A/N: Hey, I'm back with new story. Hope you're like it and enjoy to read. Leave your review, please:)
The Notebook
by
AchernarEve
All of characters belong to JK. Rowling and the unknown character belongs to me automatically
Prolog
Agustus
Wiltshire, Inggris
Musim panas
Angin bertiup lebih kencang dari sewajarnya. Sewajarnya musim panas. Sewajarnya dari seharusnya. Bukankah musim panas angin akan sangat mustahil bertiup sekencang ini? Karena memang sesungguhnya ini bukanlah saat yang wajar. Sinar matahari sore menelisik dari balik pepohonan hijau yang mulai merekah beberapa bulan lalu. Artinya badai tak mungkin datang. Lagi-lagi sangat mustahil akan datang badai di bulan Agustus seperti ini. Lagipula tadi sudah kukatakan bahwa matahari sedang menampakkan cahayanya.
Masih dengan tiupan angin kencang, aku menatap sendu kearah batu hitam di hadapanku. Sudah entah berapa lama aku duduk disini. Terdiam. Sesekali air mata meleleh. Kuseka. Dan meleleh lagi. Angin yang kini bertiup terasa akan merontokkan satu persatu tulang yang dengan kokohnya menempel di dagingku. Sekali lagi kuingatkan, hari ini adalah hari ketiga dalam minggu pertama di bulan Agustus. Jadi, aku sangat merasa alam ikut berkonspirasi dalam kesedihan yang kualami sejadi-jadinya. Petir seketika terdengar di telinga. Sinar matahari yang tadi menunjukkan wujudnya dari balik pepohonan itu kini meredup perlahan-lahan. Perlahan dan perlahan sinar itu menghilang dan digantikan dengan awan hitam yang menggumul di angkasa. Petir itu terdengar kembali. Angin semakin berani memperlihatkan kehebatannya. Aku menengadah ke angkasa. Setitik air jatuh membasahi wajah ini. Setitik demi setitik yang dengan singkatnya berubah menjadi guyuran maha dahsyat. Awan yang baru saja menggumul bak kapas hitam kusut di langit kini dengan perlahan memecah dan sinar matahari itu kembali menampakkan silaunya. Senyum terkembang dari wajahku. Sudah saatnya aku harus berdamai dengan kenyataan, bukan?
Mataku terasa berat. Mungkin dengan memejamkannya sesaat akan menghilangkan sedikit beban kesedihan yang kurasakan saat ini. Atau mungkin saja semua ini hanyalah mimpi dan jatuh tertidur merupakan sebuah jalan untuk keluar dari mimpi terburuk yang pernah kualami ini. Dan mata ini kian berat. Senyum masih mengembang diwajahku saat semua pandanganku menjadi gelap dan rasa dingin kini menghantam tubuhku.
000
Chapter 1
Tubuh ini terasa remuk redam. Apakah kalian pernah merasakan saat tulang belulang kalian copot dari dagingnya? Mungkin seperti itu perasaan yang kurasakan terhadap tubuhku saat ini. Perbedaan yang kurasakan saat ini dengan beberapa saat atau lebih tepatnya jam yang lalu adalah kehangatan. Sisanya tak ada yang berbeda.
Aku mendengar derap langkah dari lantai ruangan ini. Ruangan? Kehangatan ini berasal dari sebuah ruangan. Masih dengan mata yang terpejam aku membaui ruangan ini. Bau yang sangat kukenal. Ini kamarku. Wangi melati bercampur dengan pinus seketika menyeruak di penciumanku. Ada sensasi lain yang kurasakan di kasurku. Perlahan aku membuka mata. Hal yang kutangkap untuk pertama kali adalah sosok pria dengan kacamata yang menghiasi wajahnya tengah memperhatikanku saat ini. Aku sama sekali tak mengetahui apa yang ada dipikirannya saat ini. Wajahnya tersenyum namun tak dapat menutupi kekhawatiran yang menyembur dari segala mimiknya.
"Hey," sapanya untuk pertama kali.
"James," aku mencoba untuk bangkit dari tidur namun dengan sangat cepat ia mencegahku dan dengan sangat lembut kembali membuatku kedalam posisi semula.
"Rebahan saja," ucapnya lembut lalu menjulurkan tangannya untuk menyentuh keningku. "Kau demam, aku akan mengambilkan ramuan penurun panas untukmu, tapi sebelumnya kau harus mengisi perutmu terlebih dahulu."
James Potter. Sepupu yang sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri ini masih menatap sendu kepadaku.
"Aku baik-baik saja."
Baiklah, untuk masalah itu aku berbohong. Tubuhku sangat sakit seperti seorang budak yang sudah berkerja lima hari lima malam tanpa tidur serta kepalaku yang terasa akan segera pecah membutatku merasa sangat tidak 'baik-baik saja'.
"Kau tidak baik-baik saja, setidaknya beberapa jam yang lalu," ujarnya "kau tahu betapa pucatnya wajah Uncle Ron saat seorang petugas makam membawamu ke rumah dengan keadaan yang sangat menyedihkan?" tambahnya lagi.
Aku hanya mengedikkan bahu dan menaikkan sebelah alis. "Kau terlihat seperti jasad yang tak berdaya."
"James, aku minta maaf," ujarku sungguh-sungguh.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Rose. Temui ayahmu besok pagi, dia pasti senang melihatmu kembali ceria lagi," ucap James yang terdengar sangat menenangkan.
Aku menggangguk dan setetes air mata membasahi pipiku. Tangan besar James dengan cepat menyekanya. "Jangan menangis lagi, kau kuat, Rose. Semua orang tahu itu."
"Dad?"
"Dia sama kuatnya dengan dirimu."
Anggukan dariku sudah menjawab pernyataan James tadi. "Dimana Dad?"
James hanya tersenyum. "Ini sudah tengah malam. Eehm aku tak tahu pastinya sebutan apa untuk saat ini. Kau menyebut apa untuk keadaan di pukul tiga seperti sekarang?"
"Menjelang pagi kurasa cocok," aku tertawa lemah.
Dia melengkungkan bibirnya dan mengangguk setuju. "Kau mengantuk?"
"Aku rasa tidak. Aku lapar."
James kembali tersenyum. "Tunggu disini aku akan membawakanmu sup dan ramuan untuk demammu," ucapnya.
Setelah mengacak-acak rambutku dia menghilang dibalik pintu dan rasa sakit ditubuhku kembali mendera.
000
Tak terhitung sudah berapa banyak orang yang berkunjung kerumahku sejak kepergian Mum. Hampir seluruh temannya dan teman Dad dari Kementerian tak henti-hentinya berkunjung untuk menunjukan bela sungkawanya. Granny Weasley sedari tadi sudah sibuk di dapur. Dia tak henti-hentinya membuat kudapan untuk para tamu yang datang silih berganti. Ada yang berbeda dengan Granny saat ini. Aku tak pernah membayangkan wajah sedihnya saat berada di dapur. Granny sangat menyukai dapur dan memasak. Setidaknya hal itulah yang aku ketahui darinya selama hampir 17 tahun menjadi cucunya. Tetapi, kali ini sangat berbeda. Senyumnya terkesan dipaksakan dan kerutan umurnya semakin jelas terlihat. Aku tahu sebenarnya apa yang terjadi. Hal ini adalah salah satu efek dari kepergian Mum untuk selamanya.
"Dia wanita yang sangat baik," ujar salah satu tamu Dad dari Kementerian yang tak kutahui namanya saat menjabat tangannya.
"Terima kasih," jawab Dad.
'Terima kasih' adalah satu frasa yang selalu Dad ucapkan selama tiga hari kebelakang ini. Hanya Dad yang terlihat sangat tegar menghadapi situasi ini. Bahkan Uncle Harry tak dapat menyembunyikan kepedihannya saat melihat peti Mum dimasukkan ke dalam liang lahat.
Sekitar sore hari, rumah kami sudah lenggang. Semua tamu itu akhirnya sudah kembali ke dalam aktivitas mereka masing-masing. Hanya tersisa para sepupu Weasley dan Potter, Granny dan Grandpa Weasley, Nana dan Granddad Granger serta semua Uncle Weasley. Mereka juga sudah tampak asik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sibuk dengan televisi Muggle milikku, bermain catur sihir, membaca koran, melihat-lihat album foto keluargaku, atau sekadar berbincang-bincang bersama saja.
Aku dapat melihat Dad yang sedari tadi duduk di beranda menatap danau di belakang rumah kami. Pandangannya kosong. Menatap hampa ke depan. Hal ini biasa ia lakukan bersama Mum di sore hari saat akhir pekan. Kami selalu menghabiskan musim panas bersama saat liburan tiba. Kini Dad hanya sendiri. Tak ada es teh beraroma lemon yang biasa Mum buatkan untuknya atau untuk kami. Dia hanya sendiri dengan segala kesedihan yang ia pendam. Yaa, setidaknya hal itulah yang aku dapat tangkap dari semua sikap yang ia tunjukkan setelah Mum pergi untuk selamanya.
"Dad," sapaku yang membuyarkan lamunannya.
"Rossie," jawabnya yang langsung membenarkan posisi duduknya yang sepertinya merosot tadi.
Aku mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. Kami tak mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya menikmati semilir angin yang sesekali bertiup. Sore ini tampak sangat cerah. Kicauan burung-burung terdengar dengan sangat jelas dari beranda di belakang rumah kami.
Dad mengambil tanganku dan menggenggamnya perlahan dengan erat. Aku melihat ia tersenyum saat melakukannya. Lalu tatapannya dialihkan padaku, senyum masih tersulas di wajahnhya. "Kau sangat mirip dengannya, Rossie," ucapnya yang terdengar seperti berbisik.
"Benarkah?"
Dad mengangguk. "Kau sangat mirip dengannya. Rambut, kulit, bentuk wajah, sampai kecerdasanmu adalah cetak biru darinya."
"Aku tak secantik Mum, Dad," jawabku yang ikut tersenyum saat mendengarnya.
"Dulu aku berpikir tak ada yang dapat menandingi kecantikan ibumu, tapi kini semua pikiran itu salah. Kau sangat mirip seperti dirinya, young girl. Dan kurasa hanya kau yang dapat menandingi kecantikan serta kecerdasan ibumu."
Aku kembali tersenyum saat mendengar kalimat yang diutarakan oleh Dad. "Aku secantik Mum?"
"Lebih dari sekadar yang kau pikirkan, Rossie," balas Dad yang mengecup punggung tanganku.
Sore berganti dengan senja yang mengeluarkan semburat merah keemasannya di langit barat. Kicauan burung itu berganti dengan derik jangkrik dan binatang malam lainnya. Aku masih duduk terdiam bersama Dad. Tatapannya kembali menerawang. Menerawang ke dimensi ruang dan waktu yang tak dapat kujangkau.
"Kau pasti sangat mencintainya," ujarku.
Dia hanya tersenyum. "Apakah sangat terlihat?" kekehnya.
"Dan Mum juga pasti sangat mencintaimu, sama seperti kau mencintainya, bukan?"
Raut wajah Dad berubah seketika. Ia masih tersenyum, tapi ada sesuatu yang sepertinya mengganjal disenyumnya. Terlihat dipaksakan.
"Dad?"
"Semua itu tak seperti pikiranmu, Rossie," ujarnya kembali tersenyum lalu beranjak dari duduknya. "Ayo kita masuk, sepertinya makan malam sudah siap dihidangkan oleh Granny-mu."
Dad kemudian masuk meninggalkan aku dengan sejuta penasaran yang berkecamuk. Apa maksud dari ucapannya tadi. 'Semua itu tak seperti pikiranmu, Rossie'
Aku mengedikkan bahu dan mengikutinya ke ruang makan.
000
Sudah dua minggu sejak kepergian Mum. Segala aktivitas kami sudah kembali juga seperti semula. Dad sudah kembali bertugas di Kementerian, begitu juga dengan Uncle Harry dan semua saudaraku. Dan aku masih menjadi pengangguran musiman menunggu untuk kembali ke sekolah. Sudah dua minggu ini aku terbiasa untuk berperan menggantikan Mum di rumah. Mulai dari membersihkan rumah sampai membuatkan Dad sarapan, untuk makan malam adalah sebuah pengecualian. Granny akan selalu mengirimkan kami makanan karena aku belum mahir untuk membuat makanan berat. Aku juga tak mau membuat Dad sebagai kelinci percobaan dalam setiap masakanku. Setiap sore hari Granny datang ke kediaman kami dengan makan malam di tangannya atau kami akan ke The Burrow setelah Dad kembali dari Kementerian. Dan aktivitas itu terus berlanjut paling tidak sampai aku kembali ke sekolah. Hal inilah yang membuatku cemas bukan kepalang. Bagaimana nasib Dad dan rumah ini saat aku tak ada? Dad bukanlah tipe yang akan membersihkan rumahnya setiap hari walaupun aku yakin dengan sedikit sihir rumah ini akan membersihkan dirinya sendiri. Mungkin aku akan membahasnya nanti bersama Dad.
Tak ada yang berarti dari kegiatanku selama dua minggu belakangan ini. Bangun di pagi hari, sarapan bersama Dad, berkunjung ke makam Mum, lalu pergi ke The Burrow atau menghabiskan siang di kediaman sepupu Potter-ku.
Berbeda dengan hari ini, setelah mengunjungi makam Mum aku langsung pulang ke rumah. James sedang sibuk dengan program magangnya sebagai Auror di Kementerian, sedangkan aku tak begitu dekat dengan Lily dan Albus. Jadilah, aku sekarang disini. Di rumahku. Atau lebih tepatnya di ruang kerja Mum. Aku duduk di sebuah sofa nan empuk bewarna crimson tepat di depat perapian yang tak menyala. Tak ada yang kulakukan. Hanya sekadar duduk dan menikmati atmosfer yang terdapat di ruangan ini. Ruangan ini benar-benar merupakan representasi dari Mum. Rapi dan bersih. Sebuah meja kerja beserta kursinya berada tepat di hadapan jendela besar dengan tirai putih transparan dengan gorden yang sewarna dengan sofa yang sedang kududuki. Rak-rak yang menempel di dinding berisi dengan ratusan buku yang kuyakin sudah semua ia lahap. Di salah satu sisi dinding ruangan ini yang di dominasi dengan warna cokelat ini terpampang foto keluarga kami. Ada Dad yang sedang berdiri dengan aku dan Mum yang duduk sambil tersenyum di sebuah sofa. Aku tersenyum melihat foto itu. Senyuman Mum terlihat sangat hangat di foto itu.
Setelah bosan hanya duduk diam tanpa melakukan apapun , aku memutuskan untuk membaca salah satu dari koleksi buku Mum, namun aku mendapati sebuah album besar yang bertuliskan kata 'love of my life' dengan tinta emas diatasnya. Penasaran, aku membukanya. Album itu berisikan foto-foto Muggle dan sihir secara sekaligus. Ada foto Nana dan Graddad serta Mum sejak masih kecil sampai dewasa. Ada juga foto-foto Mum, Dad, serta Uncle Harry di halaman-halaman berikutnya. Foto-foto itu diambil dari tahun pertama sampai tahun terakhir mereka di Hogwarts. Persahabatan mereka membuatku sangat iri. Terdapat banyak momen di dalam album ini. Mereka saat bersama Profesor Slughorn dan McGonagal yang sekarang juga menjadi guru-guruku. Foto Mum bersama Dad dan Uncle Harry dengan seragam Quidditch asrama mereka. Bahkan ada foto Mum bersama mantan pacarnya, Viktor Krum. Senyumku tak henti-hentinya mengembang saat melihat semua ini. Perasaan hangat bercampur dengan rindu berkecamuk di perasaan ini. Aneh rasanya melihat foto-foto Mum dan menyadari bahwa ia tak akan pernah datang lagi padaku di setiap aku membutuhkannya. Rasanya aneh untuk berkunjung ke makamnya atau aneh rasanya mendapati diriku terdiam berjam-jam hanya untuk membaui wangi Mum yang masih tertinggal di setiap sudut rumah ini.
Kuletakkan album itu dan kembali duduk sambil menerawang. Terkadang aku masih merasa takdir ini sangat tidak adil. Hampir semua profesor di Hogwarts berusia hampir seabad namun mereka tetap sehat dan tak ada tanda-tanda mereka akan bernasib seperti Mum, tapi mengapa Mum yang masih berusia kepala empat sudah pergi terlebih dahulu. Mum tidak sakit apalagi kecelakaan, ia hanya pergi saat kami semua terlelap. Aku masih ingat ketika pagi hari itu aku melewati kamar mereka terdengar suara Dad yang setengah berteriak pada Mum 'Bangun, Hermione'
Pintu kamar mereka sedikit terbuka. Aku dapat melihat Dad mengguncang-guncang tubuh Mum yang terlihat sudah tak berdaya. Terkejut melihatnya aku langsung masuk dan mendapati Dad yang tengah menangis dengan tubuh yang berada dalam dekapannya. Aku sempat menyentuh tubuh wanita yang telah mengandungku selama sembilan bulan itu. Tubuhnya sudah dingin dan mulai kaku. Dan saat itulah aku sadar bahwa Mum sudah meninggal. Dan sampai sekarang tak ada yang tahu apa penyebab meninggalnya Hermione Weasley.
Terdengar derap langkah kaki mendekatiku. Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menengadah dan mendapati Dad tersenyum.
"Hey, Dad."
"Apa yang kau lakukan, Rossie?" tanyanya yang masih berdiri di belakangku.
Aku menggeleng. "Tak ada. Kau mau makan malam?"
"Tentu."
"Aku akan memanaskannya terlebih dahulu."
Dia mengecup puncak kepalaku saat aku bangkit dari sofa. Aku kembali tersenyum. "Mandilah, Dad."
"Sampai ketemu di meja makan, young girl."
000
Besok adalah hari keberangkatanku untuk kembali ke Hogwarts. Tahun terakhirku juga sebenarnya. Sebenarnya aku masih segan untuk meninggalkan Dad sendirian di rumah. Sudah jauh-jauh hari aku meminta Aunt Ginny dan Granny untuk memantau Dad. Aku tak tahu apakah ia akan sarapan atau makan malam tanpa adanya Mum atau aku. Memori itu masih teringat di ingatanku saat aku dan Mum berlibur selama beberapa hari di Malta dan apa yang terjadi pada Dad dan rumah ini. Rumah kami terlihat seperti tak berpenghuni dan yang lebih mengejutkan dan membuatku kesal adalah makan malam terakhir Dad adalah saat kami terakhir kali makan malam bersama sekitar empat hari yang lalu. Ia mengaku hanya makan siang di kantornya dan sedikit minum saat pulang. Padahal setahuku dari semua Uncle Harry dan teman-temannya, Dad terkenal akan pertu karetnya yang tak dapat dibiarkan kosong walau sekejab saja. Berdasarkan segala kekhawatiran itu, aku memutuskan untuk menyewa jasa pelayan harian untuk membersihkan rumah serta membuatkan Dad makan malam dan mempersiapkan makanan siap saji untuk sarapannya, untuk berjaga-jaga bila Granny mendapatkan halangan.
Setelah membereskan koper-koper dan semua barang bawaan, aku segera mandi dan bergegas menuju makam Mum. Hari ini begitu cerah. Namun angin tetap bertiup dengan sejuknya. Awal musim gugur ini memang membuat suhu kota ini semakin menurun. Matahari bersinar dengan cantik yang seiring dengan awan yang terus berarak mengikuti kemana angin itu akan bertiup. Tak jauh dari makan itu, aku membeli seikat bungan fresia. Hanya fresia saja. Karena setahuku, Mum hanya menyukai bunga itu.
Langkahku terhenti saat melihat sosok yang sedang berdiri tepat di hadapan makam Mum. Seakan tak ingin ketahuan bila aku sedang mengamatinya, aku menyembunyikan diri di balik pohon yang berjarak sekitar 10 meter dari sosok itu berada. Pria tinggi dengan rambut pirang serta setelan serba hitam menaruh sesuatu diatas makam Mum-ku. Apa yang ditaruh Mr. Malfoy? Aku terus memperhatikannya sambil tetap bertanya-tanya di dalam hati. Hal ini merupakan keganjalan tersendiri bagiku. Aku tak pernah tahu bila Mum dan berteman. Walaupun aku tahu mereka sama-sama bekerja di Kementerian, tapi Mum berada di Departemen Kekuatan Hukum Sihir sementara Mr. Malfoy setahu yang kubaca dari harian Daily Prophet bekerja di Departemen Hubungan Sihir Internasional. Dan hal yang membuat keganjalanku terus bertambah adalah dari semua cerita yang kutahu bahwa Mr. Malfoy tidak berteman baik dengan Mum dan Trio Gryffindor-nya, malahan cenderung bermusuhan. Lalu apa yang ia lakukan di makam Mum? Pikiran baikku adalah bahwa ia hanya kebetulan lewat dan mampir sebagai teman lama. Pikiranku teralihkan saat melihat ia tersenyum sambil memegang nisan batu itu lalu pergi meninggalkannya. Dahi ini berkerut dengan sendirinya. Dan aku berjalan menuju tempat persemayaman Mum dengan berbagai tanda tanya.
Tanda tanya itu kembali hadir saat aku sampai di makam itu. Seikat fresia sudah terbaring cantik dan segar disitu. Mr. Malfoy tahu bunga kesukaan Mum? Aku mengedikkan bahu dan duduk tepat di samping makam.
"Hey, Mum," sapaku lalu menaruhkan bunga yang kubawa di samping bunga pemberian Mr. Malfoy itu.
Kuhela napas sebentar lalu membersihkan beberapa daun cokelat yang berada di atas makamnya. "Kau tahu besok aku akan kembali ke Hogwarst? Aku yakin kau tahu, karena jika kau masih ada pasti kau sekarang sedang sibuk membantuku packing dan menasihatiku tentang segala macam peraturan di sekolah. Demi Merlin, Mum, aku sudah bersekolah disana hampir tujuh tahun," tawaku pada makam ini.
"Omong-omong, aku sudah selesai dengan semua barang dan koper-koper itu, selimut yang darimu juga sudah kumasukkan. Ooh yaa, jangan lupa doakan untuk ujian NEWT-ku, Mum. Aku gelisah setengah mati bila mengingat hal itu. Aku juga berharap kau mendoakanku untuk bisa melalui hariku di sekolah tanpa semua surat darimu lagi. Kau tahu, Mum? Aku sangat merindukanmu sekarang," tanpa sadar air mataku mengalir kembali.
Entah sudah berapa liter air mata yang kutumpahkan sejak kepergian Mum. Buru-buru aku menghapus air mata ini dan kembali tersenyum. "Maafkan aku yang berubah jadi cengeng, Mum. Kepergianmu sangat berdampak besar padaku sepertinya," kekehku.
"Aku pulang dulu, Mum. Jangan lupa doakan aku dan jaga Dad selama aku tak ada di sisinya. Bye, Mum," ujarku kemudian bangkit dan pergi meninggalkan makam dengan deraian angin yang menemani.
000
Setelah perpisahan yang cukup dramatis dengan Dad, Uncle Harry, dan Aunt Ginny aku berhasil naik ke Hogwarts Express dengan linangan air mata. Sekitar sore hari kereta ini sudah sampai di Hogsmeade. Aku kehilangan Helaine seharian ini. Jadilah, seharian ini aku habiskan dengan membaca di kompartemen. Barulah saat kami sampai, Helaine menghampiriku. Senyum Helaine tetap terkembang seperti biasanya. Aku berteman dengannya sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di Hogwarts. Latar belakangh anak tunggalah yang membuat kami bisa cepat akrab. Asas kesepian sepertinya yang menyatukan kami. Hal yang aku suka darinya adalah ia tak pernah membesar-besarkan atau mendramatisir suatu masalah. Terbukti dengan hari ini, setelah sekian banyak yang mengucapkan bela sungkawa padaku secara berlebihan hanya dialah yang menyambutku dengan senyum seceria mungkin. Mungkin saja ini adalah efek dari kami yang menangis seharian saat ia datang setelah tiga hari kepergian Mum. Maklum saja, dia selalu menghabiskan musim liburannya di Italia.
Upacara penyambutan siswa baru, baru saja usai. Seperti biasa riuh rendah dari para siswa saat mendapatkan murid baru memenuhi Aula Besar ini. Dan seperti biasa juga, aku tak akan peduli apa yang terjadi di ruangan ini. Aku tak peduli siapa yang akan menjadi penerus kami di Gryffindor atau siapa pendatang baru yang akan mengisi tiga asrama lainnya.
Mataku bersibobrok dengan Scorpius Malfoy saat hendak menenggak jus labuku. Aku kembali teringat dengan kejadian kemarin saat ayahnya menyambangi makam Mum. Ada perasaan penasaran untuk menanyakan hal ini padanya. Mungkin saja ia tahu apa hubungan Mum dengan ayahnya, tapi aku dengan secepatnya menguburkan niat itu. Bagaimana bisa bertanya padanya, bertegur sapa saja aku tak pernah. Tak usah bertegur sapa padanya, aku saja tak tahu nama siswa asrama satu angkatan denganku.
"Miss Weasley."
Aku berbalik dan menemukan penjaga sekolah kami sudah berada di belakangku. "Ada apa, Mr. Filch?" tanyaku bingung.
"Ada kiriman untukmu," lalu ia mendaratkan sebuah kotak yang ukurannya lumayan besar di hadapanku.
"Ooh terima kasih," jawabku gelagapan.
Pria tua itu hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan Aula ini. "Apa itu?" tanya Helaine dari sampingku.
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah," dengan sigap aku membukanya "dari ayahku."
Aku dapat melihat dari sudut mataku saat Helaine mengangguk serta mengerutkan dahi dan kembali sibuk dengan daging panggangnya. Kini dahiku yang mengerut saat melihat apa yang ada di dalamnya. Tumpukan buku bewarna hitam. Entah ada berapa banyak di dalamnya. Aku langsung mengambil secarik perkamen yang ada di dalamnya.
Itu adalah hadiah dari ibumu
Dad
Hanya itu tulisan yang berada dalam perkamen itu. Aku mengangkat satu dari sekian banyak buku hitam itu. Dahiku semakin mengkerut.
"Jurnal?"
000
to be continued
