GENOCIDE

by Shigure Haruki & Keikoku Yuki (a collaboration fic)

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

| Alternate Universe | Rated M for hard plot and gore | Multi-chapters |

Maybe OC, OOC, typos, and other faults

Don't Like? Don't Read, Don't Flame


.

Chapter VII : The Collision

Aku takut… mereka memburu kita

.

08.00 am – Shigasina, The Capital

.

Suasana pasar yang riuh tidak pernah berubah sejak pertama kali Ymir menginjakan kakinya di ibu kota. Ia masih ingat persis bagaimana dulu ia bertabrakan dengan salah seorang gadis yang membawa begitu banyak buah-buahan dengan tangan mungilnya—awal dari lembar baru dalam hidupnya ketika ia memutuskan untuk mencari nafkah di Shigasina.

"Ymir, ayo cepat!"

Pemuda berambut hitam terikat itu menoleh untuk mendapati tangan yang sama kini bergelayut pada lengannya dan menariknya untuk menyusup di antara celah-celah keramaian. Ymir tertawa kecil melihat kelakuan gadis berambut pirang itu. Meski Christa sedikit ceroboh, ia sigap dalam beberapa hal dan Ymir harus mengakui beberapa sisi pada gadis itu membuatnya kagum.

"Apa yang kau tertawai?" Christa merengut. Ia berhenti berlari dan mulai berkacak pinggang di area pasar yang tidak terlalu padat. Di depannya Ymir tertawa sambil memegangi perut.

"Kau tahu, terkadang hari-hari seperti ini sama sekali tidak bisa aku percaya," ujarnya sambil menepuk puncak kepala Christa, "Sebetulnya sudah berapa lama kau menjalani kegiatan ini secara diam-diam?"

Christa tersenyum. Ymir tahu bahwa berbahaya bagi Christa untuk melakukan kegiatan seperti berbelanja yang mengharuskannya keluar dari istana. Ide tentang Christa yang memasak di dapur saja menurutnya sudah sangat berbahaya. Ia memang salah satu tipe kekasih yang terlampau protektif.

"Dulu, Rico selalu menjagaku setiap kali aku keluar seperti ini. Kau ingat wanita yang ada besamaku ketika pertemuan pertama kita bukan?"

Setiap kali seorang pelayan istana berbelanja untuk keperluan dapur, seorang pengawal akan menemaninya untuk membawa barang dan untuk memastikan keselamatan si pelayan. Sebelum Ymir, Christa selalu ditemani oleh Rico. Wanita berambut pendek itu selalu menunjukkan ekspresi dingin dibalik lensa kacamatanya.

"Ah, yang menghunuskan pedang ke leherku?" Ymir memutar bola matanya. Air mukanya menunjukkan bahwa ia tak terlalu senang membicarakan hal itu. Bagaimanapun ia merasa harga dirinya sebagai seorang pria tercoreng ketika nyawanya diperlakukan bagai hama penganggu oleh seorang wanita.

Satu tepukan lembut di punggung Ymir, "Aku mengerti kau merasa sedikit kesal pada sikapnya waktu itu, tapi Rico tidak berniat buruk."

Ymir mendecih, "Kalau saja aku tidak menyadari bahwa ia wanita, mungkin aku tidak akan merasa terhina waktu itu. Aku pasti masih berpikir bahwa Rico Brzenski adalah seorang pria kalau bukan karena dada—aww!"

Kata-kata Ymir terputus oleh satu sikutan keras di perut, hampir saja bungkusan barang-barang belanjaan yang dibawanya berjatuhan ke jalan. Wajah Christa yang memerah dihiasi dengan ekspresi tidak suka yang kentara, "Berhenti membicarakan hal mesum seperti itu! Ymir bodoh!"

Christa berlari menuju toko roti—meninggalkan sang pengawal seorang diri. Di belakangnya Ymir berteriak 'tunggu' sambil mengejar Christa. Naas, Christa hanya menambah barang bawaannya tanpa mau berbicara setelah ia sampai di toko roti. Gadis itu tetap bungkam di sepanjang perjalanan pulang menuju istana.

"Kau tidak perlu cemburu begitu," si pengawal menghela napas lelah, Christa menyangkal.

"Kalau begitu mulai sekarang aku tidak akan pernah membicarakan hal mesum kecuali tentangmu—Aww!"

Kali ini sebuah tamparan yang diterimanya. Wajah Christa benar-benar merah. Ia tampak sedikit menyesal telah memukul Ymir akan tetapi kedua tangannya mengepal erat di samping tubuh.

"Itu juga tidak boleh!" Christa berseru dengan suara yang cukup keras. Ymir menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tertawa hambar sampai menyadari suara langkah kaki yang mendekat.

"Kau ini sama sekali tidak punya tata krama. Padahal seharusnya kau bersyukur dapat bersanding dengannya seperti itu," Rico muncul dari sayap kanan koridor yang tengah dilalui Ymir dan Christa. Ia membetulkan letak kacamatanya setelah berhadap-hadapan dengan pengawal pria yang merangkap status sebagai kekasih Christa.

"Mengatakan hal-hal tidak layak padanya, memangnya kau ini anjing?" satu tatapan sinis yang familiar. Semua pelayan wanita boleh tergila-gila padanya, akan tetapi Ymir memang tidak bisa akur dengan wanita yang satu ini. Dengan gestur yang protektif, wanita itu memaksa Christa kembali ke ruangannya—memisahkan sepasang kekasih dengan sedikit paksaan. Akan tetapi Christa mau tak mau harus menurut, ia telah berjanji pada Rico untuk kembali pada jadwalnya setelah belanja.

"Jangan sampai kau lupa tempat dimana seharusnya kau berdiri," ujar Rico sebelum berbalik membawa Christa menjauh. Sekali lagi Christa menoleh dengan tatapan rindu yang selalu ia lontarkan setiap kali mereka akan berpisah. Ymir hanya tersenyum. Rico tahu betapa besar perasaan kedua muda-mudi itu untuk satu sama lain namun hanya sampai sini ia dapat membantu Christa. Sisanya mereka harus menemukan jalan sendiri.

Ymir masih berdiri terpaku menatapi ujung koridor tempat Christa menghilang bersama Rico.

"Aku tahu, tanpa kau bilang sekalipun…," Ymir bergumam pelan—tatapannya berubah sendu, "Tak mungkin aku melupakan fakta bahwa Historia adalah pewaris tahta kerajaan Sina setelah Dot Pixis."

Pemuda berambut hitam itu berbalik pergi. Membayangkan Christa-nya mungkin saja melakukan pernikahan politik atau dijodohkan suatu saat nanti membuat dadanya terasa sesak.

.

09.05 – Neph River

.

"Kurasa kita terlalu cepat beberapa jam," protes Hanji sebelum menguap lebar. Ia malas kalau harus menunggu, akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memprediksi dengan tepat kecepatan berkuda dan jarak tempuh dengan demikian akurat. Lagipula membuat calon sekutumu menunggu untuk sebuah perundingan kerjasama politik bukanlah hal yang sopan.

"Kau berisik, Kacamata," tukas Rivaille yang tengah membimbing kudanya ke dekat sungai—sedikit jauh dan terhalang dari kawanannya. Eren mengekor di belakang Elm dan Rivaille.

"Tidak ada salahnya menunggu, Nona Hanji," Armin mengulum senyum. Setelah mengikat tali kekang kudanya di dekat kuda milik Mikasa, ia pergi ke bawah sebuah pohon besar untuk duduk berteduh lalu membaca sebuah buku. Keheningan menyeruak sesaat sebelum Mikasa mengajukan satu pertanyaan terhadap Hanji—melanjutkan pembicaraan yang tertunda sebelumnya.

"Di perjalanan tadi kau menyebut seseorang. Seperti apa orang bernama Ilse ini?" pertanyaan yang sedikit menyelidik.

Hanji terkekeh sebentar sebelum menjawab, "Sejak dahulu ia anak yang rajin dan berdedikasi pada pekerjaannya. Ilse selalu bangga akan posisinya dalam kemiliteran dan melakukan yang terbaik untuk memenuhi kewajibannya. Aku pun tak pernah menyangka ia akan berdiri di pihak kudeta. Akan tetapi, Ilse memiliki rasa keadilan yang tinggi."

Tidak ada respon lebih lanjut. Armin mendengarkan meski matanya sibuk membaca huruf-huruf yang tercetak pada buku di tangannya. Mikasa bangkit karena merasakan ada hal yang ganjil di sekeliling mereka. Wanita berambut hitam itu baru saja hendak melihat keadaan sekeliling ketika benturan logam terdengar dari arah sungai.

CLANG!

Rivaille menahan bilah pedang yang baru saja diayunkan ke arahnya. Eren merapat di belakang sang mantan komandan Deus Mortem, ia membisikan sesuatu pada Elm sebelum kuda itu berlari meninggalkan keduanya dengan si penyerang.

Seseorang berjubah hitam menyerang Rivaille. Si penyerang memutuskan untuk melompat mundur akibat kekuatan otot tangan yang tidak sebanding dengan pemuda itu. Selanjutnya dua orang berjubah hitam lainnya muncul dari arah berlainan dan berlari cepat ke arah mereka.

Sesungguhnya perkara mudah bagi Rivaille untuk menebas ketiga orang itu dalam hitungan detik, akan tetapi hal itu akan meninggalkan penjagaan pada Eren yang tidak mungkin melindungi diri sendiri dalam pertarungan jarak dekat. Rivaille berdecih sebelum memutar tubuhnya dalam tempo yang sangat singkat lalu menekuk lutut sedikit untuk memperkuat kuda-kuda berpedangnya. Kedua katanyanya telah lepas dari sarung dan terhunus tajam—hampir menebas leher penyerang.

Penyerang di sebelah kiri bersiul, hal yang janggal di telinga Rivaille—seakan ia tengah dicemooh. Bagaimanapun kehilangan tempramen bukanlah tabiatnya. Rivaille tetap tenang. Ia menambah kecepatan ayunan pedangnya dalam langkah yang sunyi sehingga kedua penyerang itu terpaksa menjauh.

Kebiasaan bukan hal yang mudah diubah. Rivaille lupa kalau langkah yang diambilnya barusan menciptakan sedikit jarak antara dirinya dan Eren yang berusaha mengikutinya. Ketika ia berbalik ke tempat Eren, penyerang ketiga yang berjarak lebih dekat dengan Eren telah mengangkat pedangnya. Dua penyerang yang kini ada di belakangnya pun tidak membiarkan Rivaille lolos begitu saja.

"EREN!"

WUSH!

Satu anak panah melesat tepat di depan wajah—hanya beberapa inchi dari pelipisnya—salah satu penyerang yang menahan Rivaille hingga ia terjatuh. Derap langkah kuda yang begitu cepat terdengar tiba-tiba dari arah utara. Detik berikutnya pedang di tangan si penyerang ketiga jatuh ke tanah. Tapal Elm baru saja menghantam pergelangan tangannya dengan kecepatan tinggi. Ia berhasil menghindar sehingga hanya sedikit luka. Jika tidak, mungkin tangannya sudah patah sekarang.

Dengan sigap Rivaille mengangkat Eren lalu melompat naik ke atas kuda. Ketiga penyerang itu tidak memiliki senjata jarak jauh. Rivaille tahu dari pengamatannya selama pertempuran yang mendesak. Tepat ketika Rivaille bermaksud kembali ke tempat yang lainnya, Hanji berdiri di depannya dan memintanya untuk menghentikan Elm.

"Apa yang kau lakukan kacamata?!" ia membentak wanita itu setelah menarik tali kekang Elm. Hanji hanya tersenyum. Mikasa berdiri di sebelahnya. Armin dengan tubuh kecilnya baru saja melompat dari atas salah satu pohon tempat ia melepaskan anak panahnya. Rivaille sadar Hanji tidak mengeluarkan senjata sama sekali.

"Tempat perjanjiannya adalah sungai Neph, seharusnya aku menyadarinya lebih cepat," Hanji menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rivaille mengerti, ia segera mengetahui identitas penyerangnya.

"Kau sama sekali tidak berubah, Hanji. Tetap menyisakan banyak celah untuk penyerangan," terdengar suara lain dari belakang Hanji. Sesosok wanita dengan pakaian sederhana baru saja melangkah mendekat. Rok panjangnya sedikit melambai diterpa angin, kedua kuda yang dituntunnya membawa banyak barang.

"WAH!" alih-alih membalas kritik, tawa Hanji pecah seketika, "Kau menyamar menjadi pedagang dan menyiapkan jubah hitam hanya untuk ini? Bravo, Ilse!"

Ilse Langnar, sudah belajar dari pengalaman, ia lebih memilih mengabaikan ejekan Hanji untuk tidak memperpanjang urusan. Anggota kawanan lainnya hanya saling pandang menyaksikan reuni kecil antara Ilse dan Hanji.

"Maafkan kami sebelumnya," seorang pria berambut pirang pendek membuka jubah bertudung hitam yang dikenakannya barusan, ia berjalan mendekati Armin lalu menepuk bahunya, "Namaku Thomas Wagner. Panah yang hebat kawan."

Armin tersenyum sambil menggumamkan terima kasih.

"Ini Gunther Schlutz," Ilse menunjuk pria yang sebelumnya menyerang bersama-sama dengan Thomas lalu beralih pada penyerang ketiga yang mengalami luka pada pergelangan tangannya, "Dan Erd Jinn."

Tepat setelah Ilse memperkenalkan ketiga penyerang, ia menoleh ke belakang—mendapati seorang gadis berambut pirang membawa serta satu kuda lainnya. Sama seperti Ilse, gadis itu menyamar sebagai pedagang dengan pakaian yang tidak memungkinkan pertempuran sama sekali.

"Terakhir Petra Ral. Kami ditugaskan untuk melakukan pengujian terhadap kalian sekaligus membicarakan negosiasi kerjasama. Berdasarkan reaksi terhadap penyerangan tadi, kurasa kalian cukup layak untuk menjadi rekan. Kalian tidak akan menjadi pemberat yang menahan kami ke tanah," Ilse mengakhiri penjelasannya. Rivaille mendengus.

"Wah, kurasa kau terlalu meremehkan kami dengan membawa tiga jumlah penyerang saja," Hanji merangkul bahu Ilse. Satu tangannya terangkat ke atas dengan pose meremehkan. Ia tertawa setelah mengutarakan satu kalimat yang terdengar sombong itu.

"Aku tahu. Kalau tidak ada anak itu, mungkin kepala Erd, Thomas dan Gunther sudah melayang," Ilse melirik ke arah Rivaille dan anak beriris emerald di belakangnya. Ketiga pria itu segera menyentuh leher mereka dan menghela nafas lega karena masih pada tempatnya.

"Oh, aku tertarik. Kalian sudah tahu banyak tentang kami rupanya," Hanji membetulkan letak kacamatanya dengan satu tangan. Ilse menghela nafas—lelah.

"Tentu kami merasa terhormat dapat bekerja sama dengan mantan komandan Deus Mortem," Petra angkat suara—berusaha mencairkan suasana. Senyum yang ia pasang di wajahnya begitu ceria dengan aura yang menenangkan. Rivaille, sebaliknya, malah menatap sinis.

"Mari kita menuju Athrean," Petra menutup kalimatnya dengan senyum lain. Sepintas saja, tatapannya menyapu pria berambut hitam yang akan menjadi sekutu mereka—singkat dan penuh arti. Eren menyadarinya namun tidak mengatakan apapun. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada lengan kemeja Rivaille.

"Baiklah. Kau tidak mau ikut di kudaku saja, Ilse?" tanya Hanji dengan ekspresi usil ketika Ilse menaiki kuda yang sama dengan Erd. Ilse mendesis, Hanji tahu persis selama ini Ilse selalu mengendarai kuda sendiri dan merasa harga dirinya sedikit jatuh. Di sisi lain Petra menaiki kuda yang sama dengan Thomas sementara kuda milik Gunther membawa lebih banyak barang.

"Begini lebih meyakinkan kalau kami ini pedagang. Kalau ikut kudamu mungkin aku akan dikira sebagai korban penculikan yang dilakukan oleh seorang kriminal," kini senyum kemenangan terukir di wajah Ilse.

'Kau tahu? Kurasa saat ini kita sama-sama kriminal dan harga kepalaku sama dengan harga kepalamu di hadapan Deus Mortem.'

Bukan gurauan yang tepat. Hanji memilih untuk tidak mengutarakan pikirannya. Suasana saat ini sudah cukup berat dan ia tidak mau memperkeruhnya. Wanita berkacamata itu hanya tertawa kering sambil menggenggam tali kekang kudanya dengan santai.

Mikasa dan Armin tidak berbicara banyak. Sebelumnya, mereka berlima telah sepakat untuk merahasiakan keberadaan klan Ignis selain Eren jikalau komplotan kudeta telah mengetahui keberadaan Eren. Rasa percaya tidak bisa diberikan semudah itu meski mereka telah menjadi sekutu sekalipun, bukan? Semakin banyak orang yang mengetahui suatu rahasia, semakin besar peluangnya untuk tak lagi menjadi rahasia.

.

09.34 a.m. – Shigasina, The Capital

.

Pria paruh baya memasuki ruangan Irvin Smith—Sang Perdana Menteri. Dengan acuh ia menghenyakan tubuh di atas sofa merah. Ya, Mike Zakarius. Atau kau lebih senang mengenalnya dengan 'komandan sementara' Deus Mortem yang kini telah resmi menjadi komandan menggantikan Rivaille yang berkhianat?

"Mereka ada di sekitar Athrean. Jumlah orangnya tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi aku yakin bahwa Deus Mortem cukup untuk menghilangkan gangguan kecil semacam itu," Irvin memutar kursinya sambil membaca berkas-berkas di tangannya. Keyakinan terdengar jelas dari nada suaranya—khas pria yang penuh perhitungan matang. Ia bangkit lalu melangkah menuju sofa lain di hadapan komandan baru Deus Mortem.

"Para pengkhianat ya? Jika mereka berpikir mudah untuk menggulingkan kekuasaan Dot Pixis, mungkin Sina sudah memiliki raja muda sejak berpuluh tahun lalu—bahkan sebelum kau dan aku dilahirkan," balas Mike tanpa peduli sopan santun.

"Jaga bicaramu, Mike. Bagaimanapun juga ia adalah Raja yang memerintah Sina. Deus Mortem sekalipun tidak boleh berbicara demikian tentangnya," Irvin tetap menimpali dengan tenang. Sebagai mantan kolega, ia tahu persis sifat Mike dan cara bicaranya yang memang kurang sopan—tepatnya tidak sopan.

"Irvin, kau tahu sejak dulu aku tidak terlalu peduli pada jabatan semacam itu. Lagipula tak perlu terlalu serius. Ia takkan mendengar kita," Mike mengibaskan tangannya, acuh. Ketika mereka berbicara sebagai teman keduanya tidak melihat jabatan dalam pemerintahan. Irvin dan Mike berada dalam angkatan yang sama di sekolah militer mereka dulu dengan usia yang kini telah mendekati 30 tahun.

"Benarkah? Seingatku kau tidak suka Rivaille melangkahimu menjadi komandan Deus Mortem?" sindir Irvin dengan sangat halus. Mike hanya menatapnya tanpa perubahan ekspresi yang berarti. Irvin tahu persis bagaimana Mike membenci Rivaille yang mengambil haknya, dan pria itu lebih membencinya karena ia tak dapat menyangkal kemampuan si pemuda. Selain itu, Rivaille lulus sekolah militer ketika usianya 18 tahun dan ketika itu juga ia diakui—sungguh sesuatu yang tidak dimiliki orang pada umumnya.

"Kau benar. Bocah keparat itu kini sudah tersingkir," Mike berjengit kesal. Hanya di hadapan Irvin ia tidak menyembunyikan emosi gelapnya—mereka telah saling kenal sejak lama. Perdana Menteri itu juga mengenal baik kaki tangannya agar tak ditusuk dari belakang. Entah terlalu hati-hati atau tidak percaya pada siapapun.

"Sejak awal memang akulah yang seharusnya mengisi tempat kosong yang ditinggalkan wanita itu. Kemampuanku membuktikan bahwa aku layak—aku dapat bertahan melalui kejadian empat tahun lalu," kini Mike menatap balik Irvin. Mereka sama-sama mengulang mengenai pengkhianatan komandan Deus Mortem terdahulu di dalam benak masing-masing. Pahit dan masih berbekas sampai saat ini.

"Aku tidak pernah berharap bahwa hal yang sama akan terulang. Keduanya memiliki potensi yang sangat besar yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata," Irvin menghela nafas lelah. Ia memijit keningnya sebelum berdeham pelan. Ia memutuskan untuk kembali melanjutkan pembicaraan yang tertunda.

"Baiklah. Aku memanggilmu ke sini bukan untuk itu, Mike. Kelompok kudeta disinyalir bergerak di sekitar Athrean. Aku mau kau dan yang lain mengurusnya segera. Mereka akan sangat menyusahkan jika dibiarkan berlarut-larut," telunjuk Sang Perdana Menteri mengarah pada lembar peta yang baru saja dibukanya, "Berthold berada dalam posisi yang paling dekat dengan desa itu sementara Jean dan Marco telah kukabari untuk menunda pencarian Rivaille."

"Dengan kata lain kau menganggap bahwa bocah keparat itu adalah prioritas kelas dua untuk sementara waktu dan lebih penting untuk menyingkirkan pasukan yang kau sebut 'gangguan kecil'? Hei, apa prioritasmu tidak tertukar, Irvin?" protes Mike yang baru saja mencerna perincian tugas barunya.

"Rivaille akan sulit bergerak karena ia melindungi anak dalam ramalan. Lagipula ia sendiri, takkan dapat berbuat banyak. Sementara kelompok kudeta ini, kita tidak tahu siapa saja anggotanya. Kita harus berjaga-jaga jika ada hal tidak terduga yang terjadi bukan?" Irvin membela pendapatnya dengan serangkaian argumen seraya menyesap secangkir teh yang sempat disiapkannya. Ia tidak semata-mata memerintahkan sesuatu begitu saja.

"Ah, aku baru saja akan memberitahumu. Selalu tidak ada kesempatan untuk menyampaikannya. Ketika Jean dan Marco bertemu si bocah keparat di Han-Gardian, wanita itu ada bersamanya."

Cangkir hampir tergelincir dari tangan Irvin Smith. Mike tersenyum licik dari tempatnya berdiri. Hanya beberapa kali saja dalam hidupnya ia melihat Irvin kehilangan keseimbangannya meski sesaat.

"Aku tidak sedang mempermainkanmu. Aku baru mengetahui fakta itu ketika Jean berbincang dengan Marco di istal. Sepertinya mereka lupa melaporkan bagian paling penting dari penyelidikan mereka di kota dagang selatan itu," lanjut Mike sambil beranjak bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju sisi lain ruangan dimana enam kantung kertas berbaris rapi di atas meja kecil berukiran.

"Terima kasih untuk seragam barunya. Kurasa ini akan membantu untuk menipu musuh secara visual. Kita tengah berurusan dengan orang-orang yang tak asing dengan Deus Mortem. Kita dapat maju selangkah di depan karena tikus yang kau pekerjakan melakukan tugasnya dengan baik," Mike mengambil salah satu kantung lalu menarik keluar isinya. Setelan dan jubah serba hitam dengan ukiran perak disertai kemeja ungu tua dan boots coklat tua di bawah lutut.

"Sepertinya aku harus mengubah sedikit rencana jika ia bergabung dengan Rivaille. Kau tahu? Kelompok kecil seperti itu dapat menjadi sangat berbahaya dalam hitungan hari," ujar Irvin. Mike memicingkan mata ketika mendapati sisa kantung yang seharusnya tidak diperlukan.

"Hubungi aku jika ada perubahan rencana. Aku akan berangkat pukul sepuluh. Butuh hampir satu hari untuk mencapai Athrean dengan kuda tercepat yang dimiliki kerajaan. Untung Reiner dan yang lain berada di sekitar tempat itu," komandan baru Deus Mortem membawa lima kantung kertas berisi seragam baru bersamanya. Ia berniat membuang satu kantung terakhir namun Irvin mencegahnya.

"Letakkan kembali kantung itu, Mike. Aku tahu kau membencinya, akan tetapi anggota yang lain masih berharap Rivaille kembali."

"Aku tahu. Tapi benarkah kau juga berharap demikian meski mustahil? Atau kau sesungguhnya tidak bisa lepas dari bayang-bayang wanita itu? Memang, ia orang yang ceria dan telah mewarnai tempat ini. Akan tetapi ia juga yang telah melumurinya dengan darah dan pengkhianatan. Aku harap kau tidak melupakan fakta itu, Irvin," gagang salah satu daun pintu ganda telah dibuka, Mike bersiap meninggalkan ruangan dengan satu nasehat yang terdengar bijak.

"Hanji Zoe. Kusarankan kau memperlakukannya sebagai buronan juga mulai sekarang," dengan itu pintu tertutup—menyisakan Irvin seorang diri di ruangannya yang sunyi.

"Kurasa kau benar," pria berambut pirang itu kembali ke tempat duduknya semula, sebelum Mike datang. Dihempaskannya tubuh ke kursi putar dengan perasaan bercampur aduk dan pikiran yang menjelajah waktu.

"Tidak seharusnya aku percaya…."

.

10.20 a.m — The Village of Athrean

.

Kesepuluh orang itu berada dalam sebuah ruangan tertutup yang termasuk rahasia. Hal yang wajar untuk perencanaan sebuah aksi yang menentang penguasa—Coup d'etat. Tiga orang diantara mereka berjaga secara bergiliran. Ilse memimpin perundingan sebagai perwakilan dari para pemberontak. Hanji mewakili kelompok Rivaille dengan pertimbangan ialah yang paling mengenal Ilse. Ilse mengetuk-ngetukan pena di tangannya sebanyak tiga kali ke meja.

"Bukan kebiasaanku melakukan perundingan begini. Bagianku adalah merencanakan hal taktis—kaupun tahu itu, Hanji. Dari semua tugas yang pernah kuterima, hal ini sangat menyusahkan—apalagi berurusan denganmu. Kelompok yang menyusahkan…," Ilse mendesah lelah. Pena di tangannya terjatuh ke lantai.

Hanji tertawa. Di kepalanya, berbagai hinaan dan sindiran untuk Ilse sudah ia siapkan. Tentu bukan karena ia membencinya, melainkan karena mereka adalah teman baik. Oleh karena itu Hanji selalu mempermainkan Ilse yang menurutnya menarik.

"Aku tahu kau tidak baik dalam negosiasi. Lantas mengapa ketua kelompok ini masih mengutusmu?"

Ilse mengangkat bahu, "Mungkin karena akulah yang kau hubungi. Sudahlah, mari langsung menuju topik pembicaraan yang sesungguhnya. Kami datang kemari bukan untuk mengobrol santai sambil minum teh."

Hanji memperbaiki letak kacamatanya. Rivaille masih melindungi Eren yang terlelap dalam pangkuannya. Armin dan Mikasa berjaga bersama Erd, Thomas, dan Gunther agar mereka tak terlalu mencolok dalam perundingan.

"Aku yakin kau telah mengetahui bahwa pimpinan kelompok kami adalah Keith Shadis. Beliau menyetujui kerja sama diantara kita dengan mempercayakan segalanya terhadap penilaianku," Ilse memulai.

"Dari sudut pandangku, kalian merupakan rekan yang cukup mampu diandalkan dalam pertarungan. Aku takkan meminta pendapat kalian soal strategi karena itu merupakan bagian orang lain. Meskipun demikian, aku ingin tahu apa yang dapat dilakukan kedua teman kalian yang ikut berjaga dan bocah kecil dalam pangkuan mantan komandan Deus Mortem itu," Ilse mengarahkan telunjuknya pada Eren.

Rivaille sedikit kehilangan kendali, sebilah katana terhunus ke leher Ilse, "Jangan bercanda kau, keparat! Kau bermaksud menyuruh Eren bertarung? Aku kesini untuk melindunginya. Jika kalian memiliki maksud sebaliknya, akan kuhabisi kalian disini sekarang juga."

Keringat dingin menetes dari pelipis Ilse. Tak satu pun rekannya bergerak. Mereka tahu tak ada yang sanggup menandingi laju tebasan pedang Rivaille dari jarak sedekat itu. Hanji terbelalak, sementara Mikasa dan Armin tetap tak bereaksi. Mereka memutuskan untuk menunggu. Ketika ada rekan Ilse yang angkat senjata, saat itu pula mereka akan bertindak.

"Hei! Hei! Tunggu, Rivaille. Ilse tidak bermaksud begitu. Aku yakin. Hanya saja dalam keadaan terdesak Eren mungkin dapat melindungi diri jika—," Hanji berusaha menenangkan namun Rivaille mencelanya.

"Aku tidak mau dengar lebih lanjut soal kemampuan Eren dan kemungkinan baginya untuk melindungi diri sendiri. Kalau kalian tidak menerimanya, perundingan ini dapat kita batalkan," sepasang iris obsidian berkilat tajam—melontarkan amarahnya dengan jelas pada seluruh penjuru ruangan.

Hening sesaat sebelum anak laki-laki berambut amber menggeliat pelan dalam peluk ksatrianya. Rivaille menyadari Eren merasa terganggu dengan segala perundingan yang tengah berlangsung.

"Selesaikan perundingan ini, kacamata sialan. Kau tahu apa yang harus dilakukan," dengusnya sebelum beranjak meninggalkan ruangan.

Eren mengerjapkan matanya. Hal pertama yang ia tahu ketika terbangun, Rivaille bangkit begitu saja dari tempat duduk mereka. Eren mengikuti Rivaille keluar ruangan. Tangan kecilnya meraih tangan sang mantan komandan agar tidak kehilangan Rivaille sekaligus menuntut sang ksatria agar selalu bersamanya.

Tangan Rivaille balas menggenggam erat tangan Eren dan mereka lekas berlalu. Meninggalkan orang-orang lain dalam ruangan, Rivaille tampak gusar. Meminta Eren terjun dalam pertempuran? Yang benar saja. Memang kebodohan mereka tidak ada batasnya apa? Walau memiliki kekuatan istimewa, Eren masih sangat polos dan tidak berdaya—setidaknya menurut Rivaille.

Begitu pintu tertutup, entah bagaimana Ilse menghembuskan napas lega. Rivaille terlalu menakutkan untuknya.

"Apa dia selalu seperti itu, Hanji?" tanya Ilse sambil menghempaskan badannya ke sofa. Otot-otot tubuh yang semula tegang karena perlakukan Rivaille yang teramat keras, tegas, dan mengancam kini mulai mengendur. Kursi yang diduduki Ilse sampai berderit pelan.

Hanji tertawa kecil. Bahkan setelah situasi demikian pun dia masih bisa santai. Mungkin karena dia sendiri sudah terbiasa dengan perilaku Rivaille yang sama sekali tidak ada sopan santun dan tata kramanya nyaris pada siapapun.

"Dia dan Eren punya hubungan yang unik...," ujar Hanji masih sambil tertawa. Orang-orang lain dalam ruangan menampakan ekspresi bingung. Sementara itu wajah Mikasa tampak sebal dan paras Armin mulai disepuh rona kemerahan.

"Unik? Unik seperti apa?" tanya Gunther penasaran. Ini kali pertama dia melihat seorang prajurit yang tampak dingin dan berdedikasi seperti Rivaille bisa begitu tunduk dan protektif pada seorang bocah, tentu ia penasaran.

"Unik... dalam artian...," Hanji mencoba mencari kata yang pas menggambarkan hubungan Eren dan Rivaille, "...kau bisa katakan mereka pasangan sejiwa—soulmate."

"Yang benar saja? Mantan komandan Deus Mortem punya preferensi seperti itu?" mata Erd melebar, "Aku tidak menyangka..."

"Hei, hubungan mereka bisa jadi tidak sepolos hubungan Ilse dan Connie...," Hanji mencoba melucu. Tindakan itu membuatnya dihadiahi lemparan pena bulu burung dari Ilse, "Tapi Rivaille tidak seperti yang kau pikirkan... atau mungkin 'belum'. Eren masih kecil..."

Dehaman pelan dari arah pintu yang kemudian berderit pelan terbuka menunjukan sesosok informan berbadan kecil yang sudah sangat familiar. Cengiran Connie lebar dan cerah.

"Aku baru saja dipersilahkan masuk dan ternyata kalian sudah membicarakanku. Dasar…."

Hanji tertawa keras. "Wah, wah... Bukankah sekarang pemain di panggung telah lengkap? Bahkan informan kita yang hebat saja sudah tiba!"

.

11.34p.m — The Village of Athrean

.

Malam hari, Rivaille duduk depan jendela kamarnya dan Eren yang terletak di lantai dua. Kamar tersebut adalah kamar kosong yang tidak digunakan kelompok kudeta dan dipersilahkan mereka untuk dipakai oleh para pengelana yang kini bergabung.

Perundingan dengan kehadiran Connie rupanya menjadikan segalanya lebih mudah. Keith Shadis yang tampaknya masih banyak berpikir tentang menerima Rivaille dan kelompoknya lebih mudah dibujuk dengan kehadiran sang informan yang di luar dugaan sangat pandai mempersuasi.

"Rivaille...," tangan kecil melingkupi tangan besar Rivaille yang bersandar pada sandaran tangan sofa single warna coklat tanah. Tatapan Rivaille dari jendela dan pemandangan sinar bulan yang menyapu Athrean teralihkan. Belahan jiwanya memandangnya dengan mata hijau yang sarat kekhawatiran, "Kenapa diam saja?"

"Tidak apa-apa...," ujar Rivaille sambil mengacak rambut Eren. Membiarkan Eren tahu bahwa ia masih bimbang apakah keputusannya bergabung dengan gerombolan bermasalah seperti kelompok kudeta ini adalah hal yang bagus adalah hal terakhir yang akan Rivaille lakukan.

"Sungguh?" tanpa disadari Rivaille, Eren kini sudah menduduki pangkuannya dan menangkup dua pipinya dengan tangannya, "Rivaille tidak berbohong?"

"Tidak. Aku tidak berbohong...," ujar Rivaille.

"Rivaille..."

"Ya?"

"Aku takut… mereka memburu kita...,"Eren menatapnya dalam dan lekat. Hijaunya memaku iris kelabu Rivaille, "Berjanjilah kau tidak akan meninggalkan aku sendirian..."

Rivaille terperangah dengan permintaan Eren. Kapan kiranya Eren pernah benar-benar meminta hal demikian seperti ini padanya? Rasanya tidak pernah. Selama ini anak itu selalu ada di dekatnya. Menyuarakan permintaannya dengan tanda-tanda semata, tapi tidak pernah kalimat sejelas ini. Kenapa tiba-tiba?

"Tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu...," Rivaille menyentuh dua tangan kecil Eren yang tertangkup di wajahnya.

Jarak di antara mereka semakin menghilang. Eren menyentuhkan bibirnya pada Rivaille dengan malu-malu. Rivaille menyambutnya dengan senang hati. Memang dia siapa sampai bisa menolak anak semanis ini?

Tangan Eren bergerak ke rambut Rivaille sementara ksatrianya itu merengkuh pinggangnya lembut. Keduanya bercumbu mesra, seakan lupa bahwa Eren masih belum cukup dewasa. Seperti suasana malam yang tenang di Athrean, mereka tidak melakukan sentuhan yang terburu-buru. Hanya kelembutan yang ada di sana.

Ketika kontak fisik yang lembut itu terlepas, Eren menatap Rivaille dengan paras memerah dan lekas menyembunyikan wajahnya di dada Rivaille, membiarkan detak jantung yang selalu menenangkannya itu mengantarnya ke buai mimpi tak lama kemudian.

Rivaille mengangkat tubuh Eren dan membaringkannya di ranjang mereka dengan pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Eren. Dirapikannya helaian-helaian poni Eren yang lembut sebelum ia menyelimuti tubuh mungil itu dengan selimut yang nyaman.

Rivaille membuka pintu keluar kamar dengan kehati-hatian yang sama. Komandan muda itu turun menuju lantai satu, berniat keluar ke halaman rumah persembunyian kelompok kudeta itu untuk mencari udara segar yang mungkin melegakan pikirannya. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berputar sebegini jauhnya. Berkhianat pada pemerintahan, menjadi buronan, bergabung dengan kelompok pemberontak, dan nyaris bercinta dengan anak di bawah umur. Dia benar-benar sudah banyak berubah hari-hari terakhir ini bukan?

Erd dan Gunther yang berjaga di depan pintu memberi salam padanya. Rivaille hanya berkata belum bisa tidur ketika mereka bertanya apa yang ia lakukan malam-malam begini.

Semilir angin malam membawa bunyi halus dan lembut. Gemerisik dedaunan yang dilewati angin memberikan ketenangan tersendiri yang tidak dapat dijelaskan. Bulan nyaris purnama bertahta tinggi di atas langit hitam seolah dialah ratu yang berjubah beludru hitam bertabur pasir berlian.

Rivaille duduk di tangga teras dan memejamkan mata sambil menghela napas panjang, berniat menenangkan diri sebelum telinganya yang tajam menangkap bunyi-bunyi tidak wajar dari arah semak-semak. Matanya terbuka dan menatap langsung ke arah sumber suara.

Kelinci atau hewan hutan lain yang tersesat? Bisa saja. Rumah kelompok kudeta ini berada persis di pinggiran hutan perbatasan guna memudahkan diri melakukan pelarian andaikata mereka terpergok militer ataupun Deus Mortem.

Anak panah melesat, nyaris mengenai mata Rivaille andai pria itu tidak segera berkelit. Mata panah yang menancap pada pilar kayu membuat Gunther dan Erd yang sedang berjaga langsung sigap mengirimkan sinyal. Suara Gunther menggelegar menyuruh semua orang di dalam rumah bersiaga untuk bentrokan yang akan terjadi.

"SERANGAN!"

Sementara itu, Rivaille masih dengan sigap menghindari tembakan peluru yang entah bagaimana seolah sengaja diarahkan langsung padanya, lekas berlari ke dalam rumah untuk mengamankan Eren. Tampaknya musuh tidak akan sebaik itu menggunakan panah kembali setelah kini kamuflase mereka ketahuan. Desing peluru memekakan telinga. Akan tetapi dalam kepala Rivaille hanya ada Eren.

Persetan dengan semua penyerbu. Mereka bisa mengantri dapat giliran dihukum mati oleh yang mulia mantan komandan Deus Mortem setelah yang bersangkutan mengamankan belahan jiwanya.

"Komandan!" Jean menyeruak keluar dari semak-semak diikuti Marco. Di belakang keduanya tampak militer biasa di bawah perintah Irvin yang menyuruh mereka bekerja di bawah komando Deus Mortem. Mereka semua ikut menyerang rumah kelompok pemberontak. Suara tembakan dan adu pedang dalam waktu singkat sudah mewarnai malam yang sunyi dan tenang di Athrean.

Rivaille berlari secepat kilat. Saat ini dia mengutuki rumah yang sangat luas ini. Di bawah tangga, sebelum Rivaille mendakinya menuju lantai dua, tampak Armin dan Mikasa sudah membawa Eren. Eren dalam gendongan Mikasa tampak khawatir, takut, dan panik.

"Aku terlambat menyadari bisikan angin...," ujar Mikasa dengan wajah menyesal dan marah pada diri sendiri.

Armin menepuk pundaknya menenangkan, "Setidaknya kita masih punya waktu menyelamatkan Tuan Muda..."

Armin melemparkan jubah dan katana kembar Rivaille yang ia bawakan karena ia tahu sang komandan pasti akan membutuhkannya. Rivaille mengucapkan 'terima kasih' singkat dan lekas juga bersiaga.

"Mikasa... Bawa Eren ke tempat Elm beristirahat, dan segeralah menyingkir ke barat. Aku akan menyusul. Kau juga Arlelt...," ujar Rivaille. Komandan berambut hitam itu meloncat ke depan dan menghalau pedang yang teracung pada mereka semua. Ia melindungi tiga anggota klan Ignis di belakangnya, "Cepat!"

"Tidak!" teriak Eren, "Aku hanya akan pergi bersama Rivaille…."

"Eren, aku akan menemuimu nanti...," ujar Rivaille sambil masih berkonsentrasi pada lawan-lawan lain yang seolah datang tanpa henti. Bunyi logam beradu logam memekakan telinga. Mikasa siap berlari membawa Eren. Tuan muda Ignis itu berontak—keras kepala dan terus mengatakan 'tidak'.

"Aku akan membantu…."

"Eren...," Rivaille merasa konsentrasinya terpecah. Antara menghadapi anjing-anjing militer di depannya ini yang seolah tak sayang nyawa dan masih berani menantangnya walau sudah tahu dia siapa. Dua tubuh jatuh lagi ke lantai dengan bersimbah darah, "Pergilah…."

Armin mencoba menengahi. Di saat itulah Hanji tiba dan memberikan bantuan pada Rivaille.

"Bawa Eren pergi, komandan pendek! Kau ini bodoh apa?" ujar Hanji yang tampak sangat mengkhawatirkan Eren. Rivaille tidak biasa melihat Hanji yang senantiasa cengar-cengir walau di pertarungan sekalipun itu terbawa emosi, bahkan ia hampir lupa menghardik Hanji karena sudah memanggilnya 'pendek'.

"Diam kau, kacamata busuk! Andai mudah sudah kulakukan dari tadi!" bentak Rivaille tanpa berhenti menyerang lawan-lawan yang berdatangan tanpa henti.

Di luar dugaan, Armin menarik pisau berukuran sedangnya dari kantung kulit di kakinya dan menghardik lawan di depan Rivaille. "Pergilah komandan! Selamatkan tuan muda! Aku dan Nona Hanji yang akan bertahan di sini."

"Armin!" Mikasa terkesiap. Gadis itu tidak setuju, ia tahu Armin tidak secakap dirinya di pertarungan.

"Mikasa, kau juga!" Armin berkata, "Jika ada serangan di luar, kau yang bisa jadi tameng untuk tuan muda dan komandan..."

"Armin!"

"Pergilah!" Armin berkata meyakinkan. Beberapa orang penyerang kembali datang. Armin dan Hanji mencoba menahan, "Sekarang!"

Rivaille berdecih. Tidak pernah terlintas sekalipun di benaknya untuk mengiyakan permintaan mundur dari pertarungan. Tapi apa boleh buat? Semua demi Eren.

Rivaille berlari ke ujung lorong yang belum diinvasi para penyerang dan menghancurkan kaca jendela tak berteralis. Bunyi kaca berserak terdengar; menambah berisik suasana malam yang sungguh ramai dan penuh kekacauan. Mikasa yang melindungi Eren mengikuti jalan yang sudah dibersihkan Rivaille dari musuh-musuh yang rupanya juga mengelilingi rumah. Beberapa anggota klan pemberontak tampak sudah menembus hutan juga. Rupanya mereka cukup punya kemampuan, pikir Rivaille.

Elm tampaknya memang kuda Ignis yang terlatih, dia bersama kuda Mikasa dan Armin sudah menunggu-nunggu dengan sigap di tepi hutan.

Rivaille lekas melemparkan dan mempersiapkan pelana Elm dengan cekatan. Begitupun dengan Mikasa. Ketika Rivaille meraih Eren untuk ikut mengunggang Elm bersamanya, Mikasa masih mempersiapkan pelana untuk kuda Armin.

"Cepat!"

"Ini agar Armin bisa segera melarikan diri!" ujar Mikasa yakin, "Ia pasti kembali! Jadi..."

"Tentu saja ia akan kembali, si kacamata busuk ada bersamanya. Sekarang yang penting kau cepat naik kudamu!" perintah Rivaille gusar. Mikasa tampak tak suka diperintah oleh Rivaille namun ia menurut juga. Bagaimanapun si pendek bermulut kasar ini adalah pasangan tuan muda mereka dan mungkin akan menjadi seseorang yang penting bagi klan Ignis nantinya.

.

01.18 a.m — The Village of Athrean

.

Hanji menghapus peluh di dahinya. Ia bahkan enggan menghitung berapa banyak sudah dari persediaan pelurunya yang hari ini sudah ia habiskan. Tapi cukup setimpal. Sudah lama ia tidak membunuh sebanyak ini. Terakhir kali rasanya saat ia masih menjabat sebagai komandan Deus Mortem.

Paras wanita berkacamata itu tampak sendu mengingat kehadiran seorang pria pirang yang selalu menyambutnya usai bertugas dengan handuk basah untuk membasuh wajah dan memerintahkan beberapa pelayan untuk mempersiapkan air mandinya. Wajahnya berubah kecut. Ia sudah tidak pantas menerima kebaikan dan perhatian dari pria itu lagi bukan?

"Nona Hanji... Ayo kita harus segera menyusul Komandan Rivaille dan Mikasa. Tuan Muda pasti mengkhawatirkan kita juga...," ujar Armin sambil menepuk punggungnya.

"Ah, ya…."

Namun serangan fatal lain ketika Armin lengah dilancarkan. Seorang pemuda berseragam Deus Mortem menyergapnya dari langit-langit. Rupanya semua anggota militer sebelumnya hanya umpan agar mereka kelelahan. Terlepas dari komandan Rivaille yang sudah berhasil melarikan diri, Pixis akan senang apabila setidaknya mereka berhasil menangkap si pengkhianat Hanji Zoe dan seseorang yang dicurigai sebagai anggota klan Ignis. Siapa lagi yang akan melindungi anak dalam ramalan dengan dedikasi tinggi selain anggota klan terkutuk itu?

Pipi Armin terasa sakit ketika terbentur lantai. Kepalanya ditekan dan rambutnya dijambak dengan kasar. Armin merintih.

Sementara itu dari belokan lorong, salah seorang anggota Deus Mortem yang dikenali Hanji sebagai seorang yang pernah bertarung dengannya mengarahkan ujung senapan laras panjangnya pada Hanji. Hanji menghindari tembakan tepat pada waktunya, namun timah panas masih berhasil menggores pakaian Hanji dan melukai kulitnya.

Armin dapat mendengar suara terkesiap dan kaget dari pemuda yang menyergapnya. Armin melirik pada wajah pemuda di atas punggungnya itu. Matanya melebar.

Dia adalah pemuda yang ditemui Armin di sungai sebelumnya dan memberikan Armin tanda mata berupa kalung berliontin batu bulan.

"Kau..."

"Nona Hanji! Larilah!" ujar Armin keras. Sekarang bukan waktunya reuni mengharukan.

"Armin!"

"Aku akan baik-baik saja!" ujar Armin keras. Mike Zakarius yang tahu-tahu sudah muncul di belakang Jean menendang sisi perut Armin keras.

"Marco! Tangkap wanita itu!"

Hanji berlari sambil berkelit dari peluru Marco. Beberapa kali ia menembakan tembakan balasan yang bisa dihindari Marco sama baiknya. Namun ketika Akhirnya peluru Hanji mengenai pundak sang snipper handal Deus Mortem, Marco dipaksa tunduk dan menyerah membiarkan Hanji terlepas dari tangkapan.

Jean masih dengan ekspresi bingung dan tidak tahu mau berbuat apa dengan tangkapannya ini. Dia sama sekali tidak pernah menyangka Armin yang ia kira sebagai pemuda polos bernasib kurang beruntung karena sudah kehilangan kampung halaman untuk pulang adalah salah satu anggota pemberontak. Hal itu otomatis menjadikan mereka musuh; pihak yang bersebrangan kepentingan.

"Cih... si bodoh itu!" Mike mengumpat pada Marco yang kembali dengan tangan terluka di bahu tanpa Hanji, "Ya sudahlah..."

Mata Mike melirik pada Armin yang masih meronta lemah. "Setidaknya Raja tidak akan terlalu marah-marah seperti kemarin ini…."

Jean masih terdiam sampai Mike membentaknya, "Kenapa bengong, Kirschtein?! Cepat borgol tangannya. Bodt, persiapkan segala sesuatunya untuk membumihanguskan tempat ini."

Fajar merekah merah, senada dengan warna bola api dari obor yang menyulut setiap dinding dan benda. Dinginnya pagi hari kontras dengan hawa panas dari perapian besar kota Athrean dimana sebuah rumah diperlakukan bagai kayu bakar tak berguna—dijilat api hingga habis tak bersisa.

Armin Arlelt dipercayakan ada di bawah pengawasan Jean Kircshtein dan akan diperlakukan sebagai tersangka pemberontakan sampai mereka kembali ke ibukota dan Raja memutuskan vonis yang akan dijatuhkan pada sang pemuda berambut pirang.

.

06.39a.m — The West Forest of Athrean Village

.

Hutan barat yang dinaungi pohon-pohon raksasa menjulang adalah markas darurat kelompok pemberontak. Semua yang berhasil menempuh hutan dan berada di titik aman ini adalah mereka yang paling kompeten di kelompok mereka. Keith Shadis dan para pengawal pribadinya adalah yang pertama mencapai tempat ini dini hari tadi. Disusul Mikasa dan Rivaille yang membawa Eren. Hanji menjadi yang terakhir berkumpul bersama mereka.

Mikasa mencengkram kerah baju Hanji. Matanya nyalang—menunjukkan kemarahan. "Di mana Armin?!"

Hanji dengan wajah bersalah tampak bingung mau berkata apa. Ilse melerai bersama Connie. Rivaille masih memangku Eren yang tampak lelah dan kebingungan; perjalanan melarikan diri pasti menghabiskan kekuatannya.

"Tenang, Ackerman...," ujar Ilse sambil berusaha melonggarkan cengkraman Mikasa pada kerah Hanji, "Hanji juga sedang terluka..."

Connie memapah Hanji untuk menghampiri Petra yang sejak tadi tanpa henti membantu merawat luka-luka anggota kelompok pemberontak dibantu Erd. Semua tampak lelah. Dan tidak perlu jadi orang pintar untuk tahu anggota kelompok pemberontak sudah berkurang sekitar enam atau tujuh orang—termasuk Armin.

"Kita harus kembali ke Athrean!" ujar Mikasa sambil mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, "Jika mereka melakukan perjalanan kembali ke ibukota maka pasti masih ada cukup waktu untuk menyelamatkan Armin..."

"Kau gila?" tanya Rivaille yang masih duduk di atas batang kayu besar sisa-sisa pohon yang mungkin sudah tumbang sambil memangku Eren, "Jangan tolol. Bahkan sebagai orang yang punya bakat pertarungan, nyawamu tetap saja cuma satu. Nyawa kita semua di sini, hanya satu."

Mikasa memandang Rivaille kesal dan benci. Tidak mungkin pria dingin seperti Rivaille ini mengerti hubungannya dengan Armin yang sudah seperti kakak adik. Sekarang ini di kepalanya hanya ada Eren, Eren, dan Eren. Memang tidak salah, tapi seharusnya pria itu—jika ia masih punya sedikit saja kepedulian pada orang lain—mau kembali menyelamatkan Armin.

Atau sebenarnya benar kecurigaanya pada Rivaille bahwa pria itu hanya menganggap dirinya dan Armin, juga semua orang lain di kelompok ini, sebagai pion untuk membantunya menjaga Eren. Kenapa pria ini egois sekali? Mikasa ingin sekali menamparnya.

Dan memang itulah yang ia lakukan. Ia menghampiri Rivaille dan Eren lalu menampar pria itu tepat di pipi. Eren terkesiap kaget.

"Aku tahu penting sekali bagimu menjaga tuan muda...," ujar Mikasa dengan suara bergetar menaham amarah dan bentakan emosi, "Bagiku dan Armin pun seperti itu. Tapi bukan berarti kau boleh memperlakukan kami seperti pion catur yang kau biarkan saja saat sudah tertangkap oleh pasukan lawan!"

Rivaille juga sama kagetnya. Tidak menyangka Mikasa akan menamparnya seperti itu, terlebih di depan semua orang yang kini mengamati mereka dengan tatapan was-was. Hanji yang baru saja mendapatkan perawatan untuk luka di lengan atasnya, menghampiri Mikasa.

"Tenang, Mikasa... Rivaille tidak bermaksud seperti itu...," ujarnya sok tahu dengan nada tenang, "Yang jelas benar sekali bahwa kita harus lebih dulu menyusun rencana."

"Tapi?!"

"Armin akan aman...," ujar Hanji penuh percaya diri. Dia sendiri tidak tahu darimana datangnya rasa percaya diri itu, "Dot Pixis adalah raja yang licik. Dia tidak akan langsung menghabisi Armin karena dia tahu Armin akan jadi umpan yang bagus untuk memancing kita semua keluar dari persembunyian kita."

Hanji memelankan suaranya, "Apalagi kalau dia sudah melihat tanda klan kalian itu... Setidaknya, perdana mentrinya yang bernama Irvin Smith tidak akan membiarkan Armin dihabisi duluan..."

Mikasa tampak sedikit tenang. Penjelasan Hanji logis dan Mikasa yang sudah pernah diberitahu bahwa Hanji dulunya adalah mantan anggota Deus Mortem seperti Rivaille merasa dia bisa percaya pada penilaian wanita itu. Bagaimanapun dia pernah bekerja di bawah perintah Pixis. Hanji pasti cukup mengenal perangai raja lalim tersebut.

"Makanya kau tenang ya...," ujar Hanji sambil menepuk pundak Mikasa pelan.

"Ya..."

Setelahnya tidak ada yang tahu jika Mikasa diam-diam meneteskan air mata. Baginya kini Armin merupakan anggota keluarga satu-satunya. Ia benci pada dirinya sendiri karena tidak dapat melindungi pemuda itu. Hanya harapan tipis yang masih menahannya untuk tidak gegabah melakukan penyelamatan Armin seorang diri.

Dengan tertangkapnya Armin, Hanji merasa tinggal menunggu waktu saja sampai anggota kelompok kudeta pun mengetahui identitas Mikasa dan Armin. Ya, apalagi kedua orang itu memang selalu memanggil Eren dengan penuh hormat bukan?

.

07.18a.m — The Village of Athrean

.

Berpasang-pasang mata penduduk Athrean melebar sejak pagi ini. Dimulai dari kebakaran yang mengundang tanya dan keheranan, kini sepasukan pemuda dengan jubah militer kerajaan berbondong-bondong keluar dari kota mengawal kereta kuda berteralis dan berkunci besi.

Jean duduk berpangku tangan di dalam kereta. Dia kebetulan mendapatkan jatah mengawal sang tawanan sampai militer yang tersisa dan Deus Mortem berhasil mencapai ibu kota. Sekalipun bukan dia tawanannya, berada dalam kereta kurungan itu benar-benar tidak menyenangkan. Tatapan semua orang yang berprasangka padanya itu terasa menusuk.

"Aku tidak menyangka kau adalah anggota Deus Mortem...," ujar Armin membuka percakapan dengan suara tenang. Namun keramahan yang dulu pernah ditunjukan pada Jean sama sekali hilang.

"Kau juga...," Jean menatapnya dengan ekspresi kecewa, "Aku tidak menyangka sama sekali kau ada dalam kelompok pemberontak... atau bahkan mungkin... klan Ignis..."

"Kau bahkan tidak bertanya apa aku bagian klan itu atau bukan?"

Jean mengacungkan dua jarinya ke depan, "Pertama, kau bilang kampung halamanmu sudah tidak ada. Kedua, kau bergaul dengan ko—mantan komandan Rivaille... Itu mengatakan banyak hal tentangmu..."

Armin membuang muka. Jean menatapnya dengan tatapan terluka kali ini. Dia benar-benar merasa tertipu. Tapi siapa yang mau dia salahkan? Armin tidak pernah bilang dia bukan orang jahat bukan? Atau setidaknya bagian dari kelompok musuh—terlepas pihak mana yang benar. Jean yang terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang siapa Armin.

"Ini...," Entah kapan, Jean tidak memerhatikan, dua tangan Armin yang terborgol sudah bersusah payah melepaskan kalung tanda mata dari Jean. Disodorkannya kalung berliontin batu bulan itu pada Jean, "...kau memberitahuku untuk mengembalikan ini di pertemuan kita berikutnya. Walau sekarang rasanya bukan momen yang terlalu tepat, tapi ini akan kukembalikan padamu..."

Jean terdiam sesaat sebelum dengan kasar mengambil kalung tersebut. Ia mengetuk pintu besi sebagai isyarat memanggil Marco yang tengah berjaga di belakang kereta. Wajah sahabatnya tampak di depan jendela kecil berjeruji yang menjadi sarana ventilasi kereta tawanan.

"Ya, Jean... Kenapa?"

"Tukar tempat denganku, Marco. Kau saja yang jaga di dalam...," ujar Jean sambil memakai kembali kalung ibunya. Marco yang menyadari kalung Jean sudah kembali segera mengerti bahwa Armin adalah sosok yang pernah diceritakan Jean sebelum ini. Pemuda berambut hitam itu tersenyum sabar.

"Tidak. Kau yang harus selesaikan perkaramu sendiri, Jean..."

"Marco..."

Marco tetap menggeleng, "Aku tahu kau selalu meragukan posisimu sejak Komandan pergi meninggalkan kita dalam tugas genosida itu...," Marco menghela nafas, "Sekarang belum terlambat untuk memikirkan apa yang sesungguhnya mau kau lakukan..."

Jean mengalihkan wajahnya dari Marco. Tangannya mengenggam erat salah satu jeruji jendela besi sampai buku-buku jarinya memutih. Entah kenapa di saat seperti ini, Marco selalu sukses membaca dirinya. Apakah Jean yang terlalu mudah dibaca seperti buku atau memang Marco memahaminya lebih dari dirinya sendiri? Jean tidak tahu.

"Satu hal yang perlu kau ingat, Jean...," ujar Marco sambil menyentuh tangan sahabatnya yang menggenggam jeruji besi, "Jalan manapun yang kau pilih, aku tetap temanmu, Jean..."

.

07.48a.m — The City of Eden

.

"Kita akan aman di sini...," ujar Ilse pada Connie dan Hanji yang mengikuti kudanya dari belakang. Rombongan pemberontak memasuki kota dalam beberapa tahap agar tidak mencurigakan, bagaimanapun berita mengenai penangkapan pemberontak di Atheran pasti sudah terdengar, "Kau bisa percaya pada kami, Hanji. Ketua Keith orang yang sangat berhati-hati... di kota ini ada markas kami sebelum kami pindah ke Athrean..."

"Entahlah... bagaimana ya?" Hanji bergumam. Ilse dan Connie langsung menoleh ke arahnya. Semenjak Armin ditangkap, Hanji jadi sering mendesah lelah begini. Wanita itu tampaknya merasa bersalah tidak dapat melindungi Armin juga, "Aku tidak benar-benar mempercayai mereka, tetapi aku mempercayaimu, Ilse."

Ilse tersenyum, begitupun Connie, "Memang sudah seharusnya seperti itu bukan? Kita ini kan teman..."

Hanji tertawa, ia mendekatkan kudanya dengan kuda milik Ilse lalu menepuk keras punggung wanita itu. Connie meringis—turut merasakan sakit yang diterima punggung Ilse. Namun, pemuda bertubuh kecil itu juga menyadari perubahan atmosfir yang terjadi di antara Hanji dan Ilse.

"Mengenai hal yang kau katakan di awal perundingan… aku senang kau masih mengingat kebiasaan kecil kita," Hanji tersenyum lembut. Ilse menggaruk wajahnya yang tak gatal. Dulu ketika mereka masih menjadi rekan, Ilse dan Hanji pernah menyepakati cara komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan rahasia di antara keduanya. Ilse dan Hanji akan memulainya dengan ketukan pena lalu menandai kata pertama pada setiap kalimat hingga ketukan pena berikutnya.

Sebelum Connie yang penasaran bermaksud untuk bertanya, Hanji segera memberi isyarat untuk berhenti dengan tangannya, "Tidak ada tempat untukmu diantara aku dan Ilse."

Connie berdecih, Hanji tersenyum penuh kemenangan.

Rombongan yang berikutnya memasuki kota adalah rombongan Rivaille, Eren, dan Mikasa yang dipimpin oleh Petra sebagai pemandu arah. Eren yang ketakutan dan mengkhawatirkan Armin hanya bisa menyembunyikan diri di balik jubah Rivaille. Dia tidak mau melihat sedikitpun pada orang-orang lainnya. Bahkan pemandangan kota yang biasanya menarik untuknya yang tidak mengenal dunia di luar istana Ignillum kini tidak bisa membuatnya mau menampakan wajahnya.

Rivaille semakin khawatir. Eren tampak sangat tidak nyaman.

Derap kaki kuda pelan dan berirama di jalan kota Eden yang ramai. Rivaille semakin menggenggam erat tali kekang Elm. Eren masih menempel padanya sampai anak itu bergumam pelan.

"Rivaille..."

"Ya...?" tanya Rivaille yang kini menatap Eren yang tengah bersandar dalam posisi menyamping di dadanya dan menutupi dirinya dengan jubah besar warna gelap yang dipinjamkan oleh Gunther.

"Apakah terlahir ke dunia ini adalah sebuah dosa?"tanya Eren dengan sorot mata sendu.

"Tentu saja tidak," sanggah Rivaille tegas.

"Tapi..."

"Sshh..," Dengan satu tangan menggenggam tali kekang, yang satu lagi Rivaille gunakan mendekap Eren semakin dekat ke dadanya, "Kau ada bukan karena kesalahan, Eren. Kau ada untukku... Apakah hidupku juga kesalahan untukmu?"

"Tentu saja bukan."

Ya. Bagaimana mungkin seseorang akan menghakimi bahwa Eren salah sudah terlahir ke dunia ini jika mereka tidak mempersalahkan Rivaille yang yakin betul bahwa Eren terlahir ke dunia ini sebagai belahan jiwanya? Sebagai eksistensi yang memberinya arti kehidupan itu sendiri?

"Tapi karena aku...," Eren memulai lagi.

Rivaille hanya mengecup keningnya singkat, "Dengarkan aku..."

Eren memandangnya tanpa kedip.

"Aku tak peduli berapa banyak darah yang harus kutumpahkan untuk menjagamu tetap hidup," Rivaille berkata, "Yang aku tahu kau dan aku akan terus bersama-sama melalui ini semua..."

Eren tersenyum kecil. Meski kata-kata Rivaille terdengar sedikit kejam, bagi Eren itu adalah janji perlindungan yang diberikan oleh ksatrianya. Selanjutnya, tuan muda klan Ignis itu terlihat sedikit ragu untuk menceritakan isi pikirannya.

Rivaille yang menyadari hal itu segera berbisik, "Aku mendengarkan."

Eren terkesiap. Ia terdiam sebelum balas berbisik, "Ada pengkhianat."

.

.

To be continued

.

Thanks to :

Eqa Skylight, Ray Bellatrix, Kunougi Haruka, digimonfan4ever101, widi orihara, Yaoumi.S, kyuminloid, Kujo Kasuza, Naru Frau Rivaille, bluebird fallen, zhe, Kusanagi Mikan, babyberrypie, Quniharada, ELLE HANA, tsuyugami, Svezza Annashya, Arisu Sakura, Lee Dong In, Kuro Kisaragi, Naomi, Author Alra, chenchuuu, Yuuki No Hime, Gue Gitu loh, KamuiSuou, Uzumaki 'Muku' Zoldyck, Stranger Daughter, KingOhayou, Deer Panda

And all silent reader

.


A/N :

Yuki: Hai, maafkan telat. Soalnya kerjaan chapter yang agak berat ini kami main oper-operan sih, haha... dan karena masing-masing masih banyak urusan sama neraka dunia bernama kampus jadi ya... gitu. Selanjutnya, komentar dari Haruki.. *ngesot*

Haruki: Maaf untuk keterlambatan kami. *lalu kehilangan kata* Sepertinya saya sudah banyak dosa, sudah update telat, gak bisa bales review, cliff hanger pula *dihajar massa* Terima kasih selama ini sudah setia mengikuti GENOCIDE, semoga kedepannya kalian tetap mengikutinya hingga cerita ini tamat. (U_U)a Saya benar-benar terharu untuk antusiasme dan tanggapan kalian yang menyemangati kami untuk terus menulis. Sekali lagi terima kasih. *bows*

See you on the next chapter!