A/N : Ummm... Halo? Ini fanfic pertama saya di fandom Naruto... huaaaaaa... nervous... Semoga cerita ini baik-baik saja... Tolong jangan di flame ya... Saya memiliki jiwa yang sensitif *tabok diri sendiri*

Fic ini bisa dibilang Alternate Reality dengan spoiler untuk chapter-chapter yang terakhir (tolong jangan bunuh saya)... semoga fic ini bisa di terima khalayak ramai demi kemaslahatan umat...

Saya tahu ada banyak fic tentang time-travel tersebar di , saya jadi pengen buat satu... ehehehehe...

Disclaimer : bukan punya saya...

Eeeeh... review? Tapi tolong jangan di-flame yah...


Prolog


"Sacrifice is a part of life. It's supposed to be. It's not something to regret. It's something to aspire to."
― Mitch Albom


Darah.

Air mata.

Luka.

Sakit.

Di bawah langit merah darah, padang pertempuran terbentang luas menyisakan puing-puing reruntuhan, perlahan-lahan terkikis oleh hembusan angin kering menjadi debu. Dua sosok terduduk di tengah-tengah kehancuran, seolah menanti ajal 'kan datang menjemput. Angin kering bertiup, memberikan rasa perih pada luka-luka yang tersebar di tubuh mereka. Habis sudah... Mereka kalah... Konohagakure no Sato telah hancur.

Uchiha Madara telah menang.

Uzumaki Naruto tidak mampu berkata apa-apa saat ia mendekap tubuh dingin Hyuuga Hinata lebih erat. Ia tidak lagi melihat sinar kehidupan di mata gadis itu, hanya seulas senyum kecil di wajahnya saat ia menatap wajah Naruto, menyentuh wajah pemuda itu dengan tangannya, menghapus darah dan air mata dari wajah itu. Hyuuga Hinata tersenyum dalam kematiannya karena ia tahu hal terakhir yang terjadi pada dirinya adalah berada dalam pelukan orang yang ia cintai.

Naruto memeluk tubuh itu lebih erat. Satu per satu, orang-orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Ayahnya... Ibunya... Hokage Ketiga... Ero-sennin... terlalu banyak nama untuk disebutkan. Terlalu banyak rasa sakit untuk dirasakan. Terlalu banyak air mata telah tumpah menangisi kehilangannya. Naruto memejamkan matanya.

Sasuke... Sakura-chan...

Hinata...

"N-Naruto..."

Naruto mengangkat wajahnya saat mendengar satu suara memanggilnya. Siapa? Ia memandang berkeliling, berusaha mencari sumber suara itu. Adakah orang lain yang berhasil selamat?

Dikejauhan, ia masih mendengar Juubi mengamuk. Uchiha Madara... Uchiha Obito... Namun saat ini, prioritasnya adalah menemukan sumber suara itu.

Naruto memaksa kakinya untuk berdiri. Dengan sisa tenaganya, ia tetap mendekap Hinata dan berjalan mencari sumber suara.

Langkahnya terhenti.

Ia menatap sosok familiar dihadapannya. Rambut keperakan itu... serta seragam jounin-nya yang sudah hancur... Naruto masih mengenali sosok itu, meski wajahnya tidak lagi tertutup topeng hitam yang selalu ia kenakan. Naruto mempercepat langkahnya mendatangi sosok yang kini telah babak belur itu. Ia dapat melihat genangan darah membasahi tanah di sekitar jounin yang sangat ia kenali itu.

Hatake Kakashi menatapnya dengan sebelah matanya. Sharingan miliknya kini tertutup, sementara rembesan darah merah mengalir bagaikan air mata dari mata kirinya itu. Matanya yang normal-lah yang menatap Naruto yang beringsut mendekati tempatnya berada. Kondisi Kakashi saat ini sangat lemah. Ia nyaris tidak bisa duduk sehingga Sang Ninja Peniru itu memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya pada sebuah puing reruntuhan yang besar dan kokoh.

"Kakashi-sensei!" seru Naruto saat ia menghampiri gurunya itu. "Syukurlah kau masih hidup!"

Kakashi hanya memberinya senyum yang menenangkan, kalau saja wajahnya tidak dikotori oleh darah dan debu peperangan.

"Hinata... apakah dia...?" tanya Kakashi.

Naruto menggeleng. Dengan hati-hati ia membaringkan Hinata di bawah bayang-bayang reruntuhan dan kembali mengalihkan perhatiannya pada Kakashi.

"Kita harus pergi dari sini," kata Naruto.

Kakashi menggeleng. "Aku sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk bergerak Naruto..." kata Kakashi. "Chakra-ku nyaris habis... Aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertahan..."

Naruto menatap Kakashi dengan kengerian di wajahnya. Tidak... Tidak boleh begini... Ia tidak bisa kehilangan Kakashi-sensei sekarang...! Ia tidak mau lagi kehilangan semuanya... Tidak...

"Kakashi-sensei, aku... Aku bisa menggendongmu... Kita harus pergi dari tempat ini..." kata Naruto. Hal itu terdengar mustahil bahkan bagi dirinya sendiri. Juubi dapat dengan mudah menghancurkan mereka dengan Bijuu-dama nya... Seperti mereka menghancurkan pusat komando dan membunuh Nara Shikaku... Yamanaka Inoichi...

"Kau harus pergi dari sini, Naruto..." kata Kakashi. Perlahan, ia menggerakkan tangannya, memastikan apakah jari-jarinya mampu bergerak sesuai keinginannya. Kakashi tersenyum saat mereka dipastikan sudah tidak apa-apa.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja!" seru Naruto. "Kakashi-sensei...!"

Sebelum Naruto dapat menghentikannya, tangan Kakashi telah bergerak membentuk serangkaian segel yang rumit. Dengan sisa-sisa chakranya, Kakashi mengerahkan seluruh tenaganya. Ia dapat mendengar raung amukan Juubi di kejauhan. Tidak ada waktu untuk memikirkan semua itu. Ia menghantamkan tangannya ke tanah, melepaskan chakranya... perlahan menyadari bahwa kini ia sama sekali tidak memiliki chakra tersisa.

"Kakashi-sensei!"

Ia mendengar Naruto berseru, menatap horor yang muncul dari belakangnya. Ia merasakan deru angin dan kilatan cahaya putih saat ia menyaksikan Naruto perlahan-lahan menghilang di tengah lingkaran segel di sekitar mereka.

Naruto masih berusaha memanggilnya, namun Kakashi sudah tidak mampu mendengarnya lagi. Ia dapat merasakan Bijuu-dama mulai mendekat di belakangnya. Ia tersenyum untuk terakhirnya pada muridnya itu.

Dengan sisa nafasnya, ia berkata,

"Hiduplah, Naruto."


A/N : Silahkan review~