik denganku dan menganggapku muridnya.
"Itu hanya membuat sebuah masalah dan rumor di sekolah ini. Kau mengerti? Jadi, jangan pernah datang—"
"Songsaengnim" ia menghentikan perkataannya sambil menatapku yang mulai mengeluarkan air mata. Mata tajam itu…menatapku dengan sebuah tatapan bersalah. Ini untuk pertama kalinya, mata itu…
"A-aku sudah mengikuti Art Club sekarang. jadi, aku akan melukis disana.." aku tersenyum padanya dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Mengingatnya mengatakan sebuah kalimat yang tidak akan pernah ku suka dengan nada tinggi dan tatapan menakutkan membuatku semakin tidak bisa menghentikan air mata ini. Sakit. Sakit rasanya dibentak oleh seseorang yang aku cintai sepertinya.
"Mau kimchi?" tawarku dengan air mata yang terus mengalir sambil tertawa pelan lalu kembali makan tanpa menghapus air mataku. Masa bodoh dengan air mata yang jatuh tepat di kimchiku. Masa bodoh juga Kris mau kimchinya atau tidak. Masa bodoh dengan keheningan yang mulai terjadi antara aku dan dia.
"Kenapa?" aku menoleh ke samping dimana Kris masih setia di sampingku. Melihatku yang sedang asyik memakan kotak makan siangku.
"Kenapa kau menangis?" lanjutnya sambil menatapku dengan tatapan itu….tatapan dingin itu lagi.
"Kenapa?" tanyaku sambil memiringkan kepalaku. Lalu aku tersenyum lebar.
"Karena..aku mencintai gege."
To be continued...lol
kecepatan ya alurnya? sengaja lol. chapter 2 insyaallah deh alurnya dipendekin xDhaha
Ohiya, yang punya twitter follow widi ya onewidie! entar widi folback deh ;)
Reviewnya ditunggu!
Inget kalo banyak yang review bakal dilanjutin! 'u'