Disclaimer: Not mine. All characters belong to Masashi Kishimoto
-NaruHina
.
.
.
Then and Now
by Guavary'DarkLavender
.
.
.
Dia sengaja menyisakan kuah ramen agar bisa dimakan dengan nasi hangat. Lumayan enak. Lagi pula sama-sama karbohidrat. Ini salah satu strateginya mengatasi rasa hambar sekaligus mengenyangkan perut di akhir bulan. Awalnya dia senang, mengukuhkan diri sebagai jenius setelah berhasil menemukan sumber makanan baru. Lama-lama dia bosan dan benar-benar mempertimbangkan memakan nasi putihnya utuh-utuh, tanpa tambahan lauk apapun. Ramen dan nasi yang dipaksa menjadi ramen ternyata tidak sama.
Membuka kulkas, yang dia temukan lagi-lagi itu; kuah ramen. Dia menghela nafas, menjulurkan tangannya untuk meraih kotak jus jeruk. Dia bahkan tidak suka jus jeruk. Minuman manis di kulkasnya diberikan oleh Kakashi-sensei yang mengaku salah membeli. Dia ingin membeli jus apel tapi terlanjur membawa pulang jus jeruk. Naruto yang tidak pernah menolak barang gratis, mau-mau saja dijadikan tempat penampungan. Kotak sewarna jaket favoritnya dibiarkan terbengkalai lama. Dia baru ingat punya jus jeruk sekarang, dan benar-benar bersyukur karenanya. Lebih baik ada, meskipun hanya setetes daripada tidak sama sekali.
Sambil meneguk jusnya, Naruto membuka sebuah amplop. Isinya tagihan-tagihan. Perutnya langsung mulas, ia tidak berselera dengan minuman asam lagi. Listrik sudah menunggak dua bulan, air belum dibayar tiga bulan, hutangnya di Ichiraku rupanya belum lunas. Astaga. Melihat deretan angka-angka, mau tidak mau dia harus mengakui ia buruk mengatur keuangan. Mungkin sebaiknya ia meminta misi lebih pada Tsunade-baachan demi mengisi kantongnya yang kempis. Yah, meski ujung-ujungnya akan kembali kempis setelah membayar tumpukan hutangnya. Atau dia bisa meminjam uang pada Iruka-sensei. Pinjam uang saja, dia memutuskan.
Dia beralih pada sebuah gulungan, dikirim dari Desa jauh di Utara. Penulisnya jelas bukan orang dengan tulisan paling indah. Kadang kalimat-kalimatnya menanjak, kadang menurun. Naruto perlu beberapa kali membaca untuk mengerti apa maksud tulisan yang lebih mirip cakaran. Ia mengernyit. Ini apa? Karena sepertinya tidak penting, ia membuang gulungan itu ke tempat sampah tanpa beban. Setelahnya, ia bertanya-tanya. Tulisannya sendiri juga jelek, pengejaannya banyak yang salah, apa jika ia berkirim surat, suratnya juga dibuang begitu saja?
Pada gulungan berikutnya, senyum Naruto merekah. Dia tahu jawabannya, ya. Tapi ada satu orang yang akan bersedia meladeni tulisan buruknya. Untuk pertama kali di pagi itu dia merasakan perutnya menghangat. Dia sengaja menyimpan gulungan berpita merah untuk terakhir dibaca, karena ia tahu pengirimnya, dan ia tahu nada di setiap suratnya selalu menyenangkan. Untuk lebih meningkatkan mood, Naruto menyingkirkan gelas jusnya. Ia mengambil gelas baru, mengisinya dengan air hangat sebagai pengganti teh. Kertas-kertas lain di atas meja ia singkirkan. Dia meminum airnya, cengiran mengembang. Hampir membuka gulungan itu, Naruto berubah pikiran. Mungkin sebaiknya ia membaca di balkon saja. Ada sinar matahari di sana.
Dia membawa gelas airnya, gulungan berada di tangan yang lain. Ia berdiri di balkon sempit seperti seorang raja arif yang akan mengumumkan pesan penting bagi rakyatnya. Dia memang merasa seperti seorang raja. Mood-nya semakin membaik.
Naruto melepas pita, menaikkan dagu, dan membaca tiap kata dengan hangat yang kian menggelitik. Ia tidak bisa berhenti tersenyum.
Naruto-kun,
Bagaimana kabar kuah ramen? Masih betah dengannya? Sudah setengah tahun Naruto-kun bertahan dengan taktik itu. Lama juga, ya. Kalau aku mungkin tidak akan betah. Ramen memang makanan favorit Naruto-kun, tapi kejenuhan kadang-kadang datang kan? Oya. Sudah dengar tentang Yoshino-san?
Ah. Aku terlalu banyak bertanya. Habisnya, itu yang paling banyak di otakku sekarang. Karena penasaran, aku juga pernah mencoba. Rasanya lumayan enak, tapi kalau dimakan terus-terusan susah juga, ya.
Mungkin Naruto-kun bisa meminta misi tambahan pada Tsunade-sama. Tsunade-sama pasti senang mendengar ada shinobi yang menawarkan diri untuk melakukan misi. Atau, Naruto-kun bisa bekerja di kedai ramen. Pasti menyenangkan di sana. Ada sahabatku di sini yang dulu bekerja di kedai ramen. Dia baik sekali. Katanya, dia bekerja di kedai ramen karena menyukainya. Aku jadi teringat pada Naruto-kun. Kami sering ke kedai ramen bersama-sama.
Kalau ada waktu, sempatkan melihat pertunjukkan kembang api minggu depan. Shinobi dari Konoha semangat sekali menceritakan persiapan hanabi. Sepertinya akan meriah.
Ajak Sakura-chan. Mungkin bisa kencan kan? Berjuang, Naruto-kun.
Temanmu,
Hinata
Naruto membaca surat Hinata sekali lagi. Dia bersiul-siul riang, terus melakukannya bahkan setelah mandi dan berganti pakaian. Biasanya dia akan mengelilingi desa sampai gelap, kemudian pulang ke apartemen kotornya, baru melakukan 'itu'. Tapi sekarang, Naruto menimbang-nimbang suratnya, sekarang ia ingin melakukannya saat ini juga.
Surat Hinata tertunda dua minggu dari 'jadwal' berkirim mereka yang sebenarnya. Ia sudah menunggu begitu lama. Torehan tangan Hinata telah menjadi banyak hal baginya; teman, motivator, pengingat, pemberi solusi, dan kadang-kadang, Naruto terkekeh, iklan baris. Dia tidak ingat, dan sejujurnya dia tidak mau ingat, kehidupannya sebelum bertukar tulisan dengan Hinata. Surat-surat yang mereka bagi adalah hartanya yang berharga.
Baginya, Hinata adalah kawan yang baik. Sayang sekali butuh waktu begitu panjang, setelah Hinata dan beberapa shinobi Konoha ditugaskan di Mizugakure, barulah mereka memperdalam pertemanan mereka. Dia bukan tipe melo yang menganggap surat sebagai sesuatu yang menyentuh. Ia hanya bosan, malam terlalu merongrong, maka ia pun menulis sekedar menanyakan kabar para shinobi Konoha yang bertugas di luar desa. Dari tujuh surat yang ia kirim, hanya dua yang berbalas. Yang satu berisi omelan agar tidak mengganggunya dengan surat-surat tak pernting, yang satunya lagi dikirim dengan kertas sewarna langit. Surat itu yang kemudian menjadi penanda rantai surat Konoha-Mizugakure
Lihat? Kawannya sepenting itu. Sehebat itu. Dan selama berminggu-minggu ia tidak menerima sepucuk surat pun. Dia tahu dia akan terlambat menemui timnya, tapi mereka bisa menunggu. Dia harus melakukannya sekarang juga.
Merasa yakin, Naruto bermanuver. Ia membuka laci yang kedua, mengeluarkan buku tebal bersampul ungu pucat, lem dan gunting. Surat Hinata ia buka. Kertasnya ia sentuh beberapa kali, sebelum marginnya yang tak bergores ia gunting dengan tekun. Pelan-pelan, jangan sampai ada sehuruf pun yang ikut jatuh. Selesai, ia mengangkat hasil guntingannya tinggi-tinggi, seperti tropi. Ia tidak ingat di mana ia belajar menggunting rapih. Seingatnya hasil guntingan tangannya selalu miring, tidak indah sama sekali. Ia bersyukur kemampuannya untuk urusan gunting-menggunting telah membaik. Ia tidak mau salah menggunting surat Hinata.
Buku bersampul ungu ia buka. Ia tidak sengaja menemukan buku ini saat diskon besar-besaran. Bukunya feminin, dengan corak bunga-bunga kecil dan latar pedesaan. Demi apapun, buku lavender adalah rahasia terbesarnya. Tak akan ia biarkan ada yang mengetahui hubungan antara dirinya, Hinata, surat, dan buku lavender. Sebenarnya, bukan untuk dia. Dibeli karena mengingatkannya pada Hinata. Ia ingin mengirimnya sebagai hadiah, tapi di saat-saat terakhir keyakinannya goyah. Mana ada orang yang bahagia diberi hadiah buku?
Akhirnya, buku ungu pucat ia jadikan scrapbook.
Oke. Dia mengaku. Bukan scrapbook. Nilai estetikanya tidak setinggi itu. Tapi ia melakukan yang terbaik ketika surat Hinata ia tempel dengan hati-hati. Ada rasa puas tersendiri setelahnya. Surat-surat Hinata memang tidak pernah ia buang. Semua ia kumpul, diurut dari yang lama sampai yang baru, dan disimpan di lacinya yang paling bersih. Lama-lama otaknya menghubungkan antara surat dan buku ungu, maka inilah hasilnya. Dia tidak bodoh-bodoh amat.
Bagaimana pun, surat dari kawan favoritnya butuh perlakuan khusus.
Naruto menangguk-angguk, bangga. Ia melirik jam; 10.45. Terlalu terlambat. Ia harus pergi sekarang. Mereka pasti menunggu.
Tapi…
Naruto memandang lagi surat yang telah ia lekatkan. Dia ingin sekali membalas surat Hinata. Jadwal berkirim mereka harus segera dikembalikan ke track-nya.
Sudahlah. Toh sudah terlambat. Iya kan? Tidak apa-apa kan ia menulis surat sekarang?
Tidak apa-apa.
Naruto meraih kuasnya.
HAI! HINATA-CHAN!
.
.
.
Dia datang satu jam kemudian, memajang cengiran canggung. Ditotal, dia terlamat dua jam. Rekor yang nyaris mengalahkan Kakashi-sensei. Menulis surat butuh banyak waktu. Gurunya tidak berkomentar, Sai membalas dengan senyum menutup mata yang terkesan tak ikhlas, dan dia yakin Sakura akan memukulnya.
Benar saja.
"SHANNAROOOO!"
"S-sakura-chaaaaan!"
Bugh!
Ya Tuhan. Apakah di masa tuanya ia akan menderita Alzheimer? Parkinson mungkin? Kepalanya terlalu sering menerima hantaman. Ia tidak yakin tengkoraknya bisa bertahan. Ia mendesah, cengirannya kembali. Tak apa. Yang memukulnya kan gadis yang ia sukai.
"Naruto!" Sakura mencengkeram kerahnya "Kau tahu berapa lama kami menunggu di sini! Bodoh!"
"Hahaha. Sakura-chan, aku shinobi yang sibuk. Desa selalu membutuhkanku."
Mata Sakura menyipit. Ia melepas Naruto dengan satu pukulan telak di pipi kiri, mengirim ninja hiperaktif itu sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Naruto memegang pipinya. Ya Tuhan.
"Siapa yang membutuhkanmu?" Suara Sai terdengar, bahkan senyum palsunya pun bisa ditebak "Kau kan… dickless."
Naruto sontak bangun, rasa sakitnya terlupakan. Pipinya merah, bukan dari pukulan, melainkan campuran rasa malu dan marah yang berenang hingga ke ubun-ubun. Ia setengah berlari, matanya memancarkan api "Bangsat kau, Sai!"
Sebelum tinjunya melakukan kontak dengan pipi si pemuda albino, telapak Kakashi menghentikannya. Naruto merengut. Memasukkan tangannya ke dalam saku. Masa bodoh.
"Aku tahu kalian semua saling merindukan, tapi untuk sekarang tahan dulu rasa rindu kalian. Kita harus berlatih."
Naruto merengut "Mengapa harus berlatih denganmu?"
"Perintah dari Hokage."
"Aku akan bilang ke Tsunade-baachan tidak perlu."
Sakura mendelik "NARUTO!"
Senyum Sai belum pudar "Dick—"
Kali ini tinju Naruto berhasil mendarat di sisi pipinya.
Rasakan.
.
.
.
Sehabis berlatih, mereka menyusuri jalan-jalan Konoha. Kakashi-sensei mentraktir mereka yakiniku. Kadang-kadang bujang lapuk itu baik juga. Tapi, karena merasa ia yang mentratir (dan otomatis dia yang berkuasa), mereka lebih sering berhenti di sini dan sana, menunggui Kakashi yang mengobrol dengan beberapa orang. Naruto berspekulasi bahwa Kakashi-sensei hanya ingin balas dendam atas perkataannya tadi, sehingga menarik-ulur janjinya.
Awas saja. Dia akan makan sebanyak mungkin, bahkan jika Kakashi mangambil misi non-stop setahun, ia tak akan mampu membayar tagihan yang datang ke mejanya.
Naruto tetap bergeming. Ia berdiri menatap Kakashi dan partner ngobrolnya lekat-lekat. Sakura dan Sai telah menghilang di kerumunan, melihat-lihat barang penjual dadakan yang muncul untuk memeriahkan pesta kembang api nanti. Biar saja mereka pergi, Naruto tak akan memberikan kesempatan bagi Kakashi untuk mencicipi kenyamanan. Dia akan berdiri memberikan pelototan terbaik sampai Kakashi atau lawan bicara menyadari kehadirannya.
"Kakashi-sensei." Naruto berkata dengan suara datar "Kau sebenarnya tidak punya uang, ya?"
Kakashi melambai malas, acuh tak acuh, percakapannya tidak putus.
Empat segitiga siku-siku muncul di jidat Naruto. Menyebalkan. Biar saja. Dia akan terus berdiri di sini, menagih janji yakiniku.
Naruto meng-huff. Ia mengedarkan pandangan, meski kakinya tak bergerak. Jalanan Konoha yang memang padat kini semakin padat. Toko-toko memasang lampu warna-warni yang cantik, beberapa menambah dengan hiasan bunga serta banner. Lonceng toko diganti dengan yang baru. Semuanya nampak meriah, padahal pesta kembang api masih dua minggu lagi.
Ia mundur, ikut mendorong Kakashi bersamanya saat segerombolan shinobi lewat. Mereka mendekatkan diri pada dinding kayu toko yang terlihat mengkilap. Kakashi melanjutkan lagi perbincangan tak penting tapi dibuat seolah penting, dan Naruto terus menatap shinobi-shinobi nyentrik yang jelas sekali baru mendapat cuti. Mereka bukan shinobi Konoha. Melihat segerombolan shinobi yang berperan sebagai turis rasanya lucu juga.
Ia lalu teringat Hinata, membayangkan sahabat pemalunya menyusuri jalanan desa asing. Bedanya, Hinata bukan turis. Dia berperan bersama tiga puluh shinobi Konoha sebagai relawan. Mizugakure diterpa bencana alam bertubi-tubi. Kondisi alam Mizu memang tidak bersahabat. Awalnya hujan tak berkesudahan, tak berapa lama dam yang menahan air jebol, setelahnya longsor tak berkesudahan. Meski jelas bencana alam, ada juga pihak-pihak yang suka mengarang cerita kutukan, mengatakan bahwa Mizu yang berelemen air dikutuk justru dengan air karena dosa-dosa mereka selama ini.
Naruto menunggu Konoha dikutuk dengan daun.
Demi hubungan bilateral, Konoha menawarkan bantuan. Shinobi-shinobi diperkenankan untuk mengajukan diri sebagai relawan, tak ada paksaan. Namanya saja relawan, tak dibayar, mana ada yang mau? Terbukti shinobi Konoha tak terlalu tergiur misi tanpa uang, apa lagi menyangkut orang-orang yang tak se-desa. Yang mendaftar hanya sembilan orang, termasuk Hinata, dari target tiga puluh. Akhirnya, diambil jalan pintas. Penunjukan sepihak pun dilakukan, dan dua puluh satu shinobi tak beruntung berhasil direkrut.
Dulunya Naruto berpikir ia termasuk jajaran beruntung, tidak digolkan ke gawang sukarelawan. Tapi sekarang, ia pikir-pikir lagi, akan lebih menyenangkan ia bertugas di Mizugakure. Ia bisa lebih berguna di sana, warga pun pasti punya hati untuk memberikan makanan. Tak mungkin mereka dibiarkan mati kelaparan. Lagi pula, ada Hinata di sana.
Naruto menarik nafas. Kakashi belum berhenti bicara, malah semakin asyik. Para turis menghentikan langkah mereka di toko yang menjual aneka topeng.
Langit Konoha biru, apa langit Mizu yang Hinata tatap juga sebiru ini? Atau masih gelap dengan awan mendung?
Ia menyandarkan punggungnya pada dinding toko, untuk sejenak menikmati keberadaannya yang tak diperdulikan. Ia mengamati pejalan kaki yang lalu lalang di hadapannya. Semua ceria. Hinata pasti akan senang bila berada di sini.
Persahabatan memang aneh. Mungkin dia harus mencoret pernyataan sebelumnya. Keputusan bagus Hinata menjadi sukerelawan, dan ia tetap di sini. Sebab, jika ia ikut, maka ia tidak akan pernah mengirim surat iseng, dan persahabatan unik antara dirinya dan gadis bermata rembulan tak akan pernah terjadi. Hinata mencintai sudut yang sepi, Naruto merindukan posisi di tengah semua perhatian. Mereka tidak akan pernah bertemu dan menjalin hubungan lebih dari sekedar 'rekan kerja' tanpa surat-surat itu.
Ia tertawa. Mereka berbeda sekali.
"Tertawa sendiri. Kau gila, ya?"
Bau anjing.
"Kau yang gila." Naruto mendengus, raut bahagianya berubah kesal, tapi tak lama. Cengirannya melebar. Ia menyikut rusuk Kiba, jahil "Hei, hei, hei, aku sudah dengar."
Kiba balas menyikutnya, lebih kasar "Kalau tidak kau hentikan, aku akan menyuruh Akamaru menggigitmu."
Akamaru membalas dengan gonggongan riang.
Naruto pura-pura terluka "Kau jahat sekali, melukai hati sahabatmu yang rapuh." Ia mendramatisir dengan gerakan menghapus air mata "Tapi aku tak akan berkomentar banyak. Karena kau berhasil memecahkan rekor jomblo angkatan kita, Kiba!"
Suaranya memecah konsentrasi pejalanan kaki yang kini menoleh. Kakashi ikut melongok, tapi memutuskan bahwa muridnya tidak cukup penting, dan kembali pada percakapan yang kini melibatkan lebih banyak orang.
Telinga Kiba memerah "Diam!"
"Kau hebat sekali. Aku terharu."
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya." Kiba cemberut. Ia berjongkok, menepuk-nepuk kepala Akamaru.
"Aku tidak tahu kau pemalu."
Kiba mengangkat jari tengah. Cengiran Naruto melebar, dia ikut mengangkat jari tengah, seolah itu gestur yang berarti persaudaraan, bukannya sebuah hinaan.
"Dia bilang Kiba mirip kakaknya."
Apa? Naruto melongok "Kiba, kau bicara apa?"
Gigi Kiba bergemeretuk "Bukan aku yang bicara. Dia."
Bahu Naruto menegang. Ia menoleh ke kanan "O-oh. Heh-heh-heh. Shino."
Ia dibalas dengan anggukan kaku "Naruto-san."
Seandainya Shino shinobi musuh, Naruto mungkin sudah mati berkali-kali. Ia tidak mengerti bagaimana Shino bisa dengan mudah menutupi keberadaanya. Dia gampang sekali melebur, menghilang, dan dilupakan begitu saja. Sejujurnya, itu membuat Naruto tidak nyaman. Agak menakutkan. Ia tidak mau ada orang yang dengan mudah masuk ke zona amannya. Sebagai ninja, menyadari keberadaan orang lain adalah hal yang lumrah. Shino masuk pengecualian dan itu sama sekali tidak menyenangkan.
"Dia bilang Kiba mirip kakaknya?" Naruto mengulang, otak berputar. Sedetik… dua detik… tiga detik. Klik. " Astaga. Kiba di-brotherzone."
Mengenaskan.
Shino kembali mengangguk kaku.
"Aku dengar itu! jangan bicara seolah-olah aku tidak di sini!"
Naruto memberikan tatapan prihatin "Aku paham rasanya, brother. Jangan bersedih. Ayo, berjuang. Kalau kau cukup berusaha, kau pasti bisa memenangkan hatinya. Aku yakin. Believe it!"
"Najis."
Naruto tak merespon, ia hanya menambah derajat tatapan prihatinnya. Cukuplah Kiba tersakiti dengan fakta bahwa ia telah masuk brotherzone, Naruto tak akan menambah luka. Kurang lebih ia paham rasanya. Selama ini ia juga selalu ditolak. Tapi, kalau boleh sedikit jahat, ia beranggapan posisi Kiba masih lebih baik. Paling tidak dia dianggap saudara, berarti gadis itu baik padanya. Sedangkan Naruto, yah, dia begitu-begitu saja. Paling tinggi dia dianggap sansak tinju.
Ada yang mau menepuk-nepuk punggunggnya? Dia butuh tepukan penyemangat sekarang.
Oh. Dia bisa menulis lagi pada Hinata. Dua surat sekaligus. Suratnya akan lebih panjang. Dia akan mengisi dengan semua keluhannya, lalu menggambar adegan saat ia berhasil memukul Sai. Dia akan menambahkan dengan mengirim daun teh melati. Hinata pasti mengerti perasaannya.
Setelah berpikir begitu, dia menepuk jidatnya sendiri. Kiba yang ditolak, mengapa dia yang depresi?
Lagi pula, Hinata sudah memberikan solusi. Ajak Sakura-chan. Mungkin bisa jadi kencan, begitu katanya. Hanya Hinata yang men-support perasaannya.
Yang benar saja.
"Aku tidak sedih." Kiba bilang, agak kesal "Aku dan Shino justru sedang bahagia sekarang."
Naruto memutar bola matanya.
"Ya sudah kalau kau tidak percaya. Asal kau tahu, aku sudah menabung. Aku dan Shino akan membeli kimono."
Tadi Naruto memang prihatin. Sekarang, ia benar-benar khawatir dengan keadaan mental Kiba. Apa ditolak sesakit itu? Naruto berkali-kali ditolak, tapi ia tidak memikirkannya. Masih bisa mencoba di hari esok. Kiba seperti hidup dalam penyangkalan. Ingin membeli kimono, untuk apa? Untuk diratapi? Mengapa pula Shino tidak menghentikan Kiba menghancurkan dirinya sendiri?
"Kiba, kau harus menerima kenyataan. Kau membuang-buang uang membeli kimono. Tidak ada gunanya. Lanjutkan saja hidupmu."
Naruto mendengar gesekan sandal dengan tanah saat Kiba berdiri. Akamaru menjilati tangan kirinya yang agak kotor "Memangnya kenapa? Aku tidak boleh membeli kimono untuk sahabatku yang baru menyelesaikan misi panjang?"
"Hah?" Mulut Naruto membuka "Jadi kau juga memasukkannya ke dalam friendzone?"
"Aku membicarakan Hinata-chan. Hinata. Kau tahu Hinata?" Kiba keki.
Naruto tersinggung. Tentu saja dia tahu Hinata. Lebih dari sekedar tahu. Dia ingin menyombongkan ini pada Kiba; bahwa dia bertukar surat secara rutin dengan gadis Hyuuga pemalu, bahwa dia pernah mengirim hiasan rambut dan mendapat balasan syal rajutan, bahwa Hinata juga menganggapnya sebagai teman baik. Ia ingin, tapi ada sisi lain dari dirinya yang lebih suka hubungannya dan Hinata disimpan rapat-rapat. Cukup mereka berdua yang tahu. Hartanya yang berharga tak akan ia bagi dengan siapa pun.
Alasan itu, dan satu alasan lagi yang membuat lidahnya terkunci. Ia tak berkata-kata selama beberapa saat, sampai rasa hangat yang menjalarinya pagi tadi kembali lagi. Rasanya nyaman. Hangat ini sama tapi juga berbeda. Lebih intens, merayap ke punggung, leher, dan melewati pipinya.
Hinata akan pulang.
"Kapan?" Ia mengguncang bahu Kiba, semangatnya meluap "Kapan Hinata-chan pulang?"
"Hari sabtu."
"Sabtu ini?"
"Sabtu depan. Hentikan, Naruto." Ia mendorong menjauh.
Berarti sebelum pesta kembang api.
Naruto tertawa. Ia melompat-lompat gembira, seperti anak kecil yang diberi hadiah. Pejalan kaki menoleh untuk kesekian kali. Kakashi yang sudah terbiasa dengan keunikan muridnya tak susah-susah menengok.
Naruto menepuk tangannya, berada di dunia sendiri. Ia terus tersenyum, mengeluarkan gumaman yang tak jelas.
Kiba yang melihatnya bergidik, menoleh pada Shino, lalu meletakkan telunjuknya di kening 'Gila', dia berbisik.
Naruto sadar Kiba menghinanya, tapi ia tak perduli. Hinata pulang.
Sahabatnya pulang.
Masih tertawa, ia berlari menuju apartemennya, melupakan semua janji tentang makanan gratis. Ia menabrak Shino. Dia lupa Shino berdiri di situ. Ia mengeluarkan maafnya dengan iringan tawa, lalu melanjutkan berlari.
Ia akan menulis surat. Dua surat sekaligus. Bukan surat berisi keluhan, tapi tumpahan rasa bahagianya.
Tapi ia sangat bahagia. Terlalu bahagia. Banyak yang berseliweran di kepalanya, sampai-sampai ia tidak bisa memilih salah satunya. Hinata-chan akan pulang. Hinata-chan pulang.
Naruto tersenyum.
Ia menunduk, menulis suratnya yang kali ini pendek.
Aku akan menunggumu di gerbang.
Sahabatmu,
Naruto
.
.
.
To be continued...
.
.
No worries. Fic ini udah selesai, tinggal dipublish/update. See ya next week.
Salam,
Ava : )