Masih ada yang ingat fic ini ga? :"D Special(?) 5000 words chapter to make up for the long hiatus time :"D

Last chapter:

"Tapi aku benar-benar mohon padamu, Akasuna-san. Tinggallah di apartemen putriku."

.

"Sakura tidak bisa membeli teman-teman yang membencinya di sekolah dengan uang. Ia juga tidak bisa membeli lawan bisnis Ayahnya untuk tidak menyakitinya, dengan uang. Dan juga," Dosen itu kembali menghela napas kecil, "Ia tidak akan bisa membeli takdir Tuhan untuk tidak mengambil nyawa Ibunya ketika ia masih kecil, dengan uang pula."

.

"Jadi, jangan terlalu dipikirkan jika dia bersikap lebih merepotkan dan menjengkelkan dari remaja yang lain. Karena hidup yang dijalaninya juga berbeda dari yang lain—Sakura berbeda, Sasori. Hidupnya nyaris sempurna—namun bukan benar-benar sempurna."

.

"Aku kesini bukan untuk menemui Sakura," seakan bisa membaca pandangan heran Hinata, Sasuke berujar datar, "Tapi kau."

.

"Maaf, Sakura, maaf," bisiknya lirih, sembari memejamkan kedua matanya, "Maafkan aku."

oOo

Almost chapter 15

Pandangan lavender itu mengedar ke sekitar ruangan yang cukup luas itu. Restoran ini cukup terkenal di kota yang mereka tempati. Baik dekorasi, menu, pelayan, dan pengunjung, kesemuanya mengindikasikan kelas dan selera yang tinggi. Dan Hinata tak akan berjalan dengan kikuk dan merasa tak nyaman, jika ia mengunjungi restoran ini dengan tujuan yang jelas, dan terutama, dengan orang yang dikenalnya.

Oke, Sasuke Uchiha memang terkenal. Siapa yang tak mengenalnya? Lagipula dia adalah laki-laki yang dekat dengan Sakura Haruno—teman sekelasnya. Namun bukan berarti Hinata pernah, walau sekalipun, bermimpi atau membayangkan bahwa pewaris Uchiha Corp itu akan menemuinya dan mengajaknya untuk ke restoran seperti ini.

Mimpi apa dia semalam?

Tenggelam dalam pemikiran dan asumsi-asumsinya sendiri, gadis itu mengerjap ketika menyadari bahwa Sasuke sudah duduk di kursi dekat jendela sana. Duduk dengan segala kewibawaannya, sembari membaca buku menu yang tertaruh di meja. Hinata menghela napas, ia merasa tak mengerti. Begitu tersesat. Hinata harap ia tak akan mendapat masalah dikarenakan hubungannya dengan Sakura.

Mau tak mau pikirannya kembali ke pesta ulang tahun Ino Yamanaka lalu.

Menarik kursi di depan Sasuke, gadis itu perlahan duduk. Tampak canggung, tampak kikuk. Sejenak ia menolehkan kepala ke sekitar, mencari kemungkinan ada orang yang mengenali mereka. Sudah cukup ia tahu kepopuleran Sasuke di sekolah, hal terakhir yang Hinata inginkan adalah kesalahpahaman yang membuatnya merasakan penderitaan lebih dari apa yang sudah ia rasakan di sekolah sekarang.

Kembali menatap Sasuke, Hinata mencoba memulai perbincangan. Menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak mengering. Mencengkeram erat pegangan tas selempangnya, sebagai gestur gugup bercampur takut darinya.

Menarik napas, lalu mencicit perlahan, "A-ano-"

"Pesan sesuatu dulu," ucap Sasuke singkat tanpa mengalihkan pandang. Membuat Hinata sontak terdiam, namun segera menghela napas dan mengambil buku menu di depannya.

Ia sama sekali tak ada niat dan nafsu untuk makan atau minum apapun, padahal.

Setelah membiarkan keheningan menggantung di udara sekitar mereka, akhirnya Sasuke menutup buku menu. Menoleh ke pelayan di samping mereka dan menyatakan dengan singkat dan jelas apa pesanannya. Sang pelayan menoleh pada Hinata, menunggu pesanannya. Dan gadis itu hanya tersenyum lemah sembari menjawab bahwa ia cukup memesan satu jus apel saja.

Ia yakin, pasti harga menu disini mahal, kan? Dan ia tak yakin Sasuke berniat mentraktirnya. Jika memang iya, Hinata juga tak mau berhutang apapun padanya.

Setelah sang pelayan pergi, kembali perasaan canggung itu ada. Kini tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menyibukkan diri. Kepala berhelai hitam itu menunduk, menjadikan linen penutup meja di depannya adalah pemandangan yang paling menarik di dunia di matanya. Pasalnya, meski tak melihat, ia yakin seratus persen bahwa onyx sang bungsu Uchiha tengah mengamatinya seakan ia objek penelitian.

"Aku pernah mendengar satu kali Sakura menceritakan tentang dirimu padaku."

Hinata mengerjap, sejenak tertegun karena Sasuke memecah keheningan dengan mendadak. Setelahnya, ia tertegun karena kalimat yang diucapkan pemuda itu. Pegangannya di tali tas selempangnya semakin menguat.

Apa benar ini ada hubungannya dengan pesta Ino Yamanaka lalu? Sakura mengadu pada Sasuke dan kini Sasuke tengah memberikan peringatan padanya?

Hinata menganggukkan pelan kepalanya, tanpa mengangkat wajah dan memandang paras di depannya, "Kami berteman sekelas, Uchiha-san."

"Dan sepertinya hubungan itu tak begitu baik, hm?"

Pandangan Hinata seketika menyendu. Ia hanya terdiam, yakin bahwa pertanyaan Sasuke adalah retoris. Jika ia mendengar dari Sakura, pasti pemuda itu juga mendengar semua keburukan tentang Hinata dari pandangan sang gadis berambut merah muda.

"Maafkan aku," entah mengapa ia harus mengucapkan itu. Namun Hinata hanya merasa bahwa itulah kata yang pantas untuk terucap sekarang, "Aku tak pernah bermaksud membuatnya-"

Dengusan yang keluar dari sang bungsu Uchiha membuat Hinata mengernyitkan keningnya, "Kau pikir aku akan memarahimu karena itu, Hyuuga? Aku tak biasa mencampuri urusan perempuan, atau khususnya, gadis remaja seperti kalian."

Memberanikan diri, gadis itu mengangkat wajah. Dan saat itu pula, pandangan kedua lavendernya bertubrukan dengan sepasang jelaga yang menatapnya tepat di kedua irisnya. Dua jelaga yang kelam. Yang menyiratkan bahwa ia tahu banyak hal di dunia ini daripada Hinata. Kepercayaan diri, kekuasaan, dan wibawa.

Dua jelaga khas keluarga Uchiha yang tahu apa yang mereka ucapkan dan lakukan.

"Yang mau aku bicarakan adalah," pemuda itu menyangga dagunya dengan satu telapak tangan di meja, masih tak menggeser titik fokus pandangannya pada lavender yang menatap tertegun sekaligus heran kepadanya, "Bagaimana menurutmu mengenai hubungan Sakura dengan Sasori Akasuna?"

Sejenak terdiam, Hinata berusaha memproses maksud dari pertanyaan Sasuke. Tentu saja Sasuke mengenal Sasori yang merupakan pengawal pribadi Sakura. Namun… mengapa Sasori terbawa dalam pembicaraan mereka sekarang?

Dan apa tujuan pemuda ini sebenarnya dari awal ia membawa Hinata kemari?

"Aa, atau harus kuubah kalimatnya menjadi: bagaimana menurutmu mengenai hubungan Sakura dengan kekasihmu, Hyuuga?"

-oOo-

Naruto (c) Masashi Kishimoto

I don't own the picture

Chara: Sasori, Sakura (Main), Hinata, Sasuke, Naruto, Ino, Deidara (Other). Harap ingat bahwa selain SasoSaku, urutan penulisan chara mengindikasi porsi peran mereka di fic ini, bukan indikasi pairing atau hubungan tertentu di antara mereka. So don't get your hope up~ ^^b

Pairing: SasoSaku (FlaCher), other slight pairings included (let yourself guess what! :p)

Warning: AU, OoC, drama, nyinet, dan super duper mega ultra annoying and antagonistic Sakura Haruno.

No profit gained. Duh.

Happy reading~

-oOo-

Pemuda berhelai merah itu berdiri di tengah ruang tamu. Dua koper dan tiga kardus besar ada di dekat kakinya. Satu tas ransel yang terisi penuh ada di punggungnya. Ruangan dengan furnitur yang belum familiar, ada di sekitarnya. Rasa pasrah sekaligus canggung bercampur frustasi, bercokol di hatinya. Dan satu gadis berhelai merah muda yang berdiri di depannya dengan senyuman lebar yang menghiasi wajah cantiknya.

Hari pertamanya memulai untuk tinggal di apartemen mewah ini.

Hari pertamanya berpisah dengan Deidara dan Kisame yang sudah menjadi rekan kosnya sejak dua tahun lamanya.

Dan kali pertamanya ia akan menjalani sebagian hidupnya dengan tinggal di satu atap dengan seorang gadis yang bukan saudaranya.

"Sasori-kun, kenapa berdiri di situ? Ayo masuk, aku sudah membereskan dan menyiapkan kamarmu."

Sasori mengalihkan pandang ke sumber suara. Suara dari gadis berhelai merah muda yang sudah di kenalnya dalam rentang waktu dua bulan ini. Majikannya, pewaris tunggal dari kekayaan Kizashi Haruno, salah satu sosok paling berpengaruh di Jepang. Gadis yang menjadi alasan adanya banyak drama yang bertubi-tubi datang ke kehidupan Sasori yang sebelumnya tenang dan sepi.

Ia terdiam, hanya memandang kedua emerald itu.

Keputusan ini tak ia ambil dengan mudah. Pertimbangan moral dan norma menjadi alasan utama ia sebenarnya sangat keberatan harus angkat kaki dari kos lamanya dan berpamitan pada Deidara dan Kisame (yang otomatis tertegun dan menganga akan keputusan Sasori). Semuanya dari hal ini terasa begitu salah. Belum lagi dengan fakta bahwa Hinata—setiap memikirkan gadis itu, semakin bertumpuklah rasa rendah diri dan bersalah yang Sasori rasakan. Tahu betul bagaimana hubungan kekasihnya dengan Sakura, ia tahu bahwa cepat atau lambat, Hinata pasti akan tahu dan ini akan menjadi kabar yang sangat mengejutkan untuknya. Sangat melukainya. Sangat tak adil untuknya.

Bagaimanapun Hinata paham mengenai pekerjaan Sasori, tetapi hati perempuan mana yang akan bisa tenang jika kekasihnya bersama dengan gadis lain dalam satu atap setiap harinya?

Bahkan hingga sekarang Sasori masih tak tahu bagaimana harus menyampaikan semua ini pada Hinata dan keluarganya.

Namun ia juga tak bisa meninggalkan Sakura sendiri. Semua perkataan Kakashi tempo hari, jujur saja, sedikit banyak telah merubah pandangannya terhadap gadis yang selama ini didaulatnya sebagai makhluk paling menyebalkan di dunia ini. Pekerjaannya sebagai pengawal juga mau tak mau memang mengharuskannya berada di dekat gadis itu selama dan sesering mungkin. Belum lagi dengan permohonan tulus Kizashi padanya, menjadikan alasan norma, moral, dan Hinata, terpaksa ia pendam di balik pemikirannya. Menipu dirinya sendiri bahwa ini hanya bentuk tanggungjawabnya sebagai pengawal, serta mungkin saja, ada sedikit rasa sosial dan kepedulian sebagai sesama manusia-

Tunggu, 'kepedulian'?

Pemuda itu tersentak dari pemikirannya ketika Sakura mendekat dan mencoba mengangkat satu kopernya, "Sasori-kun malah melamun. Lebih baik kita segera menata barang-barangmu—Ugh!" gadis itu tampak kesulitan menyeret koper Sasori yang ukuran besar, karena memang, koper itu isinya adalah banyak buku dan diktat kuliahnya dari semester awal, "Hei, ini apa isinya, sih?"

Menghela napas, Sasori bergerak maju dan memegang gagang kopernya, menahan pergerakan Sakura untuk membawanya lebih jauh, "Nona, biar saya saja. Anda tak perlu repot-repot."

Menghembuskan napas hingga menerpa anak rambut depannya, Sakura sedikit memanyukan bibir, "Satu, berhenti bicara formal begitu padaku, Sasori-kun. Dan dua, aku bisa menyeret koper ini kok." Dan ia mulai lagi menyeretnya, meski kemudian sang gadis kembali menggeram ketika berat koper tak sebanding dengan tenaga dari tangan rampingnya.

Kembali, Sasori menghela napas, "Nona—"

"A-Aku bisa. Haha—kau menganggapku lemah, Sasori-kun?"

Dan Sakura kembali menggeram ketika koper harus melewati tanjakan limabelas sentimeter yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah. Gadis itu menarik-nariknya, namun roda koper tak mau menggulir ke atas tanjakan. Kepala berhelai merah muda itu menoleh ke Sasori, lalu tertawa kikuk, "A-Aku bisa. Hanya tanjakan saja, ne? Lihat, sebentar—" kemudian menarik napas, lalu menarik koper itu dengan kedua tangannya dari depan, "Uuuuggghh—" ketika tetap tidak berhasil, Sakura kembali tertawa patah, mengusap peluh di pelipis, kemudian menarik-narik koper itu lagi agar bisa melewati tanjakan, "Ugh! Ugh! Ugh!"

Dan Sasori hanya menatapnya pasrah. Tampak keras kepala sekali, sekalipun jelas ia tak akan bisa. Tentu saja, tangan dari gadis itu pasti hanya bisa mengangkat sepatu dan gaun, bukan hal-hal berat seperti koper Sasori itu. Namun melihat Sakura yang berusaha keras meski sudah jelas percuma begitu, mau tak mau membuat Sasori menahan dengusan geli yang ingin keluar dari mulutnya.

"Ugh! Ugh! Ugh—woah-!" dan karena ia menarik-narik koper itu, tubuhnya sedikit tersentak-sentak kebelakang. Keseimbangannya goyah, dan sebelah kakinya terselip dan kehilangan pijakannya. Ia memekik kecil dan memejamkan mata, siap untuk menerima benturan keras lantai di kepala belakangnya.

Brukh.

Namun yang ada bukanlah benturan keras lantai, melainkan sebuah kukungan hangat yang melingkari tubuhnya.

Perlahan membuka mata, kedua iris emerald itu sontak berhadapan dengan sosok Sasori yang berada di bawah tubuhnya dengan menjadikan sofa sebagai landasan mereka saat pemuda itu berusaha menangkap tubuhnya yang akan terjatuh membentur lantai. Sang pemuda sedikit meringis kecil, percampuran antara rasa terkejut dan sedikit sakit karena tubuh Sakura yang menimpa tubuhnya.

"Ouch."

Namun Sakura Haruno justru merasakan wajahnya merona parah.

-oOo-

Kedua kaki itu melangkah pelan menyusuri lorong yang sepi. Pintu-pintu tertutup, namun kepala pirangnya masih dengan cermat mengamati tiap angka yang ada di tiap pintu yang ia lewati. Dalam kepalanya, merapalkan nomor 34 sebagai mantera. Nomor yang ia dapatkan dari pemuda berhelai dan berkulit pigmen biru dari kos yang ia ingat sebagai kos dari kakak tertuanya.

"Bukannya Sasori sudah pindah? Dia tak lagi disini. Hei, kukira dia sudah memberitahumu dan keluarga kalian, Naruto."

Naruto melengkungkan bibirnya ke bawah ketika ingatan mengenai ucapan Kisame terngiang kembali di pikirannya. Sasori pindah? Ia sama sekali tak tahu dan ia berani bertaruh, baik Ibu atau Karin juga pasti sama sekali tak tahu.

"Dan apa-apaan ini, kau pindah di apartemen mewah begini, Sasori?" gumamnya sembari masih meneliti nomor kamar. Kisame tak menjelaskan alasannya mengapa, hanya sempat menyampaikan dengan cepat alamat apartemen dan nomor kamar, karena pemuda itu sendiri bertemu Naruto di kos dalam keadaan terburu-buru untuk berangkat ke kampusnya.

Apa pekerjaan Kakaknya demikian bagusnya hingga ia bisa menyewa apartemen di lingkungan elit begini?

Pada akhirnya, ia mendapatkannya. Pintu dengan nomor 34 di depannya. Tampak tertutup.

Naruto menghela napas. Tentu saja ia bisa menyewa apartemen sebagus ini. Keluarga Haruno pasti membayarnya lebih dari cukup untuk hanya membayar sewa apartemen ini. Heh. Pantas saja sang Kakak begitu yakin ia bisa membantu keadaan ekonomi keluarga mereka.

Tetapi mengapa ia tak terus terang? Mengapa dari Hinata Naruto mendengar semuanya?

Memutuskan untuk langsung menyampaikan tujuannya kemari, pemuda bergerak maju dan langsung memutar kenop pintu. Ia memang tak peduli lagi mengetuk pintu. Biar sekalian menjadi kejutan bagi sang kakak dan lihat saja, Naruto akan memukul pundak dan protes padanya mengenai apartemen ini dan pekerjaan Sasori.

Membuka pintu dan langsung melangkah menyusuri ruang tamu, Naruto seketika berucap keras, "Sasori, Oi! Aku dataaa…ng,"

Dan ia tertegun dan terhenti di tempat saat kedua iris birunya menatap ke arah sofa di sana. Sofa berwarna peach yang ada di ruangan di depan sana. Bukan sofa itu yang membuatnya seketika membelalakkan matanya dan tak bisa berkata-kata.

Namun sang kakak dengan seorang gadis yang menelungkup di atas tubuhnyalah yang membuat Naruto rasanya merasakan serangan jantung dadakan di usia belia.

"….Sasori?"

-oOo-

Butuh waktu beberapa detik bagi Hinata untuk memastikan pendengarannya. Dan beberapa detik tambahan bagi Hinata untuk memproses dan menerka apa maksud dari pertanyaan Sasuke barusan. Kedua matanya hanya menatap, namun mulutnya yang sedikit membuka tak kunjung memberi jawaban pada pemuda yang masih tak mengalihkan pandang.

Jadi Sasuke juga tahu hubungan Hinata dengan Sasori?

Tak repot-repot menyembunyikan keheranannya, Hinata menjawab pelan dengan nada dan pandangan yang sarat akan keraguan, "Apa maksud pertanyaanmu, Uchiha-san?" nyatanya jawaban yang diberikan justru adalah pertanyaan, "A-Aku juga baru tahu bahwa Sasori-kun bekerja bersama keluarga Haruno."

Gadis itu mengerutkan kening dan sedikit menggigit bibir ketika melihat Sasuke mendengus pelan. Jemari pemuda itu mengetuk-ketuk permukaan meja di depan mereka. Kedua jelaganya masih tak lepas pandang, seakan menikmati sorot tersesat dari gadis di depannya.

"Hn, kupikir kau bisa menerka. Kudengar kau salah satu murid terpandai di sekolah." Ia dan Hinata sama sekali tak melepaskan pandangan pada satu sama lain. Bahkan kala waiters sudah kembali datang dan meletakkan pesanan masing-masing. Sasuke yang masih mengamati ekspresi lawan bicaranya, dan Hinata yang masih berusaha keras mencerna dari semua yang sekarang tengah terjadi padanya.

"A-Ano, aku benar-benar tak tahu apa yang Uchiha-san maksudkan," gadis itu menggeleng pelan dan menurunkan pandangan. Ia semakin merasa tak nyaman dengan semua ini. Tak hanya sebelum ini ia dan Sasuke bahkan tak pernah saling menatap, namun juga permainan kata dari pemuda itu membuatnya diam-diam frustasi.

Pada akhirnya jelaga itu mengalihkan pandang pada minuman yang dipesannya dan mengaduk-aduknya pelan, sembari masih bersangga dagu. Lantas berucap tenang, "Mungkin Akasuna Sasori sudah memberitahumu atau belum, bahwa pekerjaannya membutuhkan dia untuk berada di dekat Sakura dalam banyak waktu," ia kembali mengarahkan pandangannya ke Hinata, menjadikan dua iris kontras warna mereka bersibobrok pandang, "Dua puluh empat jam seminggu jika perlu, minus kegiatan kuliah dari Akasuna."

Hinata mengatupkan mulut ketika mendengar penuturan Sasuke. Rasanya ia bisa menerka sekarang kemana arah pembicaraan mereka. Apa yang dimaksudkan pemuda itu dan mengapa ia rela untuk menemui dan berbicara dengan Hinata yang sebelumnya bahkan tak pernah bersapa dengannya.

Tangan gadis itu tanpa sadar mengepal di pangkuannya.

"Hyuuga," ucap Sasuke, mengamati baik-baik ekspresi gadis itu yang menurutnya amatlah mudah terbaca layaknya sebuah buku yang terbuka, "Kau bodoh jika tak mengetahui fakta bahwa Sakura-sangat mengagumi kekasihmu," tidak, gadis itu 'mencintai' Sasori. Namun sampai mati Sasuke tak akan bersedia mengakui fakta itu dari mulutnya sendiri.

Sang gadis menarik napas, membuka mulutnya, "Uchiha-san-"

"Kau dan aku dalam posisi yang sama," tungkas Sasuke memotong ucapan lawan bicaranya, "Aku tak terbiasa meminta tolong pada orang asing, tapi aku akan sangat menghargai jika kau bisa berbuat sesuatu yang baik untuk dirimu sendiri terkait hal ini." Lantas meminum jusnya tanpa melepas pandang dari sang gadis yang kentara sekali sedang mengalami gejolak perasaan di dalam batinnya.

Dan Hinata tak menjawab, menjadikan minumannya sebagai satu-satunya hal yang menarik untuk ia pandang sekarang. Kalimat demi kalimat Sasuke memang sudah berlalu, namun sekarang terputar tanpa henti di otaknya seakan kaset rusak. Dan gadis itu tak bodoh, gadis itu mengerti, dan selama ini ia hanya pura-pura menutup mata dan telinga akan bisikan dan kekhawatiran hatinya.

Ia tahu Sakura menyukai Sasori.

Ia tahu ia tak suka dengan fakta bahwa kekasihnya harus berada lebih lama dengan gadis lain daripada dirinya sendiri.

Ia merasa ada ketakutan bahwa cepat atau lambat, Sasori bisa saja meninggalkannya.

Selama ini ia berpura-pura tak mengacuhkan semua fakta itu, namun kini Sasuke seakan meneriakkan semua itu melalui kalimat-kalimat tenang dan tatapan matanya.

Dan tak bisa sang Hyuuga tahan matanya yang perlahan memanas bersama dengan perasaannya, dan kepalan tangannya di pahanya yang semakin menguat.

Sasuke benar, dan Hinata tak mau kehilangan Sasori-nya.

-oOo-

"Aah, Sakura-chan, kau harus mencoba masakan di restoran itu, ne? Jika kau ada waktu luang, aku akan mengajakmu!"

"Beneran? Aku penasaran. Apa enak, Naruto?"

"Tentu saja! Itu terkenal, lho. Yah… walau aku juga paham sih kenapa kau tak pernah mendengar nama restorannya, pasti kau menghabiskan uangmu di restoranmu sendiri atau yang berbintang lima, kan? Hehe."

"T-tapi aku mau kesana. Ajak aku, ya? Sasori-kun juga! Mungkin akhir pekan nanti. Kau setuju, kan, Sasori-kun?"

Sedangkan yang ditanya hanya menghela napas dan tak mengalihkan pandang pada jalanan yang dilalui mobil Sakura yang ditumpangi mereka. Entah bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini: Naruto yang mendadak datang ke apartemen Sakura dan Sasori (dan membutuhkan waktu lima belas menit bagi Sasori untuk meyakinkan adiknya bahwa apa yang ia lihat bukanlah seperti apa yang ia pikirkan), Sakura dan Naruto yang dengan demikian mudah akrab seakan mereka teman sejak balita, ajakan (atau rajukan) mendadak dari Sakura yang ingin berkunjung ke rumah dua bersaudara saat Naruto hendak berpamitan pulang.

Dan beginilah sekarang, sejak beberapa menit lamanya Sasori mengemudi sembari mau tak mau mendengar obrolan akrab antara Sakura di sampingnya dan Naruto yang duduk di jok belakang mobil sang gadis itu.

"Tenang saja, Sakura-chan! Dia pasti mau, kupastikan itu!"

Sasori hanya melempar pelototan matanya pada kaca spion kemudi di atas dashboard, yang mana hanya dibalas oleh cengiran dari sang adik.

Melirik Sakura, Sasori kembali menyatakan apa yang sudah ia nyatakan dua kali sebelumnya, "Nona, kupikir sekarang bukanlah waktu yang tepat bagimu untuk-"

"Memangnya kenapa, sih, Sasori-kun?" protes Sakura, sedikit mengerucutkan bibir dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku hanya ingin bertemu keluargamu saja, kan. Bagaimana pun aku 'kan majikanmu. Tidak bolehkah aku mengenal keluarga pegawaiku?"

Menyandarkan diri di sandaran kursi mobil yang empuk, Naruto ikut menimpali, "Rileks, Sasori, dan berhenti menjadi pribadi kaku seperti orang tua," yang mana komentarnya direspon oleh kikikan geli Sakura dan dengusan pelan sang Kakak, "Lagipula, aku yakin, Ibu pasti akan suka bertemu dengan Sakura-chan."

-oOo-

Dan ucapan Naruto terbukti benar beberapa saat kemudian.

Mobil berwarna hitam metalik itu berhenti tepat di depan rumah keluarga Akasuna. Kendaraan mewah itu otomatis saja menyedot perhatian dari pejalan kaki dan tetangga sekitar yang kebetulan melihatnya. Berbeda dengan Naruto yang dengan bangga keluar dan bersandar ke pintu mobil (seakan ialah pemiliknya) dan menyatakan "Bagus, kan? Ini mobil temanku. Keluaran tahun ini dan bahkan baru 4 yang unit yang diedarkan di Jepang!", Sasori justru berharap ia bisa berada di dalam mobil tanpa keluar. Tapi Sakura yang sudah keluar terlebih dahulu, membuatnya mau tak mau ikut menjejakkan kaki keluar dari kendaraan mewah itu.

"Selamat sore, minna! Apa kabar?" gadis itu punya kemampuan sosial yang bagus, karena dengan mudahnya ia menyapa beberapa tetangga Sasori yang melihatnya dengan heran. Dan Naruto yang mengatakan "Dia temanku" sembari melempar jempol pada Sakura.

Segera melangkah, Sasori segera menggamit dan menarik tangan Sakura untuk segera berjalan ke teras rumahnya, menghindari tatapan heran dan pertanyaan tak perlu dari orang-orang yang mungkin saja akan didapatkannya. Pemuda itu segera membuka pintu rumahnya, sembari mengucapkan "Aku pulang," dengan tidak begitu semangat dan lelahnya.

Entah apa lagi yang akan terjadi setelah ini.

Berbeda dengannya, pandangan emerald dari sang putri Haruno tampak mengedar mengawasi ruangan. Rumah ini jauh lebih kecil dari istana tempatnya lahir dan tumbuh hingga hari ini. Ruang tamu yang sempit dengan dua sofa di tengah dan meja, lemari kayu yang memajang beberapa hiasan dan foto, lukisan di dinding, jam berwarna putih yang menunjukkan bahwa kini sudah beranjak sore, kipas angin berdiri sebagai pengganti AC, dan sebagainya.

Wajah Sakura sedikit memerah melihat semua itu.

'Jadi disini tempat Sasori-kun tinggal dari kecil?'

Entah mengapa ia merasa bahagia dan hangat hanya dengan fakta bahwa ia bisa mengetahui melihat seperti apa lingkungan tempat orang yang dicintainya tinggal.

Sasori berjalan masuk ke dalam, Naruto duduk di sofa dan sepertinya berbicara sesuatu padanya. Namun Sakura tanpa sengaja tak menghiraukan. Fokus mata dan pikirannya otomatis tertuju pada lemari kayu di dekat sofa. Beberapa pigura di sana. Ia mengamatinya. Melihat Sasori dan Naruto ada di beberapa foto disana, bersama dua orang berhelai merah. Tanpa sadar Sakura terkikik dan tersenyum geli saat melihat poto masa kecil Sasori yang tampak menggemaskan, menyandang piala dan medali emas dalam sebuah lomba karate anak-anak.

Jadi dia memang sudah jago olahraga itu sejak kecil, eh?

"Oh Ya Tuhan!"

Kepala berhelai sesuai dengan nama bunga khas Jepang itu menoleh, begitu pula dengan Naruto, ke sumber suara. Dilihatnya dua orang wanita yang berdiri di sana, seakan ia baru saja masuk dari dalam rumah ke ruang tamu ini. Sakura mengerjap, lantas tersenyum kaku. Melihat warna rambutnya… pasti dua wanita ini kerabat Sasori, kan?

"H-H-Haruno?" si wanita yang tampak lebih muda, melepas kacamatanya, lantas menggosok kedua matanya. Memasangkan kacamatanya lagi, namun ia lebih terbelalak ketika nyatanya pandangan di depannya tidak berubah.

"Errr…" Sakura melirik Naruto, pemuda itu tampak hanya nyengir dan bersedekap dada—seperti bangga akan sesuatu, entahlah, "Y-Ya," Sakura ber-ojigi dengan sopan (hei, ayolah, kapan ia mulai sadar diri dengan tata krama dengan orang lain?), "Saya Haruno Sakura, teman Naruto dan errr… Sasori-kun." Ucapnya sedikit bingung dan tak enak. Ia tak mau menganggap dirinya majikan Sasori, tapi ia juga tak bisa menemukan relasi hubungan yang lebih intim dan spesial dengan pemuda itu.

Calon pacar misalnya?

Sedangkan wanita satunya yang sedari tadi hanya terdiam, lantas berjalan mendekati Sakura. Naruto mengerjap, pun dengan Sakura yang menjadi sedikit canggung bercampur heran.

Kedua pipi putih dan mulus Sakura tertepuk, dan tanpa memberi kode, wanita paruh baya berhelai merah itu memekik senang dan raut bahagia di senyum dan pandangan matanya.

"Ini benar Haruno Sakura?! Putri milyuner Haruno Kizashi?! Kyaaa kau manis sekali, Nak!"

Sakura hanya tertawa pelan dan membiarkan tubuhnya dipeluk oleh Kushina.

Terdengar Naruto menghela napas, "Ayolah, Bu. Kau membuat kaget Sakura dan ini pertama kalian bertemu," ujarnya, namun kemudian nyengir, "Jangan sembarang menyentuhnya, nanti bisa-bisa Ibu dipenjara loh, hahah—aduh!" dan berakhir dengan ringisannya karena jitakan Kushina.

Otak Sakura loading process.

Naruto memanggil wanita ini Ibu. Naruto adalah saudara Sasori. Jadi wanita ini adalah Ibu Sasori? Dan cewe rambut merah berkacamata itu adalah saudaranya?

Dalam hati, Sakura berteriak histeris bahagia karena kini ia bisa bertemu dengan calon mertua dan ipar—errr, keluarga dari Sasori.

"Aku senang bertemu denganmu, Kaa-san!" Sakura tanpa ragu membalas pelukan Kushina.

Membuat Naruto, Kushina, Karin, dan juga Sasori yang baru saja kembali dari dalam, tertegun mendengarnya.

Kaa-san?

Dan sejak kapan Kushina dan Sakura sudah demikian akrabnya?

Sasori menghela napas dan facepalm, sepertinya ia sudah ada firasat bahwa semua akan menjadi semakin rumit mulai dari sekarang hingga ke depannya.

Pemuda itu tak menghiraukan ketika Karin menyikut pinggangnya pelan dan berbisik, "Bagaimana kau bisa mengenal Haruno dan untuk apa dia kesini?"

oOo

Tak ada yang tahu bagaimana Sakura bisa dengan mudah dan cepat menempatkan diri di lingkungan yang baru pertama kali ia masuki. Ia sudah sangat akrab dengan semua anggota keluarga Sasori, terutama dengan Naruto dan Kushina. Sasori sudah menjelaskan siapa Sakura dan apa hubungannya dengan gadis itu, yang mana penjelasannya mendapat respon syok dari Ibu dan saudarinya. Meskipun demikian, nampaknya tak ada yang keberatan karena Karin yang tak memberikan tanggapan, dan Kushina yang justru memberikan senyum hangatnya. Meski Sasori tahu, bahwa dari pandangannya, Kushina seakan mengatakan bahwa Sasori tak seharusnya menanggung beban keluarga mereka dengan demikian jauh. Namun untuk menghargai Sakura yang masih ada di sana, mungkin pendapat itu belum bisa Beliau utarakan saat itu juga.

Meski demikian, Kushina tak menolak usaha Sakura untuk mengakrabkan diri. Entah sudah berapa cerita yang mereka bagi bersama, terutama saat mereka menghabiskan makan malam bersama di ruangan itu. Meski Sakura terbiasa dengan lingkungan yang serba mewah dan sempurna, namun hati dan dirinya masih belum terbiasa dengan suasana ini.

Bukan berarti ia tidak menyukainya. Sebaliknya, semua ini membuat perasaannya menghangat.

Masakan Kushina memang adalah masakan sederhana, bukan makanan kelas hotel bintang lima seperti yang selalu dibuat koki di rumahnya. Memang pula ruang makan ini sempit, peralatan makannya tidak terbuat dari bahan mahal dan hasil impor, pun tak ada pelayan atau maid yang siap bahkan hanya untuk sekedar menuangkan minum ke gelasnya.

Namun suasana makan malam seperti ini tak pernah ia rasakan seumur hidupnya, di istananya yang megah. Tak pernah ada canda, tawa, atau bahkan melihat pertengkaran Karin dan Naruto saja sudah menarik sekali baginya. Meja makan yang biasanya hanya ia diami sendiri (Ayahnya akan bergabung juga, itupun jika pebisnis itu memiliki waktu untuk sampai rumah sebelum makan malam), suara yang hanya diciptakan oleh dentingan sendok dan garpunya sendiri. Monoton sekali hidupnya, ia menyadarinya sekarang.

Namun sekarang, di depannya, adalah hal yang berbeda.

Adalah apa yang ia tahu dan ia yakini, adalah arti sebuah keluarga.

Perasaan yang tak pernah ia rasakan sebagai anak tunggal Kizashi yang sudah ditinggal mendiang Ibunya bahkan sejak Sakura kecil.

"Eh? Kenapa tak lanjut makan, Saku-chan?" pertanyaan Kushina menginterupsi pemikiran Sakura, membuat gadis itu mengerjap, "Apa masakan Kaa-san tidak enak?"

Semua perhatian kini tertuju padanya, membuat Sakura sedikit merasa canggung, "Eh, tidak, kok, haha!"

"Hm… Ini tidak enak pasti karena kau, Karin," dengan usil Naruto menyela, membuat sang Kakak memelototinya dari seberang meja di sana, "Karena kau ikut campur memasak, makanya rasanya jadi seperti racun, kan? Booo," meski begitu ia melanjutkan makannya, dan tersedak ketika Karin dan sekuat tenaga menendang kakinya dari bawah meja.

Sakura tertawa geli melihatnya, "Ini enak, kok. Lihat? Aku akan makan lagi. Kebetulan aku juga lapar sekali, hehe," dengan begitu ia membuktikan ucapannya, menyuapkan satu suap penuh nasi dari sumpit yang dipegangnya. Dengan ekspresi yang sedikit berlebihan, ia tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya, "Ini lebih enak dari masakan koki di rumahku!"

Kushina bertepuk tangan dan tertawa, merasa bangga dan tersanjung. Karin mendengus dan memutar bola mata, Naruto terkekeh pelan, dan Sasori yang sedikit menarik bibirnya ke atas, sebelum kembali melahap makanannya.

"Kau manis sekali, Saku-chan," ucap Kushina sembari menepuk-nepuk kepala merah muda itu, "Ayo, ayo, makan lagi. Yang kenyang, ya," sembari menambah beberapa lauk ke mangkuk makan Sakura.

Dan Sakura sebisa mungkin menahan agar tak ada air mata yang timbul di kedua indera pengelihatannya akibat rasa haru yang terasa berlebih di hatinya.

Ia merasa hangat dan bahagia.

oOo

"Kupikir Karin tidak begitu suka dengan Sakura, ya?"

Sasori tak menoleh dan masih melanjutkan memandang langit di halaman belakang rumah mereka. Kushina sedang bersama dengan Sakura di ruang tengah, melihat TV dan mengobrol banyak hal (sekali lagi, mereka seperti sudah mengenal lama—entah bagaimana), dan Karin yang sudah berada di kamarnya—menyiapkan bahan untuk praktikum kampus besok, katanya.

"Tidak usah dipikirkan."

Naruto duduk di sebelah Sasori di bangku panjang dekat semak mawar putih di depan mereka, lantas mendengus pelan, "Dasar cewek menyebalkan. Palingan dia juga iri dengan Sakura." Ucapnya, mengingat bagaimana saudara perempuannya sedari tadi memberi kesan dingin dan datar pada sang pewaris Haruno, tak peduli Sakura yang sepertinya terlalu oblivious untuk menyadari itu dan tetap berusaha mengakrabkan diri dengan sang gadis yang lebih tua darinya itu.

Suasana menghening sejenak ketika Sasori tak merespon. Sang iris ebony memandang langit, sedangkan dua pasang safir mengamati mawar putih yang tampak jelas di tengah malam begini. Lama pandangannya tertegun pada semak mawar itu, seakan mengingat sesuatu.

Dan kemudian, setelah menelan ludah dan membasahi bibirnya sendiri, sang bungsu membuka suara.

"Bagaimana pendapat Hinata-chan dengan semua ini?"

Sasori tak mengalihkan pandang, seakan membiarkan Naruto melanjutkan ucapannya dan ia sendiri yang sibuk merangkai kata apa yang pantas ia ucapkan untuk menjawabnya.

"Apa kau pernah mempertimbangkan perasaan Hinata-chan?" ucap Naruto pelan, memandang semak mawar putih depannya, "Kau tahu, jika Hinata-chan merasa tidak suka dengan… pekerjaanmu yang memaksamu untuk terus berada di dekat gadis lain…" satu tangannya terjulur, membelai pelan kelopak lembut dari salah satu bunga bewarna putih itu, "… aku akan merasa menjadi yang paling bersalah disini."

Sejenak, Sasori kembali mendiamkan pernyataan Naruto menggantung di udara. Sayup-sayup terdengar tawa Sakura ataupun Kushina dari dalam sana, namun tidak ada salah satu dari mereka yang memberi satu pemikiran.

Kemudian, Sasori sedikit menoleh ke Naruto dan menatapnya, "Apa Hinata menceritakan sesuatu padamu?"

Naruto mendengus pelan, "Tentu, kau pikir darimana aku tahu kau bekerja pada Haruno? Tapi ia tak menceritakan banyak. Aku hanya berpikir saja, bagaimana hubungan kalian dan perasaannya."

"Kami sudah berbicara, dan ia sudah memahami dan percaya padaku."

"Apa kau bisa memegang janjimu?"

"Apa maksudmu?"

Naruto melirik Sasori, membiarkan tatapan mereka bertemu selama beberapa detik sebelum menyahut, "Kau tidak akan mengkhianatinya?"

"Tentu saja tidak," jawab Sasori, dengan sedikit nada tersinggung bercampur heran dalam ucapannya, "Apa maksudmu pertanyaanmu?"

"Meski sekarang kau bahkan bukan hanya menjadi pengawalnya, namun juga tinggal dalam satu atap dengannya?" ucap Naruto, mempertahankan tatapannya pada sang Kakak, "Hah, bahkan apa Hinata-chan sudah tahu bahwa kau tinggal satu atap dengan Sakura-chan?"

Sasori tak merespon, tetap mengatupkan rahangnya. Namun tatapannya pada Naruto tetap tak teralihkan. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal, dan hal itu tak luput dari pandangan Naruto yang menyadarinya.

Sang adik mengulur senyum, seakan berusaha mencairkan suasana yang tegang, "Aku menjadi semakin bersalah jika kau bersikap seakan takut pada ucapanku barusan, Sasori. Bagaimanapun, kau melakukan pekerjaan ini karena aku, kan?" ia kembali menatap ke semak di depannya, "Aku tak ada masalah dengan pekerjaanmu ataupun Sakura-chan—aku bahkan menganggap Sakura-chan sebagai teman yang menyenangkan," ia menarik napas, "Hanya saja, aku tetap tak akan suka jika Hinata-chan terluka, apapun itu alasannya."

Dan sebelum Sasori sempat berkomentar apapun, sang pemuda berhelai pirang lantas berdiri dari duduknya, lantas menepuk pundak sang Kakak, "Segera kembali. Kau tidak berencana mengajak Sakura-chan menginap di sini, kan?" lantas terkekeh geli sebelum masuk ke dalam.

Tanpa memedulikan pandangan coklat ebony sang Kakak yang mengikuti sosoknya menghilang di balik pintu.

Beserta semua pemikiran dan praduga yang berputar di otak sang sulung Akasuna.

Sasori mendengus pelan dan menarik sebelah ujung bibirnya, "Kau peduli sekali pada Hinata, Naruto," ucapnya pelan, hampir tak terdengar.

Bersambung

Note: Astagaa udah berapa abad fic ini nganggur! *bersihin sarang labalaba dan usir gelandangan(?) yang tiduran di emperan(?)* Ntah mengapa pengen lanjutin fic ini. Semoga ada yang masih ingat jalan ceritanya ^^

Thanks for reading! Bye~ *lalu kembali dua tahun lagi(?)*

-yukeh-