Teruntuk semua pembaca yang masih membaca ini—dan mendorong-dorong saya untuk menyelesaikannya, mohon maaf sebesar-besarnya karena saya menggantung cerita ini! Tenang saja saya tidak akan menggantung ceritanya lagi, karena chapter ini adalah chapter terakhir! (karena memang pada awalnya saya berniat membuat one shot yang berakhir menjadi 4 chapter..)
Anyway..
Please enjoy!
Law memaksa tubuhnya bergerak untuk mencari Rebecca. Berani-beraninya putri itu merusak reputasi yang susah payah ia jaga—kecuali kemarin. Hanya sekali ia tidak memedulikan sekelilingnya dan bertindak sesuai hatinya, dan sekali itu cukup untuk menghancurkan reputasi hidupnya. Bukan, bukannya ia tidak suka orang-orang mengetahui hubungannya. Well, alasannya bukan itu per se, melainkan sekarang seluruh dunia sudah mengetahui bahwa Luffy akan menjadi titik kelemahannya. Pikirannya tentu berimajinasi jauh, jika, Luffy di tahan sebagai sandera atau semacamnya, Law yakin ia akan melakukan apa pun yang diminta asal Luffy hidup, dan bebas. Dan itu bahaya. Tidak terpikir olehnya bahwa Luffy lebih dari cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri—hey, secara statistik Luffy jauh lebih kuat darinya. Ia tidak seharusnya khawatir.
Sekali lagi ia bertanya kepada ruangan, suaranya sedikit serak karena ia baru saja bangun, "dimana Rebecca?"
Hanya Leo yang tidak tertawa dan cukup waras untuk menjawab pertanyaanya, "di istana."
Law mengertakkan giginya hingga rahangnya sakit. Tanpa peduli cedera yang masih belum sembuh—terbalut sempurna dengan perban di seluruh badannya, ia turun dari ranjang. Sekuat tenaga menahan rintihan yang nyaris terselip keluar dari bibirnya yang kering.
"Hey—Hey! Kau belum boleh bergerak." Ujar Usopp yang paling pertama berhenti tertawa.
Mata Law mendelik tajam pada Usopp, seakan-akan menantangnya untuk memberi, seorang kapten dan dokter, perintah. Sebelum di antara mereka semua mendinginkan suasana, terdengar teriakan dari ruang sebelah.
"AKUU LAPAAARRR!"
Law sangat familiar dengan suara itu. Tanpa disadarinya ia menyunggingkan senyum dan hatinya meleleh sedikit.
"AH! LAW—DIMANA LAW?!"
Dan ya, tentu saja, makanan selalu menjadi prioritas pertama Monkey D. Luffy sebelum terpikirkan oh ya, dimana orang yang kusayang hingga nyawa taruhannya?
Tidak, Law tidak marah sedikit pun. Itu adalah salah satu charm Luffy.
Sekali lagi ia mencoba menggerakan kakinya dengan susah payah sebelum ia goyah dan nyaris mencium lantai kayu kalau Zoro dan Franky tidak cekatan menangkapnya—masing-masing memegang lengan Law. Sebelum ia protes—harga dirinya tidak bisa jatuh lagi, sungguh—Luffy berada di area penglihatannya dan ia di seruduk hingga terduduk. Seluruh badannya nyeri, otot-ototnya yang kelelahan berteriak, begitu pula ia.
"SYUKURLAH KAU BAIK-BAIK SAJA!" Teriak kapten Bajak Laut Mugiwara menutupi teriakan kesakitan Law.
Teriakan Luffy mungkin cukup terdengar sedikit sepele, dengan nada sedikit bercanda, ditambah dengan serudukannya di awal. Namun, Law bisa melihat—merasakan tubuh Luffy yang sedikit tegang dan cengkeraman kuat di lehernya mengindikasikan bahwa Luffy sebenarnya takut. Law melihat sekelilingnya dan sadar bahwa awak kru menonton dengan seksama sebelum Robin mengangguk mengerti dan menyuruh semua orang keluar dari kamar itu.
Law memulai. "Hey—"
Leher Law basah.
Pundak Luffy gemetar.
Seluruh tubuh Luffy bergetar.
"Mugiwara-ya.." Law tersedak, matanya panas. "Hey, aku tidak akan mati semudah itu. Seseorang yang menjadi aliansimu—dan pasanganmu tidak boleh mati semudah itu."
Law mengusap-usap punggung kapten yang lebih kecil itu.
"..janji?" Ujar Luffy pelan.
Law menaikkan alisnya sebelah, namun merasa bodoh karena Luffy tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. "Janji?"
"Janji kau tidak akan mati sebelum aku." Luffy mengendurkan cengkeramannya dan mundur cukup jauh hingga ia bisa melihat wajah Law.
Law ingin tertawa rasanya. Di dunia yang mereka hidupi ini, terlebih lagi profesi—pantaskah ini disebut profesi?—mereka, seorang bajak laut. Kematian adalah hal yang sering—terlalu sering mereka jumpai. Berdansa di gerbang kematian sudah menjadi rutinitas baginya. Ia tidak bisa memberikan janji yang tidak bisa ia tepati. Namun, mata Luffy yang penuh resolusi dan entah bagaimana rapuh membuat napasnya berhenti. Luffy serius.
"Aku—" Law berdeham, tenggorokannya sangat kering, "aku tidak bisa memberikan janji itu Mugiwara."
Wajah Luffy jatuh kecewa dan sedih; matanya berkaca-kaca penuh duka. Seakan-akan dengan perkataan Law itu Luffy langsung mempersiapkan dirinya untuk pemakaman kapten Bajak Laut Heart ini.
"Tapi.. Aku akan berusaha tetap berada di sekitarmu hingga kau menjadi raja bajak laut." Law menawarkan dengan senyum lemah.
"Disisiku, dan hingga setelah aku menjadi raja bajak laut," Ralat Luffy. "Seorang raja akan butuh pendampingnya nanti."
"Maksudmu ratu? Tapi aku laki-laki." Ujar Law datar, rasa geli menggelitik perutnya dengan pernyataan Luffy. Senang dengan alur percakapan yang tiba-tiba menjadi lebih ringan. Mungkin diam-diam Luffy tahu, itu adalah jawaban terbaik yang bisa ia dapatkan.
"Tidak masalah! Kita akan menjadi The Kings of Pirates!" Luffy meninju udara, bekas air matanya memberikan sisa jejak di pipinya. Bukti nyata bahwa ia, memang, habis menangis. "EH, tapi—aku tidak mau ada dua raja. Tapitapi—"
Law tertawa melihat dilema Luffy dan omongannya yang melantur. Law tertawa. Sudah berapa lama ia bisa tertawa lepas seperti ini?
Laki-laki yang lebih tinggi itu mencoba menarik perhatian si kapten dengan menjentikkan jarinya, senyumnya oh sungguh lembut kepada Luffy. Telapak tangannya memegang lembut pipi karet itu—membelainya sebentar dengan ibu jari sebelum ia mengutarakan. "Iya, aku akan menjadi ratumu."
Iya, Law sangat sadar omongannya tidak masuk akal. Tapi, apapun yang menyangkut Luffy biasanya akan berujung di luar akal. Dan dia akan membiasakan dirinya.
Kapten Bajak Laut Heart bisa merasakan wajah Luffy memanas sebelum rona-rona merah mulai terlihat. Ia menarik wajah di genggamannya, jari telunjuk dan kawan-kawannya menekan tengkuk pemakan buah iblis Gomu-Gomu, mendukung gerakannya. Ia bisa menghitung jumlah bulu mata Luffy sebelum ia menutup kedua kelopak matanya sendiri dan membiarkan insting yang bekerja selanjutnya.
"Hey, Mugiwara—"
Di acuhkan. Yang bersangkutan tetap sibuk makan dan ngoceh kepada Zoro dan memejamkan matanya—tidur.
"Mugiwara! Pilih salah satu! Makan, tidur atau ngobrol!" Law sedikit berteriak, agar Luffy mendengarnya ditengah obrolannya dengan Zoro.
Luffy menoleh kearah Law dengan mulut penuh daging, kedua tangan juga memegang daging dengan rakusnya. Matanya terbuka satu dan ia mengangguk pada Law.
Zoro yang melihat adegan di depan matanya sedikit takjub Luffy benar-benar memilih salah satu yang akan dilakukan dan tidak multitasking seperti biasanya.
"Oh ya Luffy. Kau sudah membaca koran hari ini belum?" Tanya Zoro sambil lalu.
Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya. Seluruh perhatian di dedikasikan untuk makanan di depannya saja sekarang.
Zoro pergi mengambil koran yang sudah teremas-remas tadi pagi dan melemparkannya ke meja depan Luffy. "Lihat, fotomu dan Tra-guy di halaman terdepan."
Sebelum Luffy melihat koran tersebut tangan Law bergerak cepat, meskipun masih sakit, merebut koran di hadapan Luffy. Membuat Luffy dan bahkan Zoro sendiri kebingungan.
Luffy yang sekarang sudah cukup kenyang dan sangat penasaran apa yang disembunyikan Law meninggalkan makanannya dan merebut kembali koran yang ada di tangan Law.
"JANGAN—"
Namun, telat sudah peringatannya pada laki-laki karet itu, matanya dengan cepat memindai halaman terdepan koran, Law diam tidak berdaya di kursinya. Diam, tegang menunggu reaksi pasangannya.
"Hmm—WAH!" Luffy berteriak gembira melihat foto mereka berdua—sangat berbeda reaksinya dengan Law. Buru-buru Kapten Mugiwara itu merobek korannya—merobek foto mereka berdua, tepatnya dan menaruhnya di kantong celananya. Dahi Law berkerut bingung, dan secercah rona merah merayap dari lehernya—karena Luffy berniat untuk menyimpan foto mereka berdua. Ini tidak seperti dugaannya sama sekali.
"Mugiwara-ya, kau tidak apa-apa dengan situasi ini?"
"Hm? Mengapa tidak?"
"Dengan seluruh dunia tahu bahwa kau—" Law menelan ludah, sedikit susah untuk mengeluarkan kata-kata ini dari mulutnya, "mengencani kapten bajak laut lainnya?"
Sekali lagi, Luffy bertanya, nadanya murni penuh kebingungan. "Mengapa tidak?"
Law tidak habis pikir dengan kepolosan Luffy. Apakah Luffy tidak tahu bahwa—mungkin di kru bajak laut mereka memang tidak apa-apa tapi tidak semua orang berpendapat seperti itu! "Mereka akan memandangmu beda! Dan meremehkanmu!"
"Tidak masalah," ujar Luffy dengan suara ringan dan mudah, "lagipula dengan ini mereka tahu untuk tidak bermain-main dengan Bajak Laut Heart atau akan terkena amarah Bajak Laut Mugiwara juga, shishishi!"
Hati Law meleleh mendengar ucapan Luffy. Hal yang mungkin terdengar sepele namun mengandung makna dalam bagi Law. Dan mendadak ia sadar Luffy akan menjadi kematiannya dan dia sadar dia tidak keberatan.
Law memberikan senyum jarang-jarangnya kepada Luffy di depan publik. Ya, di depan publik—kru Bajak Laut Mugiwara menghasilkan beberapa reaksi yang berbeda; Robin menjerit kecil karena—wow Law sebenarnya cukup tampan dibalik wajah cemberutnya itu; Franky dan Usopp menutup mulut mereka seakan-akan mereka sedang menonton drama dan ini adalah adegan yang menentukan; Zoro.. ia ikut menyunggingkan senyum miring kepada kapten dan pasangan kaptennya—seakan-akan memberikan restu yang Law bahkan tidak minta.
"Baiklah." Ujar Law singkat. Ya, singkat, ringkas, pendek namun penuh arti dalam di bawah satu kata itu. Baiklah, ia tidak akan mengacuhkan pendapat-pendapat negatif yang terbang ke arahnya—ke arah mereka. Baiklah, ia akan membiarkan energi optimis Luffy membawanya. Baiklah, ia akan membiarkan dirinya bahagia tanpa memedulikan reputasinya lagi.
Dalam sekejap mata, Law mencuri bibir Luffy di depan seluruh awak kru—menegaskan bahwa ia yang akan menjadi pendamping raja bajak laut masa mendatang dan ia tidak akan peduli kepada media atau apapun yang menghalanginya untuk bersama satu orang spesial ini. Baiklah, persetan dengan kata orang.
Di sekitar mereka, teman-teman Mugiwara bersiutan kecil, dan ada beberapa tepuk tangan. Meskipun Law masih sedikit menyimpan rasa malu, ia membiarkan rasa itu di dorong oleh rasa bahagianya dan kebebasannya untuk menunjukkan pada dunia bahwa ya, ia mencintai Luffy, dan ya, ia tidak malu mencintai seorang lelaki. Karena cinta memang tidak memandang usia, ras, maupun jenis kelamin.
Luffy, dengan wajah memanas dan rona merah yang menggemaskan, tertawa lepas. "Biar dunia tahu, calon raja bajak laut sudah menemui ratunya!"
The End.
Mohon maaf sebesar-besarnya jika chapter ini sangat pendek *membungkuk dalam-dalam* dan mohon maaf juga saya baru menyelesaikan cerita ini dalam kurun waktu yang luar biasa lama—5 tahun ;w; dan akhirnya mungkin tidak memuaskan bagi beberapa orang, ugh namun ini yang terbaik yang bisa saya berikan ;w;
Anyway! Akhirnya selesai juga! Dan semoga para pembaca memaafkan saya dan mood menulis saya yang buruk ini ugh. Ditunggu reviewnya! Terima kasih yang sampai sekarang masih menunggu dan memberikan motivasi saya untuk melanjutkan ini! Terima kasih!