Normal Abnormal Days
I own nothing but this fic
.
.
Seorang pemuda tengah berbaring di atap kampusnya.
Hari itu berawan dan dingin tentunya. Wajar, karena ini musim dingin.
Namun tak membuat seorang pemuda yang tengah tertidur di sebuah bangku di lapangan basket outdoor itu terganggu.
"Aomine-kun…"
Dua tangan pucat mengguncangkan tubuh lelaki berkulit gelap itu.
Tidak ada respon.
"Aomine-kun…"—Kuroko membangunkan Aomine dengan sabar.
"Mattaku! Dai-chan benar-benar susah dibangunkan jika sudah tertidur." Momoi menghela napasnya.
"Aku mendengarmu, Satsuki."
Lelaki berkulit gelap itu berbalik, sehingga berhadapan dengan Momoi dan Kuroko.
"Berapa kali harus kukatakan, Dai-chan! Jangan suka tertidur sembarangan tempat!"
Mulai lagi, Momoi dengan mulut cerewetnya.
"Ini musim dingin, Aomine-kun. Tolong jangan merepotkan Momoi-san." Ucap Kuroko, datar.
"Kyaa! Tetsu-kun memang pengertian!~" Momoi memeluk Kuroko gemas.
Aomine menghela napasnya, "Jadi…kalian mau apa?"
Kuroko dan Momoi saling pandang, "Tentu saja pulang, Dai-chan. Ayo kita pulang bareng!"
"Satsuki, kita bukan anak SMA lagi yang mesti pulang bareng." Aomine mulai bangun dari bangku dan mengucek kedua matanya yang masih mengantuk.
"Dai-chan nggak asik!" Momoi menggembungkan pipinya, kesal.
"Aomine-kun tidak ikut pulang dengan kami?" Tanya Kuroko.
Aomine menatap Kuroko, menimbang-nimbang tawaran Kuroko.
"Not today, Tetsu. Thanks atas tawarannya, tapi pulanglah duluan." Aomine mengambil blazernya lalu mengenakannya.
Kuroko mengangguk, "Wakarimashita."—melihat kearah Momoi, "Ikuzo, Momoi-san." Kuroko berbalik, diikuti Momoi dari belakang.
Aomine melihat punggung mereka berdua yang semakin menjauh, dan memutuskan untuk pergi dari tempatnya.
.
.
Normal Abnormal Days
.
.
Aomine tidak berencana untuk pulang.
Hari sudah semakin malam dan dingin, namun kaki Aomine terus membawanya ke tempat—selain jalan pulang. Suasana kota sangat ramai di malam hari, dihiasi dengan lampu-lampu jalanan dengan berbagai bentuk yang indah. Salju tidak membuatnya berhenti berjalan.
"Selamat datang~"
Suara seorang pelayan toko coklat membuat Aomine menoleh ke belakang. Kedua mata biru gelapnya menangkap coklat-coklat lezat yang tertata rapi di etalase toko. Ah, tidak ada salahnya kalau mampir sebentar bukan?
Aomine berbalik, dan memasuki toko coklat tersebut.
"Selamat datang~"
Aomine melihat-lihat berbagai jenis coklat yang ditawarkan di toko tersebut. Sebuah kotak dengan 500 isi coklat yang masing-masing berbentuk teratai kecil menarik perhatiannya, ia pun mengambil dan menatap kotak itu.
"Ah, itu special menu hari ini, tuan. Itu potongan-potongan kurma yang berbentuk teratai dan dilumuri dengan coklat asli tanpa pemanis buatan." Kata seorang pelayan toko yang berdiri di belakang Aomine.
"Aku beli yang ini," kata Aomine tanpa pikir panjang.
.
.
Normal Abnormal Days
.
.
Aomine berjalan keluar setelah membeli coklat tersebut. Sungguh, ia tidak begitu berminat pada makanan manis. Entah apa yang membuatnya ingin membeli makanan manis.
Tiba-tiba ponsel Aomine berbunyi. Reflek, ia pun merogoh sakunya.
Sebuah e-mail dari Midorima.
Subject: -none-
To: Aomine
Sudah tahun keempat, Aomine. Jangan pikir aku tidak mengetahuinya. Minta maaflah kepada Akashi, nanodayo.
Aomine membatu.
Benar. Ini sudah tahun keempat.
Bahkan Aomine pun berhenti menghitung hari sejak kejadian itu.
4 tahun terasa cepat berlalu bagi Aomine.
Sekarang bagaimana cara ia menghadapi Akashi yang sekarang? Apa yang harus dikatakan Aomine? Apakah kata 'maaf' cukup baginya?
Aomine mengumpulkan keberaniannya dan berjalan—
-menuju apartemen Akashi.
.
.
Normal Abnormal Days
.
.
"…"
Ah, padahal ia sudah berada tepat didepan pintu apartemen Akashi, tapi kenapa rasa takut masih saja menyelimutinya. Tunggu, bukan rahasia lagi kalau Akashi itu menakutkan. Um, rasa takut yang ia rasakan itu…
…berbeda.
Gulp.
Perlahan namun pasti, Aomine mencoba mengetuk pintu apartemen Akashi.
'Kalau 3 kali kuketuk namun tak ada jawaban, aku akan pergi.' Batinnya.
.
TOK! TOK! TOK!
.
Hening.
Seharusnya Akashi sudah pulang sekitar 2 tahun yang lalu.
'Mungkin Akashi tidak mendengarnya' batin pemuda berkulit gelap itu.
.
TOK! TOK! TOK!
.
…..
Apa mungkin Akashi sudah tidur? Benar! Ini sudah malam!
Namun Aomine masih memiliki 1 kesempatan untuk mengetuk pintu.
Saat Aomine ingin mengetuk pintu, pintu itu terbuka.
Aomine tidak akan kaget jika yang membuka pintu apartemen itu Akashi—
"Eh?"
-Kenyataannya, pintu itu terbuka sendiri.
Aomine melihat dalam apartemen dari luar, tak ada siapa-siapa. Padahal lampunya menyala.
"Ano..."
Aomine melihat kebawah. Seorang anak perempuan berambut biru gelap yang menurut Aomine berusia kurang lebih 3 tahun menangadah dan menatap datar kearah laki-laki berkulit gelap itu.
.
Aomine terhenyak.
.
Kedua mata anak itu heterochrome. Biru gelap dan merah darah, persis 'merah'nya Akashi.
Tunggu, jangan bilang—
"Paman siapa?" Tanya anak itu.
"Ah, um…err…" Aomine tidak tau harus berbicara apa. Untuk anak berumur 3 tahun, anak itu bisa berbicara dengan benar; seperti bukan anak berumur 3 tahun.
Anak yang 'jenius'
"Siapa itu, Aoshi?"
Aomine mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Seorang laki-laki dengan tinggi yang hampir sama dengan Aomine mendekat kearah mereka.
Anak perempuan itu menggeleng, "Tidak tau, pa."
…
…
…
Dia bilang apa tadi?
Sementara laki-laki itu menggendong si anak perempuan dan mencium keningnya.
"Taiga, apa ada tamu disana?"
Aomine kenal betul suara ini, ia pun melihat ke dalam apartemen—
.
.
"Akashi?"
.
.
TBC
Tonikaku, ini squel dari fic 'This isn't LOVE!'. Berhubung saya 'dihajar' habis-habisan di kotak review fic yang itu #orz. Fangirls sure are scary. Bagi yang belum baca ficnya, RnR yo #peace.
Kalau mau jotos-jotosan(?) atau ngirim surat cinta(?), silahkan RnR atau kirim PM ke author :D akan saya balas ASAP.
Keep or delete? #deleteeee~ OK! Delete! #woy!