Sherlock's New Pupy – Troublesome Present
Summary:
Kakak yang brother complex. Adik yang bermasalah. Sebuah kado yang tak terduga.
Kau tidak mungkin bisa menolak yang satu ini.
Begitu yang tertulis dalam pesan singkat Mycroft. Itu saja penjelasannya untuk kado berbungkus merah jambu norak yang isinya tidak masuk akal ini? Sherlock membatin.
Di salah satu sudut kardus, mencuatlah sepotong kertas. Sebuah amplop yang lain. Dari bau, warna, serta jenis kertasnya, Sherlock yakin surat ini dikirim langsung dari Afghanistan. Setelah membuka salah satu ujungnya dengan cutter, Sherlock menemukan sebuah surat singkat di dalamnya, bertuliskan:
Tidak punya tempat tinggal. Tidak punya uang. Kesepian. Bisa berguna.
P.S. Tolong pungut aku.
Oke, surat macam apa ini? Sherlock mengangkat sebelah alis sementara matanya menjelajah profil pria dalam kardus. Ia mengeluarkan lup untuk mengamati jemari tangan pria itu untuk menimbang-nimbang beberapa kemungkinan.
Probabilitas nyaris pastinya yang pertama, bukan pria ini yang menulis surat tadi.
Probabilitas yang kedua, pria ini diculik dari suatu tempat, dilihat dari kaosnya yang basah, celananya yang tergulung, dan sepatunya yang hanya secelah. Sepatu tentara.
Tapi tidak mungkin pria sekurus dan sependek ini seorang tentara, pikir Sherlock, kemungkinannya hampir nol.
Kerja otak Sherlock mendadak dihentikan oleh teriakan pria di dalam kardus. Sepertinya ia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Gemetarannya bertambah parah. Keringat dingin membanjiri wajahnya gila-gilaan.
"Dimana aku? Kenapa aku di sini?" bisiknya panik. Matanya jelalatan kemana-mana. "Di mana ini?"
"Baker Street 221B," jawab Sherlock cepat, "London."
"London?" pria itu terkesiap. "Bagaimana bisa?"
Sherlock mengangkat bahu. "Mana kutahu?"
"Terus kenapa aku ada dalam kardus?"
"Jangan tanya aku."
"Ini semua gila."
"Aku tahu."
"Atau jangan-jangan aku memang sudah gila?"
"Mungkin."
"Siapa kau?"
Sherlock sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi kemudian dikatupkannya kembali. Ia memperhatikan pria dalam kardus yang tengah menatapnya balik dengan penasaran. Hanya ada satu kesimpulan. Orang ini memang tidak tahu siapa dirinya.
"Sherlock Holmes, detektif konsultan. Yang pertama dan satu-satunya di Inggris. Aku yang menemukan profesi ini," kata Sherlock dengan kecepatan satu kata per detik. Ia balik menatap si pria malang dengan nuansa menginterogasi. "Pertanyaannya adalah, siapa kau?"
Mendengar pertanyaan itu, si pria berambut warna pasir justru melongo. Mendadak kebingungannya yang tadi sempat lenyap muncul lagi. "Iya, ya. Siapa aku?"
Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Sherlock menggaruk belakang kepalanya tidak mengerti. Pintar sekali Mycroft mengiriminya sebuah enigma. Menarik sekali sebetulnya. Tapi kenapa harus dalam wujud manusia?
Sherlock menangkap sekelebat kilau di leher pria itu. Saat jemarinya teracung untuk memeriksa, pria dalam kardus terkejut. Nyaris tampak ketakutan. Sherlock tidak peduli. Jemarinya terus maju meraih kalung plat logam yang menjulur keluar kemeja si pria.
Watson, John H. Dokter.
"Ah, tentu saja. Jebolan Barts. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkannya? Mike! Ya, kau teman Mike, kalau begitu. Pasti begitu," komentar Sherlock panjang lebar.
Terdengar suara langkah kaki kecil-kecil tapi cepat. Sherlock memilih untuk tetap berkutat dengan hadiah dari Mycroft. Tak lama berselang, Nyonya Hudson menyusul ke pintu depan. Dalam hitungan Sherlock yang ketiga, Nyonya Hudson menjerit.
"Ah! Ada apa ini, Sherlock?"
Sherlock menjawab enteng. "Hadiah ulang tahun dari Mycroft, Nyonya Hudson."
Wajah sang induk semang mendadak prihatin menatap John Watson yang kini telah duduk dengan menyedihkan dalam kardus. "Teganya kau, Sherlock, membiarkan pria seimut ini gemetaran dalam kardus!"
Wanita berwajah ramah itu segera menghambur menuju John lalu meremas-remas tangannya yang dingin dan gemetaran. "Anak malang, siapa yang membuatmu begini? Kau tidak tahu? Kasihan sekali. Ayo, kuambilkan baju ganti milik mantan suamiku. Kurasa kalian seukuran."
"Bisa buatkan teh juga, Nyonya Hudson?" celetuk Sherlock sambil memeriksa kardus.
"Hanya untuk anak malang ini," jawab wanita paruh baya tersebut, "siapa namamu, Nak?"
John menggeleng denga polos. "Aku tidak tahu, Nyonya."
"Namanya John H. Watson. Mungkin Humpfrey, Harry, atau… Hamish," tukas Sherlock sambil melirik dari ekor mata, "dokter militer."
John terkesiap heran. "Bagaimana kau tahu?"
Sherlock terkekeh sambil mengangkat kalung plat logam John tinggi-tinggi. "Nih."
Sherlock membuat John duduk di depannya. Di sofa di dalam kamarnya.
Kini, pria itu telah mengenakan celana panjang dan sweater mantan suami Nyonya Hudson. Meski agak kebesaran dipakai, John tetap tampak bersyukur. Tak terhitung sudah berapa kali pria itu berterima kasih para Nyonya Hudson. Juga untuk teh chamomile buatannya yang tengah mengepul menyenangkan di meja.
"Oke, kita mulai saja," ujar Sherlock, menginterogasi dalam piamanya, "jadi kau dikirim oleh Mycroft ke sini?"
John mengedikkan kepala seperti anak lima tahun yang ditanyai tentang siapa Aristoteles itu. "Mycroft? Siapa Mycroft?"
"Kau tidak kenal siapa Mycroft?"
Sherlock nyaris yakin sedang ditipu habis-habisan. Tapi ia bisa tahu dari sekali lirik saja kalau kedua mata bulat John menunjukkan kejujuran. Sebuah kepolosan mutlak. Tipe kedua yang paling Sherlock benci; mudah dibaca tapi tak terduga tindakannya.
Biasanya juga sangat merepotkan.
"Kalau begitu, untuk apa kau kesini? Terbungkus dalam kardus, pula," tanya Sherlock.
"Aku juga tidak tahu," jawab John, "tahu-tahu saja aku seperti itu. Aku tidak ingat apa-apa tentang kejadian sebelumnya. Bahkan aku tidak ingat siapa namaku sendiri!"
John mengakhirinya dengan agak histeris sambil menempelkan kepalan tangan pada kedua sisi kepalanya. Sesaat ia sudah tampak akan menangis. Tanpa sadar, Sherlock langsung mengeluarkan sebuah sapu tangan dan mengulurkannya pada John.
"P… pakai ini," Sherlock tergagap. Ia sendiri bingung mengapa ia bisa bertindak spontan seperti ini. Seakan tangannya bergerak sendiri.
"Tidak usah, terima kasih," tolak John sambil menata nafasnya kembali. Nyatanya, ia memang tidak menangis. Hanya histeris saja.
"Dimana rumahmu? Akan kuantar kau pulang," Sherlock menawarkan.
John tertunduk sedih. "Tidak tahu. Tidak tahu rumahku ada di mana. Tidak tahu harus tinggal di mana. Aku bingung… tidak tahu…"
"Kalau begitu, tinggalah di sini saja!" Sherlock menukas. Sedetik kemudian, ia terduduk lemas. Lagi-lagi badannya bergerak tanpa disuruh. Bibirnya juga, bagaimana mungin ia bisa menyemburkan kalimat tabu seperti itu dengan mudahnya?
"Sungguh? Aku boleh tinggal di sini?" tanya John penuh harap. Wajahnya tiba-tiba cerah. Matanya yang lebar sampai nyaris berkaca-kaca. "Terima kasih, Tuan Holmes!"
"Sherlock," ucap Sherlock cepat, "panggil aku Sherlock."
"Sherlock!" John mengulang dengan penuh kekaguman, "keren..."
Kata-kata John spontan membungkamnya. Wajahnya yang biasanya dingin tiba-tiba terasa panas, bahkan rasanya sudah meledak merah. Kemudian, tanpa sadar, Sherlock tersenyum. Hangat dan lebar.
Mycroft masih tidak percaya Sherlock benar-benar tidak mengembalikan kadonya yang terakhir. Sebulan telah berlalu. Sosiopat soliter berfungsi tinggi itu sama sekali tidak tampak akan membuang hadiahnya yang terakhir.
Hanya untuk jaga-jaga saja, Mycroft selalu mengiriminya sms secara berkala. Hanya untuk mengecek. Awalnya, Sherlock selalu membalas smsnya dengan nada mengomplain dan tidak puas, seperti:
Kadomu merepotkan.
atau,
Kadomu bikin malu. Nyonya Hudson mengira kami pacaran.
Seminggu kemudian, sms-nya berubah menjadi:
Kadomu naif tapi cukup berguna.
Hingga suatu hari saat Mycroft iseng mengirimi Sherlock pesan untuk mengembalikan 'kado'nya, ia mendapati pesan balasan yang terus membuatnya tertawa seminggu penuh:
John tidak akan kukembalikan. Ambil sendiri kalau bisa.
5