Selamat membaca.

Disclaimer : Semua tokoh Naruto milik Kishimoto sensei

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M

Genre : Crime, romance, family, angst

Warnings : Gender switch, OOC

Umur Chara :

FemNaru : 22 tahun

Kyuubi dan FemItachi : 27 tahun

Sasuke, dkk : 18 tahun

Kakashi dan guru seangkatan : 35 tahun

Fugaku, Mikoto : 55 tahun

Under Cover

Chapter 1 : Back To High School

By : Fuyutsuki Hikari

Suara sirine polisi terus berdengung, mengepung sebuah gudang tua di pinggiran Konoha yang disinyalir sebagai tempat persembunyian gembong narkoba terbesar di Jepang. Beberapa tembakan terdengar dari dalam gudang, menyebabkan para polisi membentuk barikade dan bersiap di luar gudang untuk mencegah para tersangka yang hendak melarikan diri.

Polisi bekerja sama dengan inteligen angkatan darat untuk meringkus gembong mafia yang begitu berbahaya di Jepang. Setelah mengirim dua orang mata-mata untuk menyusup dan mengorek informasi, akhirnya mereka mengepung gudang tua ini yang berfungsi sebagai pabrik obat-obatan terlarang.

Di dalam gudang, seorang gadis berambut merah sepinggang terus menangkis semua tendangan dan pukulan yang di alamatkan padanya. Beberapa kali pukulan itu mengenai wajah serta perutnya, namun ia juga tidak tinggal diam. Dengan sisa kekuatan yang ada ia merubuhkan satu persatu penjahat itu hingga mereka tergeletak tak berdaya.

Darah segar mulai mengalir dari sudut kanan bibir dan pelipis kirinya. Lawan yang tidak seimbang dalam ukuran jumlah membuatnya begitu kewalahan. Tapi bukan itu yang dikhawatirkannya, saat ini pikirannya terbelah menjadi dua. Selain mengkhawatirkan musuh yang seakan tidak ada habisnya, ia juga mengkhawatirkan keadaan partnernya yang bernama Sai. Partnernya itu terkadang bersikap gegabah dan cenderung membahayakan dirinya sendiri.

Beberapa pria dengan topeng dan persenjataan lengkap, merangsak masuk dan mulai melumpuhkan satu persatu anggota mafia itu. Dan Naruto, ia hanya ingin memukul mundur semua pria berjas hitam ini dan membantu Sai. Naruto kembali melayangkan pukulan telak pada bagian perut salah satu pria itu, lalu memutar dan menendang alat vital pria lain yang menyerangnya dari belakang. Sial, kenapa mereka tidak ada habisnya? umpat Naruto dalam hati. Namun, wajahnya masih nampak tenang dan siap siaga.

Beberapa penjahat yang mencoba melarikan diri, segera ditangkap oleh barikade polisi. Beberapa di antaranya tewas karena menyerang barikade dengan senjata api. Sebuah ledakan terjadi di sisi selatan gedung, menyebabkan suasana malam itu semakin mencekam dan memanas.

Naruto berlari setelah merubuhkan semua musuhnya, napasnya memburu, keringat mengalir deras dari wajah cantiknya yang sekarang terlihat sedikit kumal. Pandangannya menemukan seseorang yang dicarinya, Sai berada di sana, di sebuah ruangan bawah tanah, terkapar dengan darah menggenang di sekitar tubuhnya. Naruto melihat sesosok pria berdiri tidak jauh dari tubuh Sai. Naruto tidak mampu melihat dengan jelas wajah dari pria itu. Namun, dengan cepat pria itu menembakkan senjata ke arah Naruto.

Beruntung, dia bisa menghindar tepat waktu, hingga hanya tangan kanannya saja yang terserempet timah panas. Darah segar mengalir, tetapi Naruto tidak begitu peduli dan berusaha mengejar. Namun, pria itu sudah menghilang pergi melalui lubang besar yang ternyata sebuah pintu rahasia untuk keluar dari ruang bawah tanah.

"Eagle!" teriakan Naruto menggema di antara dinding-dinding gelap ruangan itu. Eagle adalah nama sandi untuk Sai selama penyamaran, sedangkan nama sandi untuk Naruto adalah Kitsune. Naruto membungkuk dan mulai memeriksa keadaan Sai yang begitu menyedihkan. Sebuah ledakan kembali terdengar, asap mengepul begitu pekat dan menyesakkan dada, membuatnya terbatuk karena sulit untuk bernapas.

"Kitsune, kita harus keluar dari sini!" seorang pria dengan topeng hitam berseru sambil menepuk pundak Naruto.

"Eagle, tolong bantu Eagle! Kondisinya sangat parah," jawab Naruto tanpa menoleh ke pria itu.

Tanpa banyak bicara, pria itu segera membawa Sai di atas punggungnya. Setengah berlari, dia membawa tubuh Sai yang tidak sadarkan diri keluar dari dalam gudang, melewati kepulan asap yang pekat dan kobaran api yang mulai menjilat-jilat dengan ganas, menghanguskan sebagian besar gudang tua itu.

Naruto segera masuk ke dalam ambulans yang membawa Sai menuju rumah sakit. Sebuah lubang menganga di dada kiri pria itu, napasnya memendek dan terputus-putus. Naruto menggenggam tangan Sai yang terasa dingin, berdoa dalam hati untuk keselamatan partnernya itu. "Bertahanlah, Sai. Aku mohon!" katanya setengah berbisik.

.

.

.

Sudah hampir sepuluh jam Naruto berdiri di depan ruang operasi. Ia bahkan tidak mengindahkan perintah Kakashi untuk mengobati luka-lukanya. Dan akhirnya dokter yang menangani Sai pun keluar dari dalam ruang operasi, hanya untuk memberitahu jika nyawa Sai tidak dapat diselamatkan. Naruto berdiri mematung, dirinya terlalu syok untuk bereaksi. Ia hanya bisa mendengar samar penjelasan dari dokter paruh baya itu, bahwa Sai kehabisan banyak darah, dan timah panas itu menembus jantungnya.

Naruto sudah tidak mampu mendengar sisa penjelasan dari dokter. Kepalanya terlalu berat, berdenyut begitu menyakitkan. Hatinya dipenuhi rasa bersalah karena tidak bisa menolong partnernya. Partner yang selama ini ada di sisinya, mendukungnya, dan mengucapkan lelucon yang menurut Naruto tidak lucu. Kenangan-kenangan itu melintas begitu nyata di pikiran Naruto, sebelum akhirnya ia terjatuh tak sadarkan diri.

Kakashi begitu panik saat melihat Naruto pingsan. Suster segera membawa Naruto ke UGD dan dokter mulai memeriksa keadaannya, mengobati lukanya dan menyuntikkan obat penahan rasa sakit.

.

.

.

"Sebaiknya kamu pulang dan istirahat, Naruto." Kata Kakashi dengan nada khawatir setelah Naruto sadar dan sudah diijinkan untuk pulang. "Penyamaranmu sudah selesai, sebaiknya bersihkan dirimu! Pemakaman Sai tiga hari lagi, kamu boleh cuti hingga satu minggu ke depan," katanya tenang. Namun Naruto terus diam untuk beberapa saat. Kakashi semakin khawatir saat melihat tatapan mata Naruto yang kosong.

"Kenapa aku tidak bisa menolongnya paman?" tanya Naruto lirih. "Seharusnya, aku bisa menghalanginya untuk maju seorang diri. Aku benar-benar partner tidak berguna."

"Jangan berkata seperti itu, semuanya sudah ditakdirkan," jawab Kakashi bijak. "Kematian sudah menjadi resiko kita dan kita tidak bisa menghindarinya."

"Ijinkan aku untuk menyelesaikan semuanya paman, aku harus bisa menangkap ketua mafia itu, dan aku juga harus menemukan pembunuh Sai."

"Tidak bisa," jawab Kakashi cepat.

"Kenapa?" Naruto mendongak, menatap pamannya lurus.

"Kami takut mereka akan mengenalimu. Terlalu berbahaya, kami sudah menyiapkan orang lain untuk menyusup dan menjadi mata-mata untuk menggantikanmu."

"Kenapa kalian tidak meminta pendapatku terlebih dahulu?" tanya Naruto marah, kedua tangannya terkepal erat.

"Kita akan membicarakan semua ini setelah kamu tenang, sekarang paman antar kamu pulang."

Naruto sama sekali tidak membalas ucapan Kakashi, ia segera bangkit dari tempat tidurnya, mengikuti Kakashi yang berjalan keluar kamar. Hanya ada keheningan selama perjalanan pulang mereka. Naruto membuka dan menutup pintu mobil Kakashi dengan debaman kasar. Tanpa menoleh, Naruto berjalan menuju gedung apartemennya. Sementara Kakashi hanya bisa menatap punggung keponakannya itu dengan cemas.

Dengan langkah berat, Naruto memasuki kamar apartemennya yang begitu sepi. Naruto segera masuk ke dalam kamar mandi, melihat refleksi dirinya yang sangat berbeda. Demi penyamaran ini, ia rela mencat rambut pirangnya dengan warna merah menyala, memakai lensa berwarna coklat untuk menyembunyikan warna bola matanya yang biru. Serta mentanning kulitnya agar berwarna caramel.

"Semua percuma, aku malah kehilanganmu, Sai. Semua penyamaran kita sia-sia, jika pada akhirnya penjahat itu lolos, dan kamu malah meregang nyawa." desis Naruto lirih, air mata turun di pipinya yang berwarna caramel. Naruto sudah banyak kehilangan di usianya yang saat ini menginjak dua puluh dua tahun. Dimulai dari kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya saat ia berusia dua belas tahun, disusul oleh kematian kakek angkatnya yang bernama Jiraiya saat ia berusia empat belas tahun, dan kehilangan Tsunade saat ia berumur tujuh belas tahun. Belum lagi kehilangan teman-teman seprofesinya, yang Naruto sendiri sudah lupa menghitung berapa banyak. Dan sekarang ia kembali kehilangan, kehilangan partnernya yang sudah bersamanya semenjak di akademi.

Sai memang jauh lebih tua dari Naruto, usia mereka terpaut lima tahun. Berbeda dari yang lain, Naruto masuk ke akademi pada usia lima belas tahun. Menjadikannya mata-mata termuda dalam sejarah. Otaknya yang jenius membantunya untuk bergabung ke dalam akademi dengan mudah. Selain itu, Minato yang juga berprofesi sebagai inteligen semasa hidupnya, menjadi poin tersendiri bagi Naruto untuk meneruskan jejak ayahnya.

Pada awalnya, semua keluarga Naruto yang tersisa, yaitu Kurama yang merupakan kakak laki-laki Naruto, dan Tsunade yang merupakan nenek dari Naruto menentang keputusannya untuk masuk ke akademi angkatan darat. Bagaimanapun juga, Naruto masih terlalu muda, ia baru berusia lima belas tahun, dan rasanya aneh jika Naruto bisa masuk ke akademi, walaupun sebenarnya Naruto sudah lulus universitas pada tahun itu.

Semua keluarganya itu tidak ada yang tahu jika Naruto masuk ke akademi untuk dilatih sebagai mata-mata, bukan tentara biasa. Naruto memiliki kemampuan bela diri di atas rata-rata. Minato mengajari Naruto bela diri dengan alasan untuk menjaga diri, dan ternyata hal itu sangat berguna untuk profesi Naruto saat ini. Minato juga mengajari Naruto untuk bertahan hidup di alam liar, mengajarinya berburu, menggunakan senjata dan menembak. Alih-alih memilih Kurama, Minato malah lebih memilih Naruto untuk semua itu.

Kurama sama sekali tidak cemburu melihat hal itu, ia malah berterima kasih. Karena dengan itu ia bisa fokus pada penelitiannya. Kurama juga memiliki otak jenius, diusianya yang ke dua puluh dua tahun, ia mampu menyabet gelar profesor dan mengajar di salah satu universitas ternama di Washington DC. Kurama dan Naruto juga terpaut beda usia lima tahun. Setelah kematian orang tuanya, Kurama memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan kuliah di New York, dan sekarang ia menetap dan mengajar di Washington DC.

Hanya Kakashi yang tahu jika Naruto berprofesi sebagai intel, bukan hanya sebagai tentara biasa. Kakashi bahkan berpikir jika sebenarnya Minato memang sengaja menyiapkan Naruto untuk menjadi penerus profesinya suatu hari nanti. Tsunade hanya bisa pasrah dan akhirnya dengan berat hati mengijinkan Naruto untuk masuk ke akademi. Sementara Kurama yang saat itu masih ada di New York hanya bisa menggelengkan kepala, ia tahu jika adiknya itu sangat keras kepala, jadi percuma saja jika ia menentang.

"Aku ingin menjadi seorang tentara seperti tou-san," kata Naruto lirih. Karena selain Kushina, keluarganya yang lain hanya mengetahui jika profesi Minato adalah seorang tentara biasa. Naruto yang tahu mengenai profesi asli ayahnya itu pun secara tidak sengaja, ia mendengar pertengkaran ayah dan ibunya saat ia bermain petak umpet dengan Kurama. Kushina mendesak Minato untuk mengundurkan diri, ia sudah tidak sanggup lagi melihat Minato yang seringkali pulang dengan bekas luka tembak maupun lebam dan pergi hingga berbulan-bulan lamanya untuk bertugas.

"Aku mohon, anata. Jadilah tentara biasa dan lepaskan profesimu," kata Kushina lirih di tengah tangisnya.

"Maafkan aku, koi," jawab Minato yang duduk di samping Kushina, memeluk tubuh istrinya yang bergetar karena tangis. "Aku bangga dengan pekerjaanku, tidak mudah untuk menjadi inteligen."

"Aku takut jika suatu hari nanti kamu pulang tanpa nyawa," tukas Kushina. "Tolong pikirkan perasaanku," pintanya dengan tangis yang semakin pilu.

Dengan lembut Minato mengecup puncak kepala Kushina. "Aku akan menjaga diri dengan baik. Maaf, selama ini selalu membuatmu khawatir."

Naruto yang bersembunyi di bawah tempat tidur hanya bisa mematri kata inteligen di otaknya. Aku harus mencari arti kata itu,kata Naruto dalam hati. Hingga akhirnya ia mengetahui arti kata itu, dan bertekad untuk memiliki profesi yang sama seperti Minato.

Naruto menggelengkan kepala dan kembali ke dunia nyata. Ia segera melepas semua pakaiannya dan berdiri di bawah keran air, membiarkan air hangat itu membasahi tubuhnya yang telanjang. Luka pada pelipis dan tangan kanannya terasa nyeri dan berdenyut. Beberapa lebam berwarna biru dan ungu tercetak dengan jelas di sekujur tubuhnya. Air mata Naruto terus mengalir bersama dukanya, hidupnya takkan lagi sama, mungkin akan butuh waktu baginya untuk merelakan kepergian Sai.

.

.

.

Beberapa hari kemudian, Naruto sudah berdiri di tengah upacara pemakaman Sai. Pemakaman dilaksanakan secara militer. Beberapa tembakan dilayangkan ke udara saat peti itu diturunkan ke dalam tanah. Uchiha Fugaku, sebagai menteri pertahanan juga paman dari Sai, menjadi pemimpin upacara pemakaman ini. Naruto hanya bisa menatap sedih peti berkilat yang berwarna hitam itu, melihat untuk terakhir kali sebelum dikubur di dalam tanah selamanya.

Awan hitam mulai bergelayut di langit, Naruto melihat ke sekeliling pemakaman. Seorang wanita cantik berusia paruh baya tampak menghapus tetesan air matanya yang terus turun dari ujung matanya. Lalu, ada seorang wanita muda berambut raven panjang berdiri di sampingnya, mencoba untuk menenangkan wanita paruh baya itu, yang dikenali Naruto sebagai istri dari Uchiha Fugaku. Sementara itu seorang pemuda yang juga berambut raven dengan bola mata oniks berdiri di sisi kanan wanita itu dengan angkuh, dan tanpa Naruto sadari, pemuda itu menatap tajam ke arahnya. Hingga akhirnya pandangan mata mereka bertemu untuk sesaat, sebelum akhirnya Naruto kembali memalingkan wajah ke arah lain.

Sasuke terus menatap Naruto dengan intens, entah kenapa matanya tidak bisa berpaling ke arah lain. Seolah-olah sosok Naruto menyeret kedua matanya untuk tetap memandangnya. Dari caranya berpakaian, Sasuke tahu jika wanita itu personil angkatan darat. Rambut merah panjangnya diikat ponytail, kulit caramelnya terlihat begitu seksi, pakaian dinas dengan rok di atas lutut memberi kesan manis sekaligus sulit untuk diraih.

Dia pasti beberapa tahun lebih tua diatasku, kata Sasuke dalam hati. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan? Kakak sepupuku baru saja meninggal, dan aku malah tertarik pada seorang wanita? Sasuke kembali memalingkan wajahnya, mengikuti upacara pemakaman itu dengan khidmat dan memberikan penghormatan terakhir pada jasad Sai.

Air hujan mulai turun membasahi bumi saat upacara pemakaman itu selesai, satu persatu para pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Namun Naruto tetap bergeming, ia tetap berdiri di tengah derasnya air hujan yang turun. Tersenyum pada batu nisan dingin di depannya dan mulai bicara dengan lirih, "Sepertinya, disinilah kita harus berpisah, Sai. Kamu adalah partnerku yang paling gegabah, bodoh, mesum, menjengkelkan, tapi juga paling kusayangi," Naruto tersenyum kecil. "Terima kasih, Sai. Terima kasih karena kamu terus bersedia berdiri di sampingku, bertahan dengan semua kekeras kepalaanku. Aku akan merindukan semua leluconmu yang hambar," Ia berhenti sejenak. "Dan jangan khawatir, Sai. Aku akan sering menjengukmu." katanya lagi setengah berbisik, Naruto segera berbalik dan berjalan keluar dari pemakaman itu. Ia ingin pulang, menyendiri dan berusaha untuk menerima semua ini.

.

.

.

Beberapa minggu berlalu setelahnya, warna rambut Naruto sudah kembali ke warna naturalnya, pirang keemasan. Selain itu, warna kulitnya juga sudah kembali putih. Dia memotong rambutnya sebatas bahu, ingin mencoba suasana baru katanya.

Suara sepatu high heel Naruto bergema sepanjang lorong, ia baru saja mendapat kabar jika dirinya dipindah tugaskan ke bagian administrasi. Itu berarti ia tidak diijinkan untuk terjun kembali ke lapangan dan hanya ditugaskan untuk menganalisis informasi dan membantu inteligen lain dari kantor pusat.

"Apa maksud semua ini paman?!" seru Naruto, ia menyerobot masuk ke dalam kantor Kakashi tanpa permisi. Naruto terlalu marah untuk mengikuti semua prosedur yang ada.

"Kecilkan suaramu, Naruto. Disini aku komandanmu, bukan pamanmu!" perintah Kakashi tegas.

"Aku tidak peduli, aku ingin jawaban," sergah Naruto sengit. "Kenapa aku dipindahkan ke kantor pusat?"

Kakashi mengambil napas dalam, ia sudah menduga jika keponakannya ini akan marah besar karena hal ini. "Semua ini untuk kebaikanmu, sementara ini kamu akan bertugas di kantor pusat hingga pemberitahuan selanjutnya," kata Kakashi tenang.

"Kebaikanku?" cibir Naruto. "Apa maksud paman dengan kebaikanku? Kenapa kalian seenaknya saja mengatur kehidupanku?" teriak Naruto frustasi.

"Semua ini keputusanku, Naruto."

Naruto berbalik untuk melihat ke arah sumber suara. Ternyata Sarutobi yang berjalan masuk ke dalam ruangan Kakashi dengan beberapa ajudan di belakangnya. Kakashi memberikan hormat, sementara Sarutobi hanya mengangguk kecil. Tanpa harus diperintah, ajudan itu menutup pintu kantor Kakashi, meninggalkannya di dalam untuk memberikan privasi ketiganya untuk bicara.

"Jadi, semua ini perintah, kakek?" tanya Naruto dengan nada agak keras.

"Ehem, jendral," potong Kakashi sambil berdeham, mengingatkan Naruto. Sedangkan wanita itu hanya memutar kedua bola matanya dan mendengus kecil.

"Benar. Semua itu atas perintahku, Naruto." Jawab Sarutobi tenang.

"Tapi kenapa, kek?" tanya Naruto lagi. Sarutobi memang bukan kakek kandung Naruto, tetapi pria itu mengenal Minato dengan baik, dan menganggapnya seperti puteranya sendiri. Karena hal itulah Sarutobi meminta Naruto memanggilnya kakek jika mereka sedang tidak bertugas.

"Kakek mengkhawatirkanmu, Naruto."

Naruto duduk di samping Sarutobi dan menatap pria tua itu penuh kasih. "Tapi itu pekerjaanku, kek. Jangan mengurungku di kantor. Aku mohon!"

"Kakek tahu hal itu, tapi kakek juga hanya manusia biasa. Kakek takut kehilangan cucu perempuan kakek ini, wajar jika kakek takut, kan?" katanya seraya menepuk dan menggenggam hangat tangan Naruto.

Naruto hanya terdiam, ia tidak mampu membalas perkataan Sarutobi. Bagaimanapun juga Naruto sangat menyayangi jendral tua ini, sebagai bagian penting dari kehidupannya. Karena keluarga Naruto yang masih hidup hanya tinggal Kurama, Kakashi, Sarutobi, Asuma, dan Konohamaru.

"Mengertilah, Naru. Kakek mohon, untuk sementara bertahanlah, dan bekerja di balik meja. Jika saatnya sudah tepat, kakek pasti mengijinkanmu kembali bekerja di lapangan," kata Sarutobi, ia kembali menepuk lembut tangan Naruto yang berada di genggamannya. "Tolong kabulkan permintaan kakek renta ini!" pinta Sarutobi agak berlebihan.

"Kakek tua ini seorang jendral besar, tidak renta sama sekali," cibir Naruto seraya menatap Sarutobi dengan memicingkan kedua matanya. "Baiklah, aku akan kabulkan permintaan kakek. Tapi untuk kali ini saja," lanjutnya dengan membuang napas keras.

"Arigatou," kata Sarutobi lega.

Sementara Kakashi hanya bisa diam, mendengarkan pembicaraan di antara keduanya. Ia masih tidak mengerti, bagaimana Sarutobi yang notabene adalah seorang jendral besar, bisa menanggalkan semua kebesarannya saat menghadapi gadis kecil seperti Naruto. Sebenarnya, Naruto terlalu kurang ajar memanggil Sarutobi dengan panggilan kakek pada saat bertugas seperti ini. Tapi apa dikata, Sarutobi juga sepertinya malah senang dipanggil seperti itu. Yang penting semuanya beres, kata Kakashi dalam hati. Ia sendiri akan bingung setengah mati jika harus menghadapi amarah Naruto yang meluap-luap.

.

.

.

Naruto hanya bisa pasrah dalam menjalani pekerjaan barunya. Berkutat seharian dengan semua data administrasi dan komputer. Namun, Naruto masih diijinkan untuk berlatih menembak, serta diberi partner yang berbeda untuk mengasah kemampuan bela dirinya. Kadang, Kakashi yang menjadi partnernya berlatih dan itu dimanfaatkan Naruto untuk melampiaskan kekesalannya yang masih tersisa pada pamannya itu.

"Naruto, kamu menendangku tanpa belas kasih," protes Kakashi saat Naruto menendang tepat pada ulu hatinya. Kakashi meringis dan mengusap bagian itu dengan perlahan, berharap rasa sakitnya hilang seketika.

"Kita sedang berlatih paman, tentu saja aku harus mengeluarkan semua tenagaku," balas Naruto santai, dan mulai membanting Kakashi dengan keras ke atas matras.

"Ayolah, ini sudah hampir satu tahun berlalu dan kamu masih marah padaku?"

"Apa maksud paman?" tanya Naruto pura-pura tidak mengerti seraya melayangkan tendangan yang begitu keras pada sisi kiri perut Kakashi, namun bisa ditangkis oleh pria itu dengan mudah.

"Kurasa kamu masih marah karena pemindahan tugasmu—owww!" Kakashi mengaduh saat Naruto berhasil melayangkan pukulan pada wajahnya.

"Fokus, paman! Apa paman tidak malu kalah dari seorang wanita?" ejek Naruto. Kakashi akhirnya tersulut dan mulai membalas tiap serangan Naruto dengan serius. Naruto tersenyum simpul melihatnya, dengan senang hati ia melayani perlawanan Kakashi yang bertubi-tubi. Hampir satu jam mereka seperti itu, tanpa ada satupun yang mau mengalah. Mereka berdua akhirnya kehabisan tenaga dan berbaring di atas matras dengan napas memburu dan keringat mengalir deras.

Seorang tentara muda masuk ke dalam ruang latihan itu dan mengoyak keheningan yang ada disana. "Ada apa?" tanya Kakashi saat melihat tentara itu masuk dan memberi hormat.

"Jendral Sarutobi memanggil Anda berdua ke kantornya saat ini juga."

"Baik, kami segera kesana," jawab Kakashi tegas. Tentara muda itu kembali memberi hormat sebelum berbalik dan meninggalkan ruang latihan.

"Kenapa kakek memanggil kita bersama-sama, paman?" tanya Naruto bingung, karena tidak biasanya Sarutobi memanggil keduanya secara bersamaan.

"Entahlah, lebih baik kita segera membersihkan diri dan pergi menghadap."

Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke ruang ganti dan membersihkan diri di kamar mandi yang memang ada di setiap ruang ganti. Naruto memerlukan waktu lebih lama untuk mengeringkan rambutnya. Setelah selesai, ia pun bergegas pergi. Naruto mengetuk pintu kantor Sarutobi dan mendapati Kakashi sudah duduk di depan meja kerja jendral itu.

Naruto memberi hormat dan segera duduk setelah dipersilahkan oleh Sarutobi. "Aku memiliki misi untuk kalian berdua," kata Sarutobi tanpa panjang lebar. "Misi kalian kali ini, menyusup ke dalam Konoha High School," lanjutnya dengan raut serius.

"Apa ada masalah di sana jendral?" tanya Kakashi, sementara Sarutobi mengangguk sebelum menjawab dengan nada dalam, "Seorang murid meninggal dunia karena over dosis beberapa bulan yang lalu. Aku ingin kalian menyelidiki hal itu."

"Tapi jendral, bukankah itu tugas polisi?"

"Memang," jawab Sarutobi menatap lurus Kakashi. "Selain hal itu, kalian juga memiliki misi lain."

"Misi lain?" tanya Naruto tertarik.

"Kalian harus menjaga keamanan putera bungsu mentri pertahanan, ada beberapa ancaman mengenai keselamatannya. Karena itu Uchiha-san meminta bantuan untuk menjaga keselamatan puteranya."

"Kakek menugaskan kami untuk jadi baby sitter?" tanya Naruto, menanggalkan semua keformalan karena sedikit kesal.

"Lebih tepat jika dikatakan bodyguard," ralat Sarutobi tenang. "Karena itu, Kakashi akan menyamar sebagai guru bahasa Inggris. Sedangkan kau, Naruto, kau akan menyamar sebagai murid."

"Apa?" protes Naruto. "Kenapa aku tidak menjadi guru juga? Kenapa harus jadi murid?"

"Wajahmu lebih cocok untuk menjadi murid. Dengan menjadi murid kamu akan lebih mudah berbaur untuk mencari informasi," terang Sarutobi.

"Tapi usiaku sudah dua puluh dua tahun, kek, dan aku tidak pernah tahu kehidupan SMA. Aku loncat kelas, ingat?"

"Justru dengan ini, kamu bisa merasakan indahnya masa SMA. Bukan begitu, Kakashi?" tanya Sarutobi yang lebih mengarah pada meminta dukungan, sementara Kakashi hanya mengangguk kecil. "Tapi, jika kamu lebih memilih bekerja dibalik meja lebih lama, maka—"

"Aku setuju," potong Naruto cepat dan keras. "Berikan semua informasi untuk mendukung penyamaranku. Aku akan mengerjakan misi ini," kata Naruto semangat, ia lebih baik menerima pekerjaan ini daripada harus terus berada di balik meja yang terasa membosankan.

"Bagus," kata Sarutobi. "Asuma akan menjadi penghubung kalian di sana. Hanya ia dan kepala sekolah yang tahu mengenai penyamaran ini. Ingat Naru, Kaka, kalian harus mengerjakan semua ini dengan baik. Aku tidak mau mendengar kata gagal. Mengerti?"

"Siap laksanakan, jendral," jawab keduanya kompak seraya berdiri dan memberi hormat.

.

.

.

Satu minggu kemudian, di sinilah Naruto berada, berdiri tepat di depan gerbang Konoha High School yang berdiri begitu kokoh dan megah. Bunga-bunga sakura berguguran di awal bulan Maret ini, menyambut setiap murid yang melangkahkan kaki untuk menjalani tahun ajaran baru.

Murid-murid di sini diwajibkan untuk tinggal di asrama selama tahun ajaran berlangsung, dan hanya diijinkan pulang saat musim liburan tiba, atau jika ada keadaan mendesak yang mengharuskan mereka untuk pulang. Para murid di sini berasal dari kalangan berada, beberapa di antaranya merupakan putera dan puteri petinggi negara. Bukan hal mudah untuk bisa masuk ke sekolah ini, karena yang diutamakan adalah kemampuan otak. Jangan harap dengan kekayaan saja mampu memuluskan keinginan murid untuk sekolah di sini, karena hal itu sama sekali tidak cukup.

Naruto baru satu hari berada di sekolah ini, namun ia sudah mengetahui jika di sekolah ini ada empat kelompok. Kelompok ke satu, berisikan putera puteri petinggi negara. Kelompok ke dua, berisikan putera puteri konglomerat. Kelompok ke tiga berisikan para kutu buku. Dan yang terakhir, adalah kelompok anak-anak terbuang, biasanya mereka selalu menyendiri dan mengerjakan segala sesuatunya seorang diri.

Benar-benar menyedihkan, batin Naruto miris. Pandangannya beralih pada sekelompok siswa yang mulai memasuki kelas. Naruto bisa dengan mudah mengenali Uchiha bungsu, bagaimanapun, ia pernah melihatnya di pemakaman Sai, dan foto yang diberikan Sarutobi membantunya untuk mengenali satu persatu murid yang ada di kelas ini.

Sasuke memasuki kelas 3-1 bersama Shikamaru, Neji, Gaara dan Kiba. Sasuke terus melangkah, seolah tuli akan teriakan dan panggilan para siswi yang memanggil namanya sedikit berlebihan, mungkin lebih tepat jika dikatakan histeris. Pandangan mata Sasuke menangkap sosok Naruto yang duduk di barisan paling depan. Naruto nampak tidak peduli dengan kedatangan Sasuke dan lebih memilih melihat keluar jendela. Menatap pohon sakura yang mengugurkan kelopak-kelopak bunganya dengan begitu indah.

"Siapa dia?" tanya Sasuke saat tiba di kursinya.

"Murid baru," jawab Sakura dengan nada tidak suka. "Dia baru masuk kemarin."

"Oh, pantas saja. Kelompok mana?" tanya Neji tertarik.

"Entahlah," jawab Sakura lagi dengan tidak tertarik.

"Seharusnya ia pintar," sahut Shikamaru. "Karena hanya murid dengan kemampuan di atas rata-rata saja yang bisa transfer ke sekolah ini, apalagi di tahun ajaran terakhir."

"Kau benar," sahut Neji. "Siapa namanya?"

"Kenapa kalian begitu tertarik pada murid baru itu?" dengus Sakura tidak suka. "Seharusnya kemarin kalian tidak bolos, jadi kalian bisa tahu siapa nama murid baru itu."

"Kami suka barang baru, Sakura." Jawab Kiba tersenyum simpul. Sakura menghentakkan kakinya dan berjalan keluar kelas, tidak lupa menendang meja Naruto begitu keras hingga Naruto tersontak kaget dan balas menatap Sakura yang menatap tajam kearahnya.

"Jangan banyak bertingkah disini!" desis Sakura tajam. "Atau kamu akan menyesal!" tambahnya. Lalu, ia berlalu pergi meninggalkan Naruto yang masih diam bergeming.

Bagus, ini baru hari kedua, dan aku sudah memiliki musuh, dengus Naruto dalam hati. Bel pelajaran pertama berdering beberapa menit kemudian. Sejarah Jepang, Naruto tersenyum membuka buku tebal yang ada dihadapannya saat ini. Ia sudah hapal, tiap koma maupun titik yang ada di dalam buku ini. Ia mendengarkan semua penjelasan Kurenai sensei dengan khidmat. Ternyata masa SMA tidak seburuk yang aku kira, pikir Naruto, mencoba untuk menikmati sesuatu yang selama ini belum pernah dia rasakan.

.

.

.

Jam pelajaran pertama berlalu dengan cepat, Naruto kembali menatap jadwal pelajarannya. Jam ke dua adalah olahraga. Naruto segera mengikuti para siswa dan siswi yang lain, menuju loker, dan berganti pakaian. Lima belas menit kemudian, mereka semua berkumpul di gedung olahraga.

Para siswa dan siswi dipisahkan menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok menempati lapangan yang berbeda. Gay sensei berada di antaranya, meniup pluit dengan kencang dan memerintahkan para murid untuk berlari mengelilingi lapangan sebagai pemanasan. Hanya beberapa siswa dan siswi saja yang mematuhinya, dan nampaknya Gay pun tidak ambil pusing mengenai hal ini.

Gay sensei hanya bisa menghela napas dalam saat mendapati hanya Naruto yang berdiri di lapangan bagian puteri. "Sepertinya kamu harus melawanku hari ini, karena kawanmu yang lain tidak tertarik untuk bermain basket," kata Gay kecewa.

"Tidak masalah, sensei." Jawab Naruto tenang.

"Bagus, itu namanya semangat masa muda," Gay sensei mengambil dua buah bola basket, memberikan satu untuk lapangan putera dan satu untuk Naruto. "Tim putera bagi menjadi dua kelompok, kalian memiliki waktu selama sepuluh menit untuk tiap permainan," teriak Gay dari lapangan puteri. "Shikamaru, kamu bertindak sebagai wasit!"

Para siswi berteriak dan segera berkumpul di sisi lapangan putera. Mereka berteriak untuk memberi semangat pada Sasuke cs secara berlebihan.

Naruto hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. "Dasar remaja," katanya lirih.

"Kamu juga remaja, Naruto. Mau bergabung dengan mereka?" tanya Gay dengan senyum berkilau.

"Tidak, terima kasih," jawab Naruto dingin. "Kita mulai saja, sensei." Lanjutnya seraya mendribble bola.

"Ok," sahut Gay mencoba menghalangi setiap gerakan Naruto. Mereka terlalu terhanyut pada permainan mereka sendiri, hingga tidak menyadari jika lapangan putera mulai sepi, karena para pemainnya lebih memilih untuk melihat permainan yang berlangsung di lapangan puteri.

"Huwoooo, permainanmu begitu cantik, Naruto. Berniat bergabung dengan tim basket?" tanya Gay tanpa menutupi rasa kagumnya.

"Arigatou sensei, tapi aku murid tahun ketiga. Ingat?"

"Benar, sayang sekali," kata Gay kecewa. "Padahal, kamu bisa menjadi penyerang handal."

Naruto hanya tersenyum kecil, melompat dan kembali memasukkan bola ke dalam keranjang, bergantung di ring selama beberapa detik sebelum akhirnya mendarat dengan cantik.

Sasuke memicingkan kedua matanya, ia yakin dirinya pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya. Tapi dimana? pikirnya berkali-kali. Pikirannya kembali ke saat pemakaman Sai, tepatnya teringat pada sosok wanita muda berambut merah yang terlihat begitu cantik. Berdiri dengan begitu sedih, menatap pusara kakak sepupunya yang meninggal dalam tugas. Mereka memiliki bola mata yang sama, pikir Sasuke saat melihat bola sapphire mata Naruto.

"Gaara, cari tahu siapa dia sebenarnya. Aku ingin tahu latar belakangnya dengan terperinci," kata Sasuke tegas sedangkan Gaara hanya menaikkan sebelas alis, menatap Sasuke dan mengangguk kecil.

"Murid baru itu benar-benar menantangku rupanya," desis Sakura. Wajahnya nampak merah karena marah. Sementara kedua tangannya terkepal begitu erat.

"Memangnya apa yang dia lakukan Sakura?" tanya Tenten tidak mengerti.

Sakura memutar kedua bola matanya dan menatap Tenten tajam. "Ia menebar pesona, Tenten. Menarik semua perhatian padanya. Apa kamu tidak lihat?"

Tenten hanya mengangkat bahu. "Aku rasa dia tidak begi—"

"Jangan membelanya, Tenten, atau kamu akan menjadi musuhku!" ancam Sakura tajam.

"Baiklah, terserah kamu saja, Sakura." Kata Tenten lemah.

"Kamu bermain begitu bagus, Naruto. Siapa yang mengajarimu?" tanya Gay yang mulai kewalahan menghadapi Naruto.

"Mendiang ayahku," jawab Naruto tenang. Dengan ringan ia kembali memasukkan bola ke dalam keranjang.

Gay berhenti di tempat, menatap sendu pada Naruto. "Maaf, sensei tidak bermaksud unt—"

"Tidak apa-apa sensei, bukan hal yang buruk jika diingatkan tentang orang yang telah tiada," potong Naruto santai.

Gay tersenyum, sekilas melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu mengangkat pluitnya ke mulut dan meniupnya lagi dengan keras. "Jam olahraga selesai, kalian boleh berganti pakaian dan kembali ke kelas."

Para murid segera keluar dari gedung olahraga dengan cepat. Begitu pula dengan Naruto, ia berjalan dengan cepat menuju loker untuk mengambil baju seragamnya, dan segera berganti pakaian. Ia berjalan untuk mendahului kelompok Sasuke dengan tak acuh, tidak menghiraukan sama sekali tatapan tertarik dari kelima pemuda itu, terutama Sasuke. Naruto hampir saja berhasil melewati kelompok itu, namun Kiba menghalangi jalannya.

"Tolong minggir, anda menghalangi jalan saya." Tegur Naruto sopan.

"Benarkah?" cibir Kiba. "Seharusnya, kau mengatakan permisi saat melewati kami, gadis kecil." Balas Kiba balik menegur.

Dasar bocah tengik, batin Naruto kesal. Namun ia menahannya dan tersenyum paksa. "Permisi, saya mau lewat," katanya lagi dengan kesopanan dibuat-buat.

"Aku malas bergerak, sebaiknya kau mencari jalan lain menuju loker, gadis kecil." Sahut Kiba yang sukses menyulut emosi Naruto.

"Minggir," kata Naruto dingin.

"Wow," gumam Kiba. "Gadis kecil bisa marah rupanya." Neji, Shikamaru dan Gaara hanya bisa menggelengkan kepala melihat sifat jahil Kiba. Sementara Sasuke hanya menyeringai kecil sambil menatap Naruto. "Aku tidak mau minggir, gadis kecil."

"Minggir, atau kamu akan menyesal!" kata Naruto dengan nada datar namun mengancam. Dia benar-benar kesal disebut gadis kecil hingga berkali-kali.

"Memangnya apa yang bisa kamu laku—"

Kiba belum selesai bicara, tetapi perkataannya terputus karena Naruto menginjak kakinya begitu keras hingga Kiba menjerit dan meringis kesakitan. Naruto melirik ke arah Kiba melewati bahunya, mendengus kecil, mengangkat dagunya begitu tinggi, dan meninggalkan kelima pemuda itu dengan angkuh. Naruto bisa mendengar tawa Neji, Shikamaru dan Gaara yang bergema sepanjang lorong. Kalian akan menyesal jika menjadikanku sasaran kejahilan kalian, kata Naruto lirih.

.

.

.

Setelah berganti pakaian, Naruto segera kembali ke kelas, mengambil selembar uang untuk membeli dua buah roti melon dan sekotak susu di kantin. Setelah menunggu dalam antrian panjang, akhirnya Naruto berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya dan membawanya menuju ke perpustakaan. Naruto perlu mengambil beberapa data dari komputer sekolah dan ia memutuskan untuk mengambilnya melalui komputer yang ada di perpustakaan.

Naruto memakai komputer yang berada di paling ujung, membuka programnya, melihat ke sekeliling dan mulai meretas sistem komputer sekolah. Mencari data yang berhubungan dengan siswi yang meninggal beberapa bulan yang lalu. Setelah Naruto menyimpan semua data yang ia perlukan ke dalam flashdisk, dengan cepat ia menutup program itu. Lalu, Naruto berjalan di antara rak-rak buku, mengambil sebuah buku tebal berbahasa Jerman, dan mencari tempat yang nyaman untuk membacanya. Setelah berkeliling, akhirnya Naruto menemukan tempat yang tenang untuk membaca. Sebuah sudut yang tertutup rak buku yang begitu tinggi, Naruto duduk bersandar, membuka buku itu dan membacanya dalam keheningan, ditemani oleh roti melon dan susu kotak.

"Kamu yakin mau meminjam buku ini?" tanya wanita penjaga perpustakaan itu. Ia menatap Naruto dari balik kacamatanya yang tebal, merasa aneh saat melihat buku yang hendak dipinjam oleh Naruto.

"Ya, saya yakin. Ada masalah, sensei?"

"Tidak," jawab penjaga perpustakaan itu tenang. "Hanya saja, tidak biasanya murid meminjam buku science dalam bahasa Jerman," katanya jujur seraya memberikan buku yang hendak dipinjam oleh Naruto setelah memasukkannya ke dalam daftar buku yang dipinjam.

"Arigatou, sensei." Ucap Naruto saat menerima buku itu.

"Jangan lupa, kembalikan maksimal dalam waktu satu minggu!" katanya mengingatkan.

"Ha'i," jawab Naruto singkat.

Naruto berjalan dengan langkah cepat menuju kelasnya, ia terlalu asyik membaca buku di perpustakaan hingga lupa waktu. Beruntung, guru pelajaran berikutnya belum datang saat ia tiba di kelas. Dengan cepat, Naruto memasukkan buku tebal itu ke dalam tas, dan mengeluarkan buku catatan serta buku pelajaran berikutnya. Naruto menangkap dengan samar pembicaraan beberapa orang murid, ia menajamkan pendengarannya dan berusaha untuk mencuri dengar.

"Kita keluar jam sepuluh malam, lewat jalan biasa," bisik salah satu siswa.

"Ok, malam ini pasti seru. Aku dengar Sasuke akan ikut bertanding malam ini," jawab murid yang lain.

"Deal, ingat jangan sampai tertangkap. Kita akan habis jika tertangkap basah keluar asrama," sahut murid lainnya.

Jadi, mereka akan keluar asrama malam ini, dan Sasuke, apa hubungannya dengan Sasuke? Aku harus mencari tahu tentang ini, pikir Naruto. Waktu berjalan begitu lambat, Naruto berusaha membunuhnya dengan membaca buku pelajaran yang ada di hadapannya. Ia menghela napas lega saat mendengar bel akhir berbunyi begitu nyaring. Naruto perlu mengatur strategi agar bisa menyelinap dan mengikuti siswa tadi dengan aman.

.

.

.

Naruto mendengar beberapa gerakan dari luar kamar asramanya. Perlahan, ia membuka pintu, dan benar saja, beberapa siswi mengendap-endap untuk keluar asrama. Naruto melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Terlalu cepat satu jam, pikir Naruto. Dengan hati-hati ia mengikuti para siswi itu, dan akhirnya bersembunyi di semak-semak tak jauh dari mereka. Para siswi itu keluar asrama dengan berjalan melewati saluran air yang sudah tidak terpakai.

Seulas senyum terukir di bibir Naruto saat ia mendapati semakin banyak banyak siswa dan siswi menyelinap keluar melalui saluran air itu. "Dasar murid-murid nakal."

Saat suasana mulai sepi, Naruto pun mulai masuk ke saluran air itu, berjalan melewati lorong yang gelap juga lembab. Naruto memakai bantuan telepon genggamnya untuk memberikan sedikit penerangan. Naruto menaiki sebuah tangga besi dan menggeser penutup saluran air yang ternyata terhubung dengan jalan raya yang berada beberapa blok dari Konoha High School.

Naruto bisa mendengar dengungan suara mesin mobil dari kejauhan. Ia berjalan dengan cepat untuk menuju ke sana. Dan ternyata benar, di sana berkumpul para murid Konoha High School, beberapa orang siswa berada di mobil sport sementara para siswi berpakaian minim dan berteriak-teriak memberi dukungan. Naruto menyipitkan matanya, ia bisa mengenali Sasuke yang duduk di balik kemudi sebuah mobil sport berwarna hitam.

"Jadi di sini kalian bermain," kata Naruto lirih. "Dasar remaja nakal, kalian harus aku hukum," kata Naruto lagi, ia tersenyum menakutkan. Naruto pun berjalan kembali menuju sekolah melalui jalan yang sama. Naruto menghubungi Kakashi, memintanya sebuah gembok yang cukup besar.

"Kamu perlu gembok untuk apa?"

"Jangan banyak tanya, paman. Tolong siapkan saja dan temui aku di depan gerbang sekolah lima belas menit lagi," jawab Naruto menutup pembicaraan mereka.

.

.

.

Lima belas menit kemudian, Kakashi menunggu Naruto di depan gerbang dengan tidak sabar. Kakashi bernapas lega saat melihat Naruto berlari ke arahnya.

"Mana gembok yang aku minta paman?" tanya Naruto cepat.

"Ini," Kakashi memberikan gembok itu melalui celah pagar sekolah. "Tapi, untuk apa, Naru?" tanya Kakashi lagi.

"Aku akan menjelaskannya paman, tapi nanti. Sekarang, paman kembali, saja!" jawab Naruto tegas dan berlari untuk kembali menuju saluran air. Ia memasang gembok itu pada pintu teralis saluran air, dan menatap hasil kerjanya dengan bangga.

"Rasanya aku ingin melihat air muka kalian saat mendapati pintu saluran air ini terkunci," kata Naruto dengan seringai licik.

"Selamat menikmati malam yang panjang, bocah-bocah nakal!" ujarnya seraya berlalu pergi menuju asrama dan beristirahat dengan nyenyak untuk menunggu pagi yang cerah.

.

.

.

TBC