Part 15


Ada sesuatu yang salah.

Draco mengedarkan pandangannya ke seluruh aula Hogwarts. Tahun ajaran baru dimulai, wajah-wajah baru bermunculan. Wangi seragam baru, hela nafas penuh atusiasme. Banyak hal membuncah di langit-langit aula itu. Kebahagiaan, rasa takut, rasa ingin tahu, kekhawatiran, macam-macam. Rasanya ada kembang api tak kasat mata yang melembabkan atmosfer dengan kehangatan yang khas.

Dengan dekorasi lebih sederhana dibandingkan saat pesta musim panas kemarin ketika Draco memberikan pidato, upacara penerimaan siswa baru nampak khidmat. Dumbledore sempat menyatakan selamat atas keberhasilan tim sepakbola Hogwarts atas kemenangan tahun ini. Dan memberikan apresiasi terhadap para panitia yang membantu terselenggaranya dua acara besar kemarin.

"Pengumuman tambahan yang terakhir untuk tahun ini bahwa Mr. Filch, penjaga sekolah kita, telah memintaku untuk mengingatkan kalian bahwa tidak ada yang boleh melewati koridor di lantai tiga selama renovasi berlangsung. Kelas-kelas yang berada di lantai itu untuk sementara waktu akan dipindahkan ke kelas-kelas di lantai satu yang sudah selesai dicat ulang sebelum libur musim panas selesai. Saya harap, Kalian semua bisa memahami ini, karna kita tidak ingin menyaksikan kecelakaan menyakitkan yang tidak diharapkan." Hampir semua siswa mengangguk-angguk, beberapa siswa kelas dua dan tiga Nampak kecewa. Karna koridor lantai 3 yang dimaksud, kelas-kelasnya kebanyakan adalah ruang ekstrakulikuler mereka. Mau tidak mau beberapa klub harus berbagi 2 ruang kelas untuk setidaknya 5 klub ekstrakulikuler.

"Dimana Harry?"Draco menggumam kecil, setelah nyaris semua pidato Dumbledore sama sekali tidak masuk ke telinganya. Blaise yang ada disebelahnya samar-samar mendengar gumaman setengah kesal itu.

"Dia tidak masuk sepertinya.."ujar pemuda berkulit eksotis itu. "Dari tadi aku hanya melihat si weasley dan kekasihnya.. Mereka kan sepaket dengan Harry biasanya.."ujar pemuda itu kalem.

Nada tenang Blaise justru membuat Draco tambah panik. Sejak terakhir kali bertemu dengannya pada sore hari sabtu. Harry tak bisa dihubungi lagi. Draco tak sempat mengunjunginya kemarin karena orang tuanya terlanjur berjanji untuk memenuhi beberapa undangan, makan siang dengan sepupunya Putri Diana, menonton pertunjukan theater yang didanai kolega bisnis ayah Draco dan makan malam dengan keluarga Daphne.

Ia sempat mengirimi sms 3 kali kemarin. Pagi- ketika Draco baru benar-benar selesai mandi, siang- setelah tersesat beberapa kali ketika ia meminta izin untuk ke kamar kecil di kediaman besar sepupu Putri Diana itu dan malamnya- ketika Draco dengan mata terkantuk-kantuk berusaha keras untuk mengetik pesan singkat.

Tapi tidak satupun yang dibalas. Tidak bahkan sampai detik ini. Ketika Draco menelponnya tadi dalam mobil menuju ke Hogwarts, suara wanita yang menjawab. Berkata bahwa nomor yang dihubungi berada di luar jangkauan. Mesin operator sialan, Draco tak berhenti mengumpat hingga sampai di sekolah.

Ini hari pertama sekolah dan Harry sudah membuat Draco cemas setengah mati.

Begitu upacara penyambutan selesai, dan paduan suara mencapai nada terakhir. Dengan tergesa-geasa Draco berusaha menyusul langkah Hermione dan Ron yang sudah lebih dulu keluar aula. Ia memang masih dengan postur tegap ala bangsawannya, tapi ia berusaha agar tungkainya berjalan dengan kecepatan maksimal. Draco mengabaikan sapaan teman-temannya sesama geng popular. Bahkan sama sekali tak mendengar godaan lantang yang diucapkan Pansy Parkinson yang sengaja diucapkannya untuk mengintimidasi anak-anak perempuan kelas satu yang mulai curi-curi pandang ke arah Mr. Populer kita.

Tapi tak Draco gubris satu pun. Ia melebur di antara arus siswa yang mencari kelas pertama mereka hari ini."Ron!" panggilnya dengan suara yang tak begitu kencang. Bagaimana pun ia masih tetap memikirkan reputasinya. Bukan hal yang lazim bagi seorang Draco Malfoy untuk sampai terengah-engah mengejar langkah pasangan Weasley dan Granger.

"Hi Kapten!"Ron menjawab sapaannya dengan cukup riang, meskipun agak terkesan dipaksakan. Hermione diam di sebelah kekasihnya sambil melampirkan sebuah senyum tipis formalitas.

Tapi Draco tak perduli soal perlakuan mereka padanya. Ia hanya ingin tahu satu hal dari dua orang ini,"Kalian lihat Harry?"

Selama beberapa detik Ron dan Hermione bertukar pandang, seakan terjadi tawar menawar, ketika berbalik keduanya menghela nafas tanda mereka telah memutuskan sesuatu. "Harry sakit."ujar Ron akhirnya.

"Sakit?"

Ron melirik geng popular yang sudah keluar dari aula, dan wajah Draco yang terlihat seperti maling yang takut tertangkap basah,"Ibunya menelpon ke rumahku kemarin pagi-pagi sekali. Katanya asthmanya kumat atau semacam itulah. Sepertinya cukup parah karena Harry sampai harus dibawa ke rumah sakit." Itu sebabnya Harry tidak membalas satupun pesan singkat Draco.

"Kalian sudah menjenguknya?"Draco berusaha untuk menahan rasa kesalnya karena tak ada yang memberitahunya.

"Ibu Harry bilang Harry butuh istirahat total selama beberapa waktu. Jadi, ia minta kita untuk tidak menjenguknya dulu.."Masih Ron yang bicara, Hermione sepertinya tak punya informasi cukup banyak atau informasi dimilikinya sama persis dengan milik Ron. Jadi ia merasa tak perlu bicara. Atau juga, bisa jadi malas bicara.

"Kalian diberitahu dimana tempat Harry dirawat?"Ron menggeleng.

"Dia baik-baik saja.."akhirnya suara jernih Hermione keluar. Sepertinya ada sedikit sinar simpati di matanya melihat kecemasan Draco pada sahabatnya. "Aku menelpon ke rumahnya semalam. Ayahnya yang angkat, ia sampai pulang dari Amerika, kedengarannya memang mencemaskan, tapi orangtuanya sudah menjaganya. Mereka tidak memberitahu kami dimana tepatnya rumah sakitnya. Jadi, kurasa sebaiknya tidak usah memaksakan diri untuk berusaha tahu saat ini."Kalimat panjang itu berakhir.

Dan gesture ingin segera pergi dari hadapan Draco diperlihatkan sepasang kekasih itu,"Kurasa kami harus pergi, Draco.. Sampai jumpa di latihan sore nanti.."

Draco tidak menjawab lambaian kaku Ron padanya. Ia tahu teman-temannya sudah cukup dekat untuk berkomentar macam-macam nantinya jika melihat Draco Malfoy membalas lambaian tangan Ron Weasley.

"Dia tidak masuk ya?"Blaise yang pertama sampai, menepuk pundaknya dan langsung ada simpati di suara pemuda itu, hanya nada hambar seperti biasa. Draco cuma menggeleng sekilas. Ia tidak bisa bercerita pada siapapun bagaimana khawatirnya dia sekarang.

Bagaimana gamangnya ia saat ini.

Harry dirawat di rumah sakit. Asthma? kumat? Rasanya kemarin pemuda itu baik-baik saja, pikir Draco. Draco terfikir ingin membolos hari ini, ia bisa pergi ke rumah Harry. siapa tahu ada ibunya di rumah dan Draco bisa bertanya padanya. Bahkan jika yang ada di rumah itu ayah Harry, Draco akan tetap nekat bertanya. Ia ingin bertemu Harry.

Memastikan keadaannya.

Mereduksi kecemasannya.

"Kau kelihatan tidak sehat, Kapten?" Theo memukul main-main lengan atas Draco. Ah..iya! Dia kapten sekarang. Tidak bisa seenaknya membolos latihan. Yang artinya juga tidak bisa seenaknya membolos sekolah. Meskipun ia punya cukup waktu sebelum latihan sore nanti. Ia tetap tidak bisa membolos pelajaran. Tidak lucu kalau ia datang latihan tapi tidak muncul di kelas.

"Aku baik-baik saja."ujarnya dingin. Bukan berarti biasanya Draco tersenyum ramah juga sih pada Theo, Tapi pemuda itu bisa merasakan sensasi dingin yang berbeda, ketika Draco berlalu begitu saja dan melangkah mendahului teman-teman yang menyapanya. Tanpa menyapa balik satupun dari mereka. Jelas ada yang mengganggu pemuda pewaris Malfoy itu.

"Kenapa dia?"Theo bertanya dengan tampang datar pada Blaise. Sebenarnya tidak ada masalah soal pertanyaan itu, yang jadi masalah adalah sekarang Theo merangkul pundak sahabatnya itu. Blaise benci ini. Benci ketidakpekaan Theo. Aku berharap bisa mengulang kemarin..

"Sesuatu terjadi pada si kutu buku.."Ujar Blaise tak begitu berminat menjawab. Sambil melepaskan tangan Theo yang merangkulnya dan kemudian ia mendekati Pansy Parkinson yang mulai mengomel-omel tidak jelas karna diabaikan—lagi— oleh Draco.

Theo tersenyum sinis, Kau sekarang membenciku, hmm?


"DRACO!"sial.. Draco mengumpat dalam hati. Ia terlambat mengumpan, entah darimana Theo datang. Barusan saja bola yang masih ada di kakinya sedetik lalu, berubah haluan menjadi bola yang menyerang daerah pertahanan timnya.

Blaise mendelik tidak suka pada pemuda blondie itu. Untungnya di tim Draco saat ini ada Crabe yang memotong umpan Theo yang akan diberikan pada Oliver. Draco bernafas lega begitu bola kembali berada di pihaknya. Ia melirik Ron yang sedang menjadi penjaga gawang tim lawan. Heran kenapa pemuda berambut merah itu nampaknya biasa-biasa saja dengan ketidakhadiran Harry?

Terlebih dia yang pertama kali dihubungi oleh ibu Harry jika Harry sakit. Apa sebegitu biasanyakah Harry masuk rumah sakit sampai sahabat-sahabatnya tak nampak terlalu cemas? Masa? Atau mungkin- dan memang kemungkinan besar— Draco masih tetap mahluk asing menurut mereka yang tidak perlu diberitahu soal kondisi Harry. Dan Lily, ibu Harry jelas-jelas hanya sekedar tahu Draco sebagai semacam teman satu sekolah yang tidak sedekat Ron dan Hermione. Masuk akal sekali jika ia tidak diberitahu soal ini.

Pemuda itu melirik sekilas ke arah matahari yang masih bersinar terik meskipun sekarang sudah hampir jam 4 sore. Musim panas tahun ini mungkin yang terpanas yang pernah di alami Inggris selama beberapa dekade terakhir. Sudah beberapa hari tidak ada tanda-tanda awan mendung akan muncul. Draco sudah berniat hari ini ia akan pamer keahlian bermain sepakbola dan berusaha terlihat pintar di kelas untuk memikat Harry lebih jauh lagi. Tapi si kutu buku itu malah sakit. Diluar perkiraan lagi. Ia sudah berniat marah-marah karena smsnya kemarin tak satupun dibalas malah berubah jadi perasaan cemas tak karuan. Ia bahkan sampai ditegur Severus Snape karena melamun sepanjang kelas kimianya tadi.

Panas sekali.. Draco memperhatikan beberapa anak kelas dua yang berusaha mengepungnya kini. Ia berkilah dengan beberapa kali putaran badan dan mendapatkan umpan yang diberikan Blaise padanya. Tapi karena ia kini berhadapan dengan Goyle, Draco dengan cepat mengembalikan bola pada control Blaise. Ia menyeriangai sedikit pada pemuda tambun itu. Lalu sambil berlari lagi, ia menatap langit. Ada sebuah awan kesepian berwarna kelabu di tengah-tengah langit yang terang benderang.

Draco berfikir sambil mengimbangi lari Blaise yang kini sedang men-drible bola di kakinya. Lapangan sepakbola itu terlihat menguarkan aura persaingan yang ketat, meskipun ini sekedar pertandingan dalam sesi latihan. Draco tidak bisa mengabaikan tatapan terkagum-kagum para junior kelas satu yang masih belum bisa ikut bermain. Mereka masih dalam serangkaian tes untuk bisa masuk ke klub sepakbola Hogwarts, klub paling bergengsi di sekolah itu. Dan sebagai Kapten, mereka punya ekspektasi tinggi soal penampilan Draco. Draco juga tidak bisa begitu saja menafikan kehadiran gadis-gadis penggemarnya, juga tatapan bangga pelatihnya yang sudah kembali seperti biasa.

Draco dan berbagai macam ekspektasi.

Rasanya tiap judul tanggung jawab yang dipikul Draco mengembangkan berkalimat-kalimat keinginan yang diharapkan dari Draco. Kalimat-kalimat itu bertumpuk dalam kertas usang. Berlembar-lembar sampai menjadi gundukan besar yang kemudian harus Draco bawa kemanapun. Ia tidak bisa melarikan diri.

Ia tidak cukup berani melarikan diri.

"Blaise!" Draco berteriak, agar pemuda itu mengumpan padanya. Tapi sepertinya ia pura-pura tidak mendengar Draco. Mungkin kecewa karena beberapa pass yang diberikannya pada Draco sebelum-sebelumnya disia-siakan begitu saja.

Dan benar saja, Blaise yang dikepung dua orang sekaligus tidak akan bisa mempertahankan bola di kakinya. Tensi permainan jadi semakin menegang. Draco menatap marah pada Blaise, tapi pemuda itu mengabaikan saja tatapan itu. Masih berapa lama lagi?

Pemuda Malfoy itu merasa tungkainya melemah. Otaknya berputar-putar hanya di masalah Harry. meskipun ini hari pertama sekolah dan pelajaran belum terlalu berat. Draco yang tidak menyerap informasi apapun di dalam kelas, adalah sebuah keajaiban. Tidak pernah ada yang mengganggu Draco sampai segila pikiran tentang Harry. Ia pernah stress berat ketika penampilan perdana dengan orkestranya, tapi ia masih tetap mendapat nilai A di ujian harian kimianya. Ia pernah dikuntit seorang gadis—mantan pacarnya- yang menerornya sampai menyimpan bangkai tikus segala di lokernya karena tidak terima diputuskan. Ia masih bisa tetap bermain baik untuk pertandingan final Liga musim dingin tahun lalu.

Draco tidak pernah menyadari bahwa Harry seberarti ini untuknya.

Bukan berarti sejauh ini yang ia lakukan bersama Harry sekedar main-main , tapi untuk benar-benar kehilangan konsentrasi seliar ini? Draco belum pernah alami. Ya, benar bahwa ia pernah merasa sampai ingin mati. Tapi itu hanya perasaan.

Hanya rasa.

Bukan keadaan. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada Harry? Draco sempat melihat Theo terjatuh oleh tackle keras Crabe. Tapi kemudian ia tidak melihat apa-apa lagi.

Bagaimana jika ia tidak bisa melihat Harry lagi?

Draco tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menghantam kepalanya.

Apa dia bisa hidup tanpa Harry setelah ini?

Draco berhenti berlari. Tiba-tiba saja suara ramai sorak sorai menyemangati, riuh rendah mengomentari—Tak ada lagi. Tiba-tiba saja tak ada satupun stimulus yang masuk ke dalam kesadaran Draco. Tidak indra auditori, tidak ada , dari satupun alat sensoris yang seharusnya berfungsi normal seperti biasanya.

Kesadaran pemuda itu dipenuhi satu hal saat ini.

Ia ada di titik, dimana Harry adalah syarat hidup absolute bagi dirinya. Bersanding bersama oxygen, air, makanan dan kebutuhan fisiologis lainnya. Untuk sesaat semua komunikasi dengan dunia di luar nalarnya tak lagi ada. Hanya sesaat.

"DRACO!"suara Blaise, Draco mengenalinya. Draco bersyukur ia bisa kembali mendengar. Teriakan panik. Ada apa? Ujarnya walau tak terlisankan. Sekelebatan, ia masih dapat melihat. Sekeliling yang memandanginya, ada begitu banyak wajah. Beragam bentuk rupanya. Dunia berputar di sekelilingnya. Lapangan itu berputar bagai adegan film yang dipercepat, terus berputar semakin cepat, tanpa batas. Kemudian menghilang. Draco rasanya terbutakan sinar yang menyilaukan.

Apa aku akan pingsan? Draco jadi mempertanyakan normalkah ketika seseorang akan pingsan ia kemudian berfikir akan pingsan.

Normalnya kau kehilangan kesadaran begitu saja, ya kan? Draco tidak yakin. Tapi kini wajah-wajah beragam bentuk tidak lagi ada. Hanya gelap. Tapi ia bisa merasakan lengannya ada di pundak seseorang. Entah siapa. Draco merasa mengenali bayangan kabur di sampingnya. Seseorang memapahnya. Tungkainya terasa lelah, tapi ia masih bisa merasakan kakinya yang menapak di tanah. Berjalan lemah.

"Sepertinya dia kepanasan.."Draco kenal bentuk suara itu. Tapi milik siapa?

"Apa heat stroke?"orang yang berbeda, gelombang kecemasannya lebih tinggi dari suara pertama.

"Kita belum bisa pastikan. Tapi mungkin saja.."

"Bawa ke ruang perawat saja.. Atau mau langsung bawa ke rumah sakit?"siapa ini? Pikir Draco.

"Ke tempat perawat saja.."Ouh! otak Draco mulai bekerja sebagaimana mestinya lagi. Ia kenal suara ini, milik Blaise.

"Latihannya?" Suara Draco keluar lemah.

Yang memapah Draco berhenti. Langkah lemah milik Draco juga otomatis terhenti. Ada dua orang yang berada di dekatnya kini. Draco bisa merasakan lagi. Ia membuka kelopak matanya perlahan. "Kau sadar?"

Draco mengangguk perlahan. Kedua orang tadi berhenti dulu sejenak. Memperhatikan Draco yang mulai memfokuskan pandangannya pada sekeliling. Sambil masing-masing bernafas lega, ternyata kapten mereka sepertinya tidak apa-apa.

Draco sendiri tidak yakin apa ia kehilangan kesadaran atau tidak. Yah, dia masih berfikir sampai beberapa saat tadi. Dia hanya kehilangan kontak dengan dunia di luar nalarnya. "Ke ruang perawatan saja."Draco memberikan pendapat.

"Sepertinya Kau tidak separah yang kami kira. Kalau memang tidak enak badan jangan memaksakan dirimu, Kapten. Kami semua hampir kena serangan jantung melihatmu mendadak berhenti berlari, lalu perlahan-lahan rubuh ke tanah."suara Oliver. Pemuda berambut Blondie itu tersenyum kecil pada wajah cemas lelaki itu. Begitukah? Draco tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Tapi ia tidak kehilangan kesadaran akan pikirannya.

Lalu ada helaan nafas lelah luar biasa, milik Blaise. "Kita ke ruang perawat. Lalu hubungi supirmu supaya menjemput lebih cepat."meskipun dingin, Draco bisa mendengar sirat khawatir.

"Thank's.."Draco berujar lirih.

Sepanjang perjalanan menuju ke ruang perawat Draco mengulang apa yang sedang dipikirkannya sebelumnya.

Ia berfikir tentang Harry.

Lalu mengapa tiba-tiba ia diserang kegelisahan begini rupa sampai pada tahap mengganggu fungsi fisik?

Ah! Ia menyadari bahwa, sekarang pilihannya bukan ingin mati atau tidak. Sekarang tidak ada pilihan lain.

Ia harus hidup.

Bersama Harry, bagaimana pun caranya.

"Jangan tiba-tiba menyeringai begitu, Mr. Malfoy.."ujar perawat yang memberikan kompres pada keningnya. Memang aku menyeringai ya? Draco mulai benci keadaan saat ini ketika tubuhnya seperti bergerak sendiri tanpa ia menyadari.

"Mr. Wood.. Bisa tolong isi laporan ini untuk Mr. Malfoy.. Dan kalau tidak keberatan, Mr. Zabini tolong jaga Mr. Malfoy sebentar.. Ada beberapa obat yang harus kuambil di ruang persediaan.."

Wanita paruh baya itu dengan gesit, memasukan thermometer ke lidah Draco,"40,5 derajat celcius.. Tidak Heran Kau mengalami disorientasi dan nyaris pingsan, Mr. Malfoy.." Ia lalu mengembalikan alat kecil itu ketempatnya dan mengambil sebuah gelas menaburkan sesachet serbuk tertentu, mengisi gelas kaca dengan air dingin,"Pastikan dia minum beberapa gelas, Mr. Zabini",begitu saja Madam Pomfrey, berlalu dari ruang perawatan.

Blaise membantu Draco untuk sedikit mengangkat kepalanya agar ia bisa minum. Setelah habis setengah gelas, Draco menjauhkan tangan Blaise. Blaise menatap Draco dengan kalimat menghakimi yang tertulis di wajahnya,'Habiskan, aku tidak mau kena semprot Madam Pomfrey!' jadi Draco mengambil gelas itu dan meminumnya sendiri sampai habis.

"Blaise.. Aku ingin bicara. Berdua.",bisik Draco sambil meminta pemuda berkulit eksotis itu mendekat. Wajah pemuda itu ogah-ogahan. Tapi kemudian ia menghembuskan nafas sebagai tanda menyerah.

"Oliver.. Kurasa sebaiknya ada yang melaporkan kondisi Kapten kita ini pada pelatih.."

"Ouh. Baiklah, aku akan jaga Draco baik-baik kalau begitu.."ujar Oliver dengan senyum lebar yang tulus. Sementara Blaise dan Draco berpandangan sebal. Bukan begitu maksud mereka, tentu saja.

"Sebenarnya, aku sedikit lelah. Jadi, bisa Kau yang pergi? Oliver?"nada kalimat Blaise sedikit memohon. Sesuatu yang jarang-jarang Kau dengar keluar dari mulut pemuda berkulit eksotis itu. Oliver memperhatikan dua teman setimnya itu.

Ia mengangkat bahu,"Baiklah.. Kurasa aku yang pergi.."ujarnya dengan wajah bingung. Setelah menulis beberapa kata terakhir di laporan yang diminta Madam Pomfrey. Ia keluar dan menutup pintu ruang rawat dengan perlahan.

Sepertinya di hari pertama sekolah ini tidak ada siswa yang dirawat selain Draco. Dan wajah Madam Pomfrey ketika Blaise dan Oliver datang membawa Draco yang dipapah dalam keadaan begitu lunglai jelas sekali kaget. Sepertinya perawat nomor satu Hogwarts itu tidak mengharapkan ada pasien di hari pertama tahun ajaran baru. Meskipun memang hari ini masih menjadi salah satu hari terpanas di musim panas Inggris, yang jarang-jarang terjadi. Inggris bertahan tanpa hujan selama 4 hari, itu terdengar seperti keajaiban tersendiri.

"Jika ini tentang si Potter, aku tidak ingin dengar.."ucapan Zabini dilandasi kekesalan karena sepanjang latihan tadi Draco banyak sekali melakukan kesalahan mendasar yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang kapten tim Hogwarts.

"Ini bukan tentang dia, ini tentang kami.."ujar Draco ringan. Seperti dua hal itu sama sekali tidak berkaitan dan bahan pembicaraan mereka akan memenuhi persyaratan Blaise.

"Itu sama saja, Idiot.."ada kerut kesal di kening Blaise yang coba ia tahan sebisa mungkin. "Baiklah, apa?"

Draco menyeringai-kali ini ia tahu ia menyeringai—,"Aku rasa aku mulai mengerti apa arti dari sikapmu pada Theo.."

"Kenapa malah jadi membicarakan mahluk itu?"nada tak suka kentara sekali di suara Blaise kini. Draco menyeringai lebih lebar lagi.

"Meskipun Kau membenci sikapnya. Meskipun Kau tidak bisa melakukan apa-apa untuknya. Kau tidak pernah meninggalkannya. Karena bagimu hidup tanpa seseorang yang barusan Kau sebut 'mahluk itu' , artinya bukan hidup."

"Jangan samakan perasaan romansamu dengan milikku."

"Aku tidak menyamakan, tapi pada dasarnya tetap saja serupa, ya kan?"Draco sudah kehilangan rasa pening di kepalanya dan bias silau yang barusan mengganggu pandangannya. Jadi ia melepas kompresnya dan bangkit untuk duduk, perlahan-lahan. Blaise mendiamkan saja. Kalau Madam Pomfrey ada Malfoy muda itu pasti sudah disemprot habis-habisan. "Bukankah Kau pernah bilang rasanya ingin mati setiap kali harus melepaskan 'mahluk itu' untuk orang lain?"

"Itu hanya rasanya."

"Tepat! Itu hanya rasa, bukan keinginanmu yang sebenarnya. Karena Kau mencintainya, Kau akan berusaha terus hidup selama ia hidup. Karena Kau merasa harus ada di sampingnya, walaupun itu bukan berarti bisa menolong atau melindunginya."

Hening. Madam Pomfrey belum kembali. Kedua pemuda itu bertatapan sekilas. Iris hitam gelap milik Blaise lalu memaku lantai,"Kau ingin aku melakukan apa sebenarnya?" Draco menghilangkan seringai di wajahnya. Matanya menatap muram kawannya tersebut.

"Kau benar.. Aku memang hanya berputar-putar barusan. Tetap saja, kurasa aku tidak bisa menekan rasa ingin tahuku soal kalian berdua.."

"Kami.."Blaise bersidekap, lalu menyeringai sinis. "Bukan sesuatu yang harus Kau pikirkan." Lalu pemuda itu menarik nafas. Ada bau obat-obatan khas ruang perawatan. Ada sekitar 10 ranjang berbaris memanjang di ruangan besar itu. Ruang perawat yang cukup besar untuk ukuran sekolah, tapi mungkin jika melihat jumlah murid yang ada di Hogwarts itu wajar saja. Atau malah kurang. "Kau ingin pergi menemui si Potter itu kan?"

Draco mengangguk,"Katakan pada Madam Pomfrey kalau supirku sudah menjemput."

"Dan Kau akan pergi naik apa? Dan mau kemana?"

"Rumah Harry.."nadanya menggantung. Jeda itu membuat Blaise punya firasat bahwa Draco akan menyusahkannya lebih jauh. "Kalau tidak keberatan aku ingin pinjam mobilmu."

"Kau baru saja tiba-tiba pingsan di lapangan bola, Draco. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mengendarai mobilku dalam keadaan seperti ini?"

"Aku tidak pingsan."Draco buru-buru memprotes."Kalau tidak mau juga tidak masalah. Aku bisa naik taksi."

"Kau tahu sendiri jalanan Hogwarts jarang dilewati taksi. Kenapa tidak telephon supirmu sih? Suruh jemput sekarang. Jadi tak perlu bohong juga pada madam Pomfrey kan?"Draco menatap Blaise dengan wajah yang mengatakan 'bicara apa orang ini?'. Pandangan yang rasanya benar-benar menghakimi.

Tanpa sadar Balise berkeringat dingin,"Kau sepertinya yang tidak mengerti,Blaise. Aku harus menemui Harry sendiri. Aku tidak tahu seburuk apa keadaannya atau sebenarnya ada apa dengan situasi serba tidak jelas saat ini. Jadi, aku harus pergi sendiri."

Tatapan itu lagi. Tatapan penuh keyakinan yang jarang sekali diperlihatikan iris abu milik Draco. Draco mungkin keras kepala, tapi bisa dikatakan ia plin-plan dalam banyak hal. Terutama jika soal perasaan. Draco bukan playboy, menurut pengamatan Blaise sejauh ini. Ia hanya mudah sekali jatuh cinta—walau setelah Blaise pikir-pikir suka sesaat macam milik Draco tidak bisa disebut cinta—, Draco berekspektasi tinggi pada gadis yang disukainya dan kemudian jika ada kecacatan sedikit saja. 'Cinta' Draco akan dengan mudahnya musnah. Jika ia tidak menyukai lagi gadis itu. Ia bisa dengan sangat mudah bahkan cenderung kejam membuang mereka.

Draco bisa dengan mudah mendapatkan segala yang ia inginkan dalam hidupnya yang serba berfasilitas. Mobil, baju, mainan, buku, benda elektronik, gadis-gadis.. Draco tidak pernah benar-benar menginginkan sesuatu sampai ia merasa harus mati-matian mendapatkannya. Kecuali music tidak ada hal lain lagi yang benar-benar membuat Draco bekerja keras.

Sampai di tahun pertama highschool Draco berusaha keras untuk masuk klub sepakbola. Di matanya ada tatapan yang sama seperti sekarang. Keinginan dan tekad kuat. Tapi begitu masuk, ia kehilangan gairah. Blaise belum mengerti saat itu. Apa yang memicu perubahan drastis Draco saat itu. Tapi beberapa bulan lalu ia mengerti. Draco memang sering bicara soal Harry Potter. Bukan hal-hal bagus, lebih berkesan iri dan dengki. Tapi juga ada ketertarikan kuat jika melihat intensitas topic soal si Harry ini mengudara dari mulut lelaki blondie ini. Lalu kecelakaan itu terjadi, membuka pintu bagi Draco untuk mengetahui lebih banyak tentang Harry, sebuah objek obsesi cinta yang lainnya lagi.

Tiba-tiba saja, Harry adalah segalanya. Bagi Draco.

Menyeramkan. Blaise berfikir begitu. Tapi, untuk Harry ada begitu banyak pengecualian. Ada begitu banyak kecacatan yang justru menguatkan keinginan Draco untuk tetap mendekati pemuda itu.

Mengerikan..

Bahwa ketika manusia jatuh cinta ia bisa dibuat kalang kabut sedemikian rupa tanpa sedikitpun memperhatikan logika.

Bukan sekali dua kali ia meyakinkan Blaise bahwa ia sama sekali tidak tertarik-secara seksual— atau romansa soal hubungannya dengan pemuda itu. Tapi Blaise tahu, Draco tahu. Kalau tatapannya pada pemuda itu tak pernah berubah sedikitpun. Tatapan yang memperlihatkan tekad sekaligus kesakitan.

Ia harus tetap berpura-pura tak mengenali Si Potter itu. Tapi di sisi lain, Draco sama sekali tidak pernah melepaskan pandangan mengintainya dari Harry.

Mungkin memang benar, itu bukan cinta tapi obsesi. Blaise sempat berfikir seperti itu.

Yah.. sepertinya begitu.

Toh, Blaise juga tidak terlalu mengerti perbedaan cinta dan obsesi.

Tapi apapun itu Harry Potter adalah sesuatu yang luar biasa. Seseorang yang membuat iris keabuan Draco bersinar penuh daya dan tekad.

"Blaise?"Draco menjentikan jarinya di depan wajah pemuda itu. "Sedang memikirkan permintaanku atau melamunkan adegan-adegan aneh bersama Theo di kepalamu?"ujar Draco dingin tanpa nada bercanda di kalimat yang terdengar seperti lelucon barusan.

Blaise menatap Draco sekali lagi. "Kau pergi duluan ke parkiran. Aku ambil kunci mobilku di tas."Draco tersenyum tipis.

"Kau tidak berharap terima kasih kan?"ujar Draco sambil berusaha menguasai tubuhnya agar cukup kuat untuk berjalan sampai parkiran.

Blaise yang dengan dingin memperhatikan saja Draco bangun sendiri tanpa membantunya sama sekali, Cuma bicara begini,"Aku Cuma berharap mobilku kembali dalam keadaan utuh."

"Sekalian ambilkan tasku kalau begitu ya?"Draco memamerkan senyum manis yang Blaise tahu betul tingkat kepalsuannya.

"Hn.."Blaise menggumam mengiyakan. Yah, mau bagaimana lagi, sudah terlanjur terlibat, ya dukung saja sampai selesai.

Sambil memperhatikan Draco yang masih berusaha mengendalikan tubuhnya yang terlalu lemah untuk bangkit sendiri. Blaise diam dan mengingat pertemuannya dengan Harry tempo hari. Draco hanya bermain-main? Blaise ingin tahu saat itu apa yang melandasi kalimatnya itu pada Harry. jika ada seseorang di dunia ini yang paham betul betapa seriusnya Draco pada Harry, tentu saja itu Blaise.

Mungkin karena ia iri pada tatapan cinta Harry pada Draco. Bahwa keduanya serius untuk mempertahankan satu sama lain. Walau mungkin masing-masing sampai saat ini tidak saling menyadarinya.

Tidak seperti hubungannya dengan Theo.

Pemuda blondie yang akhirnya bisa berdiri. Menyeringai pada Blaise, seakan memamerkan kemampuan tekadnya. Blaise Cuma mendengus sebal sebagai bentuk apresiasi. Draco tertawa sekali menanggapi. Lalu keluar dari ruang perawatan. Perlahan-lahan, berpegangan pada dinding.

Ia ingin bertemu Harry. Itu saja yang ada dipikirannya kini.

Bukan hal-hal rumit.

Bukan pikiran-pikiran berbelit.

Hanya Harry.


"Hallo.."Severus meneguk ludah. Barusan saja telepon genggamnya berdering. Selama ia mempunyai ponsel itu hanya beberapa orang yang pernah menghubungi Severus melalui nomor itu.

Dumbledore, Profesor kesayangan di universitasnya, Bellatrix, Lucius, Narcissa, tukang ledeng dan nomor Darurat kepolisian London. Hanya itu kontak yang Severus save nomor teleponnya di dalam benda komunikasi praktis itu. Nomor-nomor kenalan dan lain-lain ada di kumpulan kartu nama dan buku telephon.

Selain nama-nama di atas ia menyimpan satu nomor. Rumah keluarga Potter.

Dan nomor itu yang tengah menghubunginya kini. "Kau tahu soal ini?"Severus, sedetik lalu masih berharap suara perempuanlah yang akan ia dengar, berharap dengan sangat bahwa Lily lah yang menghubunginya. Bahkan ia lebih berharap mendengar suara Harry Potter dibandingkan suara ayahnya kini.

"Lily sudah ceritakan semuanya. Soal Draco dan Harry."lalu ada suara kekehan lemah. "memastikan ia tidak mendapatkan luka yang sama seperti yang aku dapatkan.. Berjam-jam aku menghabiskan waktu di atas pesawat menuju Amerika dengan memikirkan kalimat itu. Berfikir tentang berbagai kemungkinan buruk soal Harry. Tapi aku melewatkan kemungkinan ini."

"Lalu ada urusan apa Kau denganku?"Severus berusaha untuk menahan diri agar tidak terguncang. Ia sudah biasa dengan ini. James sudah biasa bersikap dingin. Bahkan di masa-masa terhangat jalinan rahasia mereka. James tidak pernah berusaha sedikit saja memikirkan secara seksama akibat kata-katanya pada perasaan Severus.

Severus tidak bisa menyalahkannya.

Severus memang tidak pernah bisa menyalahkan siapa-siapa.

Karena ia yang memaksakan diri. Meskipun tahu, tidak mungkin berbuah manis.

"Kau menemui Lily untuk bicara soal Myrtle juga kan?"Severus tersenyum sinis untuk dirinya sendiri. James selalu tahu apa yang akan ia lakukan. Ia selalu bisa menembak tepat di bagian terlemah dari dirinya. Dan kenyataan bahwa Severus sama sekali tidak pernah menghindari serangan James padanya, adalah fakta yang paling menakutkan baginya. "Kau punya kesempatan terakhir…"ada desah nafas berat yang memotong kalimat James.

"Kau ingin aku mengatakannya padamu?"

"Ya." Tidak ada desah nafas berat lagi. Sebuah jawaban pasti. Itu saja yang diberikan James. Dan sebuah penjelasan yang terang benderang yang diharapkan dari Severus.

Severus menarik nafas. Ia menegakan duduknya. Ini kesempatan terakhir? Terakhir. Setelah ini, semua berakhir. Ia tak perlu merasa bersalah pada Lily lagi. Ia tak perlu bersembunyi dari James lagi. Ia tak perlu mengingat tentang hubungan mereka lagi. Ia bisa melepaskan perasaan cintanya pada lelaki itu bersama dengan penyesalan tentang kematian Myrtle. Cinta dan kematian.

Dua hal berkait yang telah bertahun-tahun menjadi bagian hidup Severus.

Tangan lelaki paruh baya itu bergetar dengan sendirinya. Jika tak ada lagi perasaan untuk James Potter, tidak ada lagi rasa bersalah pada Lily. Apa ia masih ada?

Apa Severus Snape akan tetap ada? Apa masih ada alasan untuknya hidup?

"Severus?"suara James lebih lembut dari nada di kalimat-kalimat sebelumnya. Gemetar tangannya, nyaris membuat handphonenya terjatuh. Severus menarik nafas sekali lagi. Berusaha menguasai dirinya.

"Aku.."yang bersalah. Severus merasakan aliran hangat di pipinya. Ia menangis? Sebulir air yang terasa perih berlalu begitu saja. Jatuh di kemeja hitamnya. "Sorry.. I can't.."

Desah nafas berat lagi. Milik lelaki yang pernah menjadi segalanya bagi Severus, dan bukan berarti sekarang sudah tidak lagi. James Potter kini, lebih dari segalanya bagi Severus. Bahkan kebenciannya pada Severus adalah alasannya bertahan hidup.

"Severus.. dengar.. Aku tahu, aku bukan seseorang yang layak menilai siapapun. Aku juga bersalah soal Myrtle. Dan aku berusaha memperbaiki kesalahanku, kenapa Kau tidak ingin membantuku?"Severus diam. James Potter memohon padanya.

Tapi ia tidak bisa. Ia tidak cukup berani untuk mengatakannya pada James. Ia bisa mengatakannya pada Lily. Tapi tidak pada James. Ia tidak cukup berani untuk menceritakan kronologis kebenaran yang ia ketahui.

"Severus.. Aku mohon.."tapi lelaki itu diam. James juga terdiam. Kali ini tak ada lagi desah nafas. Keheningan absolute menyergap keduanya. Denging udara yang menjadi lintasan gelombang suara telephon yang mengisi kekosongan.

Tapi kedua lelaki itu tak lagi saling bicara. Tak ada lagi diskusi untuk mencapai kompromi. Keduanya mantap pada keyakinan masing-masing.

Maka james lebih dulu mengambil inisiatif untuk mengakhiri ini.

"Aku sudah lelah berkata soal Kau yang menyimpan rahasia. Kau pengecut, pembohong dan pengkhianat. Kali ini, hanya ada satu kalimat untukmu. MENJAUH DARI KELUARGAKU."lalu sambungan telephon terputus. Severus mendengar denging di telinganya.

Kalimat James Potter mendengung, bergema di ingatan auditorisnya.

Kau pengecut.

Pembohong.

Dan Pengkhianat.

"Dia benar."Severus menaruh perlahan kembali ponselnya ke meja kerja. Mengerjapkan matanya. Sudah lama ia tidak menangis. Ia pernah menangis hingga nyaris gila ketika James meninggalkannya.

Ia kira, ia sudah lupa caranya menangis.

Tapi hari ini ia merasa ingin menangis. Dan dia memang menangis.

Walau sebutir, air mata itu turun perlahan sekali. Severus masih bisa merasakan jejak lintasannya. Di wajahnya ada sebuah lintasan penyesalan. Keratan-keratan kesakitanlah yang membentuk wajahnya kini. Wajah lelaki paruh baya yang semakin muram dari waktu ke waktu.

Tapi wajah itu pernah dibelai lembut oleh lelaki yang dicintainya.

Yang pernah mendapat senyuman tulus dari sahabat perempuan yang paling berharga baginya.

Sepotong kenangan di masalalu yang indah. Sepotong yang jauh entah tercecer dimana. Severus harus menyusuri ribuan mil kesakitan lagi jika ingin kembali memeluk sepotong kenangan itu.

Ia tidak berhak.

Ia terlalu terhina untuk melakukan itu. Seorang pengecut, pembohong dan pengkhianat.

Sekarang yang perlu dilakukannya hanya satu. Mengakhiri hubungan Draco dan Harry. Harry adalah satu-satunya yang James dan Lily masih miliki. Anak yang mereka harapkan masa depannya gemilang. Sumber kebahagiaan terakhir yang dimilikinya.

Jika ia tidak bisa menyelamatkan Myrtle di masa lalu.

Ia harus bisa menyelamatkan Harry kali ini.


Parkiran Hogwarts nampak lengang. Sudah cukup sore, dan lagipula memang tak begitu banyak murid Hogwarts yang membawa kendaraan. Kebanyakan murid Hogwarts memang murid dari luar kota karena itu sebagian besar mereka adalah penghuni asrama. Sebagian lagi lebih memilih bis yang disediakan pihak sekolah untuk mengantar jemput. Beberapa yang tidak termasuk dalam rute penjeputanlah yang biasanya membawa kendaraan sendiri. Yang sedang trend saat ini adalah motor,semacam vespa. Untuk beberapa murid yang masuk kalangan elit seperti Draco biasanya mereka diantar jemput supir pribadi atau membawa mobil sport mereka sendiri.

Karena itu mereka yang bersepeda ke sekolah adalah yang paling kecil populasinya.

Draco memandangi sepetak kecil tempat parkir sepeda yang hanya diisi 3 sepeda. Dan entah kenapa ia berharap melihat sepeda Harry disana. Tapi tentu tidak ada. Bodoh. Draco menyeringai sarkastis pada dirinya sendiri. Ia lalu melewati petak kecil itu dan menuju parkiran mobil. Ini memang sudah jam pulang jadi kebanyakan kendaraan sudah, sekitar sejam atau dua jam lalu, menghilang dari tempat parkirnya. Dibawa pulang masing-masing pemiliknya ke rumah. Atau mungkin pergi nongkrong ke suatu tempat.

Highschool adalah suatu masa dimana manusia mulai mencicipi manisnya kebebasan, tanpa benar-benar tahu sepahit apa konsekuensinya jika salah melangkah. Draco memandang hambar hamparan lahan parkir. Bagi Draco sudah terlambat untuk berbalik kembali, menjadi remaja normal popular sebagaimana mestinya.

Bagi Draco saat ini, hanya ada satu Harry. Dan ia tak merasa menyesal, ia mungkin mudah tergoda untuk menengok ke belakang. Tapi sampai saat ini Harry selalu bisa menjadi magnet yang menarik kembali Draco mendekat.

Perlahan-lahan Draco berjalan. Tungkainya masih terasa lunglai. Tapi ia sudah merasa lebih bertenaga daripada beberapa saat lalu ketika, apa ya istilahnya? Kehilangan kontak dengan dunia luar? Mungkin begitu lebih tepat. Karena jika dikatakan kehilangan kesadaran ia merasa sama sekali tidak kehilangan kesadaran. Draco sampai di mobil Blaise dan bersandar di pintu depan.

"Menunggu seseorang Mr. Malfoy?" Draco terburu-buru berpaling ke kiri seketika itu juga. Ia menemukan senyum bijaksana Dumbledore yang penuh misteri ada di samping kiri mobil. Lelaki tua itu sepertinya akan menuju mobilnya yang ada di barisan paling ujung. Memang tidak ada tempat parkir khusus untuk guru atau murid. Jadi mobil tua yang entah apa merknya milik Dumbledore bisa parkir dimana saja sesukanya. Di tangannya ada setumpuk dokumen yang nampak penting. Mungkin pekerjaan rumit yang sampai-sampai harus ia bawa pulang ke rumah.

"Mr. Headmaster.."sapa Draco setelah bisa menetralisir kekagetannya.

"Tidak usah seformal itu.."Draco memperhatikan jenggot putih panjang lelaki tua itu bergoyang mengiringi kekehannya yang rasanya jadi mirip seperti tawa Santaclaus.

"Ya..Maaf.."

"Kenapa tegang sekali? Kau tidak kabur dari latihan perdana klub sepakbola kan?"Draco meneguk ludah. Secara teknis bisa dibilang itu yang sedang dilakukannya. Karena latihan masih berlangsung, dan ia sebenarnya belum mendapat izin untuk pergi dari Hogwarts. Walau mungkin bisa dibilang lebih tepatnya ia kabur dari perawatan Madam Pomfrey. Yang manapun tetap saja Draco sekarang merasa ada di posisi narapidana yang tertangkap basah akan kabur dari penjara, saat ini.

Pengandaian yang terlalu ekstrem memang. Tapi entah kenapa rasanya begitu.

"Apa Kau akan menemui Mr. Potter?"

Draco dibuat terhenyak sekali lagi. Bagaimana lelaki tua ini bisa tahu? "Tidak.. Saya kurang enak badan. Jadi pulang lebih cepat."

Dumbledore mengangguk-ngangguk mengerti. Lalu ia mencari-cari sesuatu dari tumpukan dokumen di tangannya. Menengok judul sebuah amplop sesaat seakan mengecek dokumen yang dipilihnya tepat sesuai dengan yang diinginkannya. Ia mengambil amplop cokelat besar yang tak terlalu tebal isinya, lalu mengangsurkannya pada Draco,"Ini hasil paling aktual dari penelitian Prof. Alastor.. Aku dititipi untuk memberikannya pada Harry. Mungkin Kau bisa membantuku memberikannya pada orang yang ada di rumah Harry.."Dumbledore menaik turunkan dokumen itu. Seakan-akan menggoda Draco untuk mengambilnya.

Masalahnya, yang Draco tak habis pikir adalah bagaimana orang tua ini seakan-akan tahu sekali jika Draco akan pergi ke rumah Harry. Dan bahwa ia mungkin memang tidak akan bertemu Harry di rumahnya itu. Tapi ia bisa saja bertemu orangtuanya, dan dokumen itu akan menjadi motif paling masuk akal kenapa ia mendatangi rumah Harry.

Tapi tetap saja, jika begitu, kenapa Dumbledore tahu dan mau membantunya? Apa ia tahu soal hubungannya dengan Harry? Tidak mungkin rasanya Snape memberitahunya? Ya kan? Draco bahkan sampai saat ini belum dilaporkan oleh ayah baptisnya itu ke orangtuanya. Lalu kenapa juga Severus Snape merasa perlu memberitahu lelaki ini?

"Kau ini memikirkan banyak sekali hal ya? Ambil saja.. Tidak ada ruginya.."

Tangan Draco ragu-ragu meraih dokumen itu. "Tapi Saya tidak akan ke rumah Harry.."

"Harry ya? Kalian sepertinya sudah jadi akrab sekali.."Sial.. Draco kelepasan. Ia memanggil Harry begitu saja tanpa berfikir, tanpa filter apa-apa. Rasanya nama itu sudah alami dikeluarkan bibirnya. Yah, memang mungkin begitu, tapi ia harus lebih hati-hati saat ini.

"Yah.. ini sih.. Siapa tahu Kau kebetulan ingin mampir ke rumah 'Harry' sebelum pulang.."Dumbledore mengerling usil, lalu mengangguk kecil sebagai salam perpisahan. Dan berjalan perlahan menuju mobil tuanya yang masih mengkilap. Tidak lama mesin mobil tua itu menyala, suara deru mesinnya masih jernih. Dan beberapa detik kemudian mobil itu berlalu begitu saja.

"Kau memperhatikan apa?"Draco sekali lagi dibuat terhenyak ketika tiba-tiba saja Blaise muncul di sampingnya. "Dokumen apa itu?"

Draco menggeleng,"Entahlah.."jawabnya asal. Blaise dibuat mengernyit mendengar jawaban kawannya itu.

"Terserah. Ini tasmu, ini kunci mobilku. Aku tahu tidak berguna mengatakannya berulang kali, tapi tolong hati-hati.."Draco menepuk pundak kawannya itu seakan meyakinkan kalau mobilnya akan baik-baik saja.

"Lagipula lihat sisi positifnya..Kau jadi punya alasan untuk ikut pulang bersama Theo ya kan?" ujar Draco sambil membuka kunci mobil dan memasukan tasnya ke jok belakang.

"Jangan menggodaku.."ujar Blaise dingin.

"Aku tidak menggoda. Cuma memberi saran.."Draco mengerling usil persis seperti Dumbledore tadi. Blaise melotot sebal pada kawan karibnya itu.

Biasanya Draco tidak menyukai kepala sekolah yang nampak berpegang teguh sekali pada aturan-aturan kolot itu, meskipun mendorong berkembangnya sekolah ini di bidang iptek dan olahraga. Tetap saja Draco tidak suka aura sok misterius yang ditampilakn Dumbledore di setiap kesempatan.

Dan lagi ia sering mendengar cerita-cerita buruk dari ayahnya soal Dumbledore. Yah.. manusia memang tidak bisa sempurna tanpa cela, Dumbledore juga banyak terlibat kasus yang kontroversial. Dan versi yang diceritakan Lucius Malfoy pada Draco adalah versi yang sangat menyudutkan Dumbledore. Jadi sepertinya kebencian pada lelaki tua itu sudah terbentuk sejak lama. Anehnya meskipun tidak menyukai Dumbledore, ayahnya itu tetap saja memasukan Draco ke Hogwarts?

Draco menggeleng pelan sambil berusaha fokus untuk menyalakan mesin mobil,"Jika Kau bisa bertemu Si Potter itu hari ini juga, Kau akan melakukan apa?"

Draco terdiam sesaat. Ia tidak memikirkan apa-apa. Ia tidak tahu akan mengatakan apa atau melakuakn apa. Ia hanya ingin bertemu Harry, itu saja. Jadi ia tersenyum tampan pada Blaise sambil berkata dengan yakin,"Tidak tahu.."

"Sudah kuduga.."Blaise tersenyum melecehkan pada Draco. Lalu roda mobil mulai bergerak. Draco keluar dari parkiran. Setelah hilang dari pandangan matanya, Blaise menghilangkan senyum melecehkan dari wajahnya. Menatap datar kepulan asap knalpot yang disisakan mobilnya karena Draco melajukan mobil itu dengan batas normal. "Shh.. Kurasa aku harus meminta mobil baru setelah ini.."


Draco memelankan laju mobil Blaise begitu ia mulai memasuki kawasan perumahan Harry. Setelah belok kiri di perempatan di depannya, Draco sudah akan bisa melihat rumah Harry. Rumah semiminimalis yang rindang dengan banyak tanaman dan pepohonan. Ukurannya tak begitu besar, standart rumah-rumah di lingkungan itu. Draco tidak yakin tipe berapa kali berapa. Tapi ia menyukai rumah itu, karena itu rumah Harry. Tempat dimana remaja lelaki kesukaannya tinggal.

Draco memutuskan untuk berhenti sebelum belokan. Ia harus ganti baju dulu. Ia tidak mungkin mengetuk rumah Harry dan menanyakan bagaimana kabar pemuda itu dengan masih mengenakan seragam sepakbolanya. Sejujurnya Draco tidak pernah begitu suka dengan ide mengenakan celana pendek, kakinya terlalu ramping –menurut Draco sendiri. Dulu sebelum tekun berlatih sepakbola, tungkai ramping itu bisa dipastikan membuat iri para gadis yang memiliki betis besar. Setidaknya massa otot Draco terbantu dengan latihan sepakbola rutin.

Draco tersenyum kecut, kenapa ia malah jadi memikirkan betis di saat seperti ini?

Pemuda itu menarik nafas. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang ia lakukan saat ini benar. Ada sesuatu yang terasa salah sejak pagi tadi ia tahu bahwa Harry tak datang di hari pertama sekolah. Ini bukan sekedar kerinduan membabi buta akibat perasaan kasmaran. Keharusannya menemui Harry saat ini lebih seperti ia berusaha mengonfirmasi bahwa tidak ada satupun firasat buruk yang bermunculan di kepalanya benar adanya.

Draco tidak ingin menyebutkan firasat buruk apa saja. Ia bahkan kalau perlu tak usah mengingatnya lagi sama sekali. Tak perlu terlintas. Lagi. Tapi semakin dekat dengan rumah Harry, semakin nyata bermunculan pikiran-pikiran buruk itu.

Draco menatap jalanan yang lengang. Seorang lelaki muda dengan postur ala peragawan berlari sore membawa anjing Siberian husky melewati mobil dimana Draco berada begitu saja. Setidaknya ia tidak mencurigakan, pikir Draco. Ia mengambil tasnya dan mencari baju seragamnya. Setelah menemukan yang dicarinya, ia menyalakan radio terlebih dahulu. Stasiun yang pertama terputar sedang membicarakan tentang isu politik luar negri inggris yang memanas hubungannya dengan beberapa negara eropa. Draco tidak begitu perduli ada peristiwa apa jadi ia mengganti stasiun radionya. Setelah beberapa kali pencet ia berhenti di sebuah stasiun yang sedang memutarkan musik klasik.

"Beethoven, moonlight sonata.."sepertinya baru saja mulai. Draco hapal komposisi melodinya, ia pernah beberapa kali memainkannya bersama orkestranya, ketika ia masih memainkan piano. Simphoni yang diawali suasana mencekam dentingan piano. "Bukan pilihan buruk.." ini salah satu karya popular Beethoven. Ditulis pada musim panas tahun 1801 di Hungaria. Terdiri dari tiga bagian, Draco paling menyukai bagian yang pertama, Adagio Sostenuto. Perasaan tentang kematian, Draco menyukai keharusan untuk memainkan bagian itu dengan penuh kehalusan rasa.

Draco berganti baju dengan berbagai keterbatasan ruang gerak, ditemani denting piano yang makin mencekam. Ia selesai berganti baju bertepatan dengan dimulainya bagian kedua dari sonata piano tersebut. Allegretto, bagian penyebrangan. Draco mengistilahkannya begitu. Bagian itu pendek saja, benar-benar seperti penjembatan antara bagian pertama yang dimainkan penuh penghayatan dan kelembutan dengan bagian ketiga, Presto Agitato, yang mirip seperti badai, badai yang tak memiliki kesabaran.

Draco tersenyum. Sambil menutup mata menikmati bagian ketiga yang muncul kepermukaan. Setidaknya music ini memberinya ketenangan, keseimbangan dan badai. Moonlight Sonata diciptakan Beethoven untuk seorang murid dan gadis yang dicintainya Giulietta Guicciardi. Seingat Draco, cintanya bertepuk sebelah tangan.

Bukan lagu penggugah semangat yang bagus.. Draco membuka matanya dan menyeringai.

Draco lalu menyalakan kembali mesin mobil Blaise. Derunya meskipun halus mengganggu harmoni nada simfoni yang masih berputar. Sesuatu yang secara etika seharusnya dihindari seorang pecinta music klasik seperti Draco. Tapi sekarang bukan saatnya perduli soal etika.

Selagi masih ada daya dari sisa badai Beethoven dalam dirinya. Draco harus mengumpulkan kenekatan untuk menjalankan mobil dan mendatangi rumah Harry. Entah siapa yang akan ia temui, Ibu Harry yang penuh senyum atau Ayahnya, James Potter yang sepertinya sinis sekali pada Draco. Pemuda itu menjalankan perlahan mobil sobatnya. Ketika ia memarkirkan mobil itu dan hendak mematikan mesin. Ia berhenti sesaat dan tersenyum pada radio yang masih memperdengarkan badai nada-nada yang ditulis Beethoven. Mungkin tinggal sisa sekitar 4 menit lagi sebelum simfoni itu berakhir. Tapi Draco menarik nafas dan mematikan radio, berikutnya mesin mobil.

Ia keluar dari kendaraan itu dan berjalan sesantai mungkin memasuki pekarangan rumah keluarga Potter. Di tangannya ia berbekal dokumen yang dari Dumbledore yang akan ia jadikan alasan atas kedatangannya mengerjap sesaat menyadari bahwa tak ada sedikitpun yang berubah dari rumah itu secara fisik sejak terakhir Draco melihatnya. Namun atmosfer rumah itu Nampak lebih tegang dan penuh tensi dari sebelumnya. Mungkin imajinasi Draco saja, atau mungkin itu sisa ketercekaman dari music klasik barusan. Tapi Draco yakin sekali bisa merasakan kabut kelabu yang memuramkan suasana rumah itu.

Pewaris Malfoy itu memencet bel. Beberapa saat menunggu, tak ada jawaban. Jadi ia memencetnya sekali lagi. Ia bisa mendengar langkah mendekat setelah beberapa detik bel kedua berbunyi. Suara putaran kunci, Draco ingat dua gantungan aneh yang melekat pada kunci itu—kura-kura dan menara Eiffel.

Lalu pintu membuka.

"Selamat Sore."sapa Draco sesopan mungkin. Ia memamerkan senyum aristokratis terbaiknya. Senyum paling persuasive miliknya.

"Kau."disambut wajah masam Tuan Rumah yang sama sekali tidak mengharapkan kedatangan tamu, terlebih tamu itu adalah Draco.

James Potter berdiri di ambang pintu, ia memakai celana jeans biru dongker dan kemeja kotak-kotak berwarna hijau. Seperti seseorang yang akan pergi keluar atau baru saja sampai di rumah. "Harry tak ada."

"Ya, saya sudah dengar kabar. Katanya Harry dirawat. Saya harap ia bisa cepat sehat."Draco berusaha merangkai kata-katanya semenyenangkan mungkin untuk didengar. Dan menampilkan ekspresi paling pas untuk mewakili rasa simpati. "Tapi.. Saya datang kesini membawakan ini."Draco mengangsurkan amplop cokelat itu pada Ayah Harry.

Lelaki yang masih Nampak tampan dan berkarisma di usia paruh bayanya itu sempat ragu sesaat untuk menerimanya. Draco menambahkan,"Titipan dari Dumbledore, data terakhir dari penelitian dengan Profesor Alastor Moody."James Potter akhirnya meskipun Nampak enggan menerima amplop tersebut.

"Ada lagi?"

Draco sedikit menarik sudut bibirnya untuk tersenyum lebih lebar, namun berusaha untuk tak Nampak terlalu cengengesan. "Sebenarnya.. Saya khawatir dengan kondisi Harry. Jadi, kalau boleh saya tahu dimana Harry dirawat dan menjenguknya sendiri dengan teman-teman yang lain.."Draco sengaja menggantungkan kalimatnya barusan. Ada keraguan ketika menyebut frasa teman-teman yang lain.

Memangnya siapa yang bisa kuajak menjenguk Harry ya? Ujarnya bingung pada diri sendiri.

"Harry baik-baik saja. Lusa dia sudah akan sekolah."nada dingin James Potter terasa sedikit menghangat. Tapi tatapan menghujamnya masih menikam siapapun yang berdiri di hadapannya, dan dalam kasus ini yang tertikam adalah Draco, tentu saja.

"Ah.. Syukurlah.."nada yang keluar kaku sekali. Tapi kabar itu benar-benar kabar baik, dan Draco merasa lega mendengarnya. Hanya saja masih ada yang mengganjalnya. Ia ingin bertemu Harry. ia harus bertemu Harry, dan sekedar kabar bahwa kondisi Harry baik-baik saja tidak membuat Draco puas.

"Apa lagi yang Kau inginkan?"

Kelereng hitam di dalam mata James Potter menantang Iris abu Draco. Selama sedetik Draco merasa harus menyambut tantangan itu. Jadi ia menegakan postur yang sedikit direndahkannya tadi. Ia ingin bertemu Harry. Dan melawan intimidasi lelaki ini, yang kebetukan adalah ayah Harry hanya bagian kecil yang harus Draco hadapi.

"Alamat rumah sakit Harry." Draco menjawab dengan nada lantang, mungkin akan terdengar menantang. Namun ia usahakan tak berkesan kurang ajar. "Saya harus bertemu dengannya."

James Potter melihat bara masa muda di iris keabuan itu. Sesuatu mengingatkannya pada masa lalu. Ia pernah memiliki bara seperti ini. Bahkan mungkin lebih besar dari ini. Dengan bara ini di tatapan seorang lelaki, ia bisa melakukan berbagai hal bodoh untuk mendapatkan seseorang yang ia cintai.

Hal – hal bodoh yang kemudian akan Kau sesali.

"Ada urusan apa dengan Harry?"

Pikiran Draco buyar, ia hanya ingin bertemu Harry. Tanpa motif apa-apa, tidak atas dasar apa-apa. Hanya harus bertemu. Keharusan yang menyerupai kewajiban yang tak bisa dibantah oleh Draco. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja saya harus bertemu anak Anda.." sekali lagi Draco dibuat tak berdaya. Setiap kali berhadapan dengan James Potter kemampuannya memanipulasi perkataan dan fakta agar menguntungkan situasinya jadi tak berguna.

Ia akan berkata jujur, sejujur-jujurnya sampai pada taraf Draco merasa bukan ia yang barusan mengatakan apa yang barusan saja telontar dari mulutnya.

"Jika tidak memerlukan apa-apa dari Harry, sebaiknya Kau tidak usah menemuinya lagi."

Draco mengernyit. James Potter cukup berkata bahwa Draco tak perlu menemui Harry saat ini di rumah sakit. Tapi ia malah lebih memilih mengatakan agar Draco tak perlu menemui Harry lagi.

Apa maksudnya ini?

Firasat buruk merayap,"Ibu Harry memergoki kalian berciuman di jalan pulang ke rumah ini pada sabtu sore."James Potter menjelaskan setting itu dengan nada yang begitu datar.

Draco merasa yakin tidak ada siapa-siapa saat itu. Tapi, settingnya benar-benar tepat seperti ketika ia nekat mencium Harry senja itu. Mobil hitam! Draco memutar memorinya.

"Severus Snape.."gumam Draco setelah berfikir ulang, dan sadar bahwa ia merasa familiar dengan mobil itu. Itu mobil kesayangan Severus Snape, ayah baptisnya.

Draco sibuk berfikir dan tak menyadari kemarahan yang Nampak pada raut wajah James Potter. Reaksi dari nama yang barusan saja ia sebutkan.

Kenapa hal konyol ini harus berputar seperti siklus?

"Jangan bilang Kau ini semacam karma yang dikirim si Snivellus itu?"Sinis James Potter. Iris hitamnya memandang merendahkan.

Draco tidak pernah mendapat perlakuan semacam begini sebelumnya. Snivellus? Severus? Ada urusan apa orang ini dengan Snape? "excuse me?"

"Jauhi Harry.."Nada peringatan itu mengembalikan pikiran Draco ke dunia nyata.

James Potter sudah akan menutup pintu jika Draco tidak buru-buru bicara, meskipun dengan tergeragap,"Ti-..Tidak.. Dengar..Kami.. " Draco menggeleng dan berkata dengan mantap."Aku mencintainya."

Lelaki yang jauh lebih tua membiarkan pintu yang baru menutup setengah itu. Memperhatikan ke dalam ceruk gelap mata Draco, dan melihat masih ada bara yang sama di sana. "Kalau begitu Kau harus melupakan Harry.. Jika Kau mencintainya, maka mengakhiri hubungan ini adalah yang terbaik untuk kalian berdua."

Draco menahan pintu yang nyaris tertutup, dengan tergesa kalimat berloncatan tanpa ia fikir terlebih dahulu,"Melupakan Harry? Anda bercanda? Jika bisa dilakukan, jika sanggup saya lakukan.. Saya sudah melakukannya jauh sebelum ini."

Lelaki di balik pintu yang nyaris tertutup mendiamkan kalimat itu. "Apa yang Kau inginkan dari Harry? Kau tidak bisa mendapatkan anak dari hubungan sesama jenis..? Bukankah Kau Malfoy? Kau harus menikah dengan seorang gadis dari keluarga terpandang dan mendapatkan pewaris yang sesuai standart kalian para kaum bangsawan. Bukankah begitu?" Giliran Draco yang diam. Tenaganya berkurang. Namun pintu itu kembali membuka, James Potter menantang Draco untuk menjawab pertanyaannya.

"Ya."sekali lagi yang Draco tak mengerti adalah ketidakmampuannya untuk mengingkari fakta ketika ia berbicara di depan James Potter.

Kacamata James Potter tak menghalangi kesan kemarahan dari sorot mata itu,"Dan lalu apa yang akan Kau lakukan pada Harry? Meninggalkannya begitu saja?"seperti yang kulakukan pada Severus.

"Atau meminta Harry bersabar dan menyuruhnya menonton betapa bahagianya dirimu dengan pernikahan normal sementara Kau mengikatnya sebagai kekasih simpanan?"aku juga pernah melakukan itu dan pada akhirnya aku harus tetap memilih.

Draco tak bisa berkata apa-apa. Dia benar, pikir Draco. Apa yang bisa terjadi di masa depan dengan hubungan sesama jenis yang tak bermasa depan?

Apa yang bisa ia lakukan untuk Harry?

Bukankah tidak mungkin baginya hidup jika tanpa Harry?

Tapi apa yang bisa dia lakukan?

Apa yang bisa ia lakukan untuk menjamin Harry hidup bahagia bersamanya?

Dan adakah hal yang bisa memastikan bahwa dirinya tidak akan meninggalkan Harry suatu saat nanti?

Apa?

Apa?

Draco mengetuki kesadaran terdalamnya. Mencari-cari jawaban di setiap sudut fikirannya. Berusaha mencerna secara keseluruhan nalarnya.

Tapi ia tak menemukan apa-apa. James Potter benar. Selama ia masih seorang Malfoy. Selama ia masih memikirkan tentang hal-hal tentang kebangsawanan dan selama Harry adalah rahasia.

Draco tidak bisa memperjuangkan apa-apa.

"Saya tidak akan melakukan dua hal tadi."nada Draco berubah, ada kemantapan di kekosongan pikirannya kini. "Ada sesuatu dalam hubungan kami yang tidak Anda mengerti. Tidak akan dimengerti oleh seorang pun kecuali kami. Untuk mencintai Harry sampai mati, adalah sebuah keharusan. Saya sempat berfikir untuk mati karena rasa frustasi, tapi sekarang, tidak ada pilhan lain. Saya akan hidup, dan jika saya hidup, itu berarti harus bersama Harry. Saya akan korbankan apapun untuk itu."

"Bahkan nama belakangmu?" James Potter menyambar dengan sepotong pertanyaan berat.

Ditanggapi dingin oleh yang menerima pertanyaan."Bahkan jiwaku, jika perlu.."

"Iblis akan senang mendengar itu.."James Potter tidak senang mendnegar kalimat yang dikatakan pemuda ini.

"Tapi Anda tidak terlihat senang mendengar saya mengatakan itu?"ujar Draco dalam balut seringai penuh percaya diri. Wajah antagonisnya kembali. Aku ketularan sarkasme Harry..

Ouh.. Si sombong yang pintar memutarbalikan kata-kata..James berusaha agar tak menampakan raut terkesannya di depan pemuda berwajah angkuh ini. James Potter tahu seseorang di masa lalu dengan yang memiliki keangkuhan macam begini, wajah miliknya.

"Kau tidak tahu apa yang Kau katakan.."

"Mungkin.."Draco mendesah kecil. "Tapi Saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan Harry kembali."

James Potter menyeringai. Ia menampilkan keangkuhan yang sama yang dimiliki Draco. Dengan level kedewasaan yang lebih tinggi,"Selamat Berjuang kalau begitu.."

Dan suara bantingan pintu.

Begitulah tawar menawar antara dua lelaki itu berakhir.

Tak ada yang mau mengalah. Tak ada yang bisa berkompromi.

Draco menutup mata, lalu menarik nafas, membuang hasil respirasinya itu perlahan-lahan. Apa itu barusan? Pertarungan melawan raja Iblis? Draco tak pernah merasa setegang beberapa detik tadi seumur hidupnya.

Ini sudah bukan permainan lagi. Tidak, dari awal ini memang bukan permainan. Sejak Draco memutuskan mencium Harry di hari kecelakaan itu. Draco sudah menceburkan diri dalam lakon yang tak tertebak akhirnya. Draco bisa saja menjadi romeo yang pada akhirnya mati bersama dengan kekasih tercintanya. Atau Jack yang mengorbankan dirinya agar Rose selamat dari kedinginan laut artik. Tapi tidak, semua kisah itu adalah sandiwara antara lelaki dan perempuan.

Kisah romantis pria dan pria tidak seharusnya berakhir tragis bukan? Draco menyemangati dirinya.

Sejujurnya ia tidak tahu apa yang baru saja dilakukanya. Tapi ketika dengan lamat-lamat ia berjalan menjauhi rumah Harry. Ia tahu apa yang baru saja ia perbuat. Ini langkah pertamanya, sebuah pion catur sudah menyebrang ke daerah lawan. Pemantik sudah menyala, tinggal tunggu waktunya sampai kembang api meledak.

Draco harus bergerak cepat.

Ia harus bertemu Harry secepat mungkin.

Tapi pertama ia harus pulang. Mendatangi orangtuanya, dan meminta restu memang kedengarannya. Tapi Draco harus lebih dulu memastikan bahwa ia tidak akan pernah bisa berbalik.

Jika ia memilih Harry, ia kehilangan segalanya. Draco akan memposisikan dirinya di posisi itu.

Agar sedikit keraguan tak membuatnya berbalik dan meninggalkan Harry.

Bahkan jiwa sekalipun.. ulang pemuda itu.

Draco tak takut apapun lagi.


"Makan sedikit, Harry.."Lily menatapi anak semata wayangnya dengan mata yang membengkak karena tangis. Harry tak tega melihatnya. Tapi ia benar-benar marah pada apa yang baru saja diketahuinya, beberapa hari lalu sebenarnya. Jadi, sebagai gantinya ia tidur membelakangi ibunya sejak tadi. Ok. Bukan tidur. Ia berbaring. Karena jujur saja sejak sabtu lalu ia tidak bisa tidur sama sekali.

Keluarga macam apa sebenarnya ini? Semua kesempurnaan, semua kebahagiaan, terselubung sebuah saput kepalsuan. Dan sialnya ia tidak paham sama sekali ada apa dengan keluarganya. Sampai sabtu sore kemarin.

Rahasia besar Harry dan Draco terbongkar secara tidak sengaja. Dan untuk meyakinkan Harry agar mengakhiri hubungan itu. Lily membongkar rahasia lain yang lebih tak dapat Harry mengerti.

"Kau bukan anak umur 5 tahun kan? Tidak perlu mogok makan dan bicara seperti ini.."Harry lapar. Jujur saja. Dan membuat ibunya memohon seperti ini bukan sesuatu yang biasa Harry lakukan.

Tapi ia benar-benar marah.

Dan kemarahannya cukup meyakinkannya bahwa ia tidak akan mati. Juga selang infuse yang tersambung di pergelangan tangannya tetap memberikan nutrisi. Ia tidak akan mati.

"Asal jangan ada pembicaraan soal amerika."suara Harry terdengar aneh. Itu suara pertamanya sejak dua hari ini. Ia tidak bicara sama sekali. Rasanya, bahkan Harry tak mengenali suara ini.

"Dan membiarkanmu tetap sekolah disana, bermesraan dengan 'anak itu'?"Harry mendnegar desah kecewa dikeluarkan ibunya. Ia tahu ibunya merasa terkhianati, Draco sudah berubah menjadi 'anak itu'. Dari seorang teman baru Harry yang bisa dipercaya menjadi mahluk asing yang mengubah orientasi seksual anaknya ke jalan yang tidak seharusnya.

Harry bisa mendnegar ibunya menarik nafas dana kan melanjutkan bicara ketika tiba-tiba pintu diketuk. Harry berbalik dan menemukan Lily sudah bangkit dan membukakan pintu untuk dokter yang datang memeriksa Harry,"Sudah mau makan?" Harry buru-buru berbalik lagi dan menutup mata serapat mungkin. Ia tahu pura-pura tidur di depan dokter tidak berguna. Tapi yah.. dokter juga tidak bisa memaksa memeriksa pasiennya jika ia tidak ingin diperiksa.

Lily menggeleng lemah. Dokter yang menangani Harry adalah laki-laki berperawakan tambun dan ekspresi ramah yang hangat. Sepertinya dokter yang menyenangkan, jika saja Harry memang benar-benar sakit dan tidak datang ke rumah sakit ini dalam kondisi macam begini, ia pasti senang sekali bertemu dokter yang Nampak ramah. Harry sudah sering berurusan dengan rumah sakit. Asthma(spesialis penyakit dalam), spesialis mata, macam-macam dokter umum, bahkan psikiatri. Yang paling menyenangkan ya dokter giginya, Ayah Hermione.

Ada tarikan nafas. Sejak masuk ke rumah sakit ini dan Harry siuman dari pingsannya, dokter itu sudah beberapa kali dengan sabar berusaha mengajak Harry beinteraksi. Tapi Harry tak meneyrah. Ia mungkin membuka mata dan menuruti semua prosedur pengobatan tapi tidak mau bicara sama sekali.

Itu jelas sama sekali tidak membantu upaya pengobatan. Karena proses penyembuhan membutuhkan kerjasama dari si pasien. Agar dokter tahu persis apa yang terasa sakit, apa yang dikeluhkan, apkah ada obat yang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Tapi Harry benar-benar tidak bicara sama sekali.\

"Mrs. Potter.. Bisa ikut Saya ke Kantor.. Ada yang ingin Saya diskusikan."

Harry mendengar suara pintu ditutup. Ibunya pergi bersama dokter tadi, Harry mengubah posisinya. Ia kini duduk dengan bersandar pada bantalnya. Ruangan privat. Ayah dan ibunya pasti keluar uang banyak untuk keegoisan Harry ini.

Semua orang pasti akan bilang ini sekedar kekalapan masa muda..

Harry membuang nafas lelah. Ia mencintai Draco. Apa yang salah dengan itu? Bahkan jika itu hanya gejolak masa muda? Kenapa harus ditentang begitu habis-habisan jika mereka tahu hal itu tidak akan bertahan lama?

Kelopak mata Harry menutup. Menyelubungi emerladnya yang Nampak letih.

Kembali memutar adegan. Sabtu sore setelah ia membereskan belanjaan yang dibelinya bersama Draco.

"Harry!"pintu membanting, membuka dan menutup dengan suara yang mengagetkan Harry. Ibunya biasanya bukan tipe yang mebuang-buang tenaga untuk sesuatu yang tidak perlu. Dan membanting pintu seperti itu biasanya masuk dalam ketgori membuang-buang tenaga.

Harry yang barusan saja sedang tersenyum-senyum sendiri memandangi kotak pak kondom yang diberikan Draco, buru-buru memasukan kembali kotak persegi itu ke dalam saku celananya. Membiarkan begitu saja ponselnya tergeletak di meja makan, tadinya ia ingin mengirim sebuah pesan singkat. Sedikit ucapan terima kasih pada Draco. Itu penting kan? Memastikan pasanganmu tahu kalau Kau menikmati kencan dengannya hari ini.

Tapi ya bisa nanti. Pokoknya Harry sudah memastikan kotak kondom pemberian Draco tersimpan aman. Ibunya akan bertanya macam-macam jika melihat Harry menimang-nimang kotak semacam itu dengan ekspresi riang.

"Yes, Mum.."Harry keluar dari dapur yang tersambung dengan ruang makan menatap cemas ke wajah Ibunya yang nampak, bagaimana ya menjelaskannya, tidak karu-karuan? Seperti shock karena sesuatu, tapi berusaha diredam, dan ia tersenyum ke arah Harry. Senyum sendu yang sok kuat.

Senyum tidak karu-karuan.

Dan tiba-tiba saja wanita berambut merah menyala itu memeluk Harry."Mum? Ada apa?"Harry dengan sendirinya bertanya-tanya. Ibunya jadi bersikap dramatis sekali.

Apa sesuatu terjadi di acara gerejanya?

Apa ada seorang manula yang meninggal tiba-tiba disana ya? Harry berpraduga macam-macam.

Selama beberapa saat tak ada jawaban. Ibunya hanya memeluk Harry, cukup erat, tapi tak sampai membuat Harry kesulitan bernafas.

Setelah terlewat sekitar 5 menit, ibunya melepaskan pelukan itu. Menatap Harry serius,"Sebaiknya kita duduk."

Harry mengangguk dan mengekor saja pada ibunya yang menuntun pergelangan tangan Harry menuju dapur. Mereka duduk di kursi meja makan. Saling berhadapan.

Setelah menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan ibunya bicara,"Putuskan Draco."

Harry mau tak mau dibuat terhenyak.

Bahkan praduga macam-macamnya tak seliar itu untuk bisa menghubungkan ke kalimat yang baru saja dikatakan ibunya,"Mum tahu soal kami?" Kapan? Bagaimana? Harry ingin bertanya macam-macam tapi ia menunggu terlebih dahulu ibunya menjawab pertanyaan pertama.

"Barusan.. Ibu pulang di antar seorang teman karena mobil ibu mogok lagi. Dan.. mungkin itu sebabnya Kau tidak mengenalinya tadi, karena hanya selewat. Tapi ibu melihatmu berciuman dengan draco di pinggir jalan barusan saja."

Mobil hitam! Pantas saja Harry memiliki firasat buruk melihat mobil tadi.

Ada ibunya di dalamnya. Dia harus bicara apa sekarang?

"Harry, sweetheart, hubungan seperti ini tidak akan bisa bertahan.. Laki-laki tidak bisa hidup bersama laki-laki.. Tidak dengan jalan seperti ini."ada usapan sayang, sebuah sapuan kasih mengalir dari tangan lembut Lily Potter ke puncak kepala Harry. Tapi Harry tidak merasakan apa-apa.

Hanya dingin yang membekukan hatinya.

Kemarin baru saja kata 'akhirnya' mampir di hubungan mereka. Akhirnya mereka bisa jujur pada masing-masing pihak. Akhirnya.. setelah sekian lama dalam ketidakjelasan.

Harry tentu tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak mungkin setelah sekian lama menunggu kata 'akhirnya' ia meng'akhiri' semua perjuangan untuk hubungan ini begitu saja.

"Lalu dengan jalan seperti apa?"Harry kaget dengan suaranya yang keluar begitu saja, tanpa ia pikirkan masak-masak.

"Kalian tidak bisa jadi kekasih. Kalian bisa jadi sekedar teman saja, ya kan?"Ibunya tersenyum sekeras mungkin berusaha terlihat pengertian pada kondisi Harry kini. Tapi Harry tahu ibunya tidak mau mengerti. Di emeraldnya ada tekad, ada sebuah keputusan bulat untuk memisahkan Draco dan Harry.

Lagipula.. Teman?

Sekedar teman? Ya?Sudah berapa lama memang Harry berteman dengan Draco? Sejak awal ia dan pemuda Malfoy itu tidak pernah menjadi teman yang 'normal'. Mereka Cuma kebetulan sekelas, kebetulan Draco menganggap Harry sebagai rival, kebetulan Harry kecelakaan di depan rumah pemuda itu dan dibantu olehnya, kebetulan Draco menciumnya, kebetulan Harry kemudian terlibat berbagai macam urusan dengan Pangeran Malfoy itu, kebetulan Draco seakan tak mau melepaskannya. Kebetulan Harry jatuh cinta padanya. Dan untuk saat ini, kebetulan Draco juga jatuh cinta padanya.

Tidak ada kebetulan mereka berteman.

"Harry.. Dengarkan.. hubungan seperti ini akan ditentang banyak orang. Ini melanggar kodrat. Dan tidak akan bertahan lama.."

"Jika memang tidak akan bertahan lama kenapa tidak biarkan ini berakhir dengan sendirinya? Toh, tidak akan bertahan lama kan?"Harry tidak sadar nada bicaranya yang meninggi di depan ibunya yang dengan senyum lembut berusaha memberikan pengertian padanya.

"Lalu Kau mau bermesraan sesuka hati begitu dengan 'anak itu'? Dan meminta Mum untuk menonton kalian begitu saja?"

Anak itu. Harry tersenyum miris dengan sendirinya. Penilaian berubah begitu cepat ketika hubungan mereka terbongkar. Ada sesak di dada Harry.

Ini baru ibunya. Belum dunia. Belum orang-orang lain di sekitar mereka yang tak begitu kenal siapa mereka. Tapi menilai seenak jidat mereka tentang apa yang benar dan tidak benar bagi Harry dan Draco. Yah.. tapi toh manusia memang begitu.

Mungkin Harry juga begitu.

Tapi kemudian membayangkan Draco yang sebelumnya adalah seorang pangeran yang dipuja-puja.

Apa orang-orang juga kemudian hanya akan mengingat Draco sebagai 'anak itu'?

Ada rasa gentar di hati Harry. Tapi ia ingin bersama Draco. Dan Draco berjanji akan memperjuangkannya. Harry, dan hubungan mereka.

Jadi, ia juga ingin berusaha untuk percaya diri memperjuangkan hubungan mereka. Memperjuangkan Draco. Meskipun Harry mungkin bukan sesuatu yang cukup bernilai untuk diperjuangkan. Namun bagi Draco ia berharga. Cukup itu yang ia ketahui saat ini.

Untuk saat ini, Itu saja yang bisa Harry pegang.

"Pada akhirnya kalian akan berpisah dengan penuh kesakitan. Semakin cepat semakin baik. Jika semakin dalam, Kau hanya akan makin terpuruk Harry."

Mungkin iya.

"Mum pernah melihat ini sebelumnya."untuk kedua kalinya sore itu harry dibuat terhenyak oleh kata-kata ibunya.

Ada senyum miris, sedikit sinis. Milik Lily Potter yang tak pernah Harry lihat sebelumnya. "Ayahmu pernah selingkuh."ujarnya perlahan. Lalu menghela nafas. Lalu tersenyum,"Dengan seorang pria."

Apa maksudnya ini?

Ia tahu, ayahnya mungkin bukan pria paling bertanggung jawab di dunia ini. Tapi Harry tidak pernah membayangkan pada satu saat ia akan mendengar, masalah perselingkuhan yang melibatkan ayahnya dengan seorang pria.

Lily Potter melepas genggaman tangannya pada sang anak,"Mum mengetahui secara tidak sengaja. Waktu itu Mum menerima sepucuk telegram, orang itu bilang jika ayahmu masih ingin menghubunginya. Ia bisa menghubungi nomor telephon yang tertera disitu. Mum biasanya tidak pernah penasaran soal siapa teman ayahmu. Tapi, entahlah. Mum menelpon nomor itu dan yang mengangkat suara seorang pria."

"Lalu dari mana Mum tahu itu selingkuhan Dad?"

Lily Potter memijat pelipisnya pelan,untuk sesaat pandangannya menerawang jauh melewati meja makan. Seperti membiarkan untuk sesaat nalarnya memikirkan kata-kata terbaik untuk diucapkan, lalu ia kembali memandang Harry. "Ayahmu menelpon nomor itu malamnya. Kau tahu nomor rumah kita saling terhubung dulu. Jadi, Mum...hmm.. terlalu penasaran.. Dan mendengarkan pembicaraan mereka melalui telephon di kamar."jeda helaan nafas lagi. Lily Potter jarang sekali terlihat setertekan ini. "Pria di ujung telephon itu bilang ingin mengakhiri hubungan mereka. Ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya dengan ayahmu. Dia bilang bahwa ia terlalu mencintai ayahmu, itu sebabnya, ia tidak ingin menjadi seseorang yang menghancurkan keluarga kita."

Ruangan makan itu hening. Untuk sesaat sinar jingga matahari yang terbenam masuk lewat kisi-kisi jendela. Selama proses bayangan yang makin memanjang, kemudian tersapu gelap malam. Harry memerhatikan ibunya yang memucat masih tidak yakin reaksi seperti apa yang harus ditampilkannya.

"Ayahmu bilang, ia mencintai kita, keluarganya. Tapi ia juga tidak ingin berpisah dengan pria itu. Suara keduanya benar-benar terdengar terluka."Lily Potter menutup mata sesaat. Lalu merapikan ekspresi wajahnya. "Mum menceritakan ini tidak untuk menjelek-jelekan ayahmu. Tapi, Kau mengerti kan? Hubungan seperti itu, biasanya hanya akan menjadi rahasia di masyarakat. Dan Draco seorang Malfoy. Kau paham apa artinya itu kan?"

Harry tersenyum kecut. Ia paham betul hal itu sampai ke sum-sum tulangnya.

Ia benar-benar paham, tidak ada yang lebih paham soal itu dibanding dirinya.

"Mum sama sekali tidak marah pada Dad?"Harry berusaha untuk lebih fokus pada pembicaraan rahasia ini daripada soal 'diskusi' untuk mengakhiri hubungannya dengan Draco.

Emerald Lily menatap putranya teduh. Harry bersyukur bahwa ibunya adalah wanita yang di satu sisi luar biasa penyabar. Dan bahwa meskipun tidak menerima hubungannya dengan Draco ia tidak sampai memaki-maki Draco. Harry tidak tahu apa yang akan ia katakan jika sampai ibunya memaki Draco."Mum kecewa. Sangat. Tapi kemudian sesuatu terjadi pada keluarga kita, dan hal itu lebih berdampak pada Mum daripada ketidaksetiaan Ayahmu.."

Harry memiringkan kepalanya sedikit. Memeriksa ekspresi wajah ibunya dengan seksama. 'sesuatu terjadi', katanya. Myrtle? "Kejadian ini .. apakah waktunya dekat dengan meninggalnya Myrtle?" dengan nada setengah ingin tahu setengah tak yakin pertanyaan itu terlontar dari mulut Harry.

"Besoknya Myrtle kecelakaan. Hari itu Mum terlambat menjemput Myrtle karena menguntit ayahmu ke tempat pertemuan dengan selingkuhannya. 2 hari kemudian, Myrtle tidak terselamatkan."Lily Potter berusaha menarik senyum, tapi dengan cepat menumpul. ekspresinya bertahan pada kesedihan kentara yang gagal ditutupi sama sekali.

Di satu sisi, bagi Harry. ini adalah asosiasi paling mengerikan yang pernah didengarnya. Takdir yang kejam untuk keluarganya.

Tunggu dulu.. Harry merasa kepalanya pening. Dipaksa menerima berbagai informasi tak mengenakan ini sekaligus mulai berdampak pada psikis Harry. "Maksud Mum.. Mum bukan terlambat menjemut Myrtle karena aku sakit di rumah hari itu?"ada yang salah, pikir Harry dengan kepala peningnya.

Lily Potter diam sejenak. Mengalihkan pandangannya pada banyak hal, untuk menghindari mata anaknya."Ada beberapa faktor.. Ya. Kau sakit hari itu. Tapi Mum yang lebih bersalah, seharusnya Mum tak perlu.."Lily menggeleng,"Sorry.. Kita melantur terlalu jauh.."

"Dad tahu soal ini? Kalian membicarakannya?"Harry perlu tahu, apa urusan sebesar ini- yang disembunyikan darinya secara rapi selama bertahun-tahun- adalah hasil kongkalikong resmi anatara ayah dan ibu Harry?

Jika begitu, ini bukan penipuan lagi. Ini cuci bersih fakta dari memori.

Lily Potter Nampak gelisah,"Tidak. Ayahmu tidak perlu tahu." Ini jawaban yang lebih buruk lagi. Harry rasanya berhenti mendnegar detak jantungnya tadi. buru-buru ia mneraik nafas dalam, sebelum penyakit sialannya kumat.

Harry memundurkan kursinya. Untuk sesaat ia ragu, tapi kemudian ia bangkit berdiri. Ada sesuatu yang salah. "Dad tidak tahu kalau Mum tahu? Kalian menjalani hubungan macam apa?"Harry meninggi nada suaranya. Ia berusaha mengendalikan kecamuk badai perasaannya.

Tapi tidak bisa. Ayahnya mengkhianati ibunya. Ibunya tahu ia dikhianati. Myrtle menjadi korban ketidaksetiaan ini. Harry menyalahkan dirinya bertahun-tahun atas kematian Myrtle.

Harry tahu ia sakit hari itu.

Ia tahu ibunya harus menjemput Myrtle hari itu.

Tapi ia bersikap manja dan menghambat ibunya.

Dan kemudian, yang Harry tahu Myrtle tidak pernah pulang.

Harry melakukan apa saja untuk menebus kesalahan ini. Tapi ia tidak tahu bagian kecil ini.

Ini bukan salahnya. Ya , baiklah. Memang bukan salah siapa-siapa. Itu kecelakaan. Myrtle yang tidak sabaran dan terlalu mandiri berfikir untuk pulang sendiri dan menyebrang sembarangan. Sebuah truk yang kebetulan tak terkendali dengan baik menbarkanya.

Harry tidak ingat bagaimana tepatnya kejadiannya.

Tapi Harry membaca semua artikel tentang itu. Ketika ia cukup umur ia mencari tahu semua informasi dan menyimpulkan kebenaran. Bahwa, ia memang punya andil dalam kematian kakaknya.

Dan kini semua hipotesis yang mendasari keyakinan atas penghukuman dirinya dalam kesepian. Ditepis begitu saja.

"Ok. Sorry.. Mum terlalu kalut, seharusnya Mum tidak cerita. Duduk Harry, Mum belum selesai."

"Kenapa harus kalut?"Harry masih kukuh berdiri. "Ini hanya sebuah perasaan di masa muda yang tidak akan bertahan lama kan?"Harry menggunakan nada sarkastik di kalimatnya.

"Harry.. Kau tidak menegrti.."

"Mum!"emosi Harry meluap. Ombak emosinya mencapai ketinggian maksimal. Harry tak lagi bisa mengendalikannya. "Aku tidak mengerti? Apa Mum mengerti apa yang Dad lakukan? Dad mengkhianati Mum.. dan tanpa permintaan maaf, tanpa ada pembicaraan apapun kalian bertingkah seolah sebagai pasangan paling bahagia di dunia ini. Bukankah itu sebuah kepalsuan?"

Lily Potter berusaha mengendalikan emosinya yang juga nyaris tak bisa ia tahan. Ia menggigit bibirnya kecil, lalu mulai bicara," Dan Kau ingin bilang kalau hubunganmu dengan Draco jauh lebih tulus? Begitu?"

Harry dibuat terdiam. Lily melanjutkan,"Siapa yang sudah kalian beritahu soal hubungan kalian? Kalian berhubungans embunyi-sembunyi karena tahu dunia tidak akan menyukai kalian. Kalian bertingkahs eperti teman karib tapi bercumbu di belakang semua orang, katakana mana yang lebih palsu?"

Harry menggeleng,"entahlah.. Tapi setidaknya, jika aku tahu Draco mengkhianatiku… Aku ingin tahu apa alasannya. Aku ingin tahu apa kami bisa melanjutkan hubungan dengan kejujuran. Bahwa kami saling belajar, sama-sama menjadi lebih dewasa. Bukankah begitu seharusnya sebuah hubungan berjalan? Saling mengerti, tapi bukan berarti sekedar kompromi basa-basi?"

Lalu tiba-tiba saja pipi Harry memerah. Panas. Sebuah tamparan barusan saja mendarat. Harry tidak melihatnya datang. Lily berdiri entah sejah kapan. Menampar anak kesayangannya.

Satu-satunya yang tersisa.

Harry tersenyum kecut. Ia tidak ingin mengusap pipinya yang terasa panas bekas tamparan,"Apa memberiku baju-baju Myrtle adalah usaha untuk membuat Dad semakin merasa bersalah? Apa aku dikorbankan untuk memastikan Dad tak akan pernah lagi berkhianat pada Mum?"ujar harry. nadanya bukan lagi sarkasme. Tapi ejekan telak yang tak bisa lagi diterima Lily.

Maka pipi Harry sekali lagi memanas. Tamparan kencang di pipi yang sama, pipi kiri. Harry meringis kecil. "MASUK KAMARMU!"

Harry memelototi ibunya. Sepasang emerald yang beradu kemarahan dengan emerald yang mengandung tak pernah merasa sekecewa ini seumur hidunya. Ia tak pernah merasa semarah ini. Dan kenyataan bahwa ibunya yang amat dicintainyalah sumber kekecewaan terbesar itu, memberikan shock tersendiri bagi Harry.

Harry berbalik dan dengan langkah-langkah berderap. Menuansakan kemarahan, Harry kemudian membanting pintu kamarnya.

Melupakan ponselnya di meja makan. Dan mengabaikan tangis ibunya yang tak terelakan.

"Haaah.."Harry melepaskan karbondioksida yang membebani paru-parunya. Setelah itu ia kemudian menolak makan. Dan pada malam minggu musim panas tetap saja udara London membuat mengigil. Dengan kondisi lemah, mudah sekali bagi asthma Harry untuk kumat. Dan benar saja, besok paginya Harry siuman di ranjang rumah sakit.

"Kenapa sampai lupa soal ponsel sih?!"Harry mengacak rambut yang tatanannya sudah tak karu-karuan sejak tadi. Ia jadi tak bisa menghubungi Draco.

Tidak, ia tidak bisa menghubungi siapapun akibatnya.

Ia biasanya cukup kuat untuk menahan segala keperihan sendiri. Tapi kali ini tidak.

Kenyataan bahwa kedua orangnya saling menyimpan rahasia satu sama lain. Kebenaran bahwa keterguncangan Lily hingga mendadaninya seperti Myrtle tak sepenuhnya keterguncangan, ada itikad balas dendam di dalamnya. Kenyataan bahwa rasa bersalah tak berdasar milik Harry atas kematian Myrtle, ternyata benar -benar tak berdasar. Kenyataan bahwa keluarganya telah hancur jauh sebelum Myrtle meninggal, dan fikiran bahwa kematian Myrtle, jika dilihat dari sisi yang berbeda, ada syarat yang diminta kehidupan agar kedua orang tua Harry berdamai dengan rahasia masing-masing.

Kembali membangun keluarga kecil mereka lagi.

Tapi keluarga ini tetap dibangun di atas puing-puing pecahan kaca. Retakannya terllau jelas untuk emnyembunyikan kerapuhannya.

Ya, bahwa hal-hal yang berharga bagi manusia adalah hal-hal yang paling mudah dihancurkan.

Tapi ketika menghadapi kenyataannya di depan mata, bahwa fondasi keluarganya adalah fondasi terapuh yang pernah diketahuinya.

Harry tak bisa melakukan hal lain selain marah.

Marah pada segala hal. Marah pada situasi, marah pada ayahnya, marah pada ibunya, marah pada dirinya. Ia bahkan sempat terlintas untuk marah pada Myrtle, kakaknya yang pecicilan dan terlalu mandiri. Jika ia tidak terlalu berani. Mungkin tertabrak dan mati konyol begini.

Dan Harry dibuat membenci dirinya sendiri ketika menyadrai betapa piciknya pikirannya, sampai-sampai ia mampu menyalahkan Myrtle.

Harry menarik nafas. Menyisir ke belakang surai rambut hitamnya. Berusaha merapikan penampilannya. Berusaha meata pikirannya. Ia melayangkan pandangan ke segala arah. Di luar jendela ia bisa melihat gedung-gedung tinggi. Jauh di luar sana ia bisa melihat menara Big Ben.

Ini rumah sakit yang sama dengan rumah sakit Mr. Granger? Harry kira, ia dibawa ke rumah sekit dekat rumahnya. Ternyata ia dibawa jauh-jauh ke rumah sakit ini. Harry mulai memutar otak, ia ingin bicara dengan seorang sahabatnya, atau siapapun. Mungkin jika ia keluar sekarang, Mr. Granger masih ada di ruang praktiknya. Dan ia bisa minta dokter baik hati itu untuk bicara dengan anaknya melalui ponsel pribadinya. Tapi jika ia terlambat kembali dan ibunya panic karena ia tak ada di ruangan ini.

Ibunya pasti akan memancing keributan.

Harry tak ingin ibunya terlibat masalah.

Harry mengerti keadaan ibunya, bahwa wanita itu terguncang soal Harry yang berhubungan dengan sesama lelaki juga. Setelah ia pernah punya pengalaman tak menyenangkan dengan hal tersebut—red. Perselingkuhan ayahnya—. Lily Potter, diluar bahwa hubungan sesama jenis memang memiliki konsekuensi tersendiri, jelas merasa memiliki kecenderungan untuk menentang hubungan Harry dan Draco yang mengingatkan Ibunya pada pengkhianatan Ayahnya.

Siapa pria yang bisa menggoda ayahku untuk berkhianat?Harry berfikir keras. Entah ibunya tahu atau tidak. Mungkin tidak tahu, karena ketika bercerita kemarin ibunya tak menyebutkan identitas pria itu. Atau mungkin tidak ingin Harry tahu. Siapa? Apa Sirius tahu? Remus mungkin tahu siapa orang ini.. Harry dibuat penasaran setengah mati.

Ia marah pada orang itu. Entah siapapun dia, seseorang yang datang dan mengacak-acak keharmonisan keluarganya.

Harry menyentuh pelipisnya, dan memijitnya pelan. Ia menoleh ke beberapa arah. Ruangan yang cukup menyenangkan sebenarnya. Catnya biru pastel, ada aksen gelombang di dinding bagian bawah dicat dengan warna biru dongker. Ada sebuah TV, sofa untuk yang menunggui pasien. Meja kecil di kanan-kiri tempat tidur Harry kini. Gorden putih yang bergerak gemulai dibuai angin sore. Langit di luar masih nampak cerah.

Draco pasti sedang latihan sepakbola atau sudah selesai ya?. Harry tersenyum pada langit. Melirik jam. Lalu menoleh sedikit ke sebelah kiri. Di atas meja kecil di sampingnya ada sebuket buah-buahan dan beberapa tumpukan obat, dan tas ibu Harry.

Harry tiba-tiba saja menyadari sesuatu. Lalu menyeringai kecil. Ia meraih tas kulit ibunya yang cukup besar. Tas jinjing yang manis, kulit asli, warna cokelatnya masih terawatt baik. Tapi perduli apa Harry soal kualitas kulit tas itu. Jika ia beruntung, dan hanya jika ia cukup beruntung, ibunya akan lupa meninggalkan ponselnya di tasnya.

Dan jika iya,"Waw!"punggung tangan Harry menubruk sesuatu di dalam sana. Sesuatu yang ia curigai sebagai benda yang ia cari. Harry mengubah posisi tangannya dan meraih benda itu. "There you are.." Harry tak bisa menahan dirinya untuk tidak sedikit mengeluarkan suara tawa, yang entah bagaimana terdengar jahat. Kenyataan bahwa betapa bodohnya dia tidak menyadari keberadaan tas ibunya.

Dan bahwa betapa cerobohnya ibunya meninggalkan ponsel ini begitu saja. Ouh ya, mungkin pada dasarnya ibunya memang tidak begitu berniat untuk mengasingkan Harry dari dunia luar. Mungkin saja begitu, Harry memikirkan kemungkinan itu untuk sesaat. Tapi harry yang curi-curi dengar pada telephon ibunya kemarin pagi ke rumah Ron jelas sekali ibunya tidak ingin memberitahu dimana Harry berada, bahkan pada Ron sekalipun.

Ia tidak ingin memberikan celah agar Harry bisa berhubungan dengan Draco.

Tapi kemudian Mum lupa soal ponselnya.. Harry berkesimpulan untuk sesaat, hidupnya terlalu gila untuk dituliskan menjadi sebuah cerita.

Harry mengingat betul angka apa saja yang harus ditekan untuk memanggil Draco. Setelah ragu sesaat, ia memencet angka-angka itu dan mendekatkan ponsel sederhana ibunya ke telinganya. Detak jantungnya tidak karuan, ia memelototi pintu masuk ruangannya dengan tegang. Berharap ibunya masih cukup lama berada di ruangan dokternya.

Beberapa nada abstrak yang menyebalkan. Bunyi-bunyi yang terdengar ketika kau menunggu seseorang di ujung sana mengangkat panggilanmu. Lama, sampai satu kali panggilan akhirnya habis, Draco tak menjawab.

Apa masih latihan? Seharusnya mereka sudah ada di ruang loker dan membersihkan diri, ini sudah hampir jam 5 sore.

Harry berfikir, mungkin sebaiknya ia menelpon Ron, biasanya Hermione akan memegang ponsel dan dompet Ron. Jaga-jaga setelah waktu itu ada 'entah siapa'—meskipun kemungkinan besar Harry tahu siapa— yang menjahili Ron dan menyembunyikan dua benda berhaga itu di gudang penyimpanan.

Tidak, aku ingin mendengar suara Draco.

Harry tahu egoisme pikirannya tidak akan membantu. Akan lebih masuk akal jika ia menelpon nomor Ron, Hermione menjawab, dan Harry bisa memberitahukan dimana ia berada sekarang. Dan meminta gadis itu meberitahukannya pada Draco. Selesai. Kemungkinan keberhasilannya lebih besar.

Tapi Harry masih ingin mencoba instingnya.

Ayolah.. Harry bisa mendengar suara berbisik yang tak sadar dikeluarkan mulutnya.

Come on Draco..menekan tombol, menelpon sekali lagi. Ini sudah kesempatan ketiga.

Ada keringat dingin meluncuri keningnya.

Draco…Please..

Masih dering menyebalkan di ujung sana. Draco..


Verklärte Nacht

Atau transfigured night op.4. for string orchestra.

Masih setia, Draco memutar stasiun radio yang sama. Komposisi yang tengah dimainkan kini adalah milik Arnold Schoenberg. Komposisi untuk string sextet, artinya dimainkan oleh dua biola, dua biola alto dan dua cello. Sebuah lagu tentang seorang lelaki yang berjalan bersama seorang wanita, di sebuah hutan gelap, di malam bulan purnama. Lalu si wanita membuat pengakuan, bahwa ia mengandung bayi dari pria lain. Ia mengakui dosa. Dan si lelaki mengakui cinta, ia tak peduli. Karena ia mencintai wanita itu.

Cerita romantis, pikir Draco setelah setengah komposisi itu mengalun melewati telinganya.

Draco mengendarai mobil Blaise seberadab yang ia bisa. Ia pastikan mobil itu tidak tergores sedikit pun meski kini ia sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas sore hari kota London. Dari rumah harry, ia –entah mengapa- merasa harus mengunjungi gedung orkestranya yang memang ada di kawasan padat. Barbican arts center. Masih berdiri seperti biasa, megah dan klasik di tengah kepadatan kota London yang mulai terdegradasi modernitas.

Volume radio Draco putar sampai maksimal. Karena tak bergerak, Draco sempat beberapa kali menutup mata dan membayangkan cello di tangannya.

Ia mendengar suara biola alto. Setelah mengingat sesaat, ia belum pernah mencoba memainkan 'anak tengah'-suaranya lebih rendah dari biola tapi tak sedalam suara cello- dalam keluarga biola itu. Mungkin rabu malam nanti saat jadwal latihan ia akan meminjam sebuah biola alto dan minta diajari cara memainkannya, walau mungkin tak beda jauh dengan biola. Ada bunyi klakson tak sabar yang menghancurkan harmoni lembut yang tengah Draco dengar.

Ternyata mobil di depan sudah jalan, Draco terlalu lama menutup mata. Cuma maju setengah meter sebenarnya.

Setelah perlahan mengisi kekosongan setengah meter itu. Draco menyadari ada bunyi lain yang mengganggu harmoni yang tengah di dengarnya. Suara menyeringai kecil, handphone. Ketika ia menyadarinya dan mulai mengorek isi tasnya. Bunyi klakson lagi. Maju sekitar satu meter. Baru kemudian Draco kembali mencari dimana keberadaan benda telkomunikasi kecilnya.

Dan sudah tidak berbunyi. Ada 2 missedcall. Dan nomornya tak tersimpan di kontak ponsel pemuda blondie itu. Tapi rasanya Draco pernah melihat nomor itu. Salah satu kartu nama tidak penting yang diberikan kolega ayahnya padanya,mungkin. Tapi biasanya Draco tak pernah memberikan balik nomor pribadinya.

Ponselnya bergetar lagi. Nomor yang sama. Draco ragu menjawab.

Siapa? Pikiran Draco masih kacau. Itu alasan mengapa ia memilih memenuhi mobil Blaise dengan alunan music klasik. Biasanya di mobil seperti ini Draco lebih suka menyetir dalam keheningan. Tapi pikiran kacaunya akan semakin tidak terkendali jika tak didistrak oleh apapun.

Setelah menatapi nomor itu selama dua detik.

Draco berkata masa bodoh dalam hati. Dan mengangkatnya.

"Malfoy! Ferret! Kenapa lama sekali jawabnya?"meskipun yang pertama kali muncul adalah kalimat protes. Tapi Draco bisa mendengar nafas lega.

Harry..

Selama sedetik penuh Draco tak merasakan nafasnya. Harry?

Draco berusaha mengendalikan diri dan mulai menjawab dengan nada tengil,"Wow..Easy,Potter.."

Draco tahu ia gagal, suaranya terdengar menjawab dengan nada riang yang tak bisa ditutupi berkesan luar biasa lega. "Kemana saja, Potter?"Draco sengaja memainkan nada di kata potter seperti dulu ketika ia terbiasa memanggil pemuda berkacamata bundar itu begitu untuk mulai mengejek Harry di koridor.

Dengan mendengar suara pemuda ini saja, rasanya kondisi tubuh Draco sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Draco tidak mengerti kenapa ia jadi hiperbolis seperti ini. Seseorang tidak pernah berkata apapun jika 'jatuh' ke dalam cinta bisa sedalam ini. 'jatuh' yang tentu sakit, tapi menyenangkan untuk diulang berkali-kali.

Sebelum menjawab ada kekehan ringan dari Harry,"Asthma kumat, sesuatu terjadi, ibuku tahu soal kita. Dan yah.. begitulah.. Aku berakhir di rumah sakit."

Draco tertawa kecil, nada melecehkannya bisa dengan mudah didengar seseorang di ujung telepon sana,"Kau harus memperbaiki plot ceritamu itu, Anak muda.."

Tapi kali ini sepertinya Harry terlalu bahagia untuk sekedar tersinggung dengan nada melecehkan Draco,"Yah.. kau benar.. membosankan ya?"

Draco tak segera menjawab. Helaan nafas mereka menyatu, terdengar mengalun bersama dengan transfigured night yang memasuki akhir simfoni. "Kau sedang dimana?"Harry memutuskan untuk menanyakan hal lain.

"Di mobil.. baru mau pulang."Draco tahu seharusnya ia segera bertanya dimana rumah sakit tempat Harry dirawat. Dengan begitu ia bisa bergegas pergi kesana dan urgensi untuk bertemu dengan Harry akan padam.

Tapi suara pemuda itu melumpuhkan logika Draco. Ia tidak ingin bertanya macam-macam. Draco bisa merasakan Harry baru saja melewati saat yang luar biasa berat. Ada getar luka di desah nafasnya. "Sedang dengar music klasik?"

"Ya.."

"Apa judulnya?"

"Transfigured night karya Arnold Schoenberg.."Draco bisa mendengar Harry menggumam mengiyakan.

"Ada cerita apa dibalik lagu ini?"

Draco terkekeh kecil."Tumben tertarik pada music klasik?" mau tidak mau, Draco tak tahan untuk menggoda Harry dengan fakta itu.

"Itu bagian darimu, aku harus mulai menyukainya."jawaban Harry keluar cepat. Bisa dipastikan tak ada waktu sesaatpun untuk berfikir ulang. Ok.. Itu tidak fair Harry.. Jangan tiba-tiba berubah menjadi pemuda yang bersikap manis seperti ini.. Draco menginjak pedal gas perlahan, sambil mengisi kekosongan setengah meter di depannya. Draco berusaha mengabaikan pipinya yang terasa bersemu merah.

"Tentang apa Draco?"Harry terdengar mendesak.

"Ini terinspirasi dari puisi Richard Dahmel, tentang seorang wnaita yang membuat pengakuan pada kekasihnya bahwa ia tengah mengandung anak pria lain sebelum ia bertemu kekasihnya itu. Dan karena itu ia berdosa."Draco bercerita. Balutan suara dalamnya mengesankan suasana yang penuh keharuan.

"Dan apa kekasihnya menerima keadaan si wanita?"

"Ya."

"Siapa nama anaknya?"Draco mengernyit. Pertanyaan apalagi ini?

"Tidak diceritakan sejauh itu."setelah dipikir Draco lupa menceritakan setting puisi itu. Itu hanya sebuah perjalanan singkat di hutan gelap pada suatu malam purnama. Jadi, yah.. Harry memang aneh, jadi kemungkinan ia bertanya tentang hal-hal yang terdengar tidak berhubungan masuk akal juga.

"Ouh.. Kalau Kau punya anak, ingin Kau namai apa?"suara Harry terdengar jernih. Sedari tadi pertanyaan yang keluar dari bibirnya terdengar tidak beraturan. Seperti berondong jagung yang berlompatan ricuh ketika dimasak.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal nama anak? Kau masuk rumah sakit karena asthma kan? Bukan karena kehamilan yang lemah kan?"Draco bertanya dengan nada serius.

Harry terbahak di ujung telephon,"Sialan.."ujarnya setelah tawa sesaatnya mereda. "Aku pria tulen. Maaf menghancurkan harapanmu soal memiliki anak.."nada datarnya terdengar dibuat-buat. Draco tahu sebenarnya kalimat itu akan keluar dengan nada yang lebih pesimistis lagi. Tapi Harry berusaha menahannya agar terdengar lebih optimisitis.

Draco jadi dibuat merasa bersalah.

"Scorpius."Draco berujar tiba-tiba.

"Apa?"

"Menurutku itu nama yang bagus."

"Scorpius? Maksudmu serangga beracun yang hidup di padang pasir? Aku tidak ingin punya anak dengan nama mengerikan seperti itu.."Harry berujar, seperti biasa terkesan sekali mencari keributan dengan Draco.

Pemuda di ujung lain telephon terkekeh melecehkan,"Pertama, scorpion itu bukan serangga. Mereka memang sama-sama masuk filum arthopoda tapi bukan termasuk insect, ok? Kedua mereka tidak hanya ada di padang pasir. Dan ketiga, aku menyukai nama itu karna scorpion adalah mahluk cerdik yang menggunakan bisa yang dimilikinya secara strategis."

"Ok..ok.."Harry terkekeh mendengar ceramah tentang biologi dari Draco. "Scorpius ya? Itu nama konstelasi kan? Salah satu lambang zodiac kalau aku tidak salah ada di quadran SQ3.. Di dekat pusat milky way.."

Harry bisa merasakan Draco terbengong-bengong untuk sesaat,"Aku tidak bermaksud membuatmu bingung, Malfoy.."sindir Harry. Draco tidak mendengar suara sesaat, sepertinya Harry tengah memikirkan kalimat untuk memperbaiki atmosfer, "Sepertinya keluargamu punya kebiasaan menamai anak dari nama konstelasi..?" kalimat tanya itu yang akhirnya Harry dapatkan.

Ada nafas pendek Draco, lalu pemuda itu bicara,"Ya.. dari keluarga ibuku.." Draco menatap dashboard mobil Blaise, lalu kembali memandang ke depan,"Harry, Dengar.. Aku akan bicara pada orangtuaku soal kita."Draco mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun.

Draco untuk sesaat bisa mendengar suara keterhenyakan,ia membayang kan wajah Harry mendadak membatu. Terkejut dengan kalimat yang ia dengar barusan,"Draco!" suara Harry muncul tiba-tiba setelah keheningan sesaat. Harry menggumam tidak jelas selama beberapa detik,"Orangtuaku saja menentang habis-habisan. Mereka bahkan berencana membawaku ke Amerika. Bahkan ibuku yang tidak pernah setuju untuk pindah mengikuti tempat kerja Dad, terburu-buru mengusulkan kepindahan kami. Apa Kau mengerti yang akan Kau lakukan?!"

Draco menghela nafas dalam,"Aku harus bicara. Bagaimanapun juga, mereka orangtuaku. Aku ingin mereka tahu siapa pemuda yang kucintai. Aku hanya berfikir bahwa, setidaknya sekedar mereka tahu. Aku tak berfikir soal restu atau mengharapkan dukungan, macam apapun itu."

"Draco.."namanya keluar dari bibir pemuda itu dengan putus asa dan gelisah. Draco tersenyum untuk beberapa saat mendengarnya.

"Kau di rumah sakit mana?" Draco berusaha mengalihkan kekhawatiran Harry. Meskipun hanya sesaat.

Setelah desah tanpa asa, Harry menjawab,"Rumah sakit yang sama yang kau kecelakaan waktu itu."Harry merasakan gendang telinganya bergetar kecil mendengar gumaman mengiyakan Draco.

"Ayahmu bilang kondisimu sudah baik, lusa Kau sudah akan keluar dari sana."si pemuda blondie meninggikan sedikit titian nada bicaranya. Sedikit upaya agar riang suasana.

"Sebenarnya sore ini mau pulang pun bisa saja.."Harry menjawab cepat. Terdengar cukup yakin soal kondisi fisiknya, Draco jadi bertambah lega mendengarnya. Berarti kondisi Harry tak seburuk yang Draco kira.

Draco tersenyum pada jalanan padat di depannya. Mobilnya masih belum bergerak lagi sejak tadi. Tidak sesenti pun. "Jika pembicaraan dengan orangtuaku tidak berjalan lancar. Aku akan menemuimu besok pagi." Harry terdengar telah tenang nafasnya di ujung sana. Draco melanjutkan,"Jika aku ada disana besok pagi.."Draco sekali lagi menggantung kalimatnya. "itu artinya aku bukan Malfoy lagi.."

Hening beberapa mili detik.

"Apa maksudnya itu?"suara nafas Harry terdengar tersentak lagi. Suara yang seperti berhamburan, keluar entah darimana setelah sebelumnya nyaris tak ada getar suara apa-apa.

Draco tersenyum tampan, pada antrian mobil-mobil yang tak bergerak,"Harry.. Apa Kau bersedia meninggalkan semuanya jika aku memintanya? Karena aku sudah putuskan, tanpa Kau minta pun, aku akan tinggalkan segalanya untukmu." Draco yakin ia sudha memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya barusan sarat makna. Ia paham dan siap mengimplementasikannya.

Ia hanya butuh satu kata 'Ya' dari pemuda yang berarti segalanya baginya.

"Maksudmu.. Kita pergi meninggalkan London?"Draco terkikik sekali, Harry tetap pemuda yang sama. Si menyebalkan yang kelewat rasional dan memastikan bahwa apa yang akan dilakukannya masuk akal. Bahkan ketika ia berurusan dengan cintanya pada Draco yang tak bisa diterima oleh akal.

"lebih tepatnya..Kita meninggalkan kehidupan kita." Aku harus berani,Draco berujar dalam hati. Ia akan merobek semua kertas usang berisi ekspektasi yang bertumpuk di pundaknya

"Apa Kau yakin?"Harry tidak bertanya dengan nada tak yakin untuk dirinya. Harry bertanya dengan nada meyakinkan, dengan nada yang menguji tekad yang Draco punya.

" Selama Kau yakin padaku.."lalu Draco menghapus senyumnya. Membuat ponselnya lebih dekat ke bibirnya. "I love you.."

Hening selama beberapa saat. Draco mendengar isak. Harry mennagis dan terisak. Harry bahkan tak terisak ketika ia menangis untuk mendiang kakaknya. Draco ingat malam itu, ketika pertama kalinya mereka bicara berdua tentang sesuatu yang lebih dalam, di luar hal-hal konyol dan pertengkaran tak penting mereka. Draco ingin memeluk Harry saat itu, begitu pula saat ini. Menepuk pundaknya dan mengecup keningnya.

"Jangan cengeng, Jagoan.."Draco berujar sok asik. Harry terkekeh kecil dalam isakannya.

Lalu terdengar tarikan nafas. Isakan itu menghilang.

"I Love you, too.. I'll be waiting.."setelah itu telephon terputus.

Pemuda itu menatap ke kejauhan. Jauh melewati mobil-mobil yang berderet mengantri giliran terbebas dari kemacetan. Jauh, melampaui kesibukan kota London. Jauh, melewati seluruh pelosok inggris. Draco memandang sangat jauh, hingga ia bisa merasakan kegelapan hutan Jerman meskipun purnama, meresapi suasana yang digambarkan gesekan orchestra biola yang tengah berputar di radio itu. Draco bisa merasakan titian nada yang sempat menimbulkan kontroversi. Ini adalah sebuah karya revolusioner di awal abad 20.

Tapi jauh dari itu, Draco merasa sedang berjalan di hutan gelap yang sunyi.

Menyaksikan sepasang kekasih yang saling menerima. Dosa masa lalu sang wanita diampuni dengan mudah karena cinta.

Draco menutup mata. Merasakan penerimaan yang begitu rendah hati dari sang pria. Musik mengalun semakin 'cerah'.

Kemudian di hutan gelap, di malam bulan purnama itu, ada sosok Harry di sampingnya. Menangis dan terisak, merasa lega atas cinta yang Draco berikan.

Draco menggumamkan bagian akhir puisi Dahmel yang menginspirasi musik ini.

" Their breath embraces in the people walk on through the high, bright night."


TBC

A/N: Terlambat 4 hari lagi..*nguknguk *gelundungan

Maaf saudara-saudara sebangsa dan seperjuangan..hehe.. Hallo readers budiman.. So? Gimana part ini? Mereka akan berliku perjalanannya? Ya, lihatlah sendiri.. seperti biasa, mohon maaf bila ada typo..saya sudah periksa dan berusaha seteliti mungkin ketika mengetik. Terus apa lagi ya? Rasanya part ini saya klasik mode on… Sambil ngetik part ini saya muter beberapa kali moonlight sonatanya Bethoven. Asli kerasa feelnya.. kalau mau kalian bisa cari di youtube juga, banyak versinya..-_-v

Draco, yang saya buat sejujurnya makin out of character mungkin.. Sepanjang saya nonton Harry Potter seinget saya dia adalah tokoh pengganggu yang bisa jadi luar biasa pengecut dan menjengkelkan. But, di HP 6 kita melihat transfigurasi dia sebagai seorang pemegang tanggung jawab atas kelangsungan keluarganya. Saya jatuh cinta pada tokoh itu kayanya. Tapi disini dia lebih mentingin Harry-yah walau sebelumnya dia udah struggling galau antara kaluarga sama cintanya— tapi tokoh Draco yang asli kayaknya ga akan pernah mentingin hal lain selain martabat keluarganya. Mudah-mudahan kalian bisa nerima perubahan karakter Draco yang ada di astronaut sejauh ini.

Apa lagi ya? Ok.. saya janji balesin review satu-satu ya..hehe

Fili Finaly : Saya juga ga ngerti-ngerti banget urusan cinta sebenernya. Jadi ini perjuangan keras buat ngerti gimana perasaan Harry dan Draco ngehadapin hubungan ini. Asli ini usaha keras, ngebayangin perasaan sebagai Harry yang seorang pemikir dan rasionalis cenderung pesimistis pada segala hal buat menghadapi kisah cinta dia sama Draco, yang produk cetakan keluarga ningrat.. makin kesini saya berusaha buat bikin Draco makin dewasa dan bisa makin tegas sama perasaannya. Sedikit-sedikit sih.. hehe

Duh.. sayangnya Lily saya buat harus misahin mereka,haha.. *ketawa jahanam* Yah, pokoknya ini bakal panjanglah cerita lika-liku mereka.. terus baca dan review ya.. Thanks..:)

Aiko Michishige :Ok ini udah lanjut.. Makasih udah baca dan review ya..:) *sorry ga tau harus ngomong apa lagi..hehe Tapi asli makasih..:)

Park Chanseul 1: Makasih buat pujiannya.. sebenernya setelah dicek typo tetep bertebaran dimana-mana.. *maafin..*Sorry ya selalu bikin nunggu lama.. duh mana ini telat 4 hari lagi.. kena flu sih soalnya.. beberapa hari ga bisa nengok laptop sama sekali *curcol*

Kemana aja ga tahu kalau ffn bisa login pake akun socmed?:p.. saya aja bikin ini pake akun fb.. biar ga ribet,hehe Makasih buat reviewnya ya..:)

Meyla Rahma..: Hallo neng Mey..haha tak apeu baru nongol.. da ini kan ff bacaan pelepas penat aja..hihi Makasih bgt udah nyempetin mampir..

Untuk chap 12 emang sengaja rada dibikin mellow setelah part 11nya naik turunin emosi,hehe.. kayaknya situ pingin banget ya saya bikin Draco menderita? Duh.. Buat chap 13 bentar.. saya mau evil smirk dulu..haha Yah.. gitu deh.. jari-jari saya menari dengan lancar bgt ngetik tuh dua adegan smuty..huahuahaha.. *ampuni hamba* ok skip… Merasa terpanggil ya? Ciee.. sepertinya kita mulai ada ikatan batin *ngawur* Harry emang manis.. ga perlu saya jelasin panjang lebar satu chap kemarin semua penggemar Drarry tahu betapa manisnya Harry kalau dia udah berhadapan sama si ferret satu itu..hehehe

Soal konflik yang bikin Draco nangis guling-guling.. sebernya, ini menurut saya ya, sejauh ini yang Draco rasain sama beratnya sama harry. Cuma ya emang cara ngehadapin konfliknya beda. Harry kan emang melankolisnya terumbar kemana-mana, tapi itu yang bikin dia sexy. Sosok uke yang rela menderita itu ga ada duanya lah pokoknya.. Cedric aja ampe kepincut kan.. Draco ya.. tetep gimana juga karakter seme, jadi saya ngusahain buat emang bikin dia tetap punya karisma tersendiri meskipun dilnda hujan badai dordar gelap.. Tapi percayalah nak, penderitaan mereka akan semakin sama beratnya..hehehe

Aurelia Adhysa: haha.. iya..iya.. ga pa2 kok baru review sekarang.. Tapi janji ya tetep review lanjutannya..hehe *maksa nih author* Ga kok bebas.. tapi ngereview lebih baik soalnya kan bikin saya tahu pendapat kalian soal dimana kurang dan berlebihannya ff saya *tetepajausaha*

Emang sih, kalau udah baca terus jatuh cinta sama satu ff suka keasyikan baca dan lupa ngereview.. udah gitu pas mau review satu-satu eh, bingung mau review apa..haha saya juga gitu awalnya pas pertama kali menjelajahi fandom harpot, ffnya Kak Sun-T ampe sekarang belum di review..*ketahuan belangnya* Ntar deh saya harus mengingatkan diri saya buat ngereview ffnya kak Sun-T.. inspirator bgt beliau itu.. soal jamsev.. nanti deh ya.. baca di bagian bawah.. ada sesuatu soal mereka,hehe Thanks udah review.

AYP: Ciee terharu.. haha.. ga pa2.. ga usah maksain.. Setidaknya kamu udah review, meski pendek itu bentuk apresiasi terendiri. Saya menghargai sekali..:) Makasih semangatnya.. tetep review chap selanjutnya ya..:)

KazukiNatsu: Ouh yang di chap 12 toh.. kamu suka bagian yang mengenaskan gitu ya?haha.. sebenernya kalau saya sendiri ditanya bagian favorit saya sepanjang ff ini bagian apa.. saya paling suka chap 7.. bagian akhir.. pembicaraan galau drarry di chap itu ga ada yang lebih mengenaskan lagi.. Saya masih berusaha buat bisa bikin sesuatu yang kaya gitu lagi feelingnya..

Emang! Harry is the best naughty uke..haha Well, Severus ada waktunya sendiri nanti untuk bicara.. ok tungguin aja.. dan berdoa selalu semoga saya diilhami cara untuk membuat astronaut jadi happy end..:p thanks reviewnya..

Mutminmi/ Brownviolet: reviewmu baru masuk beberapa hari kemudian.. ffn suka lola emang kadang-kadang.. Cerita soal teriak di kantor pos.. saya juga pernah ngalamin, ff di fandom lain sih.. jadi waktu itu kelas lagi sepi-sepinya ga ada guru, temen-temen pada sibuk sama kegiatan masing-masing terus saya udah bolak balik dari kemarin-kemarin ngeliat savepaged ff itu tapi ga di update-update ampe dua bulan. Dan yah,, gitulah ga ada angin ga ada apa saya kepikiran sama ff itu terus dalam hati 'ah cek ah.. kalau ga update pun mau baca part sebelumnya aja' jadi ngeceklah saya daaaaan… up date.. gila saya sampe ga nahan teriak.. anak-anak kelas pada noleh dan saya ga sempet bahkan buat cengengesan ke mereka. Langsung aja baca ff itu.. sayangnya ff tersebut udah hampir dua tahun ga dilanjut, yang nulisnya anak kedokteran sih.. sibuk koas kali ya..T.T

Back ke review.. saya juga jadi bingung mau bales apa di review kamu yang isinya pujian semua.. duh.. asli baca review kamu tuh bikin hati berbunga-bunga.. Saya masih banyak kekurangan, asli, jadi saya usahakan buat makin baik dari chapter ke chapter.. dan saya suka istilah 'pemanis alami',hahaha.. well, soal jamsev, saya sendiri ga nyangka bisa nulis mereka, tadinya jatuh cinta ke mereka tuh gara-gara doujin yang bertebaran di youtube.. doujin ttg mereka jauh lebih banyak dari pada doujin ttg Drarry.. jadi ya.. begitulah dengan sendirinya saya pikir bakal jadi konflik yang bikin greget kalau Lily tetep ada tapi mereka juga punya hubungan..hehe about real life.. saya sebenernya ga masalah sih dengan ff-ff yang ukenya rada-rada feminim juga selama ceritanya bagus. Tapi emang suka genre spice of life aja kayaknya sayanya.. jadi ya begitulah.. hehe *apasih* Makasih buat review..:)

Kutoka Mekuto: itu udah banyak.. dua kali itu udah jamak-kalau menurut b. inggirs sih, kalau bahasa arab beda lagi..hehe iya ya? Chapter kemaren Cuma ngebahas sehari? *baru nyadar* #plak

Harry.. disini emang gitu karakternya.. sensitive tapi sok tegar.. bijak tapi tukang ngegalau.. Yah, but he is sexy just like that.. Jadi saya menikmati menulis Harry dengan karakter kayak begini. Untuk bertahan lama atau ga.. entahlah.. saya usahakan mendapat ide untuk happy end, karna jujur, dari awal ff ini saya buat, saya udah ngebayangin ending yang rada ngenes.. walaupun ga sepenuhnya sad ending.. kalau menurut saya.. Tapi liat nanti deh ya.. Thanks for review..:)

Guest: Betul sekali.. chapter kemarin itu panjang luar biasa.. saya sebenernya pingin mereka fluffy-fluffy gimana gitu.. ga mau terlalu sebentar liat mereka bahagia.. tapi kayaknya ga berhasil..haha Dan saya memang penggila detail, jadi dengan sendirinya ff-ff saya adalah ff-ff yang panjang , maafin kalau itu bikin pegel baca ya.. So? Gimana menurut kamu sikap Lily.. ? *smirk* ok.. tunggu next chap ya.. Makasih..

Scarhead Ferret: Waaaa.. Sorry.. ternyata saya salah baca..huehehehe.. kirain yang waktu itu kamu kasih tahu yang bener Lilly bukan Lily.. setelah dibaca ulang ternyata, iya.. saya salah baca.. duh malu..*gelundungan* Iya.. iya.. typoonya masih banyak.. diusahakan makin sedikit deh ya.. hehe Saya pengetik cepat tapi memang bukan pengetik yang teliti..-_-v

Ok.. kemaren Cuma lumayan greget.. yang ini gimana? *senyum penuh pengharapan* Makasih buat reviewnya..:)

Salazar Sentinel Saber: Haaaaaiii,,,juga..hehe permintaan maaf diterima.. kenapa baru review?T.T

Tak apa,, habis ini makin rajin review ya.. terus kalau ada kritik sama saran tulis aja.. selalu ditunggu kok..:) Buat JamSev.. bentar ya.. habis ini baca terusan note saya.. ada sedikit pengumuman buat mereka,hehe.. ok tetep tungguin next chapnya ya.. Makasih..:)

Akhirnya beres balesin review kalian.. Ternyata menyenangkan ya balesin review satu-satu.. *kemane aja lu kemaren2-_-"* Maafkan saya yang baru mulai rajin sekarang-sekarang ya.. Ok. Ada sedikit pengumuman, dalam rangka ulangtahun ke-2 ff ini.. *ceileeh* Saya mau bikin chap bonus buat chapter depan. So sekarang silahkan di review kalian, sebutin kalian mau isi chap bonus itu apa, ok? Ada pilihannya di bawah..

JamSev Case

BlaisexTheo Case

Scene-scene yang hilang dari lovey dovey Drarry –mencakup adegan di London eye dan waktu Draco nemenin Harry belanja di oxford street..:)

Jadi? Silahkan vote..:)

P.S: Buat adegan yang ga kepilih nanti bukan berarti ga akan saya publish.. Tapi mungkin nanti nunggu moment special lainnya.. Makasih..

Kecup Basah

Erel Ra