HENTAI!

Nah, sekarang saya sudah mendapat perhatian anda :3 jadi... halo, minna! Saya kembali sesuai perjanjian akan publish fic sekuel dari "The Book of Love Story" yang lalu atas polling review :) sudah membaca yang itu? Jika belum, saya sarankan baca dulu. Atau setidaknya baca chapter terakhirnya aja :) biar lebih ngerti fic sekuel yang ini X) Oke? #PLAK

Okeh. Nggak usah banyak cincong, saya ucapkan...

Enjoy, minna!


The Book of Love Story 2

a VOCALOID FANFIC

By : EcrivainHachan24

Desclaimer : Yamaha©Crypton Future Media

Sequel of "The Book of Love Story"

Len x Miku


WARNING!

Dramatically Romance, abal, disarankan membaca The Book of Love Story yang pertama dulu, etc

DON'T LIKE, DON'T READ!

1 of 5

.

.

.

.

.

Tempat itu begitu sepi dan tenang. Tidak ada suara berisik apapun kecuali rerumputan yang saling bergesekan karena pengaruh angin semilir yang terus meniup-niup belahan bumi bagian Asia Tenggara tersebut. Senjanya mentari membuat suasana temaram itu sedikit membuat suasanya menghangat—setidaknya untuk beberapa waktu dan alasan tertentu, karena tempat itu bukanlah tempat biasa.

Tempat itu adalah tempat di mana orang-orang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini beristirahat.

Sebuah plang besar di depan gerbang hitam bertuliskan 'Pemakaman Umum Tokyo' terpampang dalam guratan huruf kanji yang kompleks.

Suasananya semakin dingin saja.

Namun kedua orang itu tetap bergeming dari tempatnya—tidak memedulikan tusukan dingin dari angin tersebut yang terus berusaha menembus jaket dan sweater tebal mereka agar menghujam tulang kering putih di balik daging hangat kedua manusia tadi.

Mereka tidak peduli.

Iris samudra pasifiknya terus menerus memandangi batu nisan di hadapannya. Dia menduduki marmer yang menjadi menyangga kuburan tersebut. Gundukan tanah yang kini dihiasi tanda salib sebagai pelindungannya. Dia memandangnya dengan ekspresi datar dan sendu—yang selalu ditunjukannya walau sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu.

"Miku," seseorang di sebelahnya memanggil nama pemilik iris samudra pasifik itu. Bergeming. Gadis itu tetap diam—bahkan tidak repot-repot untuk menilik siapa yang memanggilnya tadi.

"Hari sudah hampir gelap," suara itu terdengar lagi. "Ayo pulang."

Gadis yang bernama Miku Hatsune itu menghela nafas lalu menggeleng sebagai jawaban tanpa suara. Dia tetap memandangi batu nisan tersebut.

Kaito Shion

17 Februari 19XX – 20 November 20XX

Tokyo

Kali ini iris mata aquamarine itu mengikuti arah pandang si iris samudra pasifik. Dia menatap dan membaca nama itu berulang-ulang kali dalam hati sampai dia sendiri tidak ingat berapa kali dia sudah memanggil nama itu dalam kehampaan selama lima tahun lamanya dan dia menyerah pada keadaan—bahwa orang yang dipanggil takkan pernah menyahutinya lagi untuk selamanya.

Namun rupanya hal itu hanya berlaku untuk dia.

Kini dia beralih menatap gadis rapuh yang berambut hijau tosca diikat twin tails yang memakai syal putih dengan kaus krem yang dibalut bolero hitam dan celana panjang biru itu. Sosok Miku Hatsune. Yang belum juga menampakkan senyumnya walau lima tahun sudah berlalu. Gadis itu masih menyimpan kesedihannya. Walau gadis itu tidak pernah menangis lagi sejak... entahlah. Dia juga tidak ingat. Mungkin sejak setahun kepergian Kaito, gadis itu tidak pernah menangis lagi.

Namun cerah senyumnya yang tak pernah kelihatan lagi. Suara cerianya digantikan suara parau penuh kesedihan dan sorot matanya yang penuh semangat serta ekspresi, kini berubah hampa.

Perlahan hati laki-laki itu mencelos.

Len Kagamine, selalu menemani gadis itu jika mengunjungi makam sahabatnya—Kaito Shion—yang meninggal lima tahun lalu karena mendonorkan jantungnya untuk gadis yang paling dicintainya—Miku Hatsune.

Dan gadis itu ternyata tidak menyukai ide laki-laki itu.

Hidup memang tidak bisa ditebak. Ya 'kan?

"Nanti orangtuamu mencarimu," akhirnya Len kembali angkat bicara. "Selain itu, keadaanmu sedang kurang baik 'kan? Ayolah, nanti tambah parah," bujuk Len lagi.

"Kau pulang saja duluan," suara serak gadis itu terdengar. Wajahnya masih kosong dan tanpa ekspresi—tanpa sedikitpun menoleh—bahkan lewat ekor matanyapun tidak.

"Lalu bagaimana denganmu?" Len menyernyit. Tak habis pikir.

"Aku bisa naik taksi."

Laki-laki dengan marga Kagamine itu menghela nafas putus asa.

"Mana bisa begitu," rahangnya merapat. "Aku bertanggung jawab jika kau kenapa-napa."

Kini iris samudra pasifik itu menatap Len. "Aku bisa pulang sendiri."

Keras kepala.

"Miku," laki-laki itu memandangnya datar lalu bergantian menatap makam Kaito dan gadis itu.

"Besok kita bisa kemari lagi. Iya 'kan? Kita pulang sekarang." Ultimatum Len.

Namun rupanya ultimatum itu diabaikan oleh Miku. Gadis itu kembali menatapi makam Kaito tanpa berkata apa-apa. Dia mengabaikan Len, mengabaikan angin dingin, mengabaikan cuaca...

Dan mengabaikan dunia.

"Hey," Len menepuk pundak gadis itu. "Kau menggigil, tahu? Jangan bohongi indera perabaanmu sendiri. Aku tidak mau kau sakit. Dengarkan aku, besok kita akan kemari lagi. Oke?" Len tersenyum kecil saat gadis itu terdiam sesaat lalu akhirnya mengangguk pelan tanda setuju.

"Baiklah." Len mengangguk lalu meraih tangan Miku dan berjengit. "Astaga. Tanganmu dingin sekali!"

Miku tidak menggubrisnya. Tubuhnya memang menggigil kedinginan. Tetapi dia tidak merasakan apapun.

Tubuhnya terlalu mati rasa untuk merasakan apa-apa lagi.

Hampa.


Suara mesin mobil dimatikan terdengar di pekarangan rumah sederhana tingkat satu itu. Rumah yang didominasi oleh warna putih dan kuning keemasan itu terlihat kokoh di balik pintu pagar kayu sebagai perlindungannya. Kotak pos dengan tulisan 'Kagamine' di atasnya menunjukkan marga keluarga mana yang memiliki rumah itu.

Dia menutup pintu mobil Honda kuning tua miliknya dan mengunci mobil sehingga menimbulkan bunyi alarm sebanyak dua kali. Setelah itu, dia berjalan ke pintu rumah dan memutar kenop pintunya.

"Aku pulang," katanya sambil melepas jaket kulitnya sendiri ke atas sofa putih di sebelahnya. Bau masakan segera terhirup oleh indera penciumannya.

"Selamat datang, Len!" suara ceria seorang gadis membuat Len tersenyum. Itu adik kembarnya, Rin Kagamine yang bagaikan cermin dengan dirinya—rambut honey blonde yang panjangnya seleher, iris aquamarine yang cerah dan bentuk wajah yang sama. Anak kembar identik dengan jenis kelamin yang berbeda.

"Hoi," balas Len lalu mengangkat kedua alisnya. "Masak apa, Rin? Wanginya enak sekali," cengir Len lalu berjalan ke arah Rin yang berada di dapur.

"Aku membuat daging teriyaki dan sup miso untuk makan malam kita nanti," dia membalas cengiran itu saat Len berada di belakangnya yang tengah mengaduk makanan itu.

"Kau mandi dulu sana. Aku sudah siapkan air hangatnya," suruh Rin. Len terkekeh lalu mengacak pelan rambut adik kembarnya itu.

"Kau terdengar seperti Ibu, tahu?" kekeh Len. "Kalau kau bukan adikku, aku sudah jatuh cinta padamu, lho," goda Len.

Rin menjulurkan lidahnya tanpa menoleh. "Aku tahu. Pesonaku terlalu kuat bukan? Ah, tapi seandainya kau bukan kakakku, aku akan tetap memilik Piko-kun kok," kekeh Rin balik. Len mengernyit dengan wajah sok sakit hati lalu memegangi dadanya sendiri dengan sebelah tangan.

"Apa bagusnya tukang gosip itu?" tanya Len setengah meledek. Rin kini menatapnya dan melotot dengan wajah tidak senang.

"Dia kan investigator! Wajar saja kalau harus mengetahui informasi sampai ke dalam-dalamnya!"

"Iya, iya. Ampun, ampun." Len nyengir menatap kegalakan adiknya. Dia tahu Rin menyukai Piko, teman sekantornya yang punya tugas di bagian selidik menyelidik. Piko Utatane juga berhasil membuat Miku berbicara tentang informasi yang diketahuinya mengenai Hiyama Kiyoteru—kriminal kelas tiga yang meresahkan waktu itu—dan memenjarakannya atas nama hukum.

Sayangnya, Piko tidak tahu perasaan Rin.

Namun Len tetap suka menggoda adik perempuannya itu. Benar-benar sosok kakak laki-laki yang menyebalkan sekaligus penyayang.

"Jangan bicara sembarangan makanya," Rin menggerutu. "Kau sendiri, makanya cari pacar! Jangan jomblo terus. Mentang-mentang Kaito-san sudah tidak ada, kau harus cari penggantinya! Move on, dong. Move on!"

Len mengernyit. "Ya ampun," gelengnya. "Kau benar-benar mengira aku dan Kaito pacaran? Aku ini suka cewek! Normal, tahu!"

"Bohong," cibir Rin. "Aku tidak pernah lihat kau membawa teman cewek seumur hidupku sebagai kembaranmu tuh. Kau lebih sering mengajak Kaito-san ke rumah. Makanya wajar saja dong, kalau aku berpikir kalian punya hubungan istimewa yang—"

"Ya sudah, aku mandi dulu, deh." Len mengangkat bahunya dan meninggalkan Rin yang masih menggerutu tidak senang saat ucapannya diabaikan oleh sang kakak yang kini setengah berlari ke lantai atas.

Len menaiki anak-anak tangga hingga sampai di lantai dua dan membuka kenop pintu kamarnya sendiri. Segera saja dia menjumpai kamar yang familier untuknya setiap hari. Dia menutup pintu di belakangnya dan kini meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamarnya.

Namun pandangannya menabrak sesuatu di atas tempat tidurnya.

Sebuah kertas yang terlipat rapi. Dia terdiam sesaat lalu akhirnya mendudukan diri di atas tempat tidurnya sendiri dan meraih kertas tersebut. Lalu dia mendapati tulisan yang sangat familier untuknya—sebuah tulisan tangan dari seseorang di masa lalu.

Dari Kaito.

Dia baru ingat dia membaca surat itu semalam dan ketiduran sehingga lupa meletakannya kembali.

Jemarinya mengusap pelan kertas itu lalu mulai membaca ulang isi suratnya.

Untuk Len sahabatku.

Jika kau membaca surat ini, pasti aku sudah tidak ada lagi di dunia ini untuk selama-lamanya, ya? Hahaha. Aku hanya berharap, kau baik-baik saja dan sehat selalu sampai nanti. Mungkin aku tidak bakal menerima ocehan darimu lagi tentang kesehatanku. Kini gilirankulah yang memarahimu. Bagaimana? Impas, kan?

"Bodoh," kekeh Len.

Len, aku harap kau tidak akan melupakan apa yang telah kita lalui bersama. Ups, kalimatku barusan agak sedikit ambigu, ya? Mungkin inilah kenapa adik perempuanmu yang fujoshi itu menganggap kita homo atau semacamnya. Benar-benar menjengkelkan. Maksudku, aku dan kau benar-benar tidak perlu tahu soal itu. Benar kan? Astaga, Tuhan.

"Hahaha," Len tertawa pelan. "Kaito, Kaito..." dia menggelengkan kepalanya.

Baiklah, Len... aku serius. Aku senang bisa mengenalmu, mengenal Leon, Meiko, para Letnan dan semuanya. Aku sangat senang bisa mengenal kalian dalam hidupku. Aku... tanpa kalian mungkin akan benar-benar kesepian dan tidak tahu bagaimana diriku yang rapuh ini akhirnya bisa berada di tengah-tengah kalian. Aku tidak tahu apa yang kalian rasakan, namun itulah kenyataannya. Aku hanya ingin kalian tahu, kalian sudah seperti keluarga bagiku. Terutama kau, Len.

"Aku juga..." bisik Len.

Aku juga senang semasa hidupku aku bisa mengenal gadis itu, Len. Gadis yang bernama Miku yang kutemukan amnesia di pinggir jalan kota Tokyo yang dingin dan sepi malam itu. Hidupku takkan penuh warna jika aku tidak mengenalnya lebih awal. Darinya, aku belajar apa itu cinta dan bagaimana cara melindungi. Aku bahagia bisa mendengar suaranya, bisa menatap wajah manisnya, bisa melihatnya tersenyum dan tertawa... Bagiku dialah segalanya, Len.

Karena aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, aku sudah tidak bisa mendengar suaranya lagi, sudah tidak bisa menatap wajah manisnya lagi... aku juga sudah tidak bisa melihatnya tersenyum ataupun tertawa. Dan kurasa dia juga begitu. Dia sudah tidak bisa melihatku lagi. Untuk saat ini.

Len, bisakah aku memohon satu hal... yang terakhir kalinya untukmu?

Aku ingin kau menjadi alasan Miku untuk tersenyum, tertawa dan bahagia. Aku hanya ingin kau yang menggantikanku berada di sisinya. Karena aku percaya padamu. Karena aku tahu kau takkan menyakiti Miku seperti Kiyoteru atau siapapun laki-laki lain di dunia ini lagi. Aku ingin kau melindunginya dengan kedua tanganmu selagi aku tak bisa lagi meraihnya dengan anganku sekalipun.

Mungkin kedengarannya egois. Karena aku sama saja membatasi keinginanmu untuk bersama dengan gadis lain yang mungkin saja kau cintai dalam hidupmu nanti. Namun... ini permintaanku seumur hidup, Len.

Aku ingin kau menjadi alasannya untuk hidup.

Aku ingin kau berada di sisinya, menghapus air matanya.

Dia harus tetap bahagia, tanpa aku.

Tapi bersamamu, Len.

Lama dia terdiam membaca paragraf akhir surat terakhir dari sahabatnya—Kaito—itu. Lama dia tercenung dalam kolam kenangannya sendiri. Dia menukik pikirannya lalu memeluk kedua lututnya—kebiasan yang selalu dilakukannya tanpa sadar jika sedang memikirkan sesuatu secara gelisah dan dalam.

Menjadi alasan Miku untuk bahagia?

Sekelebat potongan memori terlintas di goresan ingatannya.

Dia ingat betul saat hari di mana Kaito akhirnya mendonorkan jantungnya, membuat seisi kantor teredung duka dan dalam kasus para polisi wanita; menangis. Keajaiban terjadi. Tubuh Miku tidak menolak sama sekali saat benda asing—jantung Kaito—dialih fungsikan kepada dirinya. Bahkan responnya luar biasa positif membuat dokter yang menangani Miku sampai takjub sendiri dan menggemparkan seluruh kedokteran Jepang atas kasus yang hanya berhasil sekitar 1,03% dari kasus tercatat selama ini.

Len menyunggingkan senyum. Para dokter itu tidak tahu keajaiban kasih sayang dan perantara keduanya. Karena jantung Kaito adalah jantung Miku.

Karena cinta.

Lalu adegan berputar saat Miku akhirnya siuman.

Gadis itu awalnya hanya tersenyum seperti biasanya, tertawa ceria seperti biasanya namun semua berubah saat dia bertanya siapa orang baik yang mendonorkan hidupnya untuk dia.

Kaito Shion.

Betapa Len ingat gadis itu menangis meraung-raung histeris sambil mencabuti seluruh selang infus dan jantungnya secara membabi-buta demi bisa melihat Kaito. Gadis itu berteriak dan memberontak secara histeris saat para perawat dan mereka semua—Len, Leon dan orangtua Miku—menahannya karena kondisinya yang belum pulih. Namun gadis itu malah memukuli semua orang—dan akhirnya dia disuntikkan oleh obat penenang sebagai langkah terakhir.

Dan gadis itu bahkan tidak sempai menyentuh secuilpun tubuh Kaito sebelum laki-laki dengan surai biru itu benar-benar dimasukkan ke dalam tanah dengan dalam empat meter di bawah tanah bersama peti mati dari kaca.

Dalam jas hitam terakhirnya.

Semenjak itu, keadaannya parah sekali.

Hati Len selalu mencelos saat melihat gadis itu selalu menangis begitu melihat gundukan tanah tempat peristirahatan Kaito—namun berangsur-angsur membaik setelah satu atau dua tahun kepergiannya, gadis itu mulai menghentikan air matanya. Sebenarnya hal yang cukup baik. Namun gadis itu berubah menjadi gadis yang tertutup, sensitif, jarang tersenyum dan selalu terlihat murung jika kondisinya sedang jatuh.

Kini bibir gadis itu kering, pucat dan pecah-pecah tanda dirinya telah kehilangan selera untuk memasukan segala jenis makanan ataupun minuman sebagai asupan tubuhnya. Porsi makannya menjadi sedikit membuat tubuhnya yang mungil menjadi ringkih. Mata gadis itu sayu dan sendu—menandakan dirinya terlalu banyak memendam kesedihannya seorang diri. Dia menjadi Miku Hatsune yang pemurung dan penyendiri.

Semua itu—perubahan drastis itu terjadi karena dia merasa separuh dirinya hilang.

Len menghela nafas. Dalam waktu lima tahun, gadis itu masih saja meratapi Kaito.

Kaito Shion yang selalu berada di sisinya. Selalu membuatnya tertawa dan tersenyum, menghapus air matanya...

Len tersenyum sedih.

Kau salah, Kaito..., bisiknya dalam hati. Dia menatap paragraf terakhir tulisan Kaito. Dia memegang erat kertas putih itu.

Hatinya berbisik lirih.

Dia akan selalu bahagia saat bersamamu... bukan saat bersamaku yang orang baru ini.

Dan selamanya akan selalu seperti itu.

To Be Continue

Lembar pertama selesai! X'D bagaimana, bagaimana? :'3 #PLAK

Sebenernya lembar pertama ini saya bikin udah lama. Tapi agak diubah dikit untuk menyesuaikan dengan "The Book of Love Story"-nya KaitoMiku yang kemaren itu :)

Jadi...

Reviewmu, kebahagiaanku!

So, review please? :'3

V

V