Dari kamarku kuawasi jendela kamar Juli. Pertimbangan untuk menghampirinya dan berbicara dengannya melintas di kepalaku. Namun, bagaimana bila Juli menolak? Sudah jelas bukan? Dia tidak mau melihatku di sekolah. Aku tidak menemukannya di kantin dan tak sekalipun Juli tersenyum padaku. Dan sekarang dia menolak undangan Chet untuk makan malam bersama. Juli dan Chet bagai teman lama, setahuku mereka tidak pernah menolak ajakan untuk melakukan sesuatu bersama. Mungkin dia benar-benar tidak ingin melihatku sama sekali. Juli seakan menghindariku. Juli membenciku. Penyesalan pun bertubi-tubi menghantam dadaku.

Aku memutar badan dan mengambil lembaran essayku dari meja. Kuputuskan untuk mengerjakannya di rumah Juli. Tak peduli dia akan membanting pintunya atau iia akan mengabaikanku semalaman. Kuambil sweaterku dan berlari turun tangga. Aku baru memutar kenop pintu ketika Chet memanggilku.

"Terburu-buru, Bryce?"

Aku menghentikan tindakanku lalu berbalik, "Uhm, ya, Chet. Tugas sekolah."

"Oh, mau ke rumah Juli?" dia bertanya.

Aku mengangguk, "Ya. Ini tugas kelompok." Aku melangkahkan kakiku keluar, "Ini tak akan lama."

"Tunggu sebentar, Bryce," Chet berseru. "Sejak dia tidak datang untuk makan malam di sini, bawakan makanan untuknya, bisa? Kuharap dia belum makan jadi masih ada sisa ruang di perutnya untuk masakanku."

Aku langsung menuju dapur dan memasukkan puttanesca Chet dalam wadah sedang. Seharusnya aku tak perlu melakukan ini, jika Juli datang. Jika Juli tidak marah padaku.

"Chet, maafkan aku," kataku menghampirinya. Kertas dan pulpenku ada dalam saku celana. Kedua tanganku membawa puttanesca yang sudah setengah dingin.

"Untuk apa, Bryce. Kau tidak melakukan kesalahan apapun, aku yakin," kata Chet, dahinya mengerut kebingungan.

"Kurasa aku tahu kenapa Juli tidak mau datang, Chet," aku menatap mata tuanya yang masih memancarkan harapan. "Dia marah padaku."

Chet membuat ekspresi 'ah... I see' dan menginstruksikan aku untuk melanjutkan dengan gestur badannya.

"Seharusnya aku membela Juli, tapi aku malah memilih sahabatku. Kurasa... kurasa aku telah menyakiti hatinya, Chet."

Aku mengambil kursi dan duduk di samping Chet, masih dengan puttanesca di atas tanganku.

"Kau menyesal? Apakah sahabatmu itu sepadan, kalau begitu?"

"Tidak," kataku tanpa berpikir. Itu pasti. Garret, well, kau tidak bisa menyebut sesorang sahabatmu jika dia bahkan tidak tahu mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan apalagi dirimu.

"Chet, dengan apa aku bisa membuat Juli memaafkanku?" kataku frustrasi. "Dia semakin jauh tiap harinya. Dan aku takut... aku takut aku tak biisa menggapainya lagi."

Apa aku terlalu tinggi? Terlalu puitis? Tidak. Aku hanya mengutarakan apa yang harus kuutarakan. Mengeluarkan isi hatiku.

"Dengan perlahan," kata Chet mantap lalu dia menepuk bahuku. "Mari kuberitahu sesuatu, Bryce," aku bersandar mendekati Chet.

"Juli adalah pribadi yang unik, seperti pernah kuberitahu sebelumnya, kau setuju bukan?"

Aku setuju.

"Jika kau bisa memberi bunga dan cokelat pada gadis-gadis lain sebagai tanda maafmu dan mereka akan dengan cepat menerimanya, maka Juli masalah lain."

Sedikit-sedikit aku mulai mengerti maksud Chet.

"Jadi maksudmu dengan... puttanesca ini?"

Chet lagi-lagi memberiku tatapan bingungnya, kemudian dia berdecak. "Tidak."

"Lalu?"

"Dengan sikapmu. Tunjukkan padanya kau bisa dan mau berubah, tunjukkan kau bukan lagi anak laki-laki yang menganggapnya dan keluarganya sebagai orang-orang aneh. Tunjukkan bahwa kau benar-benar menyukainya."

Rahangku jatuh ke lantai mendengar apa yang barusan di katakan Chet. Bagaimana dia bisa...

"Oh, yes, young man," katanya menepuk pundakku lagi. "Aku bisa melihatnya. Dan! Merasakannya, aku mengerti Bryce kalau kau," dia menunjuk dadaku dan menekankan telunjuknya di situ. "Akhirnya mulai membiarkan Juli Baker, masuk ke dalam hatimu."

Kakek Chet tersenyum amat lebar sedangkan aku berusaha untuk tidak menumpahkan puttanesca ke mukaku supaya Chet tidak bisa melihat pipiku yang memerah.

"Well, ahem," aku membersihkan tenggorokanku gugup.

"Bukankah kau punya PR, eh?"

"Ya," aku bangkit berdiri sebelum Chet peka terhadap kegugupanku dan sebelum suasan bertambah canggung,atau sebelum Chet mulai mengejekku. "Aku sebaiknya pergi."

Kulangkahkan kakiku menjauh dari Chet, saat aku sudah di luar aku mendesah panjang. Lega akhirnya bisa melewati momen canggung tadi.

Rumah Juli tampak sepi. Mobil ayahnya tidak tampak di pekarangan. Aku melangkah melintasi jalanan dan tak butuh satu menit aku sudah sampai di depan pintu rumahnya.

Aku ragu, jujur saja. Meski masakan Chet yang kubawa setidaknya bisa melunakkan Juli.

Tiga kali aku mengetuk dan tidak berapa lama pintu terbuka memperlihatkan Juli dengan matanya yang terbelalak. Buru-buru dia membanting pintunya.

BAAM!

Aku bisa menghirup udara yang tercipta dari gerakan tadi.

"Tunggu Juli!" teriakku.

Pintu terbuka lagi walau hanya sedikit. Setengah lengan Juli muncul dari baliknya dengan jemarinya menyodorkan beberapa lembar kertas. Aku mengambilnya lalu kemudian pintu tertutup lagi.

"Juli!" aku berteriak, berharap cukup keras dan dia bisa mendengarnya. "Bisa buka pintunya sebentar? Aku membawakanmu masakan Chet!"

Nah, itu. Alibiku sempurna.

Pintu terbuka sedikit, tangan Juli keluar kali ini dalam posisi menengadah. Aku terkejut dengan sikapnya. Harus sebegitukah? Kadang Juli memang terlalu sukar ditebak. Bahkan melihat wajahku pun dia enggan.

Lantas, aku menahan tangannya alih-alih menaruh puttanesca di situ.

"Buka dulu pintunya," aku memaksa. Sejenak aku bisa merasakan tangan Juli yang menegang dan usahanya untuk melepas cengkeramanku. Tapi aku lebih kuat darinya sehingga Juli akhirnya menyerah dan dia membuka pintunya, cukup sampai badannya terlihat.

Ini kejadian di koridor rumahku dalam deja vu.

Aku langsung melepas tangannya dan menarik nafas berat, mengatur detak liar jantungku.

Juli tidak repot-repot melihat wajahku. Dia sepertinya lebih tertarik pada karpet bertuliskan Welcome yang sekarang kuinjak.

"Uhm..." aku memulai. "Chet benar-benar sedih kau tidak datang malam ini, kau tahu, rumah kita berseberangan jadi dia benar-benar berharap kau bis-"

"Aku sibuk. Sampaikan maafku pada Chet," katanya dingin mengangkat kepalanya namun masih tidak menatapku.

"Well, sayang sekali."

Kecanggungan mengisi udara di sekitar kami. Tidak ada percakapan yang terdengar rasional yang nampaknya bisa terlaksana sekarang ini. Sekarang aku benar-benar bingung harus bicara apa lagi, karena aku tidak ingin hanya jadi pengantar makanan. Aku ingin memperbaiki konflik di antara kami. Dan Juli sepertinya terlalu sibuk, terlalu larut, dalam pikirannya sendiri.

"Boleh aku masuk?" pintaku ragu-ragu dan penuh harap.

"Tidak!" jawab Juli sedikit menggertak.

"Kenapa?"

"Itu," dia menunjuk puttanesca di tanganku. "Untukku, bukan?"

"Ah, ya," aku meyodorkannya kepada Juli.

"Sampaikan terimakasihku pada Chet," Juli mengambil puttanesca itu lalu dengan satu gerakan cepat dia mundur dan menutup pintu.

"AAUUWW!" aku terkaget dengan teriakanku sendiri. Bukan apa-apa, tapi lenganku terjepit pintu akibat tindakanku untuk mencegah Juli. Aku buru-buru menarik lenganku dan menjatuhkan kertas-kertas yang kupegang.

"Ouch... Awww," aku mengerang kesakitan lalu jatuh terduduk. Bagus, Bryce, sekarang yang perlu kau lakukan hanya menangis dan skenario ini menjadi lebih tragis, lebih sempurna. "Juli, sungguh, ini sakit sekali."

Aku tidak bohong. Lengan kananku serasa berdenyut. Ada garis merah horizontal yang cukup jelas di sana. Aku benar-benar terluka. Tapi rasa sakit ini tak seberapa jika Juli masih mengabaikanku.

"B-bryce," dia terbata. Tangannya menyentuh pundakku, menyebarkan goosebumps ke seluruh tubuhku. "Itu terlihat parah."

"Ini memang parah Juli!" aku membentak. "Auuuwww."

Oke, mungkin aku berlebihan.

"Kau harus diobati."

"Yeah, benar," aku mencoba untuk tidak memutar mataku.

"Ay-ayo masuk," kata Juli pela-pelan. Tanpa pikr panjang, aku bangkit dan menerobos masuk ke rumah Juli sambil terus memegangi lenganku yang masih berdenyut. Juli membimbingku ke dapur, dia mengeluarkan es kubus dari kulkas dan menyuruhku mengulurkan lenganku.

"Maaf. Apakah benar-benar sakit? Aku tidak sengaja," Juli menaruh beberapa bongkah es yang sebelumnya telah dibungkus kain di atas lenganku. Sensasi dingin menjalar, mulai mengurangi rasa sakit sedikit demi sedikit.

"Yah, tidak apa-apa."

Juli masih tidak mau menatapku. Tapi aku menatapnya, mengagumi bulu matanya yang lentik dan bagaimana rambut cokelatnya lurus sempurna. Aku penasaran apakah rambutnya sehalus kelihatannya...

"Ini bukan salahku. Kau sendiri yang menahan pintu, kan? Jadi sudah resikomu mendapat lebam ini," dia memberiku pandangan marah dengan kedua alisnya yang bertaut.

"Itu karena kau yang tidak mengizinkanku masuk. Memangnya aku apa? Serangga? Kau terlihat risih di dekatku."

"Aku kan sudah bilang tidak akan bicara denganmu selamanya!" Juli benar-benar berteriak. Kurasa suaranya bergaung sampai ke koridor.

"Tapi kau bicara padaku sekarang. Oh, lebih tepatnya, berteriak padaku," aku membalas simpel.

Air muka Juli berubah drastis, dia tampak begitu kesal sampai pipinya semerah kepiting rebus.

Strike one.

"Aku terpaksa, OKE! Aku benci padamu Bryce, setelah semua yang kau lakukan padaku! Tidakkah kau sadar? Sebelum kau menilai tindakanku, lihat dulu seperti apa kau kepadaku selama ini!"

Aku bangkit berdiri. Mengabaikan es yang jatuh ke lantai dan mengabaikan rasa sakit di lenganku. Kudekati Juli dan kugenggam kedua tangannya. Tepat setelahnya cairan yang berkilauan meluncur dari mata Juli. Kemudian aku mendengar Juli terisak pelan.

Strike two.

"Maafkan aku, Juli. Kumohon. Maafkan aku karena telah menjadi brengsek, karena aku tidak lebih dari seorang pengecut. Maafkan aku soal pohonmu, soal pamanmu, atau soal telurmu. Maaf... Karena membuatmu menangis."

Bahu Juli begetar dan hal berikutnya yang bisa kucerna dengan otakku adalah bagaimana pipi Juli bersandar di dadaku. Dan bagaimana tangannya melingkar di pinggangku.

Aku membeku di tempat. Dengan tak bisa dijelaskan, membatu.

Selanjutnya aku sadar seberapa besar kesalahanku pada Juli. Aku mendekapnya balik, merasakan gesekan rambutnya di pipiku. "Maafkan aku Juli," bisikku untuk terakhir kali sebelum akhirnya dia mengangguk di pelukanku.

Lega.

Mungkin itu kata yang paling tepat merincikan kondisiku.

Aku tersenyum lebar saat Juli melepas pelukan kami, tapi aku menahannya sejangkauan lenganku. Aku tersenyum lebar pada gadis di depanku. Merasakan tiap kehangatan yang menembus tulangku. Juli hanya menunduk tapi air matanya sudah tidak turun lagi.

Mungkin aku terlihat konyol saat ini, tapi tidak ada yang bisa menahanku untuk tersenyum. Menyengir, menyeringai atau apapun itu.

Karena Juli telah memaafkanku. Aku telah dimaafkan. Di dapur ini, dengan mangkuk puttanesca, lembaran essay biologi, dan bongkahan es kubus.

Dengan Juli yang ada dalam raihanku. Dan dengan tekadku untuk tidak pernah melepaskannya lagi.

Strike Three

TBC