Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M

Genre : Crime, Action, Friendship, Romance, Angst

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo(s)

Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fic ini maupun fic milik saya lainnya!

Selamat membaca!

Under Cover

Chapter 22 : Maafkan Aku!

By : Fuyutsuki Hikari

.

.

.

Di dalam mobil polisi, Anko terdiam, membisu seribu kata. Dia tidak peduli jika pihak kepolisian mengetahui jati dirinya. Yang dicemaskannya saat ini hanya Fang. Hingga siang ini Ken masih belum memberinya kabar mengenai kondisi terbaru dari pria itu.

Apa Fang baik-baik saja?

Di kursi depan, Yugito dan Sanbi mengamati Anko dengan lekat. Yugito yang duduk di kursi supir sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion. Dia tidak menyangka jika Anko akan bersikap kooperatif saat mereka datang untuk membawanya ke markas besar.

"Aku tidak akan mengatakan apa pun tanpa pengacaraku," ucap Anko, memecah keheningan yang menggantung di dalam mobil. Kendaraan yang dikendarai oleh Yugito meluncur mulus, membelah jalanan Kota Tokyo yang terlihat sibuk, siang ini.

Untuk pertama kali Anko mengubah arah pandangannya, kedua matanya menatap kaca spion. Di sampingnya, Fuu duduk dengan ekspresi tidak bersahabat. Rasa benci menguasai hati Fuu, wanita di sampingnya ini salah satu anggota kelompok Hebi. Kelompok yang nyaris membuat Utakata lumpuh selamanya serta menewaskan Naruto.

"Kalian tidak bisa menahanku tanpa bukti kuat," ucap Anko, terdengar pongah.

Fuu mendelik, rahangnya mengeras. Kemarahan menari-nari dikedua matanya yang jernih. "Simpan ucapanmu untuk nanti, Nona Penipu!" desisnya. Dia mengabaikan tatapan Sanbi yang berbalik, menatapnya penuh peringatan. "Kenapa?" katanya. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Dengkusan keras terdengar dari hidung Fuu. Dia menunjuk wajah Anko, geram. "Hidupmu benar-benar tidak berguna!" desisnya dingin. "Pelacur kotor dan seorang penipu. Dua pekerjaan itu sangat pantas untukmu."

Anko menggertakkan gigi. Emosinnya tersulut. Dia bergerak cepat untuk menyerang Fuu, tapi dengan cekatan cekikannya berhasil dipatahkan oleh Fuu. "Aku akan membunuhmu!" jerit Anko marah.

Fuu tertara keras mendengarnya. Dengan jijik dia menyentuh tangan Anko lalu memborgol pergelangan tangan wanita itu. "Aku akan menuntumu atas tuduhan penyerangan terhadap aparat negara."

Ancaman Fuu tidak membuat Anko takut. Sebaliknya, dia semakin gencar, berusaha melepaskan diri dari borgol sembari menendang-nendangkan kaki sembarangan.

Kedua tangan Fuu terasa sangat gatal. Rasanya dia ingin memukul Anko hingga pingsan. Kalimat yang meluncur dari mulut anak buah

Orochimaru itu terdengar sangat kasar dan tidak pantas untuk diucapkan. Stres dan perasaan tidak aman membuat Anko lupa diri. Otaknya tidak bisa berpikir jernih saat ini.

"Kita diikuti," ucap Yugito menarik perhatian Sanbi dan Fuu. Keduanya menoleh ke arah belakang dengan kompak. Di belakang mereka terlihat dua buah mobil Jeep melaju dengan kecepatan tinggi. Yugito mengumpat saat bagian belakang mobil mereka ditabrak keras. "Brengsek!" makinya. Kaki Yugito menekan pedal gas semakin dalam.

"Mereka pasti kelompok Hebi," kata Sanbi sembari mengokang pistol di tangan. Mereka harus siap untuk kondisi terburuk. Pria itu langsung menghubungi markas besar, meminta bantuan sementara Yugito mengarahkan mobil ke arah jalan tol. Di sana mereka bisa bergerak lebih leluasa.

"Kosongkan ruas jalan selatan!" kata Sanbi melalui radio penghubung. "Musuh bersenjata," dia menyambung tepat saat kaca jendela bekang mobil pecah oleh peluru dari musuh. "Mereka jelas tidak menginginkan dia hidup," kata Sanbi. Dia membuka kaca jendela mobil, mengulurkan kepala, membidik, melesakkan peluru dari senjata api miliknya.

Wajah Anko sepucat kapas. Wanita itu berhenti memberontak. Tanpa banyak bicara di mengikuti perintah Fuu untuk menunduk. Dalam benaknya muncul banyak pertanyaan; Orochimaru tidak berniat untuk melenyapkannya, 'kan?

Anko menggeleng. Tuannya itu tidak mungkin memberi perintah untuk melenyapkannya. Walau harus mati sekali pun, Anko tidak akan pernah membocorkan rahasia organisasi pada musuh. Tidak akan pernah.

Kejar-kejaran terus berlangsung dengan seru. Satu buah helikopter milik kepolisian terbang tinggi di langit. Mobil yang dikendarai Yugito sudah masuk ke jalan tol. Polisi telah

memindahkan pengguna jalan lain untuk menggunakan alternatif lain dan mengosongkan jalur yang akan dilewati oleh Yugito.

Tembakan dilepaskan dari helikopter untuk melumpuhkan pergerakan mobil musuh. Satu mobil Jeep terguling saat ban depannya pecah terkena peluru. Namun, hal itu masih belum membuat Yugito merasa tenang. keringat membasahi pelipisnya. "Mereka mengeluarkan bazooka?" pekiknya tidak percaya.

"Keluar dari benda sialan itu!" jerit Fuu pada anggota kepolisian yang berada di dalam helikopter.

Senjata dengan daya ledak luar biasa diarahkan pada helikopter milik kepolisian. Sebuah ledakan besar terdengar memekakan telinga beberapa saat kemudian.

Yugito membanting setir mobil ke kanan saat baling-baling helikopter yang hancur terlempar dan nyaris menghantam mobil yang dikendarai. Baling-baling itu menghantam aspal dengan keras hingga meninggalkan retakan besar.

Mobil yang dikendarai wanita itu sedikit kehilangan keseimbangan, butuh beberapa waktu hingga Yugito bisa mengendalikannya lagi dan menambah kecepatan mobil. Di langit kejauhan, tiga buah parasut terlihat melayang-layang. Fuu bernapas lega melihatnya.

Di dalam kendaraan lain, Naruto memeriksa senapan miliknya lalu meletakkannya di pinggang. "Kau terlalu lamban!" keluhnya pada Bee yang langsung mengumpat di sisinya.

"Lamban?" beo pria itu tidak terima. "Seratus delapan puluh kilometer per jam masih kau bilang lamban?"

Naruto memutar kedua bola matanya. Mobil yang mengejar Yugito sudah bertambah menjadi tiga buah. Mereka harus melakukan sesuatu sebelum musuh membunuh semua orang yang ada di dalam mobil curian. Naruto sudah bisa membayangkan bagaimana takutnya orang-orang di dalam mobil yang dicuri itu. "Lebih dekat!"

Bee melirik wanita itu dengan ekspresi tidak setuju. "Jangan katakan kau akan meloncat naik ke atas mobil musuh."

Naruto mengendikkan bahu. "Apa kau memiliki ide lebih baik selain itu? Orang-orang tidak bersalah bisa mati," katanya. "Yugito dan lainnya juga bisa mati jika kita tidak bertindak cepat." Di belakang mereka, lima mobil polisi melaju dengan kecepatan tinggi, dua kilometer di depan mereka dua barikade mobil polisi hersiap menghadang musuh.

Rambut Naruto sudah dipotong pendek dengan potongan pria dan dicat hitam. Enam garis halus di pipi telah ditutup riasan untuk menyembunyikannya. Wanita itu terlihat seperti orang lain saat ini. Kacamata hitam bertengger di atas hidung mancungnya.

"Hentikan!" perintah Bee tegas saat Naruto membuka kaca jendela samping mobil. Pria itu sedikit memperlambat laju kendarannya hingga Naruto mendesis. "Kakakku akan membunuhku jika tahu kau melakukan hal gila seperti ini," sambungnya setelah menelan air liur dengan susah payah.

Naruto menutup mata dan kembali memusatkan pikiran. Tidak ada jalan lain. Musuh memiliki senjata sebuah bazooka di mobil pertama. Dia harus bisa merebut senjata itu untuk melumpuhkan lawan. Sebuah ledakan kembali terdengar. Naruto tersentak, giginya gemeretak. "Kita tidak punya banyak waktu."

"Kau akan mati jika memaksa melakukannya," balas Bee pendek.

Namun wanita di sampingnya bergeming. Dia mengembuskan napas beratnya yang terdengar letih. Kaca samping jendela mobil sudah terbuka. Setengah tubuh Naruto berada di luar. Wanita itu mengambil ancang-ancang saat mobil yang dikendarai Bee semakin dekat dengan salah satu mobil musuh.

Angin musim dingin menampar wajahnya. Tubuh Naruto terayun saat mobil yang dikendarai Bee menukik cepat untuk menghindari tembakan yang diarahkan dari mobil yang sedang mereka incar. Keduanya tidak memiliki pilihan lain, Bee mengetatkan rahang,

tangannya dengan cekatan memutar kemudi, mengarahkannya untuk mendekat pada mobil musuh.

Dalam hitungan detik Naruto naik ke atas mobil milik Bee. Dia tidak memiliki banyak waktu. Kedua kakinya sedikit gemetar untuk menyeimbangkan tubuh. Naruto langsung meloncat saat Bee membawa kendaraannya dalam posisi paling dekat dengan mobil musuh. Tubuh wanita itu mendarat keras di atas mobil musuh. Kedua matanya terbelalak saat sebuah tembakan menembus atap mobil dan nyaris mengenai kepalanya.

Tuhan memberkatiku, batinnya penuh syukur. Kakinya langsung menendang seorang pria yang berusaha naik ke atas atap sembari menodongkan pistol. Naruto memutar tangan pria itu dan letusan pun terdengar, membuat suasana bertambah mencekam. Teriakan ketakutan terdengar menyusul dari dalam mobil. Pria yang menodongkan pistol ke arah Naruto mati seketika. Tubuhnya tergantung pada jendela mobil dengan lubang besar pada bagian depan kepala. Otaknya berceceran, terbawa angin musim dingin yang berembus.

Bau anyir tercium pekat. Kedua tangan Naruto berpegangan pada sisi langit mobil untuk menahan tubuhnya agar tidak terlempar dari sana. Wanita itu menyerapah saat musuh yang berada di mobil lain menjulurkan setengah tubuhnya keluar dan melepas tembakan. Perjuangannya akan sia-sia jika dia harus mati di sini.

Naruto memiringkan badan ke satu sisi untuk menghindari tembakan. Sayangnya tembakan itu berhasil menyerempet lengan kirinya dan darah pun mengalir. Wanita itu menggertakkan gigi, di depan sebuah ledakan kembali terjadi. Dengan penuh perhitungan Naruto merayap di langit-langit mobil, satu tangannya menggenggam sebuah pistol.

Wanita itu berusaha menggapai jendela mobil samping yang terbuka. Naruto nyaris terlempar karena musuh mengendarai mobil

ugalan. Mobil itu bergerak tidak terkendali. Pria di dalam mobil berusaha menghempaskan Naruto dari atas kendarannya.

Naruto mengucapkan selamat jalan dengan sangat lirih. Tubuh kecilnya berakrobat, masuk melewati jendela kaca mobil yang terbuka. Kakinya menendang pria yang mengendari mobil SUV berwarna hitam itu.

Di kursi penumpang ada satu orang wanita dewasa dengan dua anak perempuan kecil yang gemetar ketakutan. Air mata mereka sudah kering, mereka terlalu syok untuk menangis.

Mobil bergerak tidak terkendali. Naruto terus menyerang pria di sampingnya setelah menendang keluar mayat pria dengan luka tembak di kepala. Pipi dan kening Naruto terluka, darah segar mengalir, tapi tidak menggoyahkan fokusnya saat ini.

Senjata apinya terlempar ke belakang. Kaki Naruto kembali menendang, tangannya melayangkan sebuah tinju keras ke arah rahang pria itu, dan letusan senjata api pun terdengar, menggema disusul jeritan dua anak perempuan yang menggigil di bawah jok mobil.

Untuk beberapa detik Naruto terlihat syok, tapi dengan cepat dia berhasil menguasai diri dan mengambil alih kemudi dari pria yang sudah mati di sampingnya. Wanita di belakangnya menggigil ketakutan setelah menembak pria tadi dengan tangan gemetar.

"Anda sangat hebat, Nyonya. Keberanian Anda menyelamatkan kita semua," puji Naruto sembari membawa mobil curian itu ke pinggir jalan.

.

.

.

WAJAH Kabuto memerah, napasnya terengah-engah. Sepuluh orang pria berjas hitam termasuk Yamato berjalan di belakang punggungnya dengan kewaspadaan tinggi. Mereka berbaris, berjalan melewati jalan setapak, menembus hutan. Kelompok kecil itu sedikit kesulitan saat harus menembus jalan yang dipenuhi dahan dan ranting-ranting pohon.

Tanah yang mereka injak diselimuti salju tebal, basah dan licin. Keadaan di sekitar mereka minim cahaya, udara pegunungan di musim dingin membekukan tulang.

Kabuto tidak memiliki tempat lain untuk bersembunyi selain di tempat ini. Tangannya menggenggam sebuah senapan berlaras panjang. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri sebuah rumah pertanian yang cukup tersembunyi. Rumah itu menjadi satu-satunya tempat paling aman yang tidak diketahui oleh Orochimaru. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Kabuto saat memilih tempat ini untuk bersembunyi selama beberapa waktu ke depan.

Satu tangan Kabuto diangkat tinggi. Dengan isyarat dia memerintahkan empat orang anak buahnya untuk memeriksa rumah pertanian itu. Tiga orang yang berjalan paling belakang menarik bahan persediaan makanan untuk dua minggu ke depan. Mereka tidak bisa pergi kemana pun untuk beberapa waktu ke depan karena Kabuto yakin Orochimaru sudah memerintahkan Zetsu untuk mencarinya.

Setelah empat orang anak buahnya melaporkan jika tempat itu aman, Kabuto pun kembali berjalan. Wajahnya masih terlihat angkuh seperti biasa, walau saat ini kekuasaannya nyaris tenggelam.

Angin meniup puncak pepohonan, menjatuhkan salju yang menumpuk pada ranting-ranting pohon. Cat pada rumah pertanian itu

terlihat suram dan mengelupas di berbagai tempat. Lumut tumbuh dengan subur membuat anak tangga menuju teras menjadi licin.

Mereka menyebrangi halaman menuju teras. Kayu berderik saat diinjak. Rumah itu sangat gelap dan dingin. Kabuto mengeluarkan kunci dari dalam saku celana untuk membuka pintu rumah yang terkunci.

Bau apek tercium menyengat saat Kabuto melangkah masuk ke dalam rumah. Yamato berjalan menuju perapian yang ada di sisi ruangan. Dia mengecek persediaan kayu bakar yang penuh debu. Entah sudah berapa tahun rumah ini ditinggalkan dengan kondisi seperti ini.

"Ada genset di dalam gudang," ucap Kabuto, memecah kesunyian. Dia melarang penutup jendela dibuka hingga tidak ada cahaya di dalam ruangan itu. "Coba kalian periksa, apa masih bisa dipakai?" sambungnya.

Tiga orang anak buahnya langsung bergerak untuk mengerjakan perintah Kabuto, sementara tiga orang anak buahnya lain membawa bahan persediaan makanan menuju dapur yang ditunjuk oleh Kabuto.

Yamato masih tidak bicara. Dia berjongkok di depan perapian, berusaha menyalakan api dengan menggunakan kayu bakar yang ada. "Aku akan mencari kayu bakar sebelum malam. Kita memerlukan banyak persediaan jika akan tinggal lama di tempat ini."

Kabuto tidak langsung menjawab. Dia melambaikan tangan, memerintahkan tiga pria lain untuk membantu memasukkan barang-barang ke dalam rumah. Kabuto menarik kain putih yang menutupi sofa lalu duduk dengan nyaman di atasnya.

"Kenapa orang suruhanmu tidak langsung membunuh Kurama di tempat?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Kabuto. Ujung matanya mengamati sosok Yamato yang masih terlihat tenang dan sibuk menyalakan api di perapian.

Yamato tidak langsung menjawab. Udara di sekitar mereka semakin menurun. Ekpsresinya terlihat puas setelah berhasil menyalakan api. Dengan gerakan lambat dia berbalik. "Rumor menyebar dengan cepat," sahutnya dengan nada tenang menakjubkan. "Pembunuh bayaran yang kusewa ketakutan setelah

tahu jika Bos Besar mengincar Kurama dalam kondisi hidup. Menurut Anda apa yang akan mereka lakukan? Mereka menginginkan uang tentu saja, tapi kematian juga sangat mereka takuti."

Kabuto menggertakkan gigi. Tidak menyangka rencananya akan berbalik padanya.

"Beberapa anak buah Anda pun sama tololnya." Yamato mengangkat tangan saat Kabuto mendelik dan menatapnya penuh ancaman. "Mereka terlalu pengecut untuk mematuhi perintah yang Anda berikan." Yamato mulai mengarang dengan lihai. Dia tidak akan mengatakan jika anak buah Kabuto yang tolol itu memang mendapatkan perintah untuk membawa Kurama hidup-hidup dan Yamato akan membereskan sisanya.

Dia menjeda, menarik napas panjang dan melepasnya pelan. "Seseorang pasti sudah membocorkan rencana Anda, Bos. Jika tidak, bagaimana Bos Besar tahu jika Anda menginginkan nyawa Namikaze Kurama?"

Kabuto menggebrak meja di hadapannya. Setelah bersembunyi selama beberapa bulan di dalam selokan-selokan menjijikan, kini dia harus bersembunyi di tempat terkecil untuk berlindung dari Orochimaru. "Aku harus segera lolos dari tempat terkutuk ini," desisnya. "Aku harus pergi keluar negeri."

Yamato mengangguk setuju. Namun, dengan cepat dia memberi peringatan, "Bos Besar sudah menerjunkan mata-mata di setiap dermaga dan bandara. Untuk sementara waktu Anda tidak bisa pergi kemana pun, Bos."

"Zetsu pasti sedang mencariku sekarang," kata Kabuto penuh keyakinan. "Bos Besar salah besar karena sudah memberinya kepercayaan penuh," desisnya. "Zetsu sangat licik, dia bermain curang di belakang Bos Besar." Kabuto tidak mengerti kenapa bosnya masih memiliki kepercayaan sebesar itu pada seorang pengkhianat? Andai keadaannya masih seperti dulu, Kabuto pasti akan lebih mudah untuk menyingkirkan Zetsu.

Yamato mengangguk walaupun nampak keraguan di matanya. "Sayangnya kita tidak memiliki bukti untuk menyeret Bos Zetsu.

Dan, Bos, sampai kapan Anda akan bersembunyi di sini?" tanya Yamato. "Persediaan makanan kita hanya untuk dua minggu saja," sambungnya terdengar serius. "Aku harus kembali ke kaki bukit untuk menyembunyikan mobil-mobil kita."

"Kalau begitu tunggu apa lagi?" desis Kabuto. "Pergi untuk membeli bahan makanan lalu sembunyikan semua mobil sialan itu!" perintahnya tegas.

.

.

.

Mobil Bee langsung menepi setelah melihat mobil yang berhasil dirampas Naruto berhenti tepi jalan. Dua mobil polisi lain ikut menepi untuk mengamankan keadaan. Sebuah mobil ambulans ikut menyusul, tiga orang petugas turun dari dalamnya untuk memeriksa kondisi korban penyanderaan.

"Mereka sangat syok," ucap Naruto. Jendela mobil itu dipenuhi oleh darah dan bagian otak manusia yang menempel karena terbawa udara. Dua orang petugas kesehatan mengangguk kecil, dan membawa tiga wanita berbeda usia itu masuk ke dalam ambulans. "Bagaimana dengan Yugito?"

Bee tidak langsung menjawab. Dia meludah saat jenazah salah satu penjahat diturunkan dari dalam mobil. "Mereka sudah keluar dari tol dan dikawal menuju markas besar."

"Dan penjahat-penjahat itu?"

"Berhasil dilumpuhkan," kata Bee. "Aku mendapat laporan dari radio polisi. Mereka berhasil menembak dua mobil itu," terangnya.

Naruto mengangguk, terlihat puas. "Apa kau akan membawaku ke markas?" tanyanya saat berjalan masuk ke dalam mobil milik Bee.

Bee menggeleng. Tangannya memutar kuci mobil dan menyalakan mesin. "Kita menuju kediaman kakakku," ucapnya membuat Naruto menaikkan satu alis tinggi."

"Kesana?"

Bee mengangguk. "Yugito dan Sanbi bertanggung jawab untuk menginterogasi Anko, sementara kau, Gobi dan Fuu akan mendapatkan perintah baru dari Jenderal Raikage dan Menteri Fugaku."

"Bagaimana dengan kakakku?" Naruto menatap Bee lekat saat menanyankannya.

"Kita akan menunggu berita dari Kakashi untuk hal itu," jawab Bee pendek.

.

.

.

Anko sama sekali tidak menyangka jika dia masih bisa bernapas hingga detik ini. Tidak banyak orang yang bisa lolos dari cengkraman Orochimaru, dan jika tuannya itu sudah menginginkan kematiannya, maka cepat atau lambat Anko pasti mati, baik di dalam penjara atau di luar penjara.

Wanita itu ditempatkan di dalam ruangan khusus untuk interogasi. Sudah setengah jam dia duduk menunggu di tempat itu. Kepalanya menoleh saat pintu ruang interogasi dibuka. Yugito masuk ke dalam ruangan dengan sikap tenang. ekspresinya sulit dibaca. Luka-luka di tangan dan wajahnya sudah diobati.

Yugito melempar sebuah berkas ke atas meja. Anko tidak memperlihatkan ekspresi apa pun saat melihat foto Tayuya tertempel pada lembar pertama berkas itu.

"Kau mengenalnya, 'kan?" Yugito bertanya sembari menarik kursi lalu duduk diatasnya dengan sikap tenang. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. "Tayuya, murid Konoha High School yang dengan keji kau bunuh, Nona Atarashi."

Anko tertawa renyah mendengar penuturan itu. "Aku membunuh?" tanyanya setelah tawanya lenyap. "Aku menginginkan pengacaraku," tegasnya penuh penekanan.

Yugito menyandarkan tubuh pada kursi. Dia mengetuk-ngetukkan pulpen di tangan ke atas meja. "Kenapa kau tidak bekerja sama?" tanyanya, dingin. "Hukumanmu akan dikurangi jika kau mau bekerja sama," sambungnya masih dengan nada dan ekspresi sama.

Anko tidak menjawab. Wanita itu bergeming saat Yugito mencondongkan tubuh dan menatapnya lekat penuh penilaian. "Kau tidak akan hidup jika bos besarmu tidak berhasil kami tangkap. Apa kau lupa jika dia berusaha untuk menghabisimu?"

"Aku tidak mengerti," sahut Anko. Dia mempertahankan kepolosannya. Dengan sikap tak acuh dia mengangkat satu bahunya ringan. "Bukankah kalian membawaku untuk diinterogasi masalah hilangnya Guru Namikaze? Kenapa sekarang kau menginterogasiku untuk hal lain?"

"Jangan bersikap bodoh, Nona Atarashi. Aku tidak akan tertipu oleh kepolosanmu," balas Yugito. Dia melempar beberapa foto Anko saat bersama Zetsu dan beberapa anak buah Orochimaru. "Kau mengenal mereka, 'kan?"

"Aku mau pengacaraku!" tekan Anko, hampir menjerit. Dia harus keluar dari tempat ini dan memastikan Fang keluar secepatnya dari apartemen. Anko yakin jika Orochimaru akan menjadikan pria itu sebagai alat untuk menekan Anko agar tutup mulut. "Aku tidak akan menjawab satu pun pertanyaanmu," sambungnya tegas.

Ekspresi Yugito tidak berubah. Dia menatap Anko penuh selidik. "Orochimaru yang memberimu perintah untuk membunuh Tayuya. 'kan?"

Anko diam membisu.

Untuk kedua kalinya Yugito melempar sebuah bukti yang tidak akan bisa membuat Anko mengelak. "Foto-foto itu kami dapatkan dari hasil rekaman video telepon genggammu." Yugito melepas napas berat. "Kenapa kau bisa setega itu?" tanyanya. "Apa kau tidak berpikir jika gadis itu masih memiliki masa depan panjang?"

Hening.

"Dia memiliki orang tua, Nona Atarashi. Orang tua yang hingga saat ini masih menangisi kematiannya!" Yugito nyaris menjerit saat mengatakannya. Dia meningkatkan nada bicara karena emosi. "Sebaiknya kau bekerja sama dengan kami," pintanya, nada bicaranya kembali merendah. "Hukumanmu akan dikurangi jika kau mau bekerja sama."

"Dikurangi?" beo Anko, menatap lekat Yugito dengan pandangan merendahkan. "Apa kau yakin aku akan tetap hidup hingga besok pagi?"

Kening Yugito ditekuk dalam. Kedua alisnya saling bertaut. "Apa maksudmu?"

"Tuanku tidak akan membiarkan aku hidup lama," kekeh Anko, pasrah. "Dia akan memastikan aku tidak mengatakan apa pun, dan kalian tidak akan mendapatkan apa pun dariku."

"Kau—"

"Boleh aku tahu dari mana kau mendapat rekaman video itu?" potong Anko dengan sikap pongah. Wanita itu duduk bertopang kaki. "Selama ini aku tidak pernah meninggalkan telepon genggamku sembarangan," sambungnya. "Aku bahkan tidak pernah membawanya saat melayani—" Anko tidak melanjutkan ucapannya. Kedua matanya melebar sempurna. Dua kali. Hanya dua kali dia pernah membawa telepon genggamnya, dan sata itu dia tidur dengan Fang.

Apa mungkin? Batinnya. Anko berusaha menolak kemungkinan jika pria yang dicintainya seorang pengkhianat. Fang tidak mungkin mengkhianatiku, 'kan? Pikirnya.

"Kau tidak perlu darimana kami mendapat rekaman ini," sahut Yugito memutus lamunan panjang Anko. "Kau sama seperti tuanmu, Nona Atarashi. Kau sangat keji, bagaimana bisa kau merekam proses sekarat seseorang?" giginya gemeretak keras. "Pikirkan tawaranku; bekerjasamalah dengan kami!"

"Apa yang ingin kau tahu?" Anko bertanya saat Yugito berdiri dan hendak pergi.

Yugito berbalik dengan gerakan pelan. Tangannya memeluk berkas-berkas berisi bukti yang menunjukkan Anko sebagai pembunuh Tayuya. "Kemana tuanmu membawa Namikaze Kurama?"

Keheningan meraja. Keduanya saling berpandangan untuk beberapa saat.

"Hanya Tuhan yang tahu ke mana tuanku membawa guru itu," jawab Anko tanpa ekspresi.

.

.

.

Gobi dan Fuu terus mencuri lihat ke arah Naruto. Keheningan yang menggantung di dalam ruangan itu tidak membantu mengurai ketegangan.

"Kita akan menunggu dua rekan kalian lagi, setelah mereka datang, aku akan menjelaskan kenapa aku memutuskan memalsukan kematian Naruto."

Gobi dan Fuu hanya mengangguk samar mendengar penuturan Fugaku. Keduanya duduk di balik meja melingkar berukuran besar. Fugaku duduk di kepala meja, sementara Naruto duduk di seberang mereka.

Sebuah ketukan menarik perhatian Fuu dan Gobi. Untuk kesekian kalinya hari ini mereka terlihat sangat kompak. Beberapa detik kemudian Yugito dan Sanbi melangkah masuk ke dalam ruangan. Keduanya baru saja akan memberi hormat pada sang menteri saat ujung mata mereka menangkap sosok Naruto.

Yugito menunjuk Naruto dengan mulut terbuka lebar. "Ke-kenapa?" tanyanya, terbata. Kehadiran Naruto membuatnya lupa memberi hormat ala militer pada Fugaku.

"Duduklah, Sersan Yugito, Sersan Sanbi!" kata Fugaku, memutus keheningan yang kembali tercipta untuk beberapa saat. Dengan patuh keduanya duduk di bangku terdekat. "Kalian sudah berkumpul," ucap Fugaku, "sudah waktunya aku menceritakan alasan memalsukan kematian Naruto."

Butuh lima belas menit bagi Fugaku untuk menerangkan duduk perkara. Keempat rekan Naruto terdiam, menyimak penjelasan sang menteri dengan seksama.

"Anda menceritakan ini pada kami karena sudah yakin salah satu dari kami bukan pengkhinat. Bukan begitu?" Yugito memberanikan diri untuk bertanya. Harga dirinya terluka karena Jenderal Raikage dan Menteri Pertahanan Fugaku mencurigai salah satu dari mereka sebagai mata-mata.

Dengan sangat menyesal Fugaku menganggukkan kepala. "Dua rekan kalian nyaris mati," ujarnya, "jadi wajar jika aku mencurigai semua orang di dalam organisasi," sambungnya.

Fugaku menjeda, mengubah posisi duduknya untuk bersandar ke kursi. "Hanya orang dalam yang tahu setiap misi yang tengah kalian kerjakan, dan beberapa misi itu selalu berakhir gagal. Bohong jika kalian tidak curiga. Iya, 'kan?"

Keempat anggota Tim Alpha tidak bisa mengelak. Mereka memang merasa aneh karena misi yang mereka lakukan belakangan ini selalu menemui kegagalan. Utakata dan Naruto bahkan nyaris mati karenanya.

"Bagaimana dengan Anko?" Fugaku kembali bertanya, dengan nada tenang. ekspresinya berubah serius. "Apa yang kau dapatkan darinya."

"Lapor, Pak, tersangka masih tidak mau bekerjasama," jawab Yugito gemas. "Anko terlalu keras kepala walau tuannya berniat menghabisinya."

Fugaku melepas napas berat. Kedua matanya terpejam untuk beberapa detik. "Anko sangat penting," ujarnya. "Dia salah satu kepercayaan Orochimaru. Wanita itu terlalu banyak tahu jadi aku tidak akan heran jika dia akan menjadi target pembunuhan di dalam penjara," terangnya.

Fugaku mencondongkan tubuh. Kedua tangannya dilipat di atas meja. "Apa kalian sudah memindahkannya ke ruangan khusus?"

Sanbi menganggukkan kepala. "Selain orang-orang kepercayaan Jenderal Raikage, tidak ada petugas yang diizinkan untuk mendekat," terangnya.

Fugaku mengeluarkan beberapa dokumen dari dalam tas kerjanya. Masing-masing dari Tim Alpha mendapatkan satu salinan. "Di dalam berkas itu terdapat informasi beberapa markas milik Orochimaru," terangnya. "Sudah satu minggu ini Tim Charlie menggeledah perusahaan milik Orochimaru, tapi pria itu menghilang seperti hantu."

"Dia sudah tahu," ujar Naruto.

"Benar, dia sudah tahu." Fugaku menjawab, ekspresinya terlihat lelah. Pria paruh baya itu menggelengkan kepala pelan.

Dan ruangan pun kembali diselimuti ketegangan. Orochimaru tidak bisa lolos dengan mudah tanpa bantuan orang dalam. Tapi siapa?

"Untuk sementara, keselamatan kakakmu terjamin, Letnan Naruto."

"Apa Anda yakin?" Naruto bertanya dengan cemas. Dia duduk gelisah di atas kursinya. Anggukan Fugaku tidak bisa menenangkan dirinya. Perasaan takut sekaligus khawatir itu tetap bercokol di dalam hatinya.

Rahang Fugaku mengetat, ekspresinya mengeras. "Yang harus kita khawatirkan saat ini adalah Kakashi."

Kesiap halus meluncur dari mulut Naruto. "Jika mata-mata itu orang dalam, musuh pasti sudah tahu siapa Kapten Kakashi sebenarnya. Benar begitu, Pak?"

"Benar, itu salah satu yang aku takutkan," sahut Fugaku penuh misteri.

"Lalu, hal apa lagi yang Anda takutkan, Pak?"

"Orochimaru menggunakan Kurama untuk memeras Kakashi, dan sebaliknya; dia menggunakan Kakashi untuk memaksa kakakmu bekerja untuknya," jawab Fugaku, keruh.

.

.

.

Kabuto tidak menyangka jika Zetsu bisa menemukan tempat persembunyiannya dengan sangat mudah. Pria itu bersembunyi dibalik sofa yang sengaja dibalikkan untuk menahan tembakan dari musuh. Rumah pertanian itu sudah dikepung dari segala penjuru. Senjata otomatis merusak rumah berbahan kayu itu.

Tubuhnya menggigil. Dalam hati dia bertanya; siapa yang sudah membocorkan tempat persembunyiannya?

Dengan hati-hati dia berjalan, menuju sebuah pintu rahasia yang berada di bawah perapian. Jika rumah ini hancur, mereka tidak akan bisa menemukan pintu rahasia itu karena Kabuto yakin puing-puing perapian akan menutupnya dengan sempurna.

Api perapian sudah dipadamkan. Kabuto hanya tinggal menunggu beberapa waktu untuk meyakinkan Zetsu jika dia sudah mati. Pria itu tersenyum culas, menertawakan kebodohan Zetsu.

"Keluar Kabuto!" teriak Zetsu dari luar rumah. Udara dingin tidak menyurutkan keinginannya untuk segera menghabisi rivalnya itu. "Bos Besar ingin bertemu denganmu." Tawa Zetsu menggema

setelahnya. Ada kepuasan tersendiri yang dia rasakan. Kabuto tidak ada bedanya dengan seekor tikus yang masuk ke dalam perangkap.

Senjata kembali ditembakkan. Lima orang anak buah Kabuto sudah mati di tangan anak buah Zetsu, sementara tiga lainnya menyelamatkan diri dengan menuruni bukit di belakang rumah pertanian itu.

Anak buah Zetsu menuang solar yang ditemukannya di gudang penyimpanan ke seluruh bagian luar rumah. Mereka tertawa puas setelah selesai mengerjakan tugasnya.

"Sampai kapan kau akan bersembunyi?" Zetsu berteriak dengan nada mengejek. Ia mengangkat satu tangan, memberi perintah pada anak buahnya untuk menyulut api. "Sayang sekali kau harus berakhir seperti ini," gumamnya. Api pun menyala, berkobar, menerangi bukit. Salju yang turun tidak membuat api padam dengan mudah.

Dari dalam rumah terdengar suara teriakan yang disusul oleh tembakan. Zetsu kembali tertawa keras. Akhirnya rival yang dibencinya mati. "Kabuto akhirnya mati," gumamnya sebelum berbalik pergi meninggalkan tempat itu tanpa tahu jika musuh bebuyutannya masih hidup dan tengah menuruni bukit dengan membawa dendam.

Anggota kepolisian yang dipimpin oleh Bee tiba di lokasi satu jam kemudian. Bee mengumpat saat melihat titik api di kejauhan. Dengan langkah cepat pasukannya bergerak menuju lokasi. Mereka hanya bisa terdiam membisu saat melihat puing-puing rumah yang hampir habis dilalap api.

"Kapten, ada lima mayat dengan luka tembak tersebar di beberapa titik," lapor seorang polisi berpangkat Sersan.

Bee menggertakkan gigi. Untuk kesekian kalinya pasukannya terlambat datang. "Bawa mayat mereka dan pastikan api padam!" perintahnya. Mereka harus memadamkan api agar tidak menjalar dan menghanguskan hutan di sekitarnya.

"Kenapa musuh selalu berada satu langkah di depan kita?" tanya seorang pria berseragam polisi. Usianya sekitar empat puluh tahun. Pria itu mengusap wajah, lalu menghela napas kasar. Udara dingin membuat giginya gemeretuk.

Bee yang berdiri di samping polisi itu ikut menghela napas keras. Raikage pasti akan marah karena untuk kesekian kalinya tim yang dipimpin oleh Bee gagal mengeksekusi tugas.

Tapi apa Kabuto benar sudah mati? Tanya Bee dalam hati.

Pria itu mengendikkan bahu. Napasnya dibuang panjang. Pasukan gabungan kepolisian dan militer yang dipimpinnya mulai menuruni bukit saat waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Mereka tidak pulang dengan tangan kosong karena lima kantung berisi jenazah dibawa serta.

.

.

.

TBC